Selasa, 07 Mei 2019

TA’ARUD dan TARJIH, AL-AMRU dan AL-NAHYU (PAI A Semester Genap 2018/2019)



TA’ARUD dan TARJIH, AL-AMRU dan AL-NAHYU

Miftahul Salsabila dan Ilham Halimy
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
This article discusses about the contradictions between syari’ahtheorem contained in the holy Qur'an and the Sunnah, and discusses one of the method of dealing with these conflicting theorem, namely the tarjih method. The method is used by scholars to seek stronger arguments, so that it can be used as the basis for Islamic religious law. As a Muslim it is necessary to know how the laws in the syara’theorem and the forms of the rules. So that for everyone who examines the syara’theorem and the istinbath method also needs to know the tarjih method. While in the lafadz the contradiction is a proposition that has the sentence (amar) and prohibition (nahi) against mukallaf.
Abstrak
Artikel ini membahas mengenai pertentangan antara dalil-dalil syara’ yang terdapat dalam Al-qur’an dan Sunnah yang disebut dengan ta’arud, serta membahas salah satu metode penyeleasaian terhadap dalil yang saling bertentangan tersebut yaitu dengan metode tarjih. Metode tersebut digunakan oleh ulama untuk mencari dalil yang lebih kuat, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar hukum agama Islam.Sebagai seorang muslim wajib mengetahui bagaimanakah hukum-hukum di dalam dalil-dalil syara’ tersebut serta bagaimana bentuk kaidah-kaidahnya. Sehingga bagi setiap orang yang mengkaji dalil-dalil syara’ dan metode istinbath hukum juga perlu mengetahui metode tarjih. Sedangkan dalam lafadz yang terjadi kontradiksi tersebut adalah dalil yang memiliki kalimat perintah (amar) dan larangan (nahi) terhadap mukallaf.
Keywords: Ta’arud, Tarjih, Amar, Nahi

A.    Pendahuluan
Dalam kehidupan umat manusia tidak pernah lepas dari syari’at atau hukum Islam yang mengikat. Syari’at yang di amanahkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah berupa Al-Qur’an dan juga hadist beliau selalu menjadi pedoman dalam meniti kehidupan umat manusia sampai kapanpun. Kemudian, para fuqaha dalam menggali sebuah hukum untuk diterapkan pada suatu permasalahan yang senantiasa berkembang sesuai zaman sehingga dam penggalian hukum tersebut para fuqaha menggunakan ilmu yang disebut ushul fiqh, karena dalam penggalian hukum perlu menggunakan beberapa metode untuk menghadapi permasalahan dalil yang dzanni, musytarak dan mutasyabihat sehingga para fuqaha harus membedakan mana dalil yang sifatnya memerintah dan melarang dalam melakukan suatu beban taklif bagi mukallaf.
Dalam penggalian hukum tersebut para ulama menggunakan semantik atau ilmu logika dengan menginterpretasikannya pada dalil sehingga akan mendapatkan sebuah hukum yang diambil dari dalil naql, untuk itu para ulama memberikan istilah pada lafadz dalil tersebut yaitu seperti amar dan nahi, amar dan nahy merupakan unsur terpenting dalam sebuah beban taklif pada mukallaf, kemudian dalam bentuk amar dan nahy itu terkadang terdapat sebuah lafadz yang saling kontradiksi (ta’arud). Ketika para fuqaha menemukan bentuk lafadz yangsaling kontradiksi maka para fuqaha akan menggunakan beberapa metode yaitu salah satunya adalah metode tarjih. Tarjih adalah menggunakan dalil yang lebih kuat daripada dalil yang lemah dalam penerapan sebuah hukum terhadap mukallaf.
B.     At-ta’arud
Arti kata ta’arudsecara etimologi berasal dari kata dasar yaitu, ”aradha” ( عَرَضَ) yang memiliki arti menghambat, menahan, atau membandingi. Dengan demikian dari pengertian menurut Bahasa tersebut memiliki makna bahwalafadz dalil yang saling menghambat dalam penerapan hukumnya baik itu dari dalil yang qath’i mupun yang dzanni. Ulama ushul fiqh memberikan penjelasan pada istilah ta’arudh sebagai dua dalil yang salik bertolak belakang dan saling menolak satu sama lain pada penunjukkan dari dalil yang lainnya. Jadi, ta’arud merupakan istilah yang digunakan oleh ulama ushul untuk menyebutkan uatu dalil terhadap lafadz yang bertentangan secara dhohir, sehingga perlu dilakukan ijtihad terhadap lafadz tersebut hingga terdapat pemahaman yang lebih jelas pada lafadz tersebut.[1]
Adanya ta’arud pada dalil ini menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat antara ulama fiqh dalam memfatwakan sebuah hukum pada umat muslim, terjadinya perbedaan ini bukan berarti keluar dari syari‘at Islam, karena para ulama fiqh memiliki landasan dan metode tersendiri dalam meng-istinbathkan hukum. Dan kontradiksi antara dalil tersebut bukanlah suatu yang hakiki, karena kontradiksi tersebut hanya dimata para manusia, akan tetapi pada dasarnya tidak ada dalil yang bertentangan jika manusia memahaminya. Hal ini berlandaskan pada firman Allah QS. An-Nisa ayat 82.
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
Berikut beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam suatu lafadz yang dapat dikategorikan dalam lafadz ta’arud.
a.       Terdapat suatu hukum yang ditentukan dari kedua dalil yang saling bertentangan, misalnya mengenai hukum halal dengan haram, antara wajib dan tidak wajib, menetapkan dan menghapuskan. Apabila tidak saling belawanan pasti tidak akan ada petentangan.
b.      Adanya kesamaan antara objek (tempat) dari kedua hukum yang saling bertentangan. Misalnya saja perihal akad nikah. Ketika sudah menikah seseorang diperbolehkan (halal) untuk menggauli istri sahnya dan tidak diperbolehkan (haram) menggauli ibu dari sang istri. Dari sini dapat kita ketahui bahwa objek atau orang yang mendapatkan hukum halal dan haram tersebut tidak sama, maka tidak terjadi pertentangan di antara kedua hukum yang belawanan.
c.       Terdapat kesamaan pada masa atau waktu diberlakukannya hukum yang saling berlawanan tersebut. Contohnya mengenai hukum halal dari khamr pada masa awal mula dakwah Rasul dalam menyebarkan agama Islam, namun setelah itu hukumnya pun berubah menjadi haram. Dari perubahan hukum ini terjadi pada masa yang berbeda, namun dalam objeknya sama.
d.      Terdapat kesamaan antara hubungan kedua dalil yang saling betentangan. Misal saja bagi seorang suami menggauli istrinya sendiri dihukumi halal dan haram hukumnya jika yang menggauli istri tersebut laki-laki lain. Dalam hal ini, antara objek dan juga masa tersebut sama, tetapi hubungannya berbeda.
e.       Terdapat kesamaan dalam kedudukan kedua dalil yang saling betentangan, dilihat dari sisi asal maupun petunjuk dalilnya. Karena tidak ada petentangan antara Al-qur’an yang bersifat qath’i dengan hadist Ahad yang bersifat dzanni. Maka dari itu, karena dalil Al-qur’an lebih kuat jadi harus diutamakn daripada hadist Ahad.[2]

Para mujtahid melakukan pencarian jalan keluar dalam menjelaskan lafadz yang bertentangan dengan cara sebagai berikut :

Menurut pandangan golongan Syafi’iyah, yaitu:
1.      Mengkompromikan dua dalil yang berbeda agar tidak ada dalil yang terbuang dalam penggunannya dalam artian sebagai qayyid atau takhsis terhadap suatu tuntutan pada mukallaf.
2.      Tarjih yaitu berpindah atau meninggalkan dalil yang murajih dan berpindah pada yang rajih.
3.      Meneiliti dalil dimana antara kedua dalil yang turun lebih dahulu
4.      Jika ke-semua itu tidak memungkinkan untuk dipakai, maka mujtahid menangguhkan dahulu, dan memakai dalil yang lebih rendah bobotnya.
Sedangkan dari golongan Hanafiyah, jika terajadi ta’arud secara umum, yaitu:
1.      Dengan menganalisa ayat mana yang terlebih dahulu turun atau mana yang diucapakan terlebih dahulu oleh Nabi Muhammad, maka dalil yang datang terlebih dahulu akan di nasakh (hapus) oleh dalil yang datang setelanya.
2.      Jika tidak diketahui mana yang terlebih dahulu datang, maka menggunakan meode tarjih. Yaitu menganalisa mana dalil yang lebih kuat diantara dalil-dalil.
3.      Apabila tidak dapat ditarjih, maka langkah selanjutnya adalah mengkompromikan dalil tersebut.
4.      Jalan terakhir yang dipakai oleh mujtahid saat tidak memungkinkan memakai seluruh atau salah satu dalil adalah dengan memakai dalil yang lebih lemah atau rendah bobot dalilnya atau merujuk Sunnah Rasululah. [3]
Macam-macam ta’arud dalam Nash Al-qur’an seperti yang terdapat di dalam Q.S. Al Maidah: 6
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.
Dalam salah satu qiraat dibaca wa arjulakum sehingga terdapatpendapat ulama yang mengatakan bahwa ketika berwudhu kaki tersebut wajib dibasuh. Sedangkan dalam qiraat yang lain dibaca wa arjulakum sehingga terdapat ulama lain mengatakan ketika berwudhu kaki tersebut cukup diusap saja. Jadi dari ayat ini terdapat makna lebih dari satu disebut dengan lafadz Musytarak yang memiliki redaksi berbeda, sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda pula dalam lafadz ayat tersebut. Oleh karena itu, dalam penerapannya pun terdapat ikhtilaf di antara ulama.[4]
Selain itu terdapat juga ta’arud dalam surah Al-Baqarah ayat 234 :
“Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (‘iddah) empat bulan sepuluh hari
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa iddah seorang wanita yang ditinggal suaminya adalah 4 bulan 10 hari lamanya aktu ber-‘iddah, artinya wanita tersebut tidak diperbolehkan untuk menikah lagi sebelum masa ‘iddah itu berakhir. Akan tetapi dalam surah at-talaq allah juga berfirman :
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” (Q.S At-Talaq:4)
Dalam dzahir nash tersebut terlihat seperti terdapat perselisihan antara dua ayat tersebut, disebutkan bahwasannya dalam al-baqarah ‘iddah wanita yang ditinggal suaminya adalah 4 bulan 10 hari, sedangkan dalam surah At-talaq Allah menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan antara ‘iddah wanita yang tertalak hidup maupun ditinggal mati suaminya saat hamil yakni sampai masa kelahiran istrinya.[5]
Contoh ta’rud dalam Qiyas
Salah satu contoh ta’arud dalam qiyas adalah masalah mengkawinkan anak perempuan yang masih kecil, dalam hal ini Imam Abu Hanifah berpendapat membolehkan seorang gadis yang belum dewasa di kawinkan oleh orang tuanya tanpa seizin gadis tersebut berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW:
dari ‘Aisyah, beliau berkata: “ rasulullah mengawini saya ketika saya berumur enam tahun dan mengumpuliku ketika saya menjadi gadis yang berumur Sembilan tahun” (HR. Muslim)
Atas dasar hadits ini Imam Abu Hanifah berpendapat boleh. Akan tetapi dalam pendapat Imam Syafi’i menganggap karena kegadisannya bukan karena masalah kegadisannya. Oleh karena itu perbedaan wali ijbar dalam hal ini menurut imam Hanafi akan berakhir pernikahan tersebut tatkala gadis itu sudah baligh dan menurut Imam Syafii akan berakhir ketika sudah tidak gadis lagi, perbedaan ini terletak pada ‘illat hukumnya.[6]
C.    Tarjih
Menyelesaikan dalil yang bertentangandengan caratarjih:
Dalam pembahasan mengenai ta’arud apabila terdapat pertentangan dua dalil syar’i yang tidak dapat disatukan atau dikompromikan menggunakan cara apapun, tidak pula dapat dilakukan takhsis maupun dilakukannya nasakh, namun dapat dilakukan dengan salah satu cara yang mungkin dapat memperkuat salah satu dalil tersebut dengan memperhatikan petunjuk yang menguatkannya, metode tersebut disebut tarjih.
Menurut Bahasatarjihberasal dari kata “rajjaha”memiliki arti “menguatkan”. Sedangkan menurut istilah yang dikemukakan Saifuddin al-Amidi dalam salah satu karangan bukunya yaitu Al-Ihkam:
عِبَارَةٌ عَنِ اقْتِرَانِ الصَّالِحِيْنَ لِلدَّلاَلَةِ عَلَى الْمَطْلُوْبِ مَعَ تَعَارُضِهِمَا بِمَا يُوجِبُ الْعَمَلَ بِهِ وَإِهْمَالِ الْاَخَرَ
“Ungkapan mengenai diiringinya salah satu dari dua dalil yang pantas yang menunjukkan kepada apa yang dikehendaki di samping keduanya berbeturan yang mewajibkan untuk mengamalkan satu di antaranya meninggalkan yang satu lagi.”
Maka, ketika ada kata satu di antara dua dalil yang pantas mengandung arti bahwa salah satu dalil maupun diantara kedua dalil tidak pantas untuk dijadikan sandaran hukum maka tidak dapat disebut tarjih.[7]
Dalam mengamalkan dalil yang rajih hukumnya adalah wajib, sedangkan di sisi lain tidak dibenarkan ketika mengamalkan dalil yang marjuh tetapi terdapat dalil yang rajih. Adanya dalil yang dihukumi wajib dalam beramal dengan yang rajih tersebut merupakan apa yang dikutip dan diketahui dari ijma’ sahabat dan ulama salaf pada beberapa masalah yang berbeda sehingga mewajibkan mendahulukan dalil yang rajih dari dua dalil yang dzanni.[8]
Berikut syarat-syarat dapat dilakukannya tarjih, yaitu:
1.      Dua dalil saling bertentangan dan tidak ada kemunkinan sedikitpun untuk mengamalkan kedua atau salah satu dari dalil tersebut. Maka tidak ada tarjih dalam dalil yang sifatnya qath’i, jadi dalil Al-qur’an yang qath’i tidak dapat ditarjih dengan hadits.
2.      Kedua dalil tersebut memiliki makna untuk melakukan suatu perintah dalam hal perbuatan yang sama dalam segi waktu, tempat, syarat dan apa saja yang dibicarakan.
3.      Adanya petunjuk yang menjelaskan bahwa mukallaf diwajibkan untuk beramal dengan salah satu dalil dan meninggalkan dalil yang lainya.
Tiga unsur penilaian Tarjih
Apabila kita perhatikan tentang penjabaran ahli ushul fiqh tentang aspek dalam mentarjih suatu dalil, jika di uraikan akan ita dapati sebagaimana berikut :
a.       Yang kembali pada perawi dalil tersebut : yaitu mengenai jumlah perawi itu sendiri (sanad yang banyak harus dimenangkan dari yang lebih sedikit).
b.      Yang kembali kepada penilaian (tazkiyah) perawi: ungkapan dalam matan yang lebih tegas dan lebih baik dimenangkan daripada yang tidak tegas serta periwayatan dengan penyaksian lebih dimenangkan dari yang hanya kata perawi saja.
c.       Yang kembali pada periwayatan dalil tersebut : yang didengar dari gurunya lebih dimenangkan dari pada periwayatan yang dibacakan dihadapan gurunya. Kemudian yang disepakati lebih dimenangkan dari pada dalil yang diperselisihkan.
d.      Yang kembali kepada matan serta lebih dititikberatkan padalafadz dan makna : yang tidak memiliki lafadz musytarak lebih didahulukan daripada yang musytarak, apabila keduanya musytarak maka yang memiliki arti lebih sedikit yang didahulukan.
e.       Yang kembali pada isi dalil yaitu: yang melarang lebih didahulukan daripada yang membolehkan suatu perkara tersebut, yang mengandung hukum haram lebih didahulukan dari yang memiliki kandungan makruh serta yang ziyadah lebih didahulukan atas perkara yang tidak ziyadah.
f.       Tarjih yang terakhir ini berdasarkan dari sesuatu yang selain dari yang disebutkan diatas: dalil yang lebih memiliki kecocokan terhadap suatu permasalahan harus didahulukan, yang diamalkan oleh ahli Madinah lebih dimenangkan dari yang bukan ahli Madinah.[9]

D.    Lafadz Ditinjau dari Segi Taklif    
Hukum syar’i adalah titah dari Allah yang berhubungan dengan perbuatan seorang mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan.
            Dalam bentuk tuntutan, Khitab terbagi menjadi dua bentuk, yaitu tuntutan melakukan atau untuk meninggalkan. Setiap tuntutan mengandung taklif (beban hukum) dan tuntutan untuk dikerjakan disebut perintah atau “amar”(امر).  Sedangkan tuntutan yang mengandung taklif untuk ditinggalkan disebut larangan atau "nahi" (نهي). Pembahasan mengenai lafadz dari segi taklif mengandung dua bagian, yaitu tentang amar dan nahi.[10]
1.    Amar
a. Hakikat Amar
Kata amar banyak terdapat dalam Al-Qur'an. Ada yang mengandung arti ucapan. Contoh firman Allah dalam surat Thaha (20): 132:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ
“Ucapkanlah kepada keluargamu, ‘Shalatlah kamu’.”
Kata amar tidak hanya mengandung arti ucapan di antaranya seperti untuk arti "sesuatu" atau "urusan". Beberapa arti kata amar dapat dilihat dalam contoh
ayat-ayat di bawah ini:

a. Surat al-Syura (42): 38:
وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ
“Urusan mereka dimusyawarahkan diantara mereka.”
b. Surat Ali 'Imran (3): 159:
وشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
“Mereka bermusyawarah dalam segala sesuatu.”
c.Surat al-Thalaq (65): 9:
وَكَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهَا خُسْرًا
“Akibat dari perbuatan mereka adalah kerusakan.”
Para ulama ushul sepakat bahwa kata amar itu secara hakiki digunakan untuk "ucapan tertentu", yaitu kata se-wazan (setimbang) dengan kata لتفعل atau افعل yang mempunyai arti "kerjakanlah" atau "hendaklah engkau kerjakan".

b. Definisi Amar
Di antara ulama, termasuk ulama Mu'tazilahdan jugaAbu Ishak al-Syirazi mensyaratkan kedudukan pihak yang menyuruh harus lebih tinggi dari pihak yang disuruh. Kalau kedudukan yang menyuruh lebih rendah dari yang disuruh, maka tidak disebut amar, tetapi disebut “doa” seperti disebutkan dalam Al-Qur'an, surat Nuh (71): 28
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ
“Ya Tuhanku, ampunilah aku beserta kedua orang tuaku.”
Kata amar yang muncul dari orang yang kedudukannya sama dengan orang yang dikenai kata amar, tidak disebut amar tetapi “iltimas", seperti ucapan yang muncul dari antara dua sahabat,”Beri saya sebatang rokok”
Atas dasar pandangan di atas mengenai persyaratan kata amar supaya menjadi perintah, maka secara sederhana definisi amar ialah:
هو طلب الفعل من الأعلى الى الأدنى
“Amar ialah perintah mengerjakan yang datang dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah.”
T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan bahwa, hakekat al-amr adalah:
لفظ يراد به أن يفعل المعمور ما يقصد من الأمر
“Lafadz yang dengannya di kehendaki supaya orang mengerjakan apa yang dimaksudkan.”[11]
Definisi diatas menggunakan kata مأمور sebagai pembeda antara amar dengan yang lainnya dari berbagai macam kalam, juga untuk memisahkan amar dari do’a dan iltimas.
Dalam konteks kajian ushul fiqh, amar bersumber dari syari’at Allah kepada manusia sebagai hamba . Dalam hal ini, Allah adalah pihak yang tinggi dan yang menuntut agar perintah tersebut dipatuhi. Sedangkan manusia sebagai mukallaf adalah pihak yang rendah dan melaksanakan perintah.
c. Shigat Amar
Amr dapat dikemukakan dalam berbagai bentuk lafadz, antara lain, sebagai berikut.
  1. Dengan menggunakan kata amr itu sendiri. Misalnya, firman Allah pada surah an-Nisá' (4): 58 :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menunaikan amanah kepada yang berhak atasnya.”
  1. Dengan memakai bentuk kata fi'il al-amr, yaitu timbangan (wazan) dan turunannya. Misalnya, firman Allah pada surah al-Baqarah : 10:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”
  1. Dengan memakai bentuk fi'il al-mudhâri' yang disertai dengan huruf lâm al-amr. Misalnya, firman Allah pada surah al-Hajj (22): 29:
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).”
  1. Dengan menggunakan lafadz kutiba yang berarti diwajibkan, misalnya, firman Allah dalam surah al-Baqarah (2): 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.”
  1. Untuk memuji pelakunya. Misalnya, firman Allah dalam surah al-Baqarah (2): 220:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَىٰ ۖ قُلْ إِصْلَاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ
“Dan mereka bertanya padamu tentang anak yatim, katakanlah: Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik.”
  1. Menjanjikan pahala kepada pelakunya. Contoh, firman Allah dalam surah al-An’am ayat 160:
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا 
“Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.”
d. Amar dari Segi Dilâlah (Penunjukan) dan Tuntutannya
Berikut adalah di antara bentuk tuntutan dari kata amar.
  1. Hukum wajib (الواجب), artinya lafaz amar itu menghendaki pihak yang disuruh wajib melaksanakan apa yang tertera dalam lafadz itu. Contohnya firman Allah dalam surat an-Nisa' (4): 77
أَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Kerjakanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”
  1. Hukum nadb (الندب) atau sunah, artinya hukum yangtimbul dari amar itu adalah sunnah, bukan untuk wajib.[12] Contoh firman Allah dalam surat an-Nur (24): 33:
فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا
“Maka buatlah perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahuiada kebaikan pada mereka.”
Lafadz kâtabah (الكتابة), yaitu kemerdekaan dengan mencicil yang disuruh dalam ayat tersebut, menimbulkan hukum nadb, sehingga bagi yang menganggap tidak perlu, maka tidak ada ancamannya apa-apa.
  1. Peintah yang bersifat mendidik. Umpamanya firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2): 282, tentang apa yang sebaiknya dilakukan seseorang setelah berlangsung utang piutang:
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ
“dan saksikanlah oleh dua orang saksi.”
  1. Hukum ibahah (الإباحة) atau boleh. Umpamanya firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2): 60:
كُلُوا وَاشْرَبُوا مِنْ رِزْقِ اللَّهِ
“Makan dan minmumlah dari rezeki Allah.”
  1. Untuk tahdid (التهديد) atau menakut-nakuti. Umpamanya frman Allah dalam surat Ibrahim (14): 30:
تَمَتَّعُوا فَإِنَّ مَصِيرَكُمْ إِلَى النَّارِ
“Bersenang-senanglah hamu, karena sesngguhnya tempat kembalimu adalah neraka.”
  1. Untuk ikram (  للإكرام) atau memuliakan yang disuruh. Seperti contoh firman Allah dalam surah al-Hijr (15): 46:
ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ آمِنِينَ
“Masuklah kepadanya dengan selamat dan aman.”
  1. Untuk doa. Contoh firman Allah dalam surat Ibrahim (14): 41:
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ
“Ya..Allah ampunilah aku dan kedua orang tuaku.”
8.     Untuk ta’jiz yang berarti menyatakan keterbatasan seseorang. Seperti dalam firman Allah surat Al-Baqarah (2): 23:
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ
“Jika kalian meragukan apa yang diturunkan kepada hamba Kami, maka datangkanlah satu surat yang menyerupainya.”

e. Kaidah yang Berhubungan dengan Amar
Pada dasarnya amar menunjukkan pengertian wajib
Ulama berpendapat berbeda mengenai perbedaan keragaman makna yang terkandung dalam lafadz amar diatas. Akan tetapi, pengertian yang langsung timbul dalam benak seseorang ketika merespon lafadz amar adalah bahwa lafadz tersebut dimaksudkan agar orang melakukan daripada meninggalkan suatu perbuatan, terutama yang timbul dari as-syari’ yang diperuntukkan buat manusia, terlebih lafadz amar yang dibarengi dengan janji pahala bagi yang melaksanakannya dan ancaman dosa bagi yang meninggalkannya- kecuali terdapat indikasi bahwa yang dimaksudkan adalah kebalikannya. Oleh karena itu ulama ushul fiqh merumuskan kaidah tentang amr yang berbunyi :
الأصل في الأمر للوجوب إلا الدل الدليل على غيره
“Pada dasarnya suatu perintah untuk menunjukkan makna wajib, kecuali terdapat dalil yang menunjjukan pengertian lain.”[13]
Lafadz amr yang didahului larangan menunjukkan makna mubah
Sebagian ulama berpendapat, tidak ada pengaruh pada hukum dari perintah yang datang setelah didahului oleh larangan, sehingga tetap menjadi wajib. Pendapat yang popular adalah, lafadz amar setelah larangan menunjuk pengertian mubah.[14] Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Jumu’ah (62): 10:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ 
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah.”
            Perintah pada ayat ini didahului dengan larangan melakukan jual beli yang terdapat pada ayat sebelumnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.”
(Q.S Al-Jumu’ah (62): 9)
            Berdasarkan pendapat jumhur ulama tersebut, maka terumuslah kaidah yang berbunyi :
الأمر بعد النهي تفيد الإباحة
“Perintah yang datang setelah larangan menimbulkan hukum mubah.”

Berulangnya pelaksanaan amar
Jumhur ulama berpendapat suatu perintah hanya menuntut pelaksanaan apa yang diperintahkan, dan tidak menunjukkan cukup sekali dilaksanakan atau harus melakukannya berulang-ulang, kecuali jika terdapat qarinah yang menunjukkan kepada hal itu. Oleh karena itu dirumuskan kaidah yang berbunyi :
الأمر لا تقضي التكرار إلا الدل الدليل على تكراره
“Suatu perintah tidak menunjukkan perulangan yang diperintahkan kecuali ada dalil yang menunjuk perulangannya.”
Contoh perintah yang menuntut untuk dikerjakan hanya sekali yaitu perintah melaksanakan ibadah haji.[15] Firman Allah pada surah Ali Imran (3): 97:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” 
Adapun contoh amar yang dilakukan berulang-ulang karena adanya qarinah untuk melakukannya ialah firman Allah surah al-Isra (17): 78:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”
Diulang-ulangnya kewajiban melaksanakan shalat karena ada qarinah  yang menunjukkan kewajiban, sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat diatas: sebab tergelincir matahari hingga gelap malam.

2.Nahy
a. Definisi Nahy
Lafadz nahy adalah bentuk mufrad. Bentuk pluralnya adalah nawahy yang berarti larangan. Ulama memberikan definisi lafadz nahy sebagai berikut:[16]
هو طلب الكف عن الفعل من الأعلى الى الأدنى
Nahy adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari pihak yang berkedudukan tinggi kepada yang berkedudukan yang lebih rendah.”
            Dalam konteks kajian ilmu ushul fiqih , nahy bersumber dari as-Syar’y kepada manusia sebagai hamba Allah. Dalam hal ini, Allah adalah pihak yang berkedudukan tinggi dan yang memberi tuntutan agar nahy tersebut dipatuhi. Sedangkan manusia sebagai mukallaf adalah pihak yang berkedudukan rendah dan pihak yang meninggalkan perbuatan yang dilarang.
            Seseorang dapat dikatakan melakukan perbuatan nahy apabila ia mengetahui dan sanggup melakukannya dan dengan sadar bahwa dia meninggalkan perbuatan tersebut. Seperti contoh ketika seseorang terangsang untuk melakukan zina namun timbul kesadaran dan berniat untuk meninggalkan zina, maka dalam bentuk inilah atau mulai ia berniat meninggalkan zina ia mendapat pahala atas melakukan perbuatan nahy tersebut.
            Jumhur ulama yang mempunyai pendapat bahwa amar hakikatnya itu wujub, berpendapat bahwa hakikat nahy itu adalah haram dan nahy dan nahy bisa menjadi bukan haram ketika ada dalil yang menunjukkannya. Dalam hal ini jumhur ulama merumuskan kaidah yang popular:
          الأصل في النهي للتحريم
Asal dari larangan itu untuk hukum haram.”

b. Shigat Nahy
            Nahy dapat digunakan dalam berbagai bentuk lafadz, antara lain:[17]
  1. Dengan lafadz nahy itu sendiri, seperti firman Allah surah an-Nahl (16): 90:
وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْي
“Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.”
  1. Dengan menggunakan shigat la taf’al (( لا تفعل , adalah fi’ilmudhori’ yang didahului la an-Nahiyah. Contoh firman Allah pada surah al-Isra (17): 32:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
  1. Dengan memberi penjelasan bahwa sesuatu itu haram, seperti firman Allah pada surah al-Ma’idah (5): 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.”
  1. Dengan memberikan penjelasan bahwa perbuatan yang dilarang adalah buruk. Seperti firman Allah pada surah al-Bayyinah (98): 6:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.”

c. Dilalah an-Nahy
            Dalam al-Qur’an, nahy yang menggunakan kata larang itu mengandung beberapa maksud yaitu :[18]
  1. Untuk hukum haram( حرم ). Seperti firman Allah dalam surat al-Isra’ (17): 33:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ
“Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya).”

  1. Untuk hukum makruh(  كراهة). Seperti sabda Nabi dalam hadits:
لاَيَمَسَّنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِيْنِهِ وَهُوَ يَبُوْلُ (متفق عليه)
“Diantara kamu sekalian, janganlah memegang kemaluan dengan tangan kanan ketika buang air kecil.”
  1. Untuk  memberikan pendidikan (إرشاد  ). Umpananya firman Allah dalam surah al-Ma’idah (5): 101:
لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
“Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya hal itu menyusahkan kamu.”
  1. Untuk do’a (  دعاء). Seperti contoh firman Allah surah Ali ‘imran (3): 8:
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا
“Ya.. Tuhan kami, janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah Engkau memberi petunjuk kepada kami.”
  1. Untuk menjelaskan akibat (  بيان العاقبة). Seperti contoh firman Allah dalam surah Ibrahim (14): 42:
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ ۚ
“Janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang dzalim.”

d. Kaidah sighat an-Nahy
Asal larangan menunjuk pengertian haram
            Dalam memberi pendapat tentang makna nahy ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat untuk menunjukkan makna haram sebagian lagi menunjuk makna makruh. Sedang jumhur ulama menunjuk makna nahy dengan pengertian haram, kecuali terdapat dalil yang memberikan pengertian bukan haram. Oleh karena itu jumhur ulama merumuskan kaidah seperti berikut :
الأصل في النهي للتحريم إلا دل الدليل على خلافه
“Pada dasarnya dalam pengertian nahy itu menunjuk makna haram, kecuali ada dalil yang menunjuk pengertian yang lain.”
Pada dasarnya larangan berlaku terus menerus
            Dalam memberi pendapat tentang ketetapan masa berlaku tuntutan nahy jumhur ulama berpendapat bahwa nahy berlaku untuk selamanya walau tidak ada pengulangan lafadz kecuali terdapat dalil yang menunjukkan sebaliknya. Oleh sebab itu. Dirumuskan kaidah yang berbunyi :
الأصل فى النهي للتأبيد ما لم يدل دليل على خلافه
Pada asalnya dalam nahy itu menunjukkan makna selamanya kecuali terdapat dalil lain yang menunjuk sebaliknya.”

F.   Penutup

Berdasarkan pada penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ta’arud merupakan istilah yang diberikan pada dalil yang memiliki makna saling kontradiksi satu sama lain sehingga menjadi penghalang atau pencegah dalam mengamalkan salah satu dalilnya, dan diperlukan sebuah metode penyelesaiannya yaitu tarjih. Tarjih sendiri adalah pengambilan dalil yang lebih kuat daripada dalil yang lebih lemah.
Selain itu, terdapat istilah lain yang diberikan oleh ulama fiqh pada sebuah lafadz yaitu amar dan nahi, amar dan nahi ini ialah lafadz yang memiliki makna memerintah dan melarang untuk melakukan suatu perbuatan yang dibebankan pada mukallaf. Dalam lafadz amar dan nahi tersebut terkadang terjadi kontradiksi atau saling betentangan, kontradiksi ini dalam bahasan ushul fiqh biasa disebut dengan ta’arud serta jalan penyelesainnya terdapat beberapa macam dan salah satunya adalah tarjih.



DAFTAR PUSTAKA

Atabik, Ahmad“Kontradiksi antar Dalil dan Penyelesaiannya Prespektik Ushuliyyin”. Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam. Vol 6, No. 2, 2015.
Abdurrahman, Asjmuni. 2007. Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metodologi dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Darini, Fathi. 1975.Al-Manhaj al-Islamiyah Fi Ijtihadi bi al-Ra’yi. Damasyqi: Dar al-Kutub alHadis.
Dahlan, Abd. Rahman,2010.Ushul Fiqih. Jakarta: Amzah.
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Group.
Fatimah, Siti, al-Furqon : Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Tafsir vol.1 no. 1, kaidah-kaidah memahami amr dan nahy: urgensinya dalam memahami al-Qur’an, . Lamongan: IAI Tarbiyatuth Tholabah. 2018.
Kamali, Muhammad Hasyim. 1996.Principles of Islamic Jurisprudence; The Islamic Text Society. Yogyakarta: Pustaka Pelajar and Humanity Studies.
Kartini, Jurnal al-‘Adl vol.9 no.1, Penerapan al-Amr Al-Nahy dan al-Ibahah sebagai kaidah penetapan hukum, (Kendari : IAIN Kendari) 2016
Koto, Alaiddin. 2004.Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Syarifudin, Amir. 2014.Ushul Fiqih 2. Jakarta: Kencana.
Wafaa,Muhammad. 2001.Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-dalil Syara’. Bangil: Al-Izzah.
Zahran,Isa. 1998. AL-Muntakhab Fi Ushul Fiqh. Kairo: Jamiah al-Azhar.

Catatan:
Makalah sudah oke, similarity 5%, tinggal perlu diberikan contoh konkret tarjih.


[1]Muhammad Wafaa, Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-dalil Syara’. (Bangil: Al-Izzah, 2001), hlm 11.
[2]Ibid.,hlm. 68-70.
[3]Satria Effendi, Ushul Fiqh. (Jakarta: PrenadaMedia Group, 2005), hlm. 239-240
[4]Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2004), hlm. 141-142
[5]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1. (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 399-400
[6]Ahmad Atabik, “Kontradiksi antar Dalil dan Penyelesaiannya Prespektik Ushuliyyin”. Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam. Vol 6, No. 2, hlm. 268.
[7]Ibid.,hlm. 460
[8]Ibid.,hlm. 461
[9]Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metodologi dan Aplikasi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)., hlm. 5-8
[10]Amir Syarifudin, Ushul Fiqih 2. (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 176
[11]Kartini, Jurnal al-‘Adl vol.9 no.1, Penerapan al-Amr Al-Nahy dan al-Ibahah sebagai kaidah penetapan hukum, (Kendari : IAIN Kendari, 2016), hlm. 25
[12]Siti Fatimah, al-Furqon : Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Tafsir vol.1 no. 1, kaidah-kaidah memahami amr dan nahy: urgensinya dalam memahami al-Qur’an, (Lamongan: IAI Tarbiyatuth Tholabah, 2018). hlm. 5

[13]Fathi al-Darini, Al-Manhaj al-Islamiyah Fi Ijtihadi bi al-Ra’yi, (Damasyqi: Dar al-Kutub alHadis, 1975), hlm. 704
[14]Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 2, . hlm. 5
[15] Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 204
[16]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 254
[17]Muhammad Hasyim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence; The Islamic Text Society, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar and Humanity Studies, 1996), hlm. 185
[18]Isa Zahran, AL-Muntakhab Fi Ushul Fiqh, (Kairo: Jamiah al-Azhar,1998), hlm.117

Tidak ada komentar:

Posting Komentar