Senin, 08 April 2019

'Am dan Khas, Muthlaq dan Muqayyad (PAI C Semester Genap 2018/2019)



AL-A’MM, AL-KHAS, DAN MUTLAK MUQAYYAD
Oleh: Hikmatul Laili (16110058), Ovie Pertiwi (16110085), Syachshiyatul Qanita Lilhaqiqiyah (16110167)
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Kelas “C” Tahun 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstrac
In scince of Ushul Fiqih, there are some of aspect for understand content in it, from languange and also text. in understanding all og aspect there in an indicator summarized in the science of Ushul Fiqih the name the rules of Ushuliyah. Where the rules of Ushuliyah discuss science of Ushul Fiqih in terms og language used undestand of editor from Al-Qur’an and As-Sunnah. In the rules of Ushuliyah related with the scince of Ushul Fiqih there are some the rules used, as: al-Amm’, al-Khas, and Mutlak Muqayyad. For understanding of Al-Qur’an and As-Sunnah in terms mean or pronouncitation expertise required, so the scholars created systematically the rules of Ushuliyah for help in giving discussion and explanation reasoning the science og Ushul Fiqih contained in the Al-Qur’an and As-Sunnah. Because, contained in the Al-Qur’an and As-Sunnah some are shaped amr (command), nahi (prohibition), takhyir (choice).
Keywords:Al-amm’, Al-Khas, dan Mutlak Muqayyad
Abstrak
Dalam ilmu Ushul Fiqih, ada beberapa aspek untuk memahami kandungan didalamnya, mulai dari bahasa dan juga teks.Dalam memahami semua aspek tersebut ada indikator yang terangkum didalam ilmu Ushul Fiqih, yang dinamakan dengan Kaidah Ushuliyah.Dimana Kaidah Ushuliyah membahas ilmu Ushul Fiqih dari segi bahasa yang digunakan untuk memahami redaksi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sendiri.Dalam Kaidah Ushuliyah yang berkaitan dengan ilmu-ilmu Ushul Fiqih ada beberapa kaidah yang digunakan, seperti al-Amm, al-Khas, dan Mutlak Muqayyad. Untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunah dari segi makna ataupun lafadz dibutuhkan keahlian yang mahir, oleh karena itu para ulama menciptakan secara sistematik Kaidah Ushuliyah untuk membantu dalam memberikan pembahasan serta penjelasan penalaran ilmu Ushul Fiqih yang tekandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab, kandungan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah ada yang berbentuk amr (perintah), nahi (larangan), dan takhyir (pilihan).
Kata Kunci: Al-amm’, Al-Khas, dan Mutlak Muqayyad
A.    Pendahuluan
Dalam ilmu Ushul Fiqih, terdapat beberapa indikator-indikator didalamnya. Salah satunya yaitu kaidah-kaidah ushuliyah yang  merupakan kaidah yang berkaitan dengan Lughawi atau segi bahasa. Kaidah-kaidah ushuliyah merupakan aspek penting dalam ilmu Ushul Fiqih sebab merupakan media yang digunakan dalam mempelajari kandungan yang terdapat dalam sumber fiqih yaitu al-Qur’an dan As-Sunnah.Dalam Kaidah Ushuliyah terdapat beberapa kaidah yang digunakan dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti Al-Amm’, Al-Khas, dan Mutlak Muqayyad.Kaidah-kaidah tersebut terangkum untuk memahami penalaran ilmu Ushul Fiqih yang dipelajari.Sebab dalam ilmu Ushul Fiqih tak hanya dipelajari saja tetapi untuk dipahami keseluruhan dalam segi lafadz dan juga teksnya.
Al-Amm’, Al-Khas, dan juga Mutlak Muqayyad merupakan kaidah yang memudahkan untuk mempelajari ilmu Ushul Fiqih berdasrakan sumbernya. Para ulama telah meciptakan kaidah-kaidah tersebut secara sistematik dan jelas dengan menggunakan metode tersebut.Agar tidak terjadi kekeliruan dalam mempelajari ilmu Ushul Fiqih.Secara garis besarnya, ada beberapa aspek dalam pemahaman Ushul Fiqih, yaitu aspek kebahasaan, aspek tujuan, dan juga aspek penjelasan tentang dalil yang bertentangan.Oleh karenanya, harus dipahami dengan jelas tentang ilu Ushul Fiqih dari segala aspeknya, salah satunya dari segi lafadz, makna, dan teksnya.
B.     Pembahasan
1.      Al-Amm’
a.      Pengertian Al-amm’
Mengenai pengertian Al-‘Amm sendiri para ulama ushul memberikan beberapa definisi atau pengertian yang berbeda-berbeda namun pada dasarnya mengandung maksud yang sama, walaupun redaksionalnya berbeda-berbeda satu sama lainya, semisal menurut Syaikh Al-Khudari mengatakan sebagai berikut :
العَامُ هُوَ اللَّفْظُ الدَّالُ عَلَى اسْتِغْرَاقِ أَفْرَادِ مَفْهُوْمٍ
Artinya:
“Al-‘Amm ialah lafal yang menunjukkan kepada pengertian dimana di dalamnya tercakup sejumlah objek atau satuan yang banyak”.[1]
Begitupula Zaky Al-din Sya’ban mendefinisikan atau mengartikan Al-‘Am sebagai berikut : “Al-‘Amm adalah suatu lafal yang di pakai yang cakupannya maknanya dapat meliputi berbagai objek didalamnya tanpa adanya batasan tertentu”.[2]
Sedangkan menurut Prof. Djazuli dan Dr. Nurol Aen dalam buku ushul fiqh metodologi hukum islam juga mendefinikan Al-‘Am sebagai berikut: “Al-’Amm adalah suatu lafad yang sengaja dikehendaki oleh bahasa untuk menunjukkan satu makna yang benar yang dapat mencakup seluruh satuan-satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu”.[3]
Sedangkan menurut Ja’far Amir dalam buku ushul fiqh 1 juga mendefinikan Al-‘Am sebagai berikut: “Al-‘Am adalah lafal yang mengandung arti umum yang menunjukkan banyak yang tak terbatas yang dapat meliputi atau mengenai semua yang pantas termasuk dalam arti lafal itu, sekaligus tercakup didalamnya, dengan tidak ada yang ketinggalan.”[4]
Dari semua definisi yang di sebutkan atau di kemukakan di atas baik oleh al khudori maupun zaky al-din sya’ban dan yang lainya esensinya tidak berbeda. dengan demikian, dapat di pahami bahwa hakikat keumuman lafal itu adalah karena lafal itu sendiri di lihat dari segi karakteristik dan nilainya mengandung arti yang banyak dan tidak menunjuk kepada objek tertentu saja. Dengan kata lain, suatu lafal di kategorikan kepada umum jika kandungan maknanya tidak memberikan atau mengatakan batasan jumlah objek yang tercakup di dalamnya. 
b.      Shighat-shighat al-Amm’
Selain dari pengertian, Al-Amm’ sendiri memiliki shighat-shighat.Shighat disini yang memiliki makna ucapan, ungkapan, serta lafal. Shighat-shighat dari al-Amm’ untuk memberikan faedah terhadap al-Amm’, antara lain:
1.      Lafadz    كل   (Setiap) dan  جميع(Seluruhnya). Sebagai contoh, sabda Rasulullah SAW, yang berbunyi:
كل راع مسؤولٍ عن رعيتِهِ
Artinya:
“Setiap pemimpin diminta pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya.”
Lafadz   كل  danجميع tersebut di atas, keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya.
2.      Lafadz Jamak (Plural) yang di ma’rifatkan dengan Idhafat
(إضافة) Atau dengan Alif-Lam al-Jinsiyat (ال الجنسية) sebagai contoh firman Allah dalam surat al-Nisa’(4) ayat 11, yang berbunyi:
يوصيكم الله فى أولاد كم...
Artinya:
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu”
Lafadz أولاد(anak-anak) dalam ayat di atas adalah jama’, dan dia adalah nakirat. Namun, karena lafadz tersebut di idhafat kan kepada lafadz كم. (kamu sekalian). Maka ia menjadi ma’rifat. Karena lafadz tersebut menunjukkan atas semua satu-satuan yang dapat di masukkan ke dalamnya.
3.      Lafadz Ism al-Mufrad  اسم المفرد yang di ma’rifatkan dengan alif-lam-al-jinsiyyat (ال الجنسيية) sebagai contoh firman Allah dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 275, yang berbunyi :
....واحل الله البيع وحرم الربا...
Artinya :
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..”
Kedua lafadz  البيع  (jual-beli) dan الربا(riba) adalah ism al-mufrad yang di ma’rifatkan dengan alif-lam al-jinsiyat. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat di masukkan kedalamnya.
4.      Lafadz Asma’ al-Maushul(اسماء الموصول ) , seperti Ma  (ما), al-Ladzina         الذين,al-ladzi,    الذىal-lati   التى  al-la’iy     اللأى, dan lain sebagianya. Sebagai salah satu contoh, firman Allah dalam surat al-Nisa’ (4) ayat 24, yang berbunyi :
...وَاحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذِلكٌمْ...
Artinya :“dan di halalkan bagi kamu selain yang demikian..”
Lafadz Ma  ما(sesuatu) dalam ayat tersebut adalah ism-al-maushul. Oleh karena itu, ia adalah ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat di masukkan ke dalamnya.
5.      Asma’ al-Syarth  اسماء الشرط , seperti   من  (barangsiapa), (apa saja) dan      ايما(yang mana saja). Sebagai salah satu contoh, firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 272, yang berbunyi:
...وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ...
Artinya:
“...Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan  (di jalan Allah), maka (pahalanya) untuk dirimu sendiri..”
Lafadz   ما (apa saja) dalam ayat tersebut adalah ism al-syarth. Oleh karena itu, ia adalah ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat di masukkan ke dalamnya.
6.      Asma’ al-Istifham ( أسماء الاستفهام = kata tanya), seperti  من (siapa), ماذا(apakah) dan   متى  (kapan). Sebagai salah satu contoh, firman Allah dalam surat al-Anbiya’ (21) ayat 59, yang berbunyi :
قَالُوامَنْ فَعَلَ هَذَا بِالِهَتِنَا...
Artinya:
“Mereka bertanya: “Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami...”
Lafadz   من(siapa) dalam ayat tersebut adalah ism al-istifham. Oleh karena itu. Ia adalah ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat di masukkan ke dalamnya..
7.      Ism al-Nakirat اسم النكرةdalam susunan kalimat Nafy (النفى=Negatif).Sebagai contoh, sabda Nabi yang berbunyi :
لا هجرة بعد الفتح
Artinya :"tidak wajib hijrah setelah mekah di taklukkan"
Lafadz هجرة  (hijrah) adalah ism al-Nakirat. Namun, karena lafadz tersebut dalam susunan kalimat nafy, yang di dahului oleh لاal-nafy, maka lafadz  هجرة mengandung arti umum, yaitu mencakup segala arti hijrah. Baik hijrah dalam arti meninggalkan suatu tempat menuju tempat yang lain maupun hijrah dalam arti meninggalkan larangan Allah menuju kepada sesuatu yang di ridlai Allah.
Seluruh lafadz di atas di maksudkan oleh bahasa untuk menunjuk kepada semua satuan-satuan arti yang terkandung di dalamnya.Apabila seluruh lafadz tersebut tidak di maksudkn demikian, maka lafadl-lafadl itu berlaku mujaziy, dan jika di artikan demikian, maka harus ada qarinat, (petunjuk) yang memalingkanya dari arti yang haqiqiy (sebenarnya) kepada arti yang majaziy.
c.       Macam-Macam Al-Amm’
Adapun mengenai macam-macam lafadz al-‘am jika di tinjau dari segi penggunaanya ada tiga macam yaitu sebagai berikut:[5]
1.      عام يرادبه قطعاالعم Artinya al-‘am yang secara pasti itu di maksudkan untuk umum. Yaitu al-‘am yang di sertai qorinat dapat meniadakan kemungkinan untuk di tashih. Seperti contoh firman Allah dalam surat Hud : 6 yang berbunyi
وَمَا مِنْ دَابَةٍ فِى الأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا...
Artinya :dan tidak ada se ekor binatang yang melata pun di bumi, melainkan Allah lah yang memberi rizkinya.
Secara umum kedua ayat tersebut saling berkaitan dengan sunnah Allah yang menjelaskan bahwa setiap binatang yang melata di muka bumi ini pasti di beri rizki, dan segala sesuatu yang hidup itu di ciptakan dari unsur air. Kedua ayat umum tersebut adalah qoth’i dalalatnya, dan meniadakan kemungkinan bahwa yang di maksud dari padanya adalah khusus.
2.      عام يرادبه قطعا الخصوصArtinya : al-‘am secara pasti di maksudkan untuk khusus. Yakni al-‘am yang di sertai qorinat yang dapat menghilangkan arti umumnya, dan menjelaskan bahwa yang di maksud dari padanya adalah sebagaian dari satuanya. Seperti contoh firman Allah dalam surat al-imran : 97 yang sebagai berikut:
...وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ...
Artinya :... mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah...
Lafad الناس(manusia) dalam ayat tersebut adalah ‘am, yaitu semua manusia. akan tetapi yang di maksudkan adalah husus yaitu orang-orang mukallaf, (dewasa dan berakal) saja. Karena menurut akal, Allah SWT tidak mewajibkan haji kepada orang-orang yang belum dewasa atau orang-orang yang tidak mempunyai akal.Petunjuk akal ialah yang menjadi qorinat yang menghilangkan arti umumnya lafad itu.
3.      عام مخصوصArtinya : ‘am yang husus untuk ‘am, yaitu ‘am mutlak. Yang di maksud adalah ‘am yang tidak di sertai qorinat yang menghilangkan kemungkinan di hususkan dan tidak di sertai pula qorinat yang menghilangkan keumumanya. Seperti contoh firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah : 228 yang berbunyi
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَصْنَ بِأَنْفسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءْ...
Artinya :wanita-wanita yang di talak hendaklah menahan diri (menunggu) sampai tiga kali suci...
Lafad المطلقات (wanita-wanita yang di talak) adalah ‘am makhsus. Karena tidak di sertai qorinat yang menghilankan kemungkinan kekhususan dan keumumanya. ia tetap dalam keumumanya selama belum ada dalil yang mengkhususkanya.
d.      Dalalat Al-Amm’
Jumhur al-ulama’, di antaranya syafi’iyah berpendapat bahwa lafadz Al-‘Am itu Zhanniy dalalat nya atas semua satuan-satuan yang di dalamnya. Demikian pula lafadz al-‘am, setelah di takhshis, sisa satuan-satuanya juga zhanniy dalalatnya, hingga terkenal lah di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyyat yang berbunyi :[6]
ما من عام ألا خصص
Artinya :setiap dalil yang ‘am harus di takhshis
Oleh karena itu ketika lafadz ‘Amm di tentukan hendaklah berusaha di carikan pen-takhsishnya. Atas dasar pendapat jumhur ulama’ tersebut di atas kiranya, dapat di pahami bahwa lafadz al-‘am itu baik sebelum maupun sesudah di-takhshis, zhanniy dan dalalatnya atas satuan-satuanya. Karena lafadz al’Am itu di maksudkan oleh bahasa untuk menunjuk semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa terkecuali.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut di atas terlihat ada perbedaan. Bagi jumhur ulama’ sejak semula, lafadz al-‘am itu zhanniy dalalatnya. Oleh karena itu dapat di-takhsis dengan dalil zhanniy lainya seperti khabar ahad atau qiyas.Sedangkan bagi ulama’ hanafiyah, karena lafad al’am itu sejak semula qath’iy dalalatnya. Maka ia tidak dapat di takhshis dengan dalil zhanniy lainya seperti khabar ahad atau qiyas .sedangkan bagi ulama hanafiyah, karena lafadz al’am itu sejak mula qath’iy dalalatnya, maka ia tidak dapat di takhshis kecuali dengan dalil qath’iy. Oleh sebab itu dalil zhanniy, seperti khabar ahad dan qiyas tidak dapt men takhshis lafadz ‘am.Sebagai contoh, Ulama Hanafiyah mengharamkan memakan daging binatang yang disembelih tanpa menyebut basmallah, karena adanya firman Allah dalam surat al-An’am (6) ayat 121, yang bersifat umum,yang berbunyi:
ولا تأكلوا مما لم يذكر اسم الله عليه..
Artinya :Dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak di sebut nama Allah ketika menyembelihnya..
Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat di takhshis oleh hadits Nabi yang berbunyi :
المسلم يذبح على اسمى أولم يسم.
Artinya: “ Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar menyebutnya atau tidak. “(H.R. Abu Daud)
Alasanya adalah bahwa ayat tersebut qath’iy, baik dari segi wurud (turun) maupun dalalatnya, sedangkan hadits Nabi itu hanya zhanniy wurud-nya, sekalipun qath’iy dalalatnya.Ulama Syafi’iyah membolehkan memakan daging binatang yang di sembelih orang islam tanpa basmalat, dengan alasan bahwa ayat itu, menurut mereka, dapat di takhshis dengan hadits tersebut. Karena dalalat kedua dalil itu sama-sama zhanniy. Lafadz al-‘am pada ayat itu zhanniy dalalat nya, sedang hadits zhanniy pula wurud-nya dari Nabi Muhammad SAW.
2.      Al-Khas
a.      Pengertian al-Khas
Kata al-Khas atau Khas berasal dari isim fail yang merupakan kata kerja. خصص – يخصص – يخصيصا – خاص yang memiliki arti “Yang menghususkan atau menentukan”. Adapun yang dimaksud dengan lafal al-Khas yaitu lafal yang menampakkan maksud dan pengertian yang lebih spesifik.[7] Lafal al-Khas merupakan lafal yang sengaja memperlihatkan pengertian tertentu secara mandiri. Lafal al-Khas juga lafal yang dilalahnya menunjukkan satu orang saja.[8]Jadi al-Khas merupakan menentukan jumlah dari sekumpulan yang mungkin dan tak terbatas. Maksud dari tak terbatas disini lebih spesifiknya laki-laki muslim saja atau perempuan muslim saja dengan jumlah tak terbatas disetiap waktu dan tempat.[9]
Beberapa pendapat ulama berbeda-beda dalam memberikan pendapatnya tetapi pada hakikatnya definisi dari pengertian al-Khas adalah sama. Definisi mengenai al-Khas berupa penggalan seperti berikut:
هواللفظ المو ضوع لمعنى واحد معلوم على الانفراد
Artinya:
“Suatu lafazh yang dipasangkan pada suatu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal”.
Dan adapun pendapat menurut al-Badzdawi mengenai definisi dari al-Khas yang terdapat dalam penggalan sebagai berikut:
كل اللفظ وضع لمعنى واحد على الانفراد وانقطاع المشاركة
Artinya:
“Setiap lafazh yang dipasangkan pada satu arti menyendiri dan terhindar dari makna lain yang (Musytarak)”.
Dalam pertanyaan diatas tersebut, al-Badzdawi mengeluarkan lafazh Mutlaq dan lafazh Musytarak dari bagian lafaz Khas. Pendapat yang dikemukakan oleh al-Badzdawi tersebut sepaham dengan sebgaian ulama Syafi’iyah.[10]
b.      Hukum al-Khas
Hukum dari al-Khas adalah global. Maksud dari global yaitu apabila terdapat nash syar’i yang memperlihatkan dalil qath’i, terdapat makna dari Khas yang ditempatkan secara hakiki. Dan dalam penetapan hukum sebagai jalan yang menunjukkan qath’i bukan dzan.[11] Dan lafazh nash yang terdapat dalam syara’ menunjukkan satu makna tertentu yang pasti dan jelas selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Dengan demikian, selama suatu kemungkinan terdapat arti lain yang tidak dilandasi dengan dalil, maka ke-qath’ian dilalahnya tidak terpengaruhi. Seperti contohnya:
فمن لم يجد فصيام ثلا ثة ايام
Artinya:
“Barang siapa yang tidak menemukan (Binatang qurban atau tidak mampu), maka wajib baginya berpuasa tiga hari dalam masa haji.” (QS Al-Baqarah ayat 196)
      Lafadz Tsalatsa merupakan al-Khas sebab tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari tiga hari. Sehingga makna dari lafadz menjadi qath’iyah dan begitupun juga hukumnya menjadi qath’i.
c.       Macam-macam lafadz al-Khas
Macam dari lafadz Khas itu banyak, menyesuaikan dengan keadaan dan sifat yang dipakai dari lafadz itu sendiri. Terkadang berupa mutlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun. Terkadang juga berbetuk muqayyad yang dibatasi oleh qayyid. Kadang berbentuk amr (perintah) dan kadang juga berbentuk nahyi (larangan). Dengan demikian, macam-macam dari lafadz al-Khas mencakup: Mutlaq, Muqayyad, amr, nahyi.
d.      Dalalah al-Khas
Para ulama telah sepakat bahwa lafadz al-Khas adalah qath’i. Para ulama berpendapat bahwa al-Khas dalam sifat ke qath’ianya sudah jelas dengan sendirinya sehingga tidak mungkin mempunyai penjelasan lain atau perubahan makna.[12] Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa  “sesungguhnya lafadz Khas memiliki arti secara tersendiri, berarti lafadz Khas sudah jelas dan tegas dengan ketentuan lafadz itu sendiri. Jika lafadz Khas mengalami perubahan dengan penjelasannya pasti itu menetapkan apa yang sudah tetap dan menolak yang sudah tertolak”. Jadi kesimpulan dari pendapat diatas: 1) Lafadz Khas tidak memerlukan penjelasan lain, sehingga mengambil hukum dari satu dari dilalah lafadz Khas. 2) Setiap perubahan hukum nash dengan yang lain dipandang sebagai penghapus hukum bukan penjelasan.
Sedangkan golongan Jumhur Ulama, seperti golongan Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa sekalipun lafadz Khas dilalahnya qath’i namun tetap memiliki kemungkinan perubahan makna soal wadha’nya (asal pemasangan). Jadi kesimpulanya dari pendapat diatas: 1) nash Khas menerima penjelasan dan perubahan. 2) Lafadz Khas Al-Qur’an menurut pandangannya tetap menerima penjelasan dan perubahan. Oleh karena itu lafadz Khas mungkin saja berubah penjelasanya.
3.      Mutlak Muqayyad
a.      Pengertian
Mutlak ialah lafaz yang bermakna suatu hakikat tanpa sesuatu qayid (pembatas).Maksudnya merujuk ke satu individu tidak tertentu dari hakikatnya.Lafaz mutlak dalam pandangan luas dari kata nakirah dalam konteks kalimat positif. Contohnya kata رقبة (seorang budak) daal ayat فَتَحْرِيْرُرَقَبَةً “… maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak..” (al-Mujadalah/58: 3). Maksud pernyataan tersebut yaitu pembebasan seorang budak mencakup semua jenis budak, entah budak mukmin ataupun kafir.Kata “raqabah” ialah nakirah di dalam konteks positif. Dalam definisi ayat tersebut dapat kita simpulkan wajib atasnya memerdekakan seorang budak dengan jenis apa saja. Sebagaimana Nabi Muhammad berkata “Tak ada pernikahan tanpa seorang wali.” (Hadis Ahmad dan empat Imam).Maksud “wali” ialah mutlak, meliputi semua jenis wali entah yang berakal sehat ataupun tidak.Oleh sebab itu Ulama Ushul mengartikan mutlak dengan “suatu ungkapan tentang isim nakirah dalam konteks positif”.Kata-kata “nakirah” mengecualikan isim ma’rifah dan semua kata yang mengungkapkan sesuatu yang tertentu. Kata dalam konteks positif mengecualikan isim nakirah dalam konteks negative (nafy), karena nakirah dalam konteks negatif memiliki makna umum, seperti semua individu yang tergolong jenisnya.[13]
Mutlaq yaitu perkataan yang mengarahkan satu atau beberapa obyek yang menyebar tidak ada ikatan bebas menurt lafal.Muqayyad yaitu perkataan yang mengarahkan satu obyek ataupun ada beberapa obyek menyebar luas dengan ikatan menurut lafal.[14] Muqayyad ialah lafaz yang menyebutkan suatu hakikat dengan qayid (batasan), misalnay kata-kata “raqabah” (budak) yang dibatasi dengan “iman” dalam ayat مُؤْمِنَةً  فَتَحْرِيْرُرَقَبَة “…(hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman…” (an-Nisa’/4 : 92).[15] Persoalan mutlaq (mutlak) dan muqayyad (bersyarat) sama halnya dengan kasus al-a’mm (umum) dan al-khas (khusus), namun al-a’mm dan al-khas langsung terkait dengan penerapan hukum, berbeda dengan mutlaq (mutlak) dan muqayyad (bersyarat) saling terkait dengan kondisi yang berbeda-beda dan sifat-sifat hukum sendiri. Al-a’mm dan al-khas terkait suatu tatanan yang terkadang meliputi semua bentuk penerapan hukum yang tidak sama, yang hanya sebagian karena memiliki alasan tersendiri, ialah pengecualian dari yang umum. Namun, persoalan mutlaq dan muqayyad berelasi dengan hakikat dan watak dari kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku kewajiban tadi.Bila hakikat dan watak dari kewajiban tersebut tidak mempunyai syarat terttentu, itu bermakna muqayyad.
Contohnya, saat pengambilan zakat dari umat muslim, Nabi diperintahkan untuk memberi do’a untuk mereka. Perintah tersebut tidak bersyarat, saat apa Nabi mendo’akan mereka dengan suara yang lantang maupun pelan, seperti Nabi mendo’akan saat bersama-sama maupun ketika sendiri. Saat tidak memiliki bukti lain maupun dalil yang dari al-Qur’an dan hadis yang bisa dipercaya yang bisa membuat slaah satu dari dua syarat yang sudah dijelaskan diatas tadi, kita bertindak mengikuti makna tak bersyarat dari ayat tadi. Contohnya : bahwa do’a itu mutlaq kepada muqayyad, yang bermakna kita wajib melihat kalimat mutlaq yang diberi syarat dari kalimat muqayyad dan sebab itu ditafsirkan yang mutlaq sebagai muqayyad.[16]
b.      Macam-macam Mutlak Muqayyad
1.      Sama dalam hal sebab dan hukumnya.
Misalnya “puasa” untuk kafarah sumpah. Lafaz dalam qira’ah mutawatir yang ada dalam mushaf dikatakan mutlaq :فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ ۚ “…Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar)…” (QS. Al-Maidah : 89). Muqayyad maupun dibatasi isyilah kata “tatabu’ (berturut-turut)” didalam qira’ah Ibn Mas’ud yang artinya maka kafarahnya puasa selama tiga hari beruntun. Dengan begitu, definisi lafaz mutlaq dibawa kepada muqayyad yang maksudnya lafaz mutlaq yaitu sama dengan yang dimaksud dari lafaz muqayyad), karena “sebab” yang satu tidak ingin dua hal yang saling menentang.
2.      Sebab sama tapi hukumnya berbeda.
Misalnya kata “tangan” saat berwudhu dan tayamum.Membasuh tangan saat berwudhu dibatasi cukup sampai dengan siku. Sebagaimana firman Allah SWT.:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…” (Al-Maidah/5: 6).Sedang mengusap tangan dalam bertayamum tidak dibatasi, mutlaq, sebagaimana
Dengan penjelasan diatas, ada pendapat lafaz yang mutlaq tidak dibawa kepada yang muqayyad karena berlainan hukumnya.Tapi, al-Ghazali berpendapat dari ulama Syafi’i bahwa mutlaq tersebut dibawa kepada muqayyad karena “sebab” nya sangat berbeda hukumnya.
3.      Sebabnya berbeda namun hukumnya sama.
Ada dua bentuk:
a.       Taqyid maupun batasannya hanya satu. Seperti pembebasan budak dalam hal kafarah. Budak yang dibebaskan dengan syarat wajib budak “beriman” dalam kafarah pembunuhan tidak tersengaja. Sebagaimana firman Allah SWT. :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman…” (QS. An-Nisa’/4: 92). Dalam kafarah zihar dikataakn mutlaq.
Ada beberapa pendapat ulama’, seperti ulama’ Maliki dan ulama’ Syafi’I mengemukakan pendapat yaitu lafaz yang mutlaq wajib dibawa kepada ynag muqayyad tanpa ada dalil lain. Oleh sebab itu, tidah hanya memerdekakan budak yang kafir dalam kafarah  zihar dan melanggar sumpah. Dan ulama’ Hanafi berpendapat yaitu lafaz yang mutlaq tidak bisa dibawa kepada yang muqayyad kecuali ada dalilnya.Bisa dikatakan sudah cukup memerdekakan budak yang kafir dalam kafarah zihar dan melanggar sumpah.
b.      Taqyidnya berbeda-beda. Seperti “puasa arafah”, bisa ditaqyidkan dengan beruntun alam kafarah pembunuhan. Sebagiamana firman Allah SWT. :“...Barangsiapa yang tidak memperolehnya (hamba sahaya), maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah...”(QS. An-Nisa’/4: 92). Begitupun  dengan kafah zihar, sebagaimana Allah SWT telah berfirman:“Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur….”  (QS. Al-Mujadalah/58: 4).Dengan penjelasan tersebut, puasa kafarah setiap orang yang melakukan haji tamattu’ ditaqyidkan (dibatasi) dengan terjeda-jeda atau bermakna puasa tidak bisa dilakukan secara beruntun.
4.      Sebab berbeda dan hukumnya berlainan. Contohnya “tangan” dalam berwudhu dan dalam pencurian. Dalam berwudhu, dibatasi sampai batas siku, namun dalam kasus pencurian dimutlaqkan tidak dibatasi. Sebagiamana firman Allah SWT. :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya ….” (QS. Al-Maidah/5: 38).Hal tersebut, misalnya mutlaq tidak bisa dibawa kepada muqayyad karena “sebab” dan “hukum”-nya berlainan. Hal tersebut tidak ada kontradiksi (ta’arud) sekecil apapun.[17]
c.       Hal-Hal yang diperselisihkan Mutlak Muqayyad
1.      Kemutlaqan dan kemuqayyadan terdapat pada sisi hukum.
Tapi, kasus “maudu’” dan hukumnya sama. Pendapat para jumhur ulama mulai dari Syafi’iyah.Hanafiyah, dan Malikiyah, dalam kasus ini wajib membawa mutlaq dan muqayyad.Jadi, pendapat mereka tidak mewajibkan zakat fitrah kepada budak.namun ulma’ Hanafiyah tidak mewajibkan membawa lafaz mutlaq pada muqayyad.Jadi, ulama’ Hanafiyah mewajibkan zakat fitrah atas budak secara mutlaq.
2.      Mutlaq dan muqayyad ada nash yang sama hukumnya, tapi sebabnya berbeda.
Kasus ini juga sering diperselisihkan.Ulama Hanfiyah berpendapat, tidak boleh membawa mutlaq pada muqayyad, namun masing-masing dilihat dari kecocokan dengan sifatnya.Jadi, ulama Hanafiyah, dalam kafarat zihar tidak mensyaratkan budak mukmin. Bertolak belakang pendapat jumhur ulama’ , yang mengharuskan membawa mutlaq kepada muqayyad secara mutlaq. Tapi, ulama’ Syafi’iyah berpendapat mutlaq dibawa pada muqayyad saat ada illat hukum yang sama, yaitu dengan jalan qiyas.[18]
C.    Penutup
Dari penjelasan artikel diatas, pembahasan mengenai kaidah Ushuliyah mengenai aspek Lughawi telah dijelaskan. Mulai dari pengertian mengenai al-Amm’, al-Khas, dan Mutlak Muqayyad telah dijabarkan. Pengertian dari masing-masing tentulah berbeda dan disertai dengan penjelasan dari beberapa ulama. Jadi dapat disimpulkan dari beberapa kaidah Ushululiyah yaitu al-Amm’, al-Khas, dan Mutlak Muqayyad sebagai berikut:
·         Al-Amm’ adalah lafadz atau kata yang mencakup seluruh bagian sesuai dengan satu kondisi. Maksudnya, lafadz ini mencakup semua mukhatab yang berdiri sendiri yaitu mereka yang memiliki kesamaan dalam ciri utama seperti laki-laki atau perempuan, sehingga lafadz mencakup mereka semua.
·         Sedangkan al-Khas adalah menentukan jumlah dari sekumpulan yang mungkin dan tak terbatas. Maksud dari tak terbatas disini lebih spesifiknya laki-laki muslim saja atau perempuan muslim saja dengan jumlah tak terbatas disetiap waktu dan tempat.
·         Mutlaq adalah suatu lafal yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya. Sedangkan muqayyad adalah suatu lafal yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Khudhari Biek Syaikh Muhammad.Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Amani. 2007
Amir, Ja’far, Ushul Fiqih 1. Semarang: C.V. Toha Putra 1968.
Al.Qattan Khalil Manna’.Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa. 2015
Dahlan, Abd. Rahman. USHUL Fiqih. AMZAH: Jakarta. 2011.
Karim, A. Syafi’i. FIQIH USHUL FIQIH. Pustaka Setia Bandung: Bandung. 1997.
Khallaf, Syekh abdul Wahab. ILMU USHUL FIKIH. PT Rineka Cipta: Jakarta. 2005.
Muthahhari Murtadha, dkk.Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan. Ciputat: Pustaka Hidayah. 1993
Nurul AenDjazuli,Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
SA, Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Sieny, Saeed Ismaeel. USHUL FIQIH APLIKATIF. Darul Ukhuwah Publisher: Malang. 2017.
Syafe’i, Rachmat. ILMU USHUL FIQIH. Pustaka Setia Bandung: Bandung. 1998.

Catatan:
1.      Similarity 24%.
2.      Gelar (Prof. Dr. dll) dalam karya tulis ilmiah tidak perlu ditulis, apalagi dalam footnote.
3.      Pembahasan ‘am bagus, tetapi menurun di pembahasan khas.
4.      Pelajari lagi cara penulisan footnote dan daftar pustaka.



[1]Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999).hlm. 195
[2]Ibid, Hlm 196
[3]Djazuli dan Nurul Aen,Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada). hlm. 331
[4] Ja’far Amir, Ushul Fiqih 1. (Semarang: C.V. Toha Putra 1968).hlm. 72
[5]Djazuli dan Nurul Aen,Op. Cit. hlm. 338
[6]Djazuli dan Nnurul Aen,Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam.PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta. hlm. 331
[7]Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, MA. USHUL Fiqih. AMZAH: Jakarta. 2011. Hlm 273
[8]Drs. H. A. Syafi’i Karim. FIQIH USHUL FIQIH. Pustaka Setia Bandung: Bandung. 1997. Hlm 196
[9] Dr. Saeed Ismaeel Sieny. USHUL FIQIH APLIKATIF. Darul Ukhuwah Publisher: Malang. 2017. Hlm 122
[10]Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A. ILMU USHUL FIQIH. Pustaka Setia Bandung: Bandung. 1998. Hlm 187
[11]Syekh abdul Wahab Khallaf. ILMU USHUL FIKIH. PT Rineka Cipta: Jakarta. 2005. Hlm 242
[12]Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A. Op. Cit. Hlm 190
[13]Manna’ Khalil al-Qattan.Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. (Bogor: Pustaka Litera Nusa, 2015). Hal.350

[14] Syaikh Muhammad Al-Khudhairi Biek. Ushul Fiqh. (Jakarta: Pustaka Amani, 2007). Hal. 421-422
[15]Ibid. Studi Ilmu-ilmu Qur’an.hal. 351
[16]Murtadha Muthahhari, dkk. Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan.(Ciputat: Pustaka Hidayah, 1993). Hal.160
[17] Ibid. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. hal. 351-357
[18]Rachmat Syafe’I. Ilmu Ushul Fiqh. (Bnadung: Pustaka Setia, 1999).Hal. 213-214

Tidak ada komentar:

Posting Komentar