Minggu, 08 April 2018

HUKUM TAKLIFI, HUKUM WADH’I, MAHKUM FIIH, DAN MAHKUM ‘ALAIH (PAI C Semester Genap 2017/2018)



HUKUM TAKLIFI, HUKUM WADH’I, MAHKUM FIIH, DAN MAHKUM ‘ALAIH
Arif Rifky Nur Pelangi (15110044)
Abyan Gantaran (15110054)
Luli Nur Amalia (15110198)
Mahasiswa PAI-C
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail  : arifrifky97@gmail.com
Abstract
Islamic law is divided into two divisions. The first division is taklifi law. Taklifi law is a law that instructs or forbids something or giving alternatives to do something or not. Taklifi law consists of wajib, mandub, mubah, makruh, and haram. The second division is wadh’ I. Wadh’I law is a law that associated with the implementations of taklifi law. Wadh’I law consists of sebab, syarat, maani’, sah and batal, ‘azimah and rukhshah. Islamic law is earmarked to mukallaf as a subject. The subject of Islamic law is named mahkum ‘alaih. And all the things that exposed directly with Islamic law are named mahkum fiih. Therefore, mahkum fiih is all the deeds of the implementations of Islamic law.
Keywords       : Taklifi law, wadh’I law, mahkum fiih, mahkum ‘alaih
Abstract
Hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua bagian.Bagian pertama adalah hukum taklifi.Hukum taklifi adalah suatu hukum yang memerintahkan atau melarang sesuatu atau pemberian pilihan untuk melakukan sesuatu atau tidak.Hukum taklifi terdiri dari wajib, mandub, mubah, makruh, dan haram.Bagian kedua adalah hukum wadh’i.Hukum Wadh’I adalah suatu hukum yang terkait dengan pelaksanaan hukum taklifi.Hukum wadh’I terdiri dari sebab, syarat, maani’, sah dan batal, ‘azimah dan rukhshah. Hukum islam sendiri diperuntukkan untuk mukallaf sebagai subjek. Subjek hukum islam dinamakan mahkum ‘alaih. Dan semua yang berkaitan langsung dengan hukum Islam dinamakan mahkum fiih.Dengan begitu, mahkum fiih adalah perbuatan dari pelaksanaan hukum Islam sendiri.
Kata Kunci    : Hukum taklifi, hukum wadh’I, mahkum fiih, mahkum ‘alaih
A.  Pendahuluan
Ulama’ usul fiqh mendefinisikan hukum islam sebagai “titah Allah yang berkenaan dengan perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, dalam bentuk pilihan berbuat atau dalam bentuk ketentan yang ditetapkan berkenaan dengan tuntutan itu”. Hukum Islam merupakan panutan bagi seluruh umat islam. Sudah sepatutnya umat islam paham dengan hukum Islam itu sendiri. Oleh karena itulah, makalah ini membahas tentang pembagian hukum Islam, subjek hukum  Islam, dan objek hukum Islam.
B. Hukum Taklifi
Hukum yang berupa perintah, larangan, dan alternative untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan disebut dengan hukum taklifi.Hukum taklifi dapat dilihat dari dua aspek yang meliputi aspek tuntutan dan aspek pilihan.Pembagian hukum taklifiberdasarkanaspek tuntutan terbagi menjadi dua yaitu hal apa yang dituntut serta bagaimana bentuk tuntutannya. Dari aspek apa yang dituntut, hukum taklifi terbagi menjadi dua yaitu hal yang dituntut untuk dilakukan dan hal yang dituntut untuk ditinggalkan. Dilihat dari bentuk tuntutannya, hukum taklifi dibagi menjadi dua yaitu tuntutan pasti dan tuntutan tidak pasti.Dan hukum taklifi dilihat dari aspek pilihan terbagi pula menjadi dua bagian yaitu pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkan perbuatan tersebut.[1] Atau berdasarkan jumhur ulama’ hukum taklifi dilihat dari benruk tuntutannya dapat dibedakan menjdi     :
1.      Perintah melakukan perbuatan secara tegas dan pasti atau biasa disebut ijab, perbuatannya disebut dengan wajib dan pengaruh perbuatannya disebut wujud. Hukum yang bersifat wajib yaitu perbuatan yang menghasilkan pahala bagi yang melakukan dan menghasilkan dosa bagi yang tidak melakukan atau melanggarnya. Sebagai contoh, perintah mengerjakan sholat wajib lima waktu. [2]
Perkara yang bersifat wajib ini dibedakan menjadi          :
a.       Wajib dari segi tuntutan yang pasti dan tidak pasti[3]
·         Wajib Mu’ayyan, yaitu perbuatan yang tuntutannya sudah jelas. Sebagai contoh, kewajiban membaca Al-Fatikhah dalam setiap rakaat sholat.
·         Wajib mukhayyar, yaitu kebolehan memilih satu tuntutan dari tuntutan yang telah diberikan. Sebagai contoh, memilih kifaratnya orang yang melanggar sumpah dimana ada 3 opsi yang ditawarkan yaitu memberi makan sepuluh fakir miskin, memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau memerdekakan budak.
b.      Wajib dilihat dari segi ketersediaan waktu untuk melaksanakannya[4]
·      Wajib mudhayyaq, manakala waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan perkara wajib sama dengan waktu yang telah ditentukan untuk melaksanakan perbuatan tersebut. Sebagai contoh, kewajiban menunaikan puasa Ramadhan selama sebulan penuh
·      Wajib muwassa’, manakalatersedianya waktu lebih banyak untuk melaksanakan perkara wajib daripada waktu yang dibutuhkan. Hal ini memungkinkan mukallaf  untukmemilih waktu melaksanakan perkara wajib selagi masih ada batas waktu.  Sebagai contoh, sholat ashar.
c.       Wajib dilihat dari orang yang dibebadi perkara wajib[5]
·         Wajib ‘ain, yaitu perkara wajib yang harus dilaksanakan oleh semua mukallaf. Misalnya, kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan.
·         Wajib kifayah, yaitu perkara wajib yang berlaku secara kolektif. Apabila ada diantara mukallaf yang sudah melaksanakan kewajiban tersebut maka mukallaf yang lain kewajibannya ikut gugur. Misalnya, kewajiban mengurus jenazah.
d.      Wajib dilihat dari kadarnya[6]
·         Wajib Muhaddad, yaitu perkara wajib yang telah ditentukan jumlah dan kadarnya. Sebagai contoh, jumlah rakaat sholat wajib.
·         Wajib ghairu Muhaddad, perkara wajib yang tidak ada ketentuan jumlah dan kadarnya. Sebagai contoh, kewajiban menuntt ilmu
Mayoritas ulama’ ushul fiqh tidak membedakan antara perintah yang qath’I dan dzanny.Keduanya dikelompokkan dalam hal wajib atau fardhu.Namun, ulama’ madzab Hanafiy membedakannya.Mereka berpendapat bahwa perintah yang qath’I disebut fardhu sedangkan yang dzanny disebut wajib.[7]
2.      Perintah melakukan perbuatan yang dilakukan secara tidak tegas dan pasti atau disebut dengan nadab. Perbuatannya disebut dengan mandubatau sunah atau mustahab. Dan pengaruh perbuatannya disebut dengan nadab juga. Perkara yang mandub ini merupakan perkara yang tidak mengikat sehingga pelakunya akan mendapat pahala sedangkan pelanggar perbuatannya juga tidak mendapat apa-apa[8]. Perkara mandub dapat dibedakan menjadi           :
a.       Sunah ‘ain, yaitu perkara yang dianjurkan bagi setiap mukallaf. Misalnya, sunahnya shalat sunah rawatib
b.      Sunah kifayah, yaitu perkara sunnah yang dianjurkan dengan cukup dipenuhi oleh salah seorang dari semua mukallaf. Sebagai contoh, mendo’akan orang yang bersin
c.       Sunah muakkad, yaitu sunah yang banyak dikerjakan Rasululah dan hampir tidak pernah ditinggalkan sehingga sangat dianjurkan bagi setiap mukallaf. Sebagai contoh, shalat Idul Fitri
d.      Sunnah ghairu muakkad, yaitu sunnah yang biasa dikerjakan Rasulullah namun tidak selalu dikerjakan .sebagai contoh, bersedekah pada fakir miskin.[9]
3.      Perintah menghindari suatu pebuatan yang dilakukan secara tegas dan pastiatau  biasa disebut tahrim. Perbuatannya disebut haram dan pengaruh perbuatannya disebut hurmah. Perkara yang haram menimbulkan dosa bagi pelakunya dan menimbulkan pahala bagi yang menjauhinya. [10]Perkara haram dapat dibedakan menjadi  :
a.       Haram yang bersifat mutlak dikarenakan perbuatan itu sendiri. Sebagai contoh membunuh, mencuri, dan lain sebagainya
b.      Haram karena ada penyebab yang membuat perbuatan tersebut menjadi haram. Sebagai contoh, jual beli dengan sistem riba. [11]
4.      Perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan tetapi tuntutan tersebut tidak bersifat pasti dan tegas. Perkara ini biasa disebut dengan karahah, pengaruh perbuatannya juga disebut karahah, sedangkan perbuatannya disebut makruh. [12]Perkara yang makruh ini dibedakan menjadi dua yaitu            :
a.       Makruh tanzih, semua perbatan yang lebih dianjurkan untuk meninggalkannya daripada melakukannya. Sebagai contoh, merokok.
b.      Makruh tahrim, yaitu semua perbuatan yang larangannya tidak pasti atau berasal dari dalil yang zhanni. Misalnya, memakan daging ular. [13]
5.      Perkara yang oleh Allah tidak diperintahkan untuk dilaksanakan dan tidak pula dilarang untuk melaksanakannya. Perkara seperti ini disebut dengan ibahah, pengaruh perbuatannya juga disebut dengan ibahah, dan pebuatannya disebut dengan mubah. Perbuatan ini tidak menimbulkan pahala ataupun dosa bagi pelakunya. [14]Secara garis besar, perkara mubah dapat dibedakan menjadi   :
a.       Segala perbuatan yang kebolehannya secara pasti dijelaskan dalam dalil syara’. Sebagai contoh, kebolehan mengucapkan sumpah dengan tanpa disengaja (QS. Al-Baqarah ayat 225)
b.      Segala perbuatan yang keblehannya tidak disebutkan secara pasti oleh dalil syara’ tapi ada perintah untuk melaksanakannya berdasarkan qarinah (bersifat boleh, bukan wajib). Misalnya, perintah berburu seusai melaksanakan haji (QS. Al-Maidah ayat 2)
c.       Segala perbuatan yang tidak dijelaskan kebolehan dan ketidakbolehannya secara jelas dan pasti dalam dalil syara’. Hukumnya dikembalikan pada hukum baraat al-ashliyyah (bebas menurut asalnya) selagi tidak ada dalil yang melarangnya. Sebagai contoh, jual beli. [15]
C. Hukum Wadh’i
Yang disebut dengan hukum wadh’i merupakan segala hal yang terkait dengan pelaksanaan hukum taklifi.Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum wadh’i tidak berhubungan langsung dengan tuntutan Allah (hukum taklifi) melainkan terkait dengan pelaksanaannya baik mencakup sebab, syarat, maani’, sah dan batal.Dan beberapa ulama’ ushul fiqh memasukkan rukhshah dan ‘azimah kedalam pembahasan hukum wadh’i.[16]Hukum wadh’I dapat timbul ketika ada keterikatan antara dua subjek. Dua subjek tersebut antara lain sebab-musabbab, syarat-yang  memerlukan syaratkan, mani’-mamnu’, dan ‘azimah-rukhshah.[17]
1.      Sebab
Yang disebut dengan sebab adalah segala sesuatu yang menjadikan ada atau tidaknya suatu hukum.[18]Ulama membedakan sebab ini menjadi beberapa bagian          :
·         Illat,  yaitu alasan yang mengakibatkan adanya hukum taklifi. Sebagai contoh, illat diharamkannya khamr adalah memabukkan.
·         Sebab, yaitu tanda atau tolak ukur atau waktu pelaksanaan hukum taklifi. Sebagai contoh, datangnya Idul Fitri ditandai dengan kemunculan hilal. [19]
Hanafi mmbedakan sebab menjadi 6, diantaranya        :
a.       Sebab diluar kemampuan mukallaf, atau dalam hal ini seperti keadaan darurat. Sebagai contoh, kebolehan memakan bangkai karena tidak memiliki makanan lagi.
b.      Sebab didalam kemampuan mukallaf.
c.       Menghendaki keterikatan sebab-musabbab. Sebagai contoh, menikah menimbulkan munculnya kewajiban kepada suami atau istri.
d.      Mengerjakan sebab dan secara otomatis mengerjakan musabbab baik sengaja maupun tidak sengaja. Seperti hukuman qishas dalam pembunuhan.
e.       Orang yang mengerjakan sebab beserta syarat dan ketiadaan penghalang, maka tidak dapat mengelak dari musabbabnya. Adanya hak milik melalui jual beli. Meskipun tidak mau memiliki ia tidak bisa lepas dari hak tersebut.
f.       Sebab yang dilarang akibat menimbulkan mudharat atau tidak menghendaki kemashlahatan. [20]
2.      Syarat
Yang disebut dengan syarat adalah sesuatu yang keberadaanya tidak selalu menimbulkan hukum. Jadi, syarat dan sebab dapat dikatakan sama. Yaitu sama-sama menimbulkan hukum, tapi syarat tidak dapat selalu menimbulkan hukum.Sebagai contoh, terlihatnya hilal merupakan sebab datangnya Idul fitri tapi setelah melaksanakan wudlu seseorang belum dikatakan bahwa sholatnya sah karena untuk melaksanakan sholat juga harus menghadap kiblat.[21]Dari segi peletakan syarat itu sendiri dibedakan menjadi    :
a.       Rukun, segala sesuatu yang dipenuhi saat melaksanakan suatu hukum atau masuk dalam rangkaian hukum tersebut. Sebagai contoh, membaca Surat Al-Faatikhakh dalam sholat
b.      Syarat, segala sesuatu yang dipenuhi sebelum melaksanakan suatu hukum dan dilakukan diluar pelaksanaan hukum tersebut. Sebagai contoh, pelaksanakan wudlu sebelum sholat.[22]
3.    Maani
Maani’ didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat menghilangkan suatu hukum atau menjadikan hukum tersebut batal.[23]Maani’ dapat dibedakan menjadi         :
a.       Maani’ terhadap hukum. Yaitu adanya penghalang yang menyebabkan batalnya hukum. Sebagai contoh, terhalangnya perolehan waris karena pewaris berbeda agama dengan ahli waris.
b.      Maani’ terhadap sebab hukum. Yaitu adanya penghalang yang menjadikan gugurnya sebab hukum sehingga berdampak pula pada batalnya hukum. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki harta senisab tetapi tidak memiliki kewajiban berzakat karena hutang yang mengurangi nisab tersebut. [24]
4.    Sah dan batal
Sah dan batal merupakan hasil pelaksanaan hukum taklifi yang dikaitkan dengan hukum wad’i. Manakala dalam melaksanakan hukum taklifi, hukum wad’Inya telah dipenuhi atau tidak terdapat maani’ maka pelaksanaan hukum taklifi tersebut dihukumi sah. Sebaliknya apabila dalam melaksanakan hukum taklifi, hukum wadh’inya tidak dipenuhi seluruhnya atau adanya maani’ maka pelaksanaan hukum taklifi tersebut dihukumi batal.[25]
5.    ‘azimah dan Rukhshah
Istilah ‘azimah diartikan sebagai sesuatu yang berlaku secara umum tanpa melihat situasi dan kondisi.Sebagai contoh, kewajiban sholat bagi seluruh mukallaf.Sedangkan rukhshah diartikan sebagai sesuatu yang menimbulkan adanya pengecualian dikarenakan suatu udzur tertentu.Sebagai contoh, kebolehan mengqashar sholat bagi musafir.Adanya rukhshah ini dilatarbelakangi oleh kaidah “kesulitan menyebabkan adanya kemudahan”.‘azimah dan rukhshah berkaitan dengan hukum taklifi dan hukum wadh’i berdasarkan kesesuaian pelaksanaanya dan dalil awal yang berkaitan dengannya. [26]
Bentuk-bentuk rukhshah diantaranya   :
a.       Adanya pembatalan kewajiban. Contoh, kebolehan tidak melaksanakan sholat jum’at bagi lelaki yang sakit.
b.      Adanya pengurangan kewajiban. Contoh, kebolehan mengqashar sholat.
c.       Kebolehan mengganti kewajiban. Contoh, kebolehan mengganti puasanya orang tua dengan fidyah.
d.      Penangguhan kewajiban. Contoh, sholat jama’ takhir.
e.       Pendahuluan pelaksanaan kewajiban. Contoh, sholat jama’ taqdim. [27]
D. Mahkum Fiih
Beberapa ulama ushul fiqih berpendapat bahwasannya mahkum fiih(Objek Hukum) adalah sesuatu perbuatan yang berlaku padanya (mukallaf) hukum syar’i.[28]Jadi, yang dimaksud objek hukum yaitu perbuatan itu sendiri, karena pada zatnya itu tidak berlaku hukum, melainkan terdapat pada perbuatannya.Contohnya minuman keras.Tidak ada hukum yang mengenai/berlaku padaa minuman keras tersebut.Yang dilarang adalah perbuatannya, yaitu meminum-minuman keras, bukan pada zat minuman keras tersebut.[29]
Misal Hukum wajib :
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواأَوْفُوابِالْعُقُودِ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu . . . ”
(Q.S. Al-Maidah : 1)
Hukum wajib yang dimaksud dari ayat tersebut yaitu perbuatan mukallaf mengenai memenuhi janji.Maka memenuhi janji adalah wajib.
Misal Hukum sunah (nadb):
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواإِذَاتَدَايَنْتُمْبِدَيْنٍإِلَىٰأَجَلٍمُسَمًّىفَاكْتُبُوهُ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. …”
(Q.S. Al-Baqoroh : 282)
Hukum sunah yang dimaksud dari ayat tersebut yaitu perbuatan mukallaf mengenai mencatat piutang.Maka mencatat piutang hukumnya sunah.[30]
Misal Hukum haram (Tahrim) :
وَلَاتَقْتُلُواالنَّفْسَ
“. . . dan janganlah kamu membunuh jiwa . . .”
(Q.S. Al-An’am : 151)
Hukum haram yang dimaksud dari ayat tersebut yaitu perbuatan mukallaf mengenai membunuh jiwa.Maka perbuatan membunuh hukumnya haram.
Misal Hukum makruh (Karohah) :
وَلَاتَيَمَّمُواالْخَبِيثَمِنْهُتُنْفِقُونَ
“… Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya. …”
(Q.S. Al-Baqoroh : 267)
Hukum makruh yang dimaksud dari ayat tersebut yaitu perbuatan mukallaf mengenai sedekah.Maka bersedekah merupakan hukum makruh.
Misal Hukum boleh (Ibahah) :
فَمَنْكَانَمِنْكُمْمَرِيضًاأَوْعَلَىٰسَفَرٍفَعِدَّةٌمِنْأَيَّامٍأُخَرَ 
“… Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain …”
Hukum boleh yang dimaksud dari ayat tersebut yaitu mengenai kebolehan berbuka ketika sakit dan bepergian.Maka ketika sakit dan bepergian hukumnya boleh untuk berbuka.[31]
      Jadi, semua perbuatan mukallaf harus dikaitkan dengan hukum diatas, baik berupa tuntutan, pilihan, atau penetapan.
Dalam taklif, perbuatan merupakan syarat sahnya. Ulama berpendapat perbuatan yang sah sesuai syariat itu ada tiga syarat, yaitu :
1.      Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang dibebankan kepadanya, sehingga mukallaf dapat melaksanakannya dengan benar. Oleh karena itu, ayat-ayat yang masih belum jelas atau masih umum, harus terdapat penjelasan lewat hadist Rosul Saw. Contohnya seperti berikut :
صَلُّواكَمَارَأَيْتُمُونِيأُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat”
Ayat tersebut memperjelas tata cara pelaksanaan sholat, karena  di dalam Al-quran hanya terdapat kata aqimu sholah (dirikanlah sholat), tidak disebutkan bagaimana cara melaksanakan sholat.
Dan apabila belum ada penjelasan dari Nabi, mukallaf sendiri tidak dituntut untuk menjalankan perintah tersebut.
2.      Mukallaf harus mengetahui sumber pentaklifan tersebut. Siapa yang mentaklif. Mukallaf tidak harus mengetahui secara nyata, melainkan mengetahui menurut akal sehat saja. Jika mukallaf mampu mengetahui hukum syara’ baik dari diri sendiri maupun orang lain, ia sudah dianggap mengetahui. Karena ia tahu apa yang dibebankan terhadapnya dan mampu melaksanakannya. Oleh karena itu, alasan tidak mengetahui hukum tidak berlaku terhadap mukallaf tersebut.[32]
3.      Perbuatan yang dibebankan kepada mukallaf memungkinkan untuk dikerjakan, atau seorang mukallaf kiranya mampu untuk melaksanakan atau meninggalkan. Dari pernyataan tersebut ada dua hal yang memungkinkan :
a.       Tidak sah apabila terdapat sesuatu yang mustahil. Maksudnya mustahil secara akal seperti sesuatu yang tidak mungkin di temukan atau dilakukan secara akal manusia. Contohnya seperti perintah untuk terbang tanpa menggunakan alat apapun. Perintah tersebut tidak mungkin dapat dilakukan oleh manusia dan tidak masuk akal.
b.      Tidak sah apabila membebankan mukallaf sesuatu yang membuat orang lain melaksanakan perbuatan maupun meninggalkan. Contohnya, tidak dibebankan kepada seseorang agar ibunya selalu bersedekah agar suaminya mau pergi ke masjid, atau temannya mau melaksanakan sholat. Karena semua yang ditaklifi terhadap mukallaf yang bersifat khusus dinamakan memberi nasihat dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.[33]
Dalam melaksanakan hukum Islam (mahkum fiih), adanya perbuatan tersebut dimaksudkan untuk kemaslahatan umum atau khusus.Perbuatan untuk kemaslahatan umum adalah hak Allah dan perbuatan untuk kemaslahatan khusus adalah hak hamba itu sendiri.
1.      Semata-mata hak Allah
Hak Allah ini bibagi menjadi delapan yaitu     :
a.       Ibadah Mahdhah
b.      Bantuan yang mengandung nilai ibadah
c.       Biaya yang dikeluarkan karena hukuman. Seperti, kharaj (pajak untuk warga yang tidak ikut berjihad)
d.      Qishas dan jinayat (hukuman smpurna)
e.       Hukuman tidak sempurna seperti hilangnya hak menerima waris karena membunuh pewaris
f.       Hukuman yag mengandung nilai ibadah. Seperti, kafaratnya orang yang melanggar sumpah.
g.      Kewajiban yang harus dipenuhi, seperti kewajiban membayar seperlima dari harta terpendam.
2.      Hak hamba, seperti hak kepemilikan
3.      Antara hak Allah dan hamba dimana hak Allah lebih besar daripada hak hamba. Seperti, qadzaf (menuduh zina)
4.      Antara hak Allah dan hak hamba dimana hak hamba lebih besar daripada hak Alah. Seperti, qishas. [34]
E. Mahkum ‘Alaih
Secara bahasa mahkum ‘alaih yaitu subyek hukum. Sedangkan secara istilah terdapat dari beberapa pendapat, yang pertama yaitu :
1.      orangmukallaf yang dibebani hukum karena dialah yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak dan termasuk atau tidak dalam cakupan perintah atau larangan.[35]
2.      Perbuatan mukallaf yang menyangkutkan hukum syar’I dan disyaratkan si mukallaf itu untuk mensahkan taklifnya menurut syari’at.[36]
Pada dasarnya semua manusi dan jin dikategorikan sebagai mukallaf tanpa adanya penggolongan berdasarkan usia dan keadaan kejiwaan. Tapi pada kenyataanya, prinsip tersebut dilanggar berdasarkan faktor-faktor yang membatasinya.[37]
Mengenai sahnya dari pengertian diatas yaitu memberi beban kepada mukallaf, dalam syara disyariatkan dua syarat yaitu :
1.      Mukallaf dapat memahami dalil taklif. Maksutnya yaitu bahwa dia mampu memahami undang-undang yang dipaksakan kepadanya itu dari Al-Qur’an dan sunnah itu sendiri atau dengan perantara. Apabila orang tersebut tidak sanggup memahami dalil taklif itu maka tidak mungkin dia melaksanakan apa yang dipaksakan kepadanya itu dan tidak akan berhasil apa yang dimaksudkannya tersebut.
2.      Mukallaf adalah dia ahli tentang tanggung jawab yang dipikulnya atau orang yang mengerti dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Ahli disini maksutnya yaitu baik tindakannya, dan ahli tersebut terbagi menjadi 2 bagian, yaitu :
a.       Ahli wajib, yaitu baik tindakan seseorang tersebut karena itulah dia tetap mempunyai hak dan kewajiban yang diwajibkan kepadanya. Keistimewaan dalam hal ini dinamakan Fuqaha Zimah. Zimah itu sendiri artinya sifat fitrah insani dimana manusia mempunyai hak kepada lainnya dan diwajibkan juga kepadanya kewajiban kewajiban terhadap lainnya. Semua keahlian tersebut sifatnya sama kepada semua manusia. Baik bagi laki-laki maupun perempuan, anak-anak, mumayiz, baligh, dan orang gila sekalipun.
b.      Ahli bertindak,[38] yaitu baiknya tindakan mukallaf yang menurut dalam syariat ialah baik dalam perkataan maupun perbuatannya. Dari hal sinilah sumber pertama adanya perjanjian atau tindakan tindakan lainnya yang dii’tibarkan sebagai syari’at dan diatasnya itulah ditetapkannya hukum-hukum. Seperti contohnya puasa, haji, dan semua perbuatan yang diwajibkan lainnya.
Adapun beberapa penjelasan yang lebih rinci tentang keadaan seseorang kepada keahliannya, yaitu :
1.      Keadaan seseorang dinisbatkan kepada keahlian yang diwajibkan. Yang pertama dijelaskan pada orang yang ahli wujub yang dipunyainya itu kurang dan setelah diperbaiki maka barulah mempunyai hak, karena yang diwajibkan kepadanya itu terdapatbeberapa kewajiban atraupun sebaliknya yang harus dilakukan..sebagai contoh yaitu : janin yang masih didalam perut ibunya. Dia mempunya hak untuk tetap menerima waris maupun wasiat, tetapi bagian tersebut tidak diwajibkan bagi janin itu sendiri.
2.      Keadaan seseorang dinisbahkan kepada keahlian bertindak. Terbagi menjadi 3 yaitu :
a.       Pada mulanya dia tidak ahli bertindak. Seperti anak-anak yang pada masa kanak-kanak, maupun orang gila dalam usia kapan saja. Kedua golangn tersebut masih belum mempunyai akal atau tidak berakal, karena itu pula kedua golongan ini tidak tersusun dalam hadist syar’i baik berupa perkataan maupun perbuatan. Seluruh perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu adalah batal, anak-anak maupun orang gila itu dianggap tidak bersalah selama tidak berakal ataupun masih belum waktunya.
b.      Orang yang kurang ahli dalam bertindak. Yaitu orang yang telah mumaiz tapi belum baligh, yaitu golongan pada masa anak-anak yang masih dalam masa akal yang lemah. Seperti contohnya : apabila telah dianggap mumayyiz ketika segala kegiatan ataupun tindakan yang dilakukan itu bermanfaat maka dianggap sah.
c.       Orang yang sempurna keahliannya dalam bertindak maka digolongkan sebagai orang yang berakal dan baligh. Hukum ini dianggap ahli ketika belum terdapat hal-hal yang dapat menunjukkan orang pada golongan ini mempunyai akal rusak ataupun masih kurang, jadi harus benar-benar memiliki akal yang seudah memenuhi syarat.
F. Kesimpulan
Secara garis besar hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.Hukum taklifi berisi semua perintah atau larangan atau pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan.Hukum taklifi dibedakan menjadi wajib, mandub, mubah, makruh, dan haram.Sedangkan hukum wad’I adalah segala sesuatu yang terkait dengan pelaksanaan hukum taklifi.Hukum wadh’I ini dibedakan menjadi sebab, syarat, maani’, sah dan batal, serta ‘azimah dan rukhshah.Hukum taklifi secara otomatis menimbulkan suatu hukum, namun hukum wadh’I belum tentu menimbulkan suatu hukum.hukum wadh’I baru dapat menimbulkan suatu hukum saat ada keterkaitan antara dua subjek.
Mahkum fiih merupakan sesuatu perbuatan yang berlaku padanya (mukallaf) hukum syar’i.Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang dibebankan kepadanya, sehingga mukallaf dapat melaksanakannya dengan benar.Diantara syarat sah mahkum fiih menurut para ulama’ adalah mukallaf harus ahu perbuatan yang dibebankan padanya, mukallaf harus mengetahui sumber pentaklifan tersebut, perbuatan yang dibebankan kepada mukallaf memungkinkan untuk dikerjakan, atau seorang mukallaf kiranya mampu untuk melaksanakan atau meninggalkannya.
Mahkum ‘alaih disebut juga sebagai subjek hukum.Atau secara istilah merupakan orang mukallaf yang dibebani hukum karena dialah yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak dan termasuk atau tidak dalam cakupan perintah atau larangan.Diantara syarat mahkum ‘alaih adalah mukallaf dapat memahami dalil taklif, mukallaf adalah dia ahli tentang tanggung jawab yang dipikulnya atau orang yang mengerti dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Nur. Perbuatan dan Tanggung Jawab Hukum dalam Konteks Ushul Fiqh. Jurnal An-Nahdhah STAIN Maarif Jambi
Bahri, Samsul.2008.  Metodologi HUKUM ISLAM. Yogyakarta : Penerbit TERAS
Dahlan, Zaini, dkk. 1992.  Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara dan DEPAG
Khallaf, Abdul Wahhab. 1994.  Ilmu Ushul Fiqih. Semarang : DINA UTAMA
Koto, Alaiddin.2006. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta:Rajagrafindo Persada
Maryani. Mei 2015. Taklif dan Mukallaf Menurut Al-Syeikh Muhammad Nawawi Al-Bantani. Jurnal Hukum ISTINBATH, Vol. 12. No. 1
Prawiro, Atmo. Juli-Desember 2015.Perbuatan dan Pertanggungjawaban Hukum dalam Bingkai Ushul Fikih (Refleksi Pemikiran Terhadap Realitas TKW). Jurnal Hukum Islam An-Nawa, Vol. XVII
Suyatno. 2016.  Dasar-Dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih. Yogyakarta:Ar-Ruzz Media
Syarifuddin, Amir. 212. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta:Kencana
Yasin, Ahmad. Ilmu Usul Fiqh (Dasar-Dasar Istinbat Hukum Islam). Surabaya : UIN Sunan Ampel Surabaya

Catatan:
1.      Similarity 6%. Cukup bagus.
2.      Pendahuluannya kurang representatif, masak Cuma satu paragraf.
3.      Pengulangan footnote ada caranya sendiri.


[1] Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih, (Yogyakarta:Ar-Ruzz Media, 2016), hlm. 111
[2]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2012), hlm. 7
[3] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2006), hlm. 44
[4]Ibid, hlm. 45
[5]Ibid, hlm. 45
[6]Ibid, hlm. 46
[7] Achmad Yasin, Ilmu Usul Fiqh (Dasar-Dasar Istinbath Hukum Islam), (Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya), hlm. 132
[8] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2012), hlm. 7
[9] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2006), hlm.47
[10] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2012), hlm. 7
[11] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2006, hlm.46
[12] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2012), hlm. 8
[13] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2006, hlm.47-48
[14] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2012), hlm. 8
[15] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2006, hlm.48
[16] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2012), hlm. 18
[17] Zaini Dahlan, dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara dan DEPAG, 1992), hlm. 133
[18] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2006, hlm. 49
[19] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2012),  hlm. 18-19
[20] Muhammad Nur Ali, “Perbuatan dan Tanggung  Jawab Hukum Dalam Konsep Ushul Fiqh” Jurnal An-Nahdhah. (Jambi:STAIN Maarif), hlm. 6
[21] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2012),  hlm. 20
[22]Ibid, hlm. 20
[23] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2006, hlm. 52
[24]Ibid, hlm. 52
[25] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2012),  hlm. 21-22
[26]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2012), hlm. 22-23
[27]Ibid, hlm. 24
[28] Samsul Bahri, Metodologi HUKUM ISLAM, (Yogyakarta : Penerbit TERAS, 2008), Hlm. 59
[29] Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih, (Jogjakarta : AR-RUZZ MEDIA, 2011), Hlm. 128
[30] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang : DINA UTAMA, 1994), Hlm. 187
[31]Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang : DINA UTAMA, 1994), hlm. 202
[32] Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2012), Hlm. 130-131
[33] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang : DINA UTAMA, 1994), Hlm. 191-192
[34]Atmo Prawiro, “Perbuatan dan Pertanggungjawaban Hukum dalam Bingkai Ushul Fiqh (Refleksi Pemikiran terhadap Realitas TKW)” An-Nawa Jurnal Hukum Islam, Vol. XVII, (Juli-Desember 2015), hlm. 134-135
[35] Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam. (Yogyakarta : TERAS 2008), hlm.  59
[36]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta : PT RINEKA CIPTA), hlm. 163
[37]Maryani, “Taklif dan Mukallaf Menurut Al-Syeikh Muhammad Nawawi Al-Bantani” Jurnal Hukum Istinbath.Vol. 12.No. 1 (STAIN Jurai Siwo Metro, Mei 2015), hlm. 6
[38]Ibid, hlm. 166

1 komentar: