Minggu, 08 April 2018

Hadis dilihat dari Aspek Kualitas (PIPS A Semester Genap 2017/2018)




Hadist di Tinjau dari Aspek Kualitasnya
P.IPS A
Annisa Yuris Din Assyifa       (16130076)
Yuni Dwi Irmawati                 (16130080)
Asti Fathimatin Hamdiyah     (16130152)

Abstract
The science of Al-Jarh wa al-Ta'dil is the science that explains the disability and cleanness of a hadith-speakers by using special words, as well as assessing whether his history is accepted. the science of al-Jarh wa al-Ta`dil is to determine whether a person's transmission is acceptable or rejected altogether. If a narrator is badly judged by the experts, his or her history must be rejected, and if a narrator is touted as a just person, his or her history is accepted, as long as the other conditions are met.The narrators of hadith are not of the same degree, whether in terms of justice or dhabith's and hapalannya. In the aspects of memorization: there are perfect, some are not good in hapalan or accuracy, and some are often forgotten and wrong when they enter the category of people who are fair and trust, in addition there are also included in the group of liars. The condition of these different and storied narrators of hadith - then with the permission of Allah - is revealed through the work of all jawarih the hadith scholars who tirelessly work to authenticate the hadith. After that they also set jarh and ta`dil ranking along with the determination of the pronunciations that indicate the different levels of the speakers of hadith.
Keywords: science of Al-Jarh wa al-Ta`dil, sahih, daif, narrator


A.    PENDAHULUAN
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hadist mutawatir memberikan pengertian yang yaqin bi al-qath’, artinya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuannya) di hadapan para sahabat berdasarakan sumber-sumber yang bayak dan mustahil mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenaran  sumbernya sungguh telah meyakinkan, maka ia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi, baik terhadap sanad-nya maupun matan-nya. Berbeda dengan hadist ahad yang hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita untuk mengadakan penyeledikan, baik terhadap matan maupun sanad-nya, sehingga status hadist tersebut menjadi jelas, apakah dapat diterima sebagai hujjah atau ditolak.[1]
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadist membagi hadist dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadist shahih, hadits hasan, dan hadist dha’if.[2]
Karena hadist mutawatir sebagaimana telah dijelaskan, pasti shahih, maka pembagian tiga macam tersebut adalah berdasarkan nilai dari hadist ahad. Ulama yang pertama kali mengadakan pembagian tiga macama tersebut adalah Imam Turmudzi kemudian diikuti oleh ulama’-ulama’ berikutnya. Sebelum Imam Turmudzi Ulama’ hadist membaginya hanya dua macam yakni hadist shahih dan hadist dha’if, hanya saja hadist dha’if itu ada dua macam yakni:
1)      Hadist dha’if yang tidak dapat/ tidak boleh diamalkan dan dipakai hujjah dan
2)      Hadist dha’if yang tidak seberapa kelemahannya sehingga tidak ada halangan untuk dipakai hujjah.
Hadist macam inilah yang oleh Imam Turmudzi serta ahli hadist berikutnya disebut hadist hasan.[3]



B.     HADIST SHAHIH
Hadist shahih adalah hadist yang sanadnya bersambung, di kutip oleh orang yang adil lagi cermat daeri orang yang sama, berakhir sampai pada Rasulullah SAW, atau sahabat, atau tabi’in tidak terdapat syadz dan tidak mempunyai illat[4]
Hadist shahih didefinisikan sebagai sebuah hadist yang sanadnya muttashil (bersambung) sampai kepada Nabi Muhammad SAW, melalui rawi-rawi dengan karakteristik moral yang baik (‘adl) dan tingkat kapasitas intelektualitas (dlabth) yang mempuni, tanpa ada kejanggalan dan cacat, baik dalam matan maupun sanadnya.[5]
Istilah hadist shahih merupakan bagian hadist ahad maqbal dilihat dari segi kualitasnya. Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan defisininya, namun dari beberapa definisi itu dapatlah dirumuskan bahwa hadist shahih adalah hadist yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang-orang adil, kuat ingatannya, serta terhindar dari kejanggalan-kejanggalan dan illat[6]
Shahih menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah , beberapa ahli memberikan definisi antara lain sebagai berikut:
1)      Menurut Ibn al_shalah, hadist shahih adalah “hadist yang sanadnya bersambung (muttashil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat.
2)      Menurut Imam al-Nawawi, hadist shahih adalah “hadist yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh para perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.
Dari definisi di atasa dapat dipahami bahwa syarat-syarathadist shahih adalah pertama, sanadnya bersambung. Kedua, perawinya bersifat adil, ketiga, perawinya bersifat dhabith. Keempat, matannya tidak syaz. Dan kelima, matnnya tidak mengandung illat.[7]
1)      Ittisholus sanad artinya bersambung-sambung sanadnya mulai dari awal sanad sampai dengan akhir sanad tidak boleh ada yang putus atau gugur perawinya. Sebagaimana contoh hadist: (buku ilmu mushthalah hadist hlm 35)
2)      Semua perawinya yang meriwayatkan hadist itu adalah adil. Pengertian adil, disamping orang-orang itu harus mulim, baligh, dan berakal sehat para ulama’ berbeda pendapat tentang sifat yang lain yangb harus ada. Sebagian ulama’ mengatakan harus tidakpernah berbuat dosa besar dan tidak menjalankan dosa kecil yang berulang kali, sebagian lagi berpendapat bahwa ialah orang yang selalu terbiasa dalam perbuatan-perbuatan taat dan menjaga muruahnya ( kehormatannya) sesuai dengan kedudukannya.
3)      Semua perwainya hadur bersifat dhabith, dhabith artinya orang yang hafal serta teliti sehingga ia hafal apa yang ia dengan dan ia dapat mengeluarkannya dengan mudah bilamana dikehendakinya. Jadi mereka mempunyai tiga fungsi otak yang baik yakni:
a)      Dalam retention (mengecamkan)
b)      Remembering (mengingat)
c)      Recalling ( memproduksi kembali)
Pengertian dhabith sebagaimana tersebut dinamakan dhabith shadran. Selain dhabith sadran adapula dhabith kitaban maksudnya cukup bersungguh-sungguh dan berhati-hati di waktu menuliskan apa yang di dengarnya, terhindar dari kekeliruan atau salah, kemudian ia memeliharanya tulisan itu dengan baik.sehingga di waktu ia hendak menyampaikannya tulisan tersebut kepada orang lain, masih tetap seperti keadaan semula.
1)      Hadist itu selamat dari syadz. Syadz menurut bahasa berarti menyendiri.yang dimaksud di sini ialah bahwa sanad atau matan yang diriwayatkan orang yang tsiqah (oramg adil lagi dhabith), tetapi sanad atau matan itu menyalahi riwayat orang yang lebih tsiqah. Atau hadist itu menyalahi riwayat beberapa orang tsiqah yang lain dengan adanya tambahan atau pengurangan dari hadist itu.
2)      Hadist itu selamat dari illat qadihah, maksudnya hadist itu tidak terdapat di dalamnya cacat-cacat yang dapat mencacatkan hadist itu, baik cacat tersebut dalam sanad seperti tampaknya sanad itu bersambung-sambung ternyata terputus,atau tampaknya sabda Nabi saw, tetapi nyatanya hanya kata sahabat.
Kalau hadist itu sudah memenuhi lima syarat sebagaimana diatas, Jumhur Ulama’ sudah sepakat menetapkan bahwa hadist itu menrupakan hadist shahih.[8]
Sebuah hadist yang dikatakan shahih terkandung arti bahwa hadist tersebut telah memenuhi criteria keshahihan suatu hadist, seperti yang telah disebutkan di atas. Namun tidak serta merta bisa dipastikan bahwa hadist tersebut benar-benar  merupakan sabda Nabi Muhammad SAW. Sebalikmya, jika terdapat sebuah hadist dikatakan bahwa hadist tersebut tidak shahih, maka maksud dari pertanyaan itu bahwa sistem sanad hadist tersebut tidak memenuhi criteria sanad yang dibutuhkan suatu hadist shahih. [9]
Selanjutnya hadist shahih dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, hadist shahih lidzatih, yaitu hadist shahih dengan sendirinya. Artinya, hadist tersebut dengan sendirinya telah memiliki lima criteria di atas. Kedua, hadist shahih lighairih, yaitu hadist yang keshahihannya dibantu oleh adanya keterangan lain. Pada mulanya kategori hadist ini memiliki kelemahan pada aspek ke-dhabith-an perawinya sehingga nilainya hanya sampai pada tingkatan hasan lidzatih. Tetapi, hadist tersebut dikuatkan oleh keterangan lain, baik berupa syahid maupun muttabi’ (matan atau sanad lain) yang menguatkan kandungan matan-nya sehingga hadist tersebut naik derajatnya setingkat lebih tinggi menjadi shaih lighairih.[10]
a)      Hadist shahih lizatih.
Hadist shahih lizatih adalah hadist yang memenuhi secara lengkap syarat-syarat hadist shahih.
Contoh :
Artinya:
“bukhari berkata: “Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah SAW bersabda : “apabila mereka bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa ikut serta orang ketiga”(HR. Bukhari)
Hadist diatas diterima oleh Bukhari dari Abdullah bin Yusuf. Abdullah bin Yusuf menerimanya dari Malik, Malik menerimanya dari Nafi’, Nafi’ menerimanya dari Abdullah, dan Abdullah itulah sahabat Nabi yang mendengar Nabi SAW bersabda seperti tercantum di atas. Semua nama-nama tersebut, mulai dari Bukhari sampai dengan Abdullah (sahabat) adalah rawi-wari yang adil, zabit, dan benar-benar bersambung. Tidak ada cacat, baik pada sanad maupun pada matan. Dengan demikian hadist diatas termasuk haidst shahih lizatih.[11]

b)      Hadist shahih lihghairihi
Contoh hadist shahih lighairihi, ialah hadist Bukhari dari Ubay bin Al-Abbas Bin Sahal dari ayahnya ( ‘Abbas) dari neneknya (Sahal) katanya:

Ubay bin Al-Abbas oleh Ahmad, Ibnu Ma’in dan An-Nasa’iy dianggap rawy yang kurang baik hafalannya. Oleh karena itu, hadist tersebut berderajat Hasan lidzatihi. Tetapi oleh karena Hadist Ubay terebut mempunyai mutabi’ yang diriwayatkan oleh Abdul Muhaimin, maka naiklah derajatnya dari Hasan li-dzatih menjadi shahih lighairih.[12]

Kedudukan hadist shahih sebagai sumber ajaran silam lebih tinggi daripada hadist hasan dan hadist dhaif, tetapi di bawah kedudukan hadist mutawatir. Sebagian ulama menentukan urutan tingkatan (martabat) hadist shahih sebagai berikut:Hadist shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
1)      Hadist shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari sendiri.
2)      Hadist shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama dengan memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim (berarti rawi-rawinya terdapat dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim).
3)      Hadist shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama, dengan memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari sendiri.
4)      Hadist shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama yang terpandang (mutabar).
Semua ulama sepakat menerimah hadist shahih mutawatir sebagai sumber ajaran silam atau sebagai hujjah, baik dalam bidang hokum, ahklak, maupun dalam bidang akidah. Siapa yang menolak hadist shahih mutawatir dipandang kafir.[13]

C.    HADIST HASAN
Menurut bahasa hasan artinya sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Perbedaan pendapat ini terjadi disebabkan di antara mereka ada yang menggolongkan hadist hasan sebagai hadist yang menduduki posisi di antara hadist shahih dan hadist dha’if. Tetapi ada juga yang memasukkannya sebagai bagian dari hadist dha’if yang dapat dijadikan hujjah. Menurut sejarah yang mula-mula memunculkan istilah hasan bagi suatu jenis hadist yang berdiri sendiri adalah Abu Isa al-Turmudzi. Sebelum al-Turmudzi istilah hadist hasan belum pernah dikenal. Al-Turmudzi sering menyebutkan istilah hasan dalam Kitab Sunan-nya, sehingga ulama hadist menganggap kitab al-Sunan sebagai sumber utama dalam mengetahui hadist hasan.[14]
Kriteria hadis hasan
Imam Turmudzi menjelaskan kriteria hadis hasan sebagai berikut:
20180405_204559-1
Dengan demikian, kriteria hadis hasan yang merupakan factor-faktor pembeda antara hadis hasan dan jenis hadis lainnya adalah berikut.
Pertama, pada sanadnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta. Kriteria ini mengecualikan hadis seorang rawinya memiliki daya hapal rendah tidak dijelaskan jarh maupun takdilnya, atau diperselisihkan jarh dan takdilnya namun tidak dapat ditentukan, atau rawi mudallis yang meriwayatkan hadis dengan an-anah (periwayatan dengan menggunakan banyak lafal an). Karena sifat-sifat rawi yang demikian itu tidak bisa membuatnya dituduh dusta.
Kedua, hadis tersebut tidak janggal. Orang yang peka dan waspada akan mengetahui bahwa yang dimaksud dengan syazz (janggal) menurut Al- Turmudzi adalah hadis tersebut berbeda dengan riwayat para rawi yang tsiqat. Jadi, diisyaratkan bagi hadis hasan harus selamat dari pertentangan, karena bila ia bertentangan dengan riwayat para rawi yang tsiqat, maka ia ditolak.
Ketiga, hadis tersebut diriwayatkan pula melalui jalan lain yang sederajat. Hadis hasan harus diriwayatkan pula melalui sanad lain satu atau lebih, dengan catatan sederajat dengan atau lebih kuat bukan berada di bawahnya, agar dengannya dapat diunggulkan salah satu tetapi tidak diisyaratkan harus diriwayatkan dalam sanad lain dengan redaksi yang sama, melainkan dapat diriwayatkan hanya maknanya dalam satu segi lainnya. Macam-macam hadis hasan :
1)      Hadis hasan Li-Zatih
Hadis hasan Li-Zatih adalah hadis yang terwujud karena dirinya sendiri, yakni karena matan dan para rawinya memenuhi syarat-syarat hadis shahih, kecuali keadaan rawinya (rawi kurang zabit).
Di antara hadis-hadis hasan Li-Zatih, sebagian dapat berada pada tingkatan hasan, tetapi sebagian lainnya dapat naik pada tingkatan sahih ligairih. Maka jika hadis hasan li zatih tidak diperkuat hadis lain (yang berbeda pada tingkatan sahih atau pada tingkatan hasan li zatih pula), maka hadis tersebut tetap berada pada tingkatan hasan li zatih.
Sebaliknya jika suatu hadis hasan li-zatih diperkuat oleh hadis lain (baik berada pada tingkatan sahih ataupun pada tingkatan hadis li zatih), maka naik menjadi hadist hasan li gairih. Hadis demikian dapat disebut secara lengkah hadis hasan li zatih li gairih.
2)      Hadist Li gairih
Hadist Li gairih adalah hadis yang dibawah derajat hasan yang naik ke tingkatan hadis hasan, karena hadis lain menguatkannya atau hadis hasan li gairih adalah hadis dha’if yang karena dikuatkan oleh hadis lain, sehingga meningkat ke hadis hasan.
Hal ini disebabkan keadaan hadis-hadis dalam lingkungan hadis dha’if beraneka ragam misalkan hadis dha’if dikenal karena hapalan rawi dan dapat meningkat ke hadis li gairih bila hadis tersebut dikuatkan hadis lain yang diriwayatkan oleh rawinya lemah hapalannya.
Contoh hadis hasan li gairih
20180405_211225-1
Artinya :
“Rasulullah SAW, bersabda, “Merupakan hak atas kaum muslimin, mandi pada hari jum’at.” (HR.Turmudzi)
Hadis tersebut diterima oleh Turmudzi melalui dua buah sanad yang gambarannya sebagai berikut :
20180405_211252-1-1
Hadis diatas diterima oleh Turmudzi melalui dua buah sanad :
Pertama           : Dari Ali bin Hasan Al-Kufi, dari Abu Yahya bin Ibrahim At Turmudzi dari    yasid bin Ziyad, dari Abdurrahman bin Abi Lailla dari Barra bin Azib, dari Rasulullah SAW
Kedua             : Dari Ahmad bin Mani, dari Hayim, dari Yazid bin Ziyad, dari Abdurrahman bin Abi Lailla, dari Barra bin Azid, dari Rasulullah SAW
Rawi dalam sanad pertama terpercaya kecuali abu Yahya bin Ibrahim At-Taimi yang lemah hapalannya. Karena itu hadis yang diriwayatkan oleh sanadnya dipandang dha’if . Kedua hadis tersebut saling menguatkan sehingga masing-masing naik menjadi hadis li gairih.[15]

D.    HADIST DHA’IF
Hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi kualifikasi hadis shahih dan hadis hasan. Kedla’ifan suatu hadis akan berbeda-beda, seperti halnya perbedaan pada tingkat kesahihan dalam sebuah hadis shahih. Di antara kategori hadis dha;if ada hadis yang mempunyai gelar khusus, seperti hadis maudlu, hadis syadz dan lainnya.[16]
Dalam hadis dha’if sanadnya tidak bersambung-sambung dan juga tidak adil rawinya yang hanya keguguran satu syarat maqbulnya.
Klasifikasi hadist dha’if menurut muhaddisin
Suatu hadist yang dijadikan sebagai hujjah, maka hadist ahad terbagi 2 yaitu hadist maqbul dan hadist mardud. Hadis maqbul yaitu hadis shahih dan hasan sedangkan hadis mardud yaitu hadis dha’if.
Para muhaddisin mengemukakan sebab tertolaknya hadist dari dua jurusan yakni  dari jurusan sanad dan jurusan matan
Sebab-sebab tertolaknya hadis dari jurusan sanad yaitu
1)      Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun kehafalannya
2)      Ketidaksambungan sanad, dikarenakan adanya seorang rawynya atau lebih yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lainnya.
Cacat-cacat pada keadilan dan kedla’bithan itu ada 10 macam
a)      Dusta
b)      Tertuduh dusta
c)      Fasiq
d)     Banyak salah
e)      Lengah dalam menghapal
f)       Banyak waham
g)      Menyalahi riwayat orang kepercayaan
h)      Tidak diketahui identitasnya
i)        Penganut bid’ah
j)        Tidak baik hafalannya.
Sebab-sebab tertolaknya hadis dari jurusan matan yaitu:
1.      Hadis mauqud
2.      Hadis maqthu’[17]

KESIMPULAN
Para ulama ahli hadist membagi hadist dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadist shahih, hadits hasan, dan hadist dha’if
Hadist shahih adalah hadist yang sanadnya bersambung, di kutip oleh orang yang adil lagi cermat daeri orang yang sama, berakhir sampai pada Rasulullah SAW, atau sahabat, atau tabi’in tidak terdapat syadz dan tidak mempunyai illat. Hadist shahih sendiri terbagi menjadi dua yakni shahih lizatih dan shahih lighairihi.
Sedangkan hadist hasan sendiri pada sanadnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, hadis tersebut berbeda dengan riwayat para rawi yang tsiqat, dan diriwayatkan pula melalui jalan lain yang sederajat. Dibedakan menjadi dua macam yakni hasan lizati dan hasan lighairi.
Hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi kualifikasi hadis shahih dan hadis hasan. Kedla’ifan suatu hadis akan berbeda-beda, seperti halnya perbedaan pada tingkat kesahihan dalam sebuah hadis shahih.

Catatan:
Makalah ini kacau
1.      Abstrak seharusnya dwi bahasa
2.      Similarity 58%. Sangat tinggi sekali
3.      Tidak ada daftar pustaka
4.      Pendahuluan tidak representatif
5.      Dll.
Banyak kekurangan dalam makalah ini.........


           








[1]  Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadist, ( Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta, 2008) Hlm. 95
[2] Ibid., Hlm. 94
[3] Muhammad Anwar, Ilmu Mushthalah Hadist, ( Surabaya: Al-Ikhlas, 1981) Hlm, 33-34
[4] Subhi As Shalih, Membahas Ilmu Hadist, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995) Hlm. 132
[5] Imam Al-nawawi, Dasar-Dasar Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) Hlm. 3
[6] Khariri, Melerai Hadits-Hadits, (Yogyakarta: TAIN Purwekerto Press, 2005) Hlm. 25
[7] Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadist, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008) Hlm.96
[8] Mohammad Anwar, Ilmu Mushthalah Hadist, ( Surabaya: Al-Ikhlas,1981) Hlm.35-36
[9] Imam Al-nawawi, Dasar-Dasar Ilmu Hadis, ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) Hlm. 3
[10] H. Khariri, Melerai Hadits-Hadits, (Yogyakarta: STAIN Purwekerto Press, 2005) Hlm. 27
[11] Muhammad Ahmad, Ulumul Hadi, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000) Hlm. 106-107
[12] Rahman fatchur, Mushthalahul’l-Hadits, (Yogyakarta: 1970) Hlm. 101
[13] Ahmad Muhammad, Ulumul Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000) Hlm. 108
[14]M.Noor Sulaiman, Antalogi ilmu hadis(Jakarta: Gaung Perada Pres, 2008) Hlm. 102
[15]Muhammad Ahmad dkk, Ulumul hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000) Hlm. 112
[16]Ali Mustafa Yaqub, Dasar-dasar ilmu hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) Hlm. 13
[17]Fatchur Rahman, Iktishar mushthalalahu’l Hadist, (Yogyakarta: PT Al-ma’arif,1970) Hlm. 141

Tidak ada komentar:

Posting Komentar