Senin, 08 April 2019

'Am dan Khas, Muthlaq dan Muqayyad (PAI F Semester Genap 2018/2019)



AL-A’MM DAN AL-KHAS, MUTLAQ MUQAYYAD
Alfian Imam Qolyubi (15110248), Nur Alvi Lailaturrokhmah (16110100), Reza Selvia (16110106)
Mahasiswa PAI F Angkatan 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
This article describes the rules and provisions used in understanding the texts of the Qur'an and the Sunnah of the Prophet correctly in accordance with the proper provisions of Arabic. The rule in the term Ushul Fiqh is known as Kaidah Lughowiyah. To understand pronunciation in Arabic, we need approaches with certain conditions, because understanding Arabic cannot directly understand the meaning. This requires certain methods to understand the Alquran and Sunnah arguments. Therefore, the scholars of the scholars examine what methods are used to understand the meaning of the pronunciation in which there are various meanings. However, in this discussion only limited to pronunciation is reviewed in terms of the meaning created for him which includes: Amm (general), Typical (special), Mutlaq (definite) and Muqayyad (bound).
Keywords: ‘Amm, Khas, Mutlaq, Muqayyad
Abstrak
Artikel ini menjelaskan tentang kaidah-kaidah serta ketentuan-ketentuan yang digunakan dalam memahami nash-nash Al-Quran dan Sunnah Nabi secara benar sesuai dengan ketentuan bahasa Arab yang semestinya. Kaidah tersebut dalam istilah Ushul Fiqh dikenal dengan sebutan Kaidah Lughowiyah. Untuk memahami lafal dibutuhkan pendekatan-pendekatan dengan kententuan tertentu, dikarenakan dalam memahami bahasa arab tidak bisa langsung dengan mudah memahami maksudnya. Hal tersebut membutuhkan metode-metode tertentu untuk memahami dalil-dalil Alqur’an dan Sunnah. Maka dari itu, para jumhur ulama meneliti apa saja metode-metode yang digunakan untuk memahami maksud dari lafal yang di dalamnya terdapat berbagai kandungan makna. Namun, dalam pembahasan ini hanya terbatas pada lafal yang ditinjau dari segi makna yang diciptakan untuknya yang meliputi : ’Amm (umum), Khas (khusus), Mutlaq (pasti) dan Muqayyad (terikat).
Kata Kunci: ‘Amm, Khas, Mutlaq, Muqayyad
A.    PENDAHULUAN
Sumber hukum islam yang utama yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Baik Al-Qur’an maupun sunnah menggunakan bahasa Arab. Dalam bahasan ushul fiqh, bahasa Arab adalah salah satu ilmu pendukung yang sangat penting dalam rangka menggali dan memahami hukum syara’ yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah. Untuk itu pemahaman tentang bahasa arab sangat diperlukan guna memudahkan para mujtahid untuk memahami isi yang terkandung didalam Al-Qur’an maupun sunnah.
Pemakaian ilmu bahasa Arab digunakan untuk mengetahui makna-makna lafadz yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an ataupun sunnah sehingga para mujtahid bisa menetapkan hukum sesuai dengan nash yang ada. Dalam menetapkan hukum, para mujtahid menggunakan beberapa kaidah. Kaidah  ini diperlukan karena lafadz  yang tertulis dalam nash  kadangkala berbeda makna dan maksudnya ketika dilakukan penelitian. Oleh karena itu, para ulama telah menetapkan kaidah yang bisa digunakan untuk memahami dalil-dalil naqli yaitu dengan menggunakan kaidah lughawiyah. Kaidah ini dijadikan patokan dalam istinbath hukum islam karena kaidah ini dipergunakan dalam menggali dan memperoleh hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil yang terperinci.
Dalam Al-Qur’an banyak dijumpai istilah yang biasa dipakai untuk menunjukkan makna tertentu, seperti lafal amm khas, muthlaq muqayyad, dan lain sebagainya.Untuk bisa memahami dengan baik dan benar bahasa Al-Qur’an tersebut para Ulama telah mengadakan  penelitian terhadap beberapa lafal, khususnya yang terkait dengan ushlub atau gaya bahasa Arab.
B.     Al-A’mm dan Al-Khas
1.      Al-A’mm
a.      Pengertian ‘Amm
Lafadz ‘Amm jika dilihat dari segi bahasa berarti mencakup keseluruhan atau yang umum. Sedangkan menurut istilah pengertian ‘am dalam ilmu ushul fiqh yaitu suatu lafal yang digunakan untuk menunjukkan suatu makna pada jumlah yang banyak yang mencakup seluruh satuan-satuan yang tidak terbatas.[1] Misalkan seperti pada lafal al-insan (الْاٍنسان ). Lafadz tersebut berarti manusia. Yang pada lafadz ‘am diartikan manusia secara keseluruhan dengan berbagai bentuk jenis manusia baik yang berjenis kelamin laki-laki maupun berjenis kelamin perempuan.[2]
Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa lafadz ‘am merupakan suatu lafadz yang meliputi semua pengertian yang dapat mencakup seluruh bagian satuan-satuan yang tanpa batas. Jika terdapat suatu lafadz yang menunjukkan kuantitas satuan yang terbatas maka bukanlah disebut dengan ‘am. Seperti pada lafadz رَجُلٌ yang bermakna “seorang laki-laki” tidak menunjukkan pada sesuatu yang umum. Pada perkataan “sekelompok, seratus, lima, sepuluh” juga bukan termasuk pada lafadz ‘am dikarenakan dibatasi dengan jumlah.[3]
b.      Lafadz-lafadz ‘Amm
1)      Lafal kullun (كل ), jami’un (جميع) , kaffah (كافة) dan ma’syara (معشر)
Contoh lafal kullun :
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ
“Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati”. QS. Ali Imran: 185.
Contoh lafal jami’un :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dialah (Allah) yang menjadikan segalanya yang ada di bumi untuk kalian”. QS. Al-Baqarah (2) : 29.
Contoh lafal kaffah :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِّلنَّاسِ
“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya”. QS. Saba’: 28.
Contoh lafal ma’syara:
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ
“Hai golongan jin dan manusia”. QS. Al-An’am: 130.
2)      Isimal-maushul
Seperti pada lafal : al-ladzi (الذي ) , al-ladzina (الذين ) , allati (اللاّتي )
Contoh pada lafal al-ladzina:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). 
QS. An-Nisa (4): 10.

3)      Isim istifham (kata tanya)
Seperti pada lafal : man (من ) “siapa”, ma (   (ما”apa”, mata (متى) “kapan”.
Contoh man :
قَالُوا مَن فَعَلَ هَٰذَا بِآلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ
Mereka berkata : “Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesunguhnya dia termasuk orang yang zalim.”
QS. Al-Anbiya : 59
Contoh ma :
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?”
QS. Al-Mudatstir: 42.
 Contoh mata :
مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
“Bilakah datangnya pertolongan Allah? Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. QS. Al-Baqarah: 214.
4)      Isim syarat
Seperti pada lafal : man (من ) “barangsiapa”, ma (ما) “apa saja”, ayyuma (أيما ) “yang mana saja”.
Contoh pada lafal ma:
وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan)”. QS. Al-Baqarah: 272.
5)      Isim Nakirah dalam penyusunan kalimat yang menunjukkan pengertian nafi (negatif).
Seperti contoh dalam sabda Rasulullah SAW :
لا هجرة بعدالفتح
“Tidak wajib hijrah setelah Mekkah ditaklukkan”. HR. Bukhari dan Muslim
Isim nakirah pada hadis tersebut terdapat pada lafal هجرة yang merupakan lafal umum karena di dahului oleh lafal nafi (negatif).
6)      Lafal isim mufrad yang di ta’rifkan dengan alif lam jinsiyah atau dengan idhafah.
Contoh isim mufrad yang di ta’rifkan dengan alif lam (ال ) :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. QS. Al-Baqarah: 275.
Contoh isim mufrad yang di ta’rifkan dengan idhafah:
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menhinggakannya”. QS. Ibrahim: 34.
Contoh isim jama’ yang di ta’rifkan dengan alif lam (ال ) :
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. QS. An-Nisa : 11.[4]
c.       Macam-Macam ‘Amm
Lafal ‘amm dikategorikan menjadi tiga macam:
1)      Lafal ‘amm yang bersifat umum, karena disertai oleh qarinah (petunjuk) yang tidak mungkin bisa ditakhsis.
Contoh dalam QS. Hud ayat 6:
وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
“Dan tidak ada satupun binatang yang melata di bumi ini melainkan Allah yang memberi rezekinya.” (QS. Hud: 6)
Contoh dalam QS. Al-Anbya ayat 30:
 وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ ۖ
“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup.” (QS. Al-Anbya:30)
Pada kedua ayat tersebut terdapat ‘amm qathi yang menunjukkan sifat umum, tidak dimaksudkan pada makna yang khusus. Sehingga tidak bisa di takhsis.
2)      Lafal ‘Amm yang bersifat khusus, karena adanya qarinah (petunjuk) yang menunjukkan kekhususannya.
Contoh :
 وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ
“Mengerjakan haji adalah suatu kewajiban manusia terhadap Allah.” (QS. Al-Imran: 97)
Pada ayat tersebut terdapat lafal “manusia” yang merupakan lafal umum. Yang dimaksud dengan manusia pada ayat tersebut adalah para mukallaf. Karena dengan akalnya, anak kecil dan orang gila bukan termasuk ke dalamnya.[5]
3)      Lafal ‘Amm yang tidak di dampingi oleh qarinah yang meniadakan hal yang di takhsis dan tidak adanya qarinah yang menafikan kemungkinan tetap terhadap keumumannya. [6]
Contoh:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan (menungu/beriddah) tga kali quru.” (QS. Al-Baqarah: 228).[7]

d.      Dilalah ‘Amm
Para jumhur ulama menyatakan bahwa dalalah ‘amm adalah zhaniyyah. Dikarenakan lafal-lafal ‘am kadangkala hanya dapat digunakan untuk salah satu dari keseluruhannya. Para jumhur ulama menegaskan dengan suatu ketentuannya yaitu:
مامنعامالاوقدخصص
“Tidak ada satu lafal yang umum kecuali (lafal itu) ditakhsish.”
            Oleh sebab itu, jika ditemukan lafal ‘amm disarankan untuk mencari takhsisnya. Jika terdapat nash yang menunjukkan sebagian dari ‘amm itu dikeluarkannya, dilalahnya adalah zhanniyah.
Seperti contoh dalam firman Allah:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ
“Perempuan-perempuan yang bercerai dari suaminya hendaklah beridah selama tiga quru’.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Dalam ayat tersebut perempuan yang di talak dari suaminya hendaknya beriddah tiga quru’, hal tersebut berlaku untuk semua bentuk dan keadaan perempuan yang bercerai baik perempuan itu hamil maupun tidak. Selanjutnya, ketentuan tersebut di takhsis bahwa bagi wanita yang hamil, iddahnya adalah setelah melahirkan. Ketentuan tersebut tercantum dalam surah Al-Thalaq ayat 4:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ
“Dan perempuan yang hamil iddahnya yaitu sampai melahirkan kandungannya”.[8]

2.      Al-Khas
a.      Definisi Al-Khas
Khas ialah isim fa’il yang berasal dari kata kerja :
خصَّصَ يُحْصِّصُ يَخْصِيْصًا خاَصٍّ
“Yang mengkhususkan atau menentukan”[9]
Definisi khas adalah antonim dari definisi ‘amm (umum). Dengan demikian, jika sudah memahami definisi lafadz ‘amm secara tidak langsung juga dapat memahami definisi lafadz khas.
Al-Amidi menyebutkan definisi khas sebagai berikut :
هو اللفظ الواحد الذى ال يصلح الشرتاك كثريين فيو
Suatu lafadz yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah banyak”.
Al-Khudahari Beik memberi definisi sedikit berbeda tentanga lafadz khas :
هو اللفظ ادلوضوع لداللة على معىن واحد على سبيل االنفراد
“Lafadz yang obyeknya adalah dilalah yang bermakna satu dengan cara satu per-satu”.[10]
Menurut definisi yang terakhir, lafadz khas ditentukan untuk menunjukkan arti tertentu (khusus). Baik ditunjukan untuk pribadi seseorang, seperti lafadz Muhammad, Abdullah (nama orang), ditunjukan untuk macam sesuatu seperti lafadz insaanun (manusia) dan rajulun (orang laki-laki), ditunjukan jenis sesuatu seperti lafadz hayawwanun (hewan). Juga bisa untuk menunjukkan benda konkret seperti lafadz ‘ilmun (ilmu) dan jahilun (kebodohan). Atau, secara i’tibari (anggapan) seperti lafadz-lafadz yang diciptakan untuk memberi pengertian banyak yang terbatas, seperti lafadz tsalatsatun (tiga), mi’atun (serratus), jam’un (seluruhnya), dan fariqun (sekelompok).[11]

b.      Dalalah Al-Khas
Lafadz khas dalam nash syara’ dalalah ma’nanya adalah qathi (pasti) dan dalalah hukumnya juga qathi’, bukan dzanni selama tidak ada ada dalil yang memalingkannya kepada ma’na yang lain. Misalnya lafadz tasalatsah dalam firman Allah :
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ

“…Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji…”. (Q.S Al-Baqarah : 196.
Lafadz tsalatsah termasuk lafadz khas yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadz itu sendiri, yaitu puasa tiga hari.[12]

c.       Macam-macam Lafadz Khas
a.       Lafadz khas yang mutlaq
Lafadz khas yang mutlaq ialah lafadz yang tidak diikuti/ tidak dibatasi oleh syarat apapun.  Contohnya :
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
“….maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur…”. (Q.S Al-Mujadilah : 3)
Lafadz rqabatin (budak) dalam ayat teserbut ialah lafadz khas yang mutlaq karena tidak diberi qayyid (pembatas) dengan sifat tertentu. Dengan demikian, lafadz raqabatin dapat menckup seluruh macam budak baik budak mukmin ataupun kafir.

b.      Lafadz khas yang muqayyad
Lafadz khas yang muqayyad ialah lafadz khas yang dibatasi oleh suatu syarat tertentu. Contohnya :
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ
“…dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu)…”. (Q. S An-Nisa : 92)
Dalam ayat diatas terdapat tiga buah lafadz khas yang muqayyad. Pertama, qatala (membunuh). Lafadz itu dibatasi dengan lafadz khatha’an (karena salah). Dengan demikian, kewajiban membayar kaffarah dibebankan terhadap pembunuhan yang dilakukan karena kelalaian, bukan karena alasan yang lain. Kedua, lafadz raqabathin (hamba sahaya). Lafadz ini dibatasi dengan lafadz mu’minah (yang beriman). Oleh karena itu, tidaklah cukup memerdekakan hamba sahaya yang tidak beriman. Ketiga, lafadz diyatun (denda). Lafadz ini dibatasi dengan lafadz musallamatun (yang diserahkan). Dengan demikian, denda itu harus diserahkan kepada keluarga orang yang terbunuh.

c.       Bentuk Amr (Perintah)[13]
Jika lafadz khusus yang ada pada nash syara’ berbentuk perintah atau bentuk berita yang memiliki arti perintah maka itu artinya wajib, yaitu menuntut sesuatu yang diperintahkan atau yang diberitakan secara tetap dan pasti.  Contoh firman Allah SWT :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya…”. (Q.S Al-Maidah : 38)
Ayat tersebut berarti kewajiban memotong tangan pencuri lak-laki dan perempuan.
      Jika ada alasan tertentu maka bentuk perintah dapat dibelokkan dari arti kewajiban ke arti lain yang dapat dipahami dari isi alasan tertentu itu, misalnya berarti mubah ) boleh dalam firman Allah :

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“…dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…” (Q.S Al-Baqarah : 178)
      Ayat ini membolehkan untuk makan dan minum hingga terbit fajar.


d.      Bentuk Nahi (Larangan)
Nahi adalah lafadz yang dipakai untuk menuntut agar meninggalkan suatu larangan.[14] Larangan ini memiliki arti haram. Firman Allah SWT :
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman…” (Q.S Al-Baqarah : 221)
Ayat tersebut memberikan pengertian bahwa haram bagi seorang laki-laki muslim menikahi wanita musyrik.[15]
Atau dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 23 :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
 “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;…” (Q.S An-Nisa : 23
Ayat tersebut adalah bentuk kalimat berita. Kalimat tersebut memberitakan bahwa seseorang itu diharamkan menikahi ibu dan anak perempuannya. Meskipun demikian kalimat tersebut diartikan selaku tuntutan untuk ditinggalkan atau haram untuk dilakukan.[16]


d.      Pembagian Mukhasis (Dalil Yang Mengkhususkan)[17]
Mukhasis ada dua bentuk, pertama mukhasis yang bersambung, kedua mukhasis yang terpisah.
a.       Mukhasis Muttasil
Mukhasis yang bersambung ialah apabila makna dari suatu dalil yang mengkhususkan mempunyai hubungan yang erat dengan kalimat umum sebelumnya.
Contoh : seseorang berkata dia sendiri tidak menjaga kebersihan. Perkataan itu tidak akan ada apabila tidak didahului dengan kalimat sebelumnya.
Ada beberapa macam mukhasis Muttasisil diantaranya yaitu :
1)    Pengecualian (Al-Istisna’)

إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ  إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ

“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh”.  (Q.S Ashr : 1-2)
Jadi yang dikhususkan pada ayat tersebut adalah orang-orang yang beriman dan beramal shaleh. Pengkhususan pada ayat tersebut ialah dengan jalan mengecualikan, yakni dengan memakai huruf istisna (إِلاَ)

2)    Syarat
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“...Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah....” (Q.S. Al-Baqarah : 228)
Dalam ayat tersebut dikatakan, lebih berhak kembali pada istrinya. Maksudnya yaitu ketika dalam masa iddah, tetapi dengan syarat jika kembalinya dengan maksud islah. Lafadz yang menunjukkan pada ayat tersebut adalah “Jika” (إِنَ)

3)    Sifat
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
“…Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman…”. (Q.S An-Nisa : 92)
Sifat yang mengkhususkan pada ayat teresebut adalah sifat mukmin, yakni yang dimerdekakan itu harus atau dikhususkan pada hamba yang mukmin.

4)    Kesudahan
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
“….Dan janganah kamu mendekati mereka hingga suci…”. (Q.S Al-Baqarah : 222).
Lafadz “sehingga” (حَتَّى) diayat tersebut mengkhususkan bahwa boleh didekati apabila telah suci.
5)    Sebagian ganti keseluruhan
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلً
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) siapa yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…”. . (Q.S Ali-Imran : 97)
Lafadz (مَنْ) dan sesudahnya pada ayat tersebut, mengkhususkan keumuman sebelumnya, arti sebagian orang yang “mampu”, mengganti keumuman wajibnya manusia untuk haji.

b.      Mukhasis Munfasil
Mukhasis Munfasil ialah makna dalil umum sama dengan makna dalil yang menkhususkannya, masing-masing berdiri sendiri yaitu tidak berkumpul tetapi terpisah.
Ada beberapa macam mukhasis munfasil diantaranya yaitu :
1)    Kitab di­-takhsis dengan kitab.
Yaitu dalil umum dan yang mengkhususkannya ada dalam Al-Qur’an.
Contoh :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'….”. (Q.S Al-Baqarah : 228)
Ayat diatas umum dan mencakup wanita hamil, maka ada ayat lain yang mengkhususkan bagi wanita hamil yang berbunyi :
وَأُوْلَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“…Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya…” (Q.S At-Talaq : 4)

2)    Kitab di-takhsis dengan sunnah

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ 
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan”. (Q.S An-Nisa : 11)
Ayat tersebut bersifat umum, yaitu mencakup anak yang kafir, kemudian ada hadits yang mengkhususkannya yaitu :
لا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الكَافِرَ، ولا يَرِثُ الكَافِرُ الْمُسْلِمَ
“Orang muslim tidak bisa wewarisi orang kafir (begitu juga sebaliknya) orang kafir tidak bisa mewarisi  orang muslim” (H.R Bukhari)

3)         Sunnah di-takhsis dengan kitab
لا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak akan menerima shalat salah seorang diantara kalian jika dia berhadats sampai dia wudhu”. (H.R Bukhari, Muslim)
Hadits tersebut adalah umum, yaitu termasuk dalam keadaan tidak memperoleh air, kemudian dikhususkan oleh ayat yang berbunyi :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
“…dan jika kalian dalam keadaan sakit, atau safar, atau salah seorang dari kalian datang dari tempat menunaikan hajat, atau kalian “menyentuh” perempuan, kemudian kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah kalian dengan debu yang suci…”. (Q.S An-Nisa : 43)
Hadits yang di-takhsis ayat tersebut hanya sekedar contoh karena mengenai takhsis sunnah dengan kitab mengandung beberapa kelemahan :
·         Harus ada keterangan bahwa hadits tersebut lebih dahulu adanya (wurudnya), daripada dalil yang mengkhsuskannya.
·         Hadits tersebut merupakan salah satu dalil syara yang bersifat dzanni, sedangkan ayat yang mengkhususkan bersifat qathi’.
·         Hadits tersebut  sejajar atau sama keumumannya dengan ayat Al-Qur’an yang berbunyi :

إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْ
“Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki…”. (Q.S Al-Maidah : 6)

4)         Sunnah di-takhsis dengan sunnah
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُوْنُ، أَوْ كَانَ عَثَريّاً : الْعُشُرُ، وَمَا سُقِيَ باِلنَّضْحِ: نِصْفُ الْعُشُرِ
“Pada pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan penyerapan akar (Atsariyan) diambil sepersepuluh dan yang disirami dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh”. (H.R al-Bukhari)
                  Hadits tersebut di-takhsis dengan hadits :
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسَاقٍ صَدَقَةٌ
“Hasil tanaman yang kurang dari 5 wasaq tidak ada kewajiban shadaqahnya” (H.R Bukhari dan Muslim)

5)         Takhis Al-Qur’an dengan Qiyas[18]
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera…”. (Q.S An-Nur : 2)
Ayat tersebut di-takhsis dengan ayat yang menerangkan hukum dera terhadap ammat yang hanya didera separuh dari ketentuan ayat yaitu 50 kali dera. Allah SWT berfirman dalam Q.S An-Nisa : 25
فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ
“…Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami…”. (Q.S An-Nisa : 25)
Sedangkan untk ‘abd diqiyaskan kepada ammat yaitu setengah dari ketentuan yang disebutkan diatas.
C.    Mutlaq dan Muqayyad

a.      Mutlaq
Secara etimologi kata Mutlaq (المطلق) berarti suatu hal yang bebas tanpa ikatan apapun[19]. Secara istilah Mutlaq dapat dipahami sebagai sebuah bentuk lafadz yang menunjukkan suatu hakikat tertentu tanpa terpengaruh oleh lafadz atau kata apapun dalam arti lain ia masi terbebas dari kata yang lain yang dapat memberikan batasan pada keluasan artinya. Dari pemahaman diatas dapat kita simpulkan bahwasanya Mutlaq ini pada umumnya hampir sama dengan Nakirah.
Contoh :
·         Al Insaan atau An Nass
·         Yeum Atau Ayyam
·         Sajarah Atau Asjer
·         Surah Al Mujadalah Ayat 3
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
“Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum kedua suami isteri itu bercampur”.(Q.S Al-Mujadalah : 3) [20]
Jadi posisi lafadz mutlaq pada ayat diatas terletak pada kata Hamba رَقَبَةٍ dalam artian posisi hamba disini luas, tidak terikat arti apapun selain arti kata hamba, baik itu hamba yang mukmin ataupun tidak.
b.      Muqoyyad
Muqayyad adalah :
ما د ل على فرد أو أفراد شائعة بدون قيد مستقل لفظا
"Lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atu beberapa satuan yang bersifat melingkupi, tanpa diiringi ikatan apa-apa yang terpisah”.[21]
Ketika penjelasan sebelum muqoyyad menyebut bahwasanya mutlaq adalah suatu lafadz yang hadir tanpa suatu pembatas dan menunjukkan suatu keluasan artinya, maka Muqoyyad dapat kita artikan sebagai suatu lafadz yang menunjukkan suatu istilah yang mengikat dan mempersempit atau dalam kata lain memperpendek keluasan artinya. Dari pemahaman diatas dapat disimpulkan bahwasanya, Mutlaq sifatnya umum dan dapat disamakan dengan Am, sedang Muqoyyad sifatnya khusus, atau bisa kita samakan dengan Khash.
Contoh            :
·         Yeumul Jum’ah
·         Al Insanu Indonesia
·         Surah An-Nisa ayat 92
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
 “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”. (Q.S An-Nisa : 92)
Pada ayat diatas lafadz yang menunjukkan adanya lafadz Muqoyyad terletak pada kalimat فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ yang artinya hanya boleh memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. Hal ini menunjukkan lafadz muqoyyad karena kata “hamba sahaya” disini dibatasi oleh kata mu’minatun atau kata setelahnya dalam arti lain hanya untuk hamba sahaya yang beriman saja.
c.       Ketentuan Hukum dalam Lafadz Mutlq dan Muqoyyad
Pada dasarnya, para ahli ushul fiqh sama-sama sepakat bahwa sifat hukum yang terdapat ataupun menunjukkan suatu lafadz mutlaq harus diamalkan sesuai dengan kemutlakannya, selama tidak ada satupun dalil yang mempersempit sifat kemutlakan hukum tersebut. Begitupun dengan lafadz muqayyid, ulama juga bersepakat akan pengamalan muqayyid dengan keharusan sesuai dengan muqayyidannya..[22]
Meskipun demikian, yang menjadi sebuah persoalan ialah bagaimana apabila terjadi kasus yang membuat kedua lafadz ini bertemu dalam satu hukum, di mana satu hukumnya menggunakan lafadz mutlaq dan di tempat lain menggunakan lafadz muqoyyad.
Pada penyelesain kasus tersebut, para ahli ushul fiqh membuat sebuah 5 opsi atau pilihan sebagai jalan keluarnya. Tetapi tidak semua opsi mereka sepakati.
1.        Yang disepakati

a)      Hukum dan sebab hukumnya sama

Apabila hukum Allah mengatakan bahwasanya dalam satu ayat mengatakan dengan lafadz muthlaq dan di ayat yang lain penggunaan kata dalam ayat tesebut memakai lafadz Muqoyyad maka yang perlu difahami adalah Lafadz muqoyyad adalah penjelas dari lafadz Muthlaq.

Contoh Muthlaq :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ

Diharamkan atasmu bangkai, darah dan daging babi....”. (Q.S Al-Maidah : 3)

Contoh Muqoyyad :

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ

Katakanlah, tidaklah aku peroleh di dalam wahyu yang diturunkan kepadaku, akan sesuatu makanan yang haram atas orang yang hendak memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi....”(Q.S Al-An’am 145)
Penjelasan       :

·         Ayat pertama mengatakan bahwa hukumnya adalah haram memakan darah baik darah yang beku maupun yang mengalir menunjukkan bahwa ayat pertama mempunyai lafadz mutlaq, dan ayat kedua hanya menyebut darah yang mengalir.
·         Sebab sama, yakni hendak dimakan
Dari ayat kedua ayat diatas maka yang diberlakukan adalah lafadz Muqoyyad, dalam arti lain lafadz mutlaq diikutkan kepada Lafadz Muqoyyad, akibatnya ketentuan hukum yang diberlakukan memakai ayat yang kedua yakni Darah yang mengalir adalah haram dan yang beku seperti limpa dan hati tidak haram.[23]
b)      Hukum dan Sebab hukumnya berbeda

Pada kondisi ini, dalam sebuah kasus hukum lafadz mutlaq dan lafadz muqoyyad sama-sama dimunculkan namun tidak memiliki keterkaitan dan tidak memiliki kesamaan sebab dan hukum yang sama.[24]

c)      Sebab hukumnya sama tapi hukumnya berbeda.
Jika dalam suatu kasus hukum kedua lafadz ini memiliki hukum yang sama namun memiliki perbedaan sebab, maka keduanya tetap pada artinya masing-masing[25]


2.    Yang masih diperselisihkan

a)      Sebab hukumnya sama, tapi sebabnya berbeda
Apabila yang berbeda adalah sebabnya maka ulama ushul fiqh berpendapat.
·         Imam Syaifii : Arti Lafadz mutlaq diikutkan pada arti lafadz Muqoyyad
·         Imam Hanafi – Imam Maliki : Keduanya memiliki arti masing-masing  dalam arti lain keduanya tetap pada artinya sendiri.[26]

b)         Sebab hukumnya sama , tetapi objek dan Hukumnya berbeda.
Ketika objek dan hukumnya berbeda meskipun sebab hukumnya sama, ulama ushul fiqih berbeda pendapat:
·         Kelompok Syafiiyah, Malikiyyah dan Hanabilah : mereka berpendapat bahwasanya lafadz mutlaq harus diikutkan pada lafadz muqayyad maka dari itu karena pandangan inilah zakat fitrah tidak diwajibkan bagi hamba sahaya.
·         Kelompok Hanafiyyah : mereka memiliki pendapat bahwa lafadz mutlaq tak harus diikutkan dengan lafadz muqayyad, yang pada akhirnya hukum zakat fitrah bagi hamba sahaya dalam pemahaman mereka masih dikategorikan wajib.[27]

D.    KESIMPULAN
Kaidah-kaidah ushul fiqh merupakan salah satu ilmu yang sangat penting dan diperlukan guna menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, khususnya dalam menetapkan hukum-hukum syari’ah. Sebagian diantara kaidah-kaidah dalam menafsirkan Al-Qur’an yang dirumuskan oleh pakar-pakar ushul fiqh itu berupa lafadz am dan khas, mutlaq dan muqayyad.
Amm adalah suatu perkataan yang memberi  pengertian umum dan meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam perkataan itu dengan tidak terbatas, misalnya al-Insanyang berarti manusia. Sedangkan lafadz Khas ialah lafadz yang berlaku bagi seseorang yang namanya disebutkan seperti Muhammad atau seseorang yang disebutkan jenisnya umpamanya seorang lelaki atau beberapa orang tertentu seperti tiga orang, sepuluh orang, seratus orang, sekelompok orang. Oleh karena itu, lafadz Khas tidak mencakup semua namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
Mutlaq ialah lafal-lafal yang menunjkkan kepada pengertian dengan tidak ada ikatan (batas) yang tersendiri berupa perkataan. Sedangkan  Muqayyad ialah suatu lafal yang menunjukkan atas pengertian yang mempunyai batas tertentu berupa perkataan.














DAFTAR PUSTAKA

Al Hakim, Sofian. “Konsep Dan Implementasi Al-‘Amm Dan Al-Khash Dalam Peristiwa Hukum Kontemporer”, Asy-Syari’ah. 17(1) : 2015.
Djalil, Basiq. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana,2010.
Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana,2005.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995.
Muslimin. Urgensi Memahami Lafaz ‘Am dan Khos Dalam Al-Qur’an, Tribakti Jurnal Pemikiran Keislaman. 23(2): 2012.
Suyatno. Dasar-dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Syarifuddin, Arif. Garis-garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Wahhab Khallaf, Abdul. Ilmu Ushul Fikih. Terjemahan oleh Faiz el Muttaqin. Jakarta: Pustaka Amani,2003.
Yusuf, Nasruddin. Pengantar Ilmu Ushul Fiqh. Malang: IKIP Malang, 2012.
Zein, Ma’shum. Menguasai Ilmu Ushul Fiqh. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2016.

Catatan:
1.      Similarity 11%.
2.      Untuk jurnal, yang ditulis miring adalah nama jurnalnya, bukan judul artikelnya. Judul tetap tegak tetapi diapit oleh tanda petik.
3.      Belum ada penjelasan mengenai dilalah qath’i dan zhanni dalam lafad ‘aam, dan ziyadah dalam lafad khas.














[1] Nasruddin Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh, (Malang: IKIP Malang, 2012), hlm. 101.
[2] Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2016), hlm. 279.
[3] Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 194.
[4] Nasruddin Yusuf, Op.Cit, hlm. 101-104.
[5] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), hlm.232.
[6] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm.111.
[7] M. Ma’shum Zein, Op.Cit. hlm.286.
[8] Suyatno, Op.Cit. hlm.195-196
[9]Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta : Kencana,2010), hlm. 87
[10]Sofian Al Hakim, “Konsep Dan Implementasi Al-‘Amm Dan Al-Khash Dalam Peristiwa Hukum Kontemporer, Asy-Syari’ah Vol. 17 No.1, April 2015,hlm. 81
[11] Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 191
[12] Ibid, 192
[13] Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu Ushul Fikih, Terj. Faiz el Muttaqin, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003), hlm286-287
[14] Suyatno,Op.Cit., hlm. 193
[15] Abdul Wahhab Khallaf, Op.Cit., hlm. 289
[16] Suyatno.Op.Cit., hlm. 194
[17] Basiq Djalil, Op.Cit., hlm. 88-93
[18] Muslimin, Urgensi Memahami Lafaz ‘Am dan Khos Dalam Al-Qur’an, Tribakti Jurnal Pemikiran Keislaman, Vol. 23 No. 2 Juli 2012,hlm. 113
[19] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana,2005), hlm. 187
[20] Depag. RI, Al-Qur’an
[21] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2012), hlm. 117
[22]Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2016),hlm. 330
[23]Ibid,hlm. 331
[24]Ibid, hlm. 332
[25]Ibid, hlm. 333
[26]Ibid, hlm. 334
[27]Ibid, hlm. 335

Tidak ada komentar:

Posting Komentar