Minggu, 04 Maret 2018

Ijma' dan Qiyas (PAI B Semester Genap 2017/2018)





SUMBER HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI MELIPUTI AL-IJMA’, AL-QIYAS
(BURHAN RIFA’I, ADINDA, KHORIBETUL)
MAHASISWA PAI_B ANGKATAN 15 UIN MALIKI MALANG
Abstract
In this article described the source of Islamic law after the Qur'an and as-Sunnah ie ijma and qiyas. Which is the source of this law in use when there is a problem that occurs but not found in the Qur'an and as-Sunnah. The Ijma is the consensus of the Mujtahids (the Prophet Muhammad SAW) about a law or problem in a period after his death. The jihad qiyas is a law stipulation of an event or event that there is no legal basis in the alaquran by comparing with another event which has been set its source of law based on the Koran and hadith by looking for illat equation. As Muslims we should understand and understand about the source of law in Islam so we know about the law we will do or others do not fall into sin. Because of the incidents occurring in our day most of them have no legal source in the Qur'an. Like the ijma of the scholars of Indonesia (mui) about the determination of immunization, which in the time of the prophet Muhammad has not been immunized. And the scholars of Indonesia berijma 'about the law of immunization. And the allowance of immunization because many benefits and can be considered as "ikhtiyar" in health.

Keywords: ijma’, qiyas

ABSTRAK
Dalam artikel ini dijelaskan tentang sumber hukum islam setelah alqur'an dan as-sunnah yakni ijma dan qiyas.  Yang mana sumber hukum ini di gunakan ketika ada suatu permasalahan yang terjadi namun tidak di temukan di dalam alqur'an dan as-sunnah. Ijma merupakan kespakatan para mujtahid (ummat nabi muhammad SAW ) tentang suatu hukum atau permasalahan di dalam suatu masa setelah beliau wafat. Sesangkan qiyas merupakan penetapan hukum tentang suatu peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasar hukum di dalam alaquran dengan cara membandingkan dengan suatu peristiwa yang lain yang telah di tetapkan sumber hukumnya berdasarkan alquran dan hadist dengan cara mencari persamaan illat.  Sebagai umat islam yang bai kita harus faham dan mengerti tentang sumber hukum di dalam islam agar kita tahu tentang hukum suatu yang akan kita lakukan atau orang lain kerjakan agar tidak terjerumus ke dalam dosa. Karena kejadian kejadian yang terjadi di zaman kita kebanyakan tidak ada sumber hukum nya di dalam alquran. Seperti ijma para ulama indonesia (mui) tentang penetapan imunisas, yang mana di zaman nabi muhammad belum ada imunisasi.  Dan para ulama indonesia ber ijma' tentang hukum imunisasi.  Dan di perbolehkannya imunisasi karena banyak manfaatnya dan bisa di anggap sebagai "ikhtiyar" dalam kesehatan.

Kata kunci: ijma,  qiyas


IJMA’
A.    Pengertian Ijma’
Ijma’ ialah “sepakat para mujtahid muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasulullah saw, terhadap hukum syar’i pada suatu peristiwa”. (Dr. M. Fahim Tharaba dalam bukunya yang dikutip dari Abdul Wahab Khalaf, 1994: 49)[1]. Sebuah kesepakatan tidak akan disebut ijma’, jikalau tidak ada mufakad yang bulat dari para mujtahid yang memutuskan suatu hukum tersebut. Dan tidak ada ijma’ di masa Rasulullah saw, karena pengambilan hukum pada masa itu di pusatkan  pada beliau, sehingga tidak perlu mengambil kesepakatan para mujtahid atau ijma’.
Secara bahasa, ijma’ memiliki 2 arti yaitu[2]:
1.       Ijma’ berarti “pengambilan keputusan untuk melakukan sesuatu”. Hal tersebut bisa dilihat dalam Al-Qur’an surat Yunus (10): 71.
2.       Ijma’ berarti “sepakat”. Hal ini bisa dilihat dalam Al-Qur’an surat Yusuf (12): 15.
Sedangkan menurut istilah dan dilihat dari segi siapa yang melaksanakan kesepakatan tersebut, definisi ijma’ terbagi menjadi beberapa poin, yaitu[3]:
a.     Al-Ghazali
Al-Ghazali berpendapat bahwa “ kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama”. Kata khusus di atas mempunyai arti yang luas, yaitu seluruh umat islam / umat Nabi Muhammad. Pendapat Al-Ghazali ini mengikuti pendapat Imam Syafi’i yang mana beliau berpendapat bahwa ijma’ adalah “kesepakatan umat”.
b.    Al-Amidi
Al-Amidi merupakan ulama syafi’iyah mendefinisikan ijma’ sebagai “kesepekatan sejumlah Ahlul Halli Wal Aqd (para ahli yang berkompeten mengurusi umat) dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus”. Sepertinya Imam Al-Amidi berpendapat bahwa ijma’ merupakan keputusan/kesepakatan umat tertentu. Yaitu umat yang memiliki peran untuk membimbing hal spiritual umat islam. Menurut beliau, kesepakatan orang awam tidak perlu diperhitungkan lagi. Namun, Al-Amidi menyatakan bahwa ijma’ adalah “kesepakatan para mukallaf dari umat Muhammad pada suatu masa atas suatu hukum”. Definisi ini sebagai alternatif, karena adanya kemungkinan orang awam bisa menjadi bagian dari ijma’ dengan syarat sudah mampu membuat suatu hukum.


c.     Ulama syi’ah
Mereka berpendapat bahwa ijma’ adalah “ kesepakatan suatu komunitas yang kesepakatan mereka memiliki kekuatan dalam menetapkan hukum syara”. Mereka membatasi kesepakatan tersebut hanya pada kelompok/komunitas tertentu, karena mereka berfikir bahwa ijma’ ini hanya untuk memperoleh sunnah, yakni perkataan perbuatan orang yang disangka ma’shum, seperti Nabi Muhammad dan keturunan(ahlul bait) Sayyidah Fathimah, hasan husain.
d.    Ibnu Hazmin
Ibnu Hazmin merupakan salah satu kelompok ulama Zhahiri menyatakan pendapatnya sebagai berikut: “kesepakatan ulama islam tentang nash, baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah”.
e.     Al-Nazham
Al-Nazham adalah pemimpin golongan Nazhamiyah, salah satu potongan mu’tazilah menyatakan pendapat lain tentang ijma’, yaitu: ”setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibantah”.  Maknanya ialah setiap ucapan seseorang yang bisa dijadikan hujjah syari’yah. Pendapat ini memang bertentangan dengan arti ijma’ secara lughowi, yang mengartikan ijma’ adalah kesepakatan. Namun hal ini adalah sebagai kompromi atas persetujuannya atas pendapat ulama yang tidak menerima ijma’.
Ijma’ merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadits. Dan itu artinya ijma’ wajib diikuti/dipatuhi selama dalam Al-Qur’an dan Hadis tidak ada ketetapan hukum tersebut. Jumhur ulama menguatkan pendapat ini dengan bersandar pada dalil dari ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi.
B.     Dasar hukum ijma’
Al-Qur’an, Hadis, dan akal merupakan dasar hukum ijma’.[4]
1.    Al-Qur’an
Ijma’ banyak dijelaskan dalam Al-Qur’an, diantaranya adalah:

"يأيهاالذين ءامنوا أطيعوا الرسول وأولى الأمرمنكم  (59)"

“hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan Ulil amri diantara kamu...” (Q.S. An-Nisa’: 59)
Ulil amri yang disebut diatas dapat diartikan sebagai penguasa negara, seperti presiden, raja, dsb. Sedangkan yang mengurusi hal agama adalah mujtahid. Dan ketika para mujtahid sepakat untuk suatu hukum, maka hal itu wajib diikuti oleh seluruh kaum muslim.



2.    Hadis
Selain dari Al-Quran. Ijma’ juga diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, yang artinya:  “apa yang dipandang baik oleh orang-orang muslim, disisi Allahpun dipandang baik”. (HR. Ahmad)
Hadis tersebut diatas, diambil dari buku Hikmatut Tasyri wa Hikmatus Syar’i karangan Dr. M. Fahim Tharaba yang beliau ambil dari buku karangan Mukhtar Yahya, 1993: 62).  Dari hadits tersebut, cara untuk menghukumi suatu masalah ialah dengan mufakad bersama.
3.      Akal
Dalam melaksanakan ijtihad, para mujtahid harus berpegang pada ajaran agama islam, harus mengerti hukum-hukum yang sudah ditentukan, serta tidak boleh melampaui apa-apa yang sudah ada dalam nash. Mujtahid juga tidak boleh melampaui qawaidul ahkam, karena dalam menentukan suatu hukum mujtahid bisa menggunakan cara lain. Seperti contoh menggunakan istihsan, qiyas, istishab, urf, dsb. Bisa disebut qath’i apabila mujtahid berpegang pada dalil syara’ dalam menentukan suatu hukum, akan tetapi tak akan mencapai suatu kesepakatan jika masih bersifat dzanny.
C.     Rukun ijma’
Rukun ijma’ ini ditentukan oleh ahlul ushul sebagai berikut:[5]
a)      Adanya beberapa mujtahid. Jika hanya ada satu mujtahid, maka tidak akan ada ijma’ karena tidak ada kesepakatan para mujtahid.
b)      Mujtahid melakukan kesepakatan dengan tidak memandang ras, suku, dan golongan. Jika pengambilan hukum dilakukan oleh mujtahid dalam satu negara, maka ijma’ tidak sah. Dan ijma’ tidak didasarkan pada ras, suku, dan golongan.
c)      Setiap mujtahid harus mengutarakan pendapatnya dengan tegas dan jelas. Hal tersebut bisa berupa perkataan, perbuatan atau dengan tulisan yang menggambarkan penerimaan atas pendapat mujtahid lain dalam menentukan suatu hukum pada sebuah peristiwa.
d)     Kesepakatan harus mufakad tanpa menyandang cacat. Sebuah kesepakatan yang hanya disepakati oleh setengah dari jumlah mujtahid yang ada, tidak  bisa mencapai tingkatan ijma’ dan tidak bisa dijadikan dasar syar’iyah.
D.    Macam-macam ijma’  [6]
1)      Ijma dari segi pembentukannya, dibagi menjadi dua yaitu:
a)      Ijma’ sharih, adalah kesepakatan yang disepakati oleh para mujtahid. Dengan mengutarakan pendapat masing-masing dengan tegas dan jelas sebagai tanda persetujuan akan pendapat salah seorang mujtahid.
b)      Ijma’ sukuti, adalah kesepakatan yang diambil secara diam-diam. Maksudnya, para mujtahid berkumpul untuk menetapkan suatu hukum dengan cara sebagian mujtahid mengemukakan pendapatnya, dan sebagian mujtahid lagi hanya diam sebagai tanda persetujuan akan hukum tersebut.
2)      Ijma’ dari segi macamnya, terbagi menjadi enam, yaitu:
ü  Ijma’ ahl al-madinah (kesepakatan penduduk madinah)
Imam Malik berpendapat bahwa ijma’ ahl al-madinah(kesepakatan di golongan sahabat dan tabi’in) ini bisa dijadikan hujjah. Namun, kesepakatan yang dilakukan setelah dua masa tersebut tidak lagi disebut hujjah. Sedangkan pemuka mdzhab maliki berpendapat lain tentang kehujjahan ijma’ ini, mereka berpendapat:
·         Informasi apapun yang datang dari penduduk madinah lebih utama daripada pendapat dari kota lain, karena penduduk madinah lebih dekat dengan Rasulullah SAW. dan merekalah yang sangat mengetahui apa-apa yang Rasulullah ajarkan.
·         Kesepakatan mengenai urf dan adat istiadat yang sudah menyebar yang terkait pada suatu hukum tertentu, yang mana urf dan adat ini sudah sangat populer dimata penduduk kota madinah.
Jadi, ijma’ ahl al-madinah adalah suatu kesepakatan di lingkup hukum yang dapat ditetepkan dengan dua cara yaitu:
§  Periwayatan
§  ijtihad
ü  Ijma’ Al-Haramain (kesepakatan penduduk mekah dan madinah)
Beberapa pemuka ushul berpendapat bahwa kesepakatan penduduk dari dua kota ini termasuk hujjah. Pendapat ini berawal dari kepercayaan bahwa ijma’ bermula di masa sahabat, dan kebanyakan dari sahabat tinggal di Mekkah dan Madinah. Jadi, kesepakatan dari penduduk nya merupakan hujjah.
ü  Ijma’ ahl Al-misyhrain (kesepakatan dua kota –Basrah dan Kufah-)
Sama hal nya dengan ijma’ al-Haramain, ijma’ ini juga merupakan hujjah, yang mana kedua kota ini juga termasuk dominan pednduduk nya adalah sahabat. Namun, pendapat ini bisa dibantah dengan alasan bahwa sahabat tidak hanya tinggal di kota Mekkah, Madinah, Basrah, dan Kuffah saja, akan tetapi juga di Irak, Yaman, dan Syam (Syiria). Begitupun dengan alasan bahwa ijma’ secara khusus ada pada masa sahabat saja, bisa ditolak dengan pendapat bahwa ijma’ bisa dilakukan kapan saja disetiap masa, asalkan terpenuhi syarat-syaratnya.
ü  Ijma’ asy-syaikhan (kesepakatan 2 kholifah –abu bakar dan  usman-)
Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi SAW. yang artinya: ” dari Huzaifah, bahwa Nabi SAW bersabda: “turutilah dua orang setelah (wafat)-ku: Abu Bakr dan Umar.”
ü   ijma’ khulafaur rasyidin.
Al-Qadhi Abi Hazim mengemukakan pendapat ini berdasarkan pada hadits nabi yang menyatakan bahwa khulafaur rasyidin ialah sahabat yang cakap dan ahli dalam kepemimpinannya. Oleh sebab itu mereka wajib diikuti, yang secara tidak langsung perkataan mereka menjadi hujjah.
ü  Ijma’ al-‘itrah (kesepakatan keluarga nabi)
Syi’ah al-alamiyah dan az-zaidiyyah berpendapat bahwa kesepakatan ahl al-bayt (Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain) termasuk hujjah. Mereka mendasar pada Quran surah al-Ahzab (33): 33, asy-Syuara (42): 23.

QIYAS
Terdapat beberapa cara dalam pengambilan hukum islam, yang pertama yaitu : Al quran, hadis, ijma’ dan qiyas. Al-Quran adalah sutau sumber utama dalam menetapkan hukum – hukum islam, dan al quran merupakan hal yang utama dalam kehidupan umat muslim, karena al-Quran adalah pedoman bagi setiap muslim. Sedangkan hadis merupakan hal yang kedua dalam menetapkan sebuah hukum. Hadis atau sunah merupakan suatu hal yang sama seperti Al-quran dalam hal menghalalkan yang halal dan juga mengharamkan yang haram, tetapi sunah atau hadis ini merupakan hokum yang pengambilannya dari perkataan ataupun perbuatan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan ketetapan hukum Ijma’ adalah.Sedangkan qiyas menurut global yaitu menyamakan cabang karena ‘illat kapeada sebuah pokok, dan mengumpulkannya kedalam satu hukum.
a.    Pengertian Qiyas
“Qiyas adalah menetapkan suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar Nashnya dengan cara membandingkan kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat  antara kedua kejadian atau peristiwa itu”
Pada dasarnya, qiyas adalah dasar hukum yang mana para mujtahid telah mengambil sebuah mufakat untuk ijtihad mereka, untuk menemukan suatu hukum dari peristiwa yang mana tidak ada hukum nash nya secara jelas. Dengan kata lain, qiyas dapat dikatakan sebagai babak pertama dalam dunia keijtihadan para mujtahid, yang mana enetapan sebuah hukumnya itu dalam bentuk akal ataupun ra’yu.
“Qiyasmenurut istilah ulama Ushul Fiqh ialah menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash tentang hukumnya dengan kejadian yang ada nash tentang hukumnya, dalam hukum yang disebut dalam nash, karena sama dua kejadian itu dalam illathukum ini”
Jika suatu hukum kejadian ditunjukkan oleh suatu nash, dan penentuan illat hukum yang mana sudah ditentukan melalui cara – cara yang telah ditentukan oleh para mujtahid, lalu disuatu permasalahan yang lain yang hampir mirip hukum illatnya dengan kejadian yang lain, maka hukum kejadian yang hampir mirip tersebut disamakan dengan nash berdasarkan illatnya yang sama, maka suatu hokum itu diperoleh dari keadaan illat yang sama tersebut.
Pengertian qiyas menurut Qadhi Abu Bakar yang mana pengertian tersebut kebanyakan di setujui oleh para ulama, yaitu :
حَمَلَ معْلُمٍ عَلَى معْلُمٍ فِي اِثِبَاتِ حُكْمٍ لَهٌماَ اَوْ نَفْيِهِ عَنْهُمَا بِأَمْرٍ جَامِعٍ يَبْنَهُمَا
yang mempunyai arti : menanggukan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya.” 
Dapat disimpulkan bahwa pengertian qiyas menurut Qadhi Abu Bakar adalah ketika menetapkan suatu hukum kepada sesuatu yang diketahui maupun yang tidak diketahui diantara keduanya ketika menetapkan sutau hukum dilihat adakah hal yang sama diantara kedua sesuatu tersebut,akankah menetapkan suatu hukum tersebut ataukan meniadakan suatu hukum tersebut. Pengambilan hukum nya dari kedua sesuatu yang telah diketahui.
b.    Kedudukan qiyas sebagai sumber hukum
Jumhur Ulama berpendapat bahwa qiyas dijadikan dalil atau dijadikan sebaai hujjah untuk hukum yang bersifat amaliyah.Tempat keempat dalam penetapan sebuah hukum dalam urutas sumber hukum diduduki oleh qiyas.Jumhur ulama berpendapat berdasarkan Al-Quran, sunah, dan beberapa perbuatan sahabat yang dipadukan dengan akal.
1.         Kedudukan qiyas berdasarkan dalil Al-Quran, yang artinya :
 “59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Orang – orang mukmin mendapat perintah dari Allah SWT ketika orang – orang mukmin tersebut berselisih tentang suatu hukum yang tidak terdapat hukum yang berasal dari Allah SWT ataupun hukum yang berasal dari Rasul, ataupun yang berasal dari ulil amri, maka orang – orang mukmin mengembalikan sutau hukum tersebut kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Maksud dari mengembalikan suatu hukum kepada Allah SWT dan Rasul-Nya yaitu hukum tersebut dikembalikan kepada Al-Quran dan sunah, yaitu dengan cara membandingkan kejadian yang tidak terdapat hukum nash nya, kepada kejadian yang terdapat hukum nash-nya, yang berdasarkan Al-Quran, sunah dan ijma’.


2.         Kedudukan qiyas berdasarkan sunah
Hadis ini merupakan hadis dari Mu’adz bin Jabal, ketika Rasulullah menyuruhnya ke Yaman, dan Rasulullah bersabda :
كيف تقضي إذا عرض لك قضاء قال أقضي بكتاب الله قال فإن لم تجد في كتاب الله قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله قال أجتهد رأيي ولآالو فضرب رسول الله على صدره فقال : الحمدلله الذى وفّق رسول رسول الله لما يرضى رسول الله
yang mempunyai arti : bagaimana engkau memutuskan apabila datamg kepadamu suatu perkara ? Mu’adz menjawab : “ aku putuskan berdasarkan kitabullah, jika aku tidak memperoleh (hukumnya dalam Kitabullah) maka berdasarkan sunah Rasulullah, jika aku tidak menemukan (hukumnya dalam sunah Rasulullah) maka aku berijtihad pendapatku dan aku tidak akan mengabaikan (perkata itu). Lalu Rasulullah mengusap – usap dada Mu’adz seraya bersabda : segala puji bagi Allah yang memberi taufik kepada sesuatu yang diridhai oleh Rasulullah (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Sudah jelas dalam hadis tersebut ketika Mu’adz bin Jabal berijtihad dalam menetapkan sebuah hukum, maka Rasulullah telah membenarkan pemikiran Mu’adz bin Jabal tersebut. Menemukan suatu hukum dan menggunakan segala kesungguhan untuk menetapkan sebuah hukum, dan itu semua mencakup qiyas, itu adalah pengertian dari ijtihad, dikarenakan ijtihad dan istidlal merupakan semacam qiyas.
3.         Qiyas dijadikan Hujjah dalam hukum agama dimana suatu hukum tersebut didapatkan dari perbuatan – perbuatan dan perkataan – perkataan para sahabat. “mereka berijtihad dalam menetapkan sebuah hukum kejadian – kejadian yang tidak ada nashnya dengan mengiaskan kejadian yang ada nashnya. Para sahabat mengqiaskan jabatan khalifah serta menjelaskan dasar – dasar qiyas yang mereka gunakan dengan ucapan : Rasulullah meridhai Abu Bakar dalam urusan agama kita, adakah beliau tidak meridhainya dalam urusan dunia kita ?”
Dari contoh tersebut para sahabat mendapatkan hukum tersebut dengan mengaitkan dengan nash yang ada, maka dari itu perbuatan dan perkataan para sahabat dapat menjadi hujjah dalam penetapan sebuah hukum.
4.         Allah membuat suatu hukum ditujukan untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Sedangkan kemaslahatan manusia akan terus berkembang seiring berjalannya waktu. Maka apabila terdapat suatu hukum yang tidak ada hukum nashnya, illat yang sama dengan kejadian yang hampir sama, maka kejadian ataupun kebijaksanaan menempati hukum yang sama.
c.    Tingkatan – tingkatan Qiyas
Tingktan qiyas yang ditinjau dari kejelasan illatnya, terdpat dua tingkatan yaitu :
a.  “Qiyas al-Jali (qiyas yang nyata). Terdapat dua macam qiyas al-jali yaitu :
1)  Suatu hukum qiyas yang sudah nyata terdapat dalam nash.
Contohnya, Allah SWT telah berfiman di dalam al-quran, supaya kamu berbuat baik kepada kedua orang tua, dan janganlah kamu mengatakan ah kepada kedua orang tua tersebut. Larangan tersebut terdapat suatu illat yang sama dengan larangan memukul kedua orang tua, yaitu sama – sama akan menyakiti mereka.
2)  suatu qiyas yang ‘illahnya tidak disebutkan dalam nash, tetapi tidak ada kesamaranuntuk mengetahui permasaan ‘illah itu di dalam al-ashl¬dan al-far’u ”
b.  Qiyasal-khafi (qiyas yang tersembunyi)
Qiyas ini memerlukan ijtihad dalam menetapkan suatu hukum, dikarenakan qiyas  ini mempunyai illat yang tidak disebutkan di dalam nash secara nyata.
”selanjutnya, ditinjau dari segi kekuatan atau lemahnya ‘illah yang terdapat pada al-far’u di bandingkan dengan ‘illah yang terdapat pada tingkatan al-ashl, terdapat tiga tingkatan yaitu : qiyas al-awla, qiyas al-musawi, dan qiyas al-adna.”
a.  Qiyas al-awla
Qiyas al-awla merupakan qiyas yang tingkatan illah nya pada far’u lebih kuat disbanding tingkatan illah pada al – ashl, maka dari itu, penetapan hukumnya al-ashl mendapat peran yang utama dari pada al-fa’u.
b.  Qiyas musawi
“qiyas musawi merupakan qiyas yang ‘illat nya bersamaan antara keduanya dalam kepatuhan dalam hal menerima hukum tersebut.”
c.  Qiyas Dilalah
“Apa – apa yang ‘ilat padanya menunjukkan kepada hukum, tetapi tidak mewajibkannya. Contohnya harta anak kecil diqiyaskan kepada orang yang baligh, dikarenakan sama – sama tumbuh dan berkembang” 
d.  Qiyas Syabah
QIyas yang dipergunakan pada hukum far’u dapat juga digunakan dalam hukum ashl dalam porsi yang lebih banyak, akan tetapi, hukum ashl yang diambil lebih banyak persamaan dengan hukum far’u.
d.   Unsur unsur qiyas
Secara umum unsur unsur qiyas itu meliputi: dasar, pokok(al-ashl), cabang(al-far'u), hukum ashl, dan illat.
1.      Dasar, Pokok(al-ashl)
Yang di maksud dengan al- ashl yaitu sesuatu ketetapan hukum yang di tetapkan berdasarkan nash,  meski berupa al qur'an atau sunnah. Adapun istilah lain dari al-ashl ini di sebut dengan maqis alaih(yang di jadikan tempat meng qiyas kan) atau musyabbah bih(yang di serupakan dengannya).
Beberapa ulama menetapkan persyaratan mengenai al-ashl yaitu:
ü  Al-ashl tidak mansukh.  Maksudnya hukum syara' yang menjadi sumber peng qiyasan masih berlaku dalam masa hidup rasulullah.
ü  Hukum syara'.  Persyaratan ini mutlak harus di penuhi,  karena hukum syara' lah yang menjadi sumber penentuan qiyas.
ü  bukan hukum yang di kecualikan. Jika dasar hukum penetapan qiyas merupakan hukum yang di kecualikan makka tidak boleh. Misalnya hukum tentang  puasa tidak akan batal karena lupa.
2.      Cabang (Al-far’u)
Yang di maksud dengan al-far’u yaitu suatu peristiwa ke dua yang tidak di ketahui sumber hukum  nash nya secara pasti. Maksudnya sesuatu perkara  yang akan di qiyas kan tidak ada hukum di dalam al-quran atau hadistnya secara jelas.
o   Beberapa ulama menetapkan persyaratan mengenai al-far’u yaitu :
o   Tidak ada nash lain yang menetukan hukumnya.
o   Adanya persamaan antara illat kejadian pertama dan ke dua.
o   Tidak ada dalil qath’I yang kandungannya berlawanan dengan peristiwa yang akan di qiyas kan
o   Hukum yang ada dalam kejadian pertama sama dengan kejadian ke dua.
3.      Hukum Ashl
Yang di maksud dengan hukum ashl yaitu hukum yang terdapat masalah ke dua yang penetapan hukumnya di tetapkan oleh nash.
Beberapa ulama menetapkan persyaratan mengenai hukum ashl :
ü  Hukum ashl merupakan hukum syara’
ü  Hukum ashl di tetapkan berdasarkan nash, bukan dengan qiyas.
ü  Hukum asl merupakan hukum yang masih tetap berlaku.
4.      Illat
Yang di maksud dengan illat yaitu suatu sifat yang terdapat  pada hukum ashl  yang di jadikan sebagai sumber hokum, dan dengan itu maka dapat di ketahui suatu hukum di dalam far’u. misalnya sifat memabukkan yang terdapat di dalam khamr yang di jadikan dasar atas haramnya miras .
Beberapa ulama’ menetapkan beberapa persyaratan mengenai syah nya illat yaitu :
ü  Illat itu haruslah berupa sifat yang nyata(zhahir) , maksudnya ilat itu harus dapat di jangkau oleh panca indra.
ü  Illat itu haruslah berupa sesuatau yang dapat di ukur dan ada batasan batasnnya(mundhabitah) .
ü  Illat itu harus ada kelayakan dan keseuaian antara hukum dengan sifat yang akan menjadi illat(mulaimah wa munasibah) .
ü  Maksudnya adanya kesesuaian antar sifat dengan hukum itu sendirisehingga menjadikannya rasional, dapat di terima semua pihak, dan mendorong keyakinan seseorang dalam melakukan sesuatu.
ü  Illat itu harus mempunyai daya rentang(mutaadiyah) . maksunya illat itu harus memiliki sifat yang tidak hanya di temukan di hukum ashalnya. Tetapi juga terdapat dalam peristiwa peristiwa yang akan di tetapkan hukumnya.  Seperti illat menyakiti(berkata kasar) kepada orang tua yang hulumnya haram.  Dapat di temukan pula dalam perbuatan, ucapan lain yang menyakiti orang tua.
a.    Perbedaan antara illat, sebab,  dan hikmah
Adapun yang menjadi perbedaan antara 'illat, sabab dan hikmah ialah: illat adalah suatu sifat yang nyata, sesuai dengan tujuan hukum, dan terukur, di mana hukum syara'  menjadikannya sebagai landasan untuk penentuan adanya suatu hukum.
Misalnya: tindakan perusakan harta benda menjadi illahadanya ketentuan kewajiban mengganti barang yang dirusakkan. Demikian juga, akad (transaksi) merupakan illat adanya kewajiban memenuhi apa yang diakad kan. Sementara itu, yang disebut dengan sabab (sebab) ialah, suatu sifat yang nyata dan terukur, di mana hukum syara' menjadikannya sebagai kaitan adanya hukum, baik sifat tersebut memiliki unsur munasib (hubungan yang serasi) dengan hukum itu sendiri (seperti contoh illah di atas). Ataupun tidak terlihat adanya keserasian hubungan antara sifat tersebut dengan hukumnya, seperti: hubungan antara tergelincirnya matahari di tengah hari (zawil asys-syamas) dengan masuknya waktu shalat zhuhur, atau hubungan antara menyaksikan hila Ramadhan dengan kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan. Dengan demikian dapat ditegaskan, bahwa sabab lebih bersifat umum daripada ilah, di mana sifat hukum yang menjadi illat, mesti memiliki kesesuaian yang serasi (munasib) dengan hukumnya, sedangkan sabab tidak mesti memiliki unsur munasib.
Dan yang dimaksud dengan hikmah ialah, dampak yang timbul dalam bentuk lahirnya manfaat atau terhindarnya kemudaratan, dari adanya hubungan antara hukum dengan illah atau sababnya. Maksudnya hikm merupakan dampak positif dan hasil dari adanya peristiwaItu sendiri, serta sifat hikmah itu sendiri samar dan tidak bisa di saksikan oleh panca indra. Misalnya di perbolehkannya tukar menukar dalam bidang muamalah yang mempunyai hikmah dapat menolak kesempitan manusia, sehingga dapat memenuhi hajat manusia.  Hajat manusia adalah samar dan tidak dapat di ketahui bahwa tukar menukar merupakan hajat yang pokok. Atau bukan merupakan hajat manusia.
b.      Bentuk-bentuk illat
Illat adalah sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum Ada beberapa bentuk sifat yang mungkin menjadi 'illat bagi hukum bila telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Di antara bentuk sifat itu adalah :
1.       Sifat hakiki
 yaitu yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya, tanpa tergantung kepada 'urf (kebiasaan) atau lain- nya. Contohnya: sifat memabukkan pada minuman keras.
2.       Sifat hissi
 yaitu sifat atau scsuatu yang dapat diama ti dengan alat indra. Contohnya: pembunuhan yang menjadi penyebab terhindarnya seseorang dari hak warisan: pencurian yang menyebabkan liukuill pulung lallgalu alau sustualu yang daprt dirasnknn, seperti senang ata benci.
3.       Sifat "uri (Jur),
yaitu sifat yang tidak dapat diukur, namun dapat dirasakan bersama. Contohnya: buruk dan baik, mulia dan hina
4.       Sifat lughawi
 yaitu sifat yang dapat diketahui dari pena maannya dalam artian bahasa. Contohnya: diharamkannya nabiz karena ia bernama khamar
5.       Sifat syar'i
 yaitu sifat yang keadaannya sebagai hu um syar'i dijadikan alasan untuk menetapkan sesuatu huku Contohnya: menetapkan bolehnya mengagunkan barang milik bersama dengan alasan bolehnya barang itu dijual.
6.       Sifat murakkab
Yaitu bergabungnya beberapasifat yang  menjadi alasan adanya suatu hukum. Contohnya: sifat pembunuhan, secara sengaja, dan dalam bentuk permusuhan: semuanya dijadikan alasan berlakunya hukum qishah.
c.       Cara mementukan illat.
1.    Nash
 pada hakikatnya qiyas merupakan mengkaitkan hukum suatu masalah yang tidak ada nash-nya kepada hukum yang ada nash nya, maka dapat dipahami, cara yang paling utama menentukan illat  suatu hukum adalah melalui nash .
Akan tetapi, nash itu sendiri, baik dalam bentuk Alquran maupun sunnah, biasanya tidak secara langsung menyebutkan illah suatu hukum yang terdapat di dalamnya, melainkan melalui bentuk-bentuk lafal yang terdapat di dalamnya. Dalam hal ini, ada lafal yang secara jelas (sharih) menunjuk pada suatu ilah, tetapi sebaliknya, ada yang dari segi lahirnya (zhahir) menunjuk adanya illah namun dapat juga dipahami bahwa ia tidak menunjuk pada illah. Bentuk lafal sharif tersebut antara lain, lafal yang menunjuk pengertian sebab penetapan suatu hukum, misalnya: firman Allah pada surah al-Ma'idah (5): 32:
مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
"Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani srail bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (menbunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dibumi maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruh nya".
2.    Berdasarkan ketentuan ijma
 Ijma merupakan salah satu metode menemukan 'illat. Akan tetapi, sebagai mana telah disebutkan, ijma'tidak berdiri sendiri dalam menetapkan suatu ketentuan, melainkan memiliki mustanad (sandaran) nash. Dalam kasus ini para ulama sepakat, vonis hakim tidak sah, jika vonis tersebut dijatuhkan ketika hakim dalam keadaan marah. Mustanad ijma 'tersebut adalah adalah sunnah,  yaitu sabda rasulullah.
"Janganlah seseorang mengadili dua orang yang berperkara, sedang ia dalam keadaan marah"
 Dengan kata lain illat tidak sahnya vonis seorang hakim adalah keadaan nya yang sedang marah.  Sedangkan illat marah menyebabkan tidak sahnya vonis halim terseebut.
3.    Berdasarkan ima' (isyarat)
Melalui al-ima wa at-tanbih, yaitu penyertaan sifat dengan hukum yang  disebutkan di dalam lafal.
4.      Melalui as-sibr wa at-taqsim.
Sibr adalah penelitian yang di lakukan dalam ashl(dasar hukum) dan meneliti tersebut layak atau tidaknya suatu sifat hukum untuk dijadikan illat hukum atau tidak. Kemudian peneliti (mujtahid/ ulama) mengambil salah satu sifat yang menurutnya paling tepat dijadikan illat dan meninggalkan sifat-sifat lainnya. Sedangkan taqsim adalah upaya mujtahid dalam membatasi illat pada suatu sifat dari beberapa sifat yang dikandung oleh nash .
5.    Melalui takhrijul manath
yaitu suatu usaha untuk mencari illat dengan cara mengemukakan keserasian antara sifat dan hukum yang di lakukan beriringan dan terhindar dari sesuatu yang dapat mencacatkannya
6.    Mencari illat melalui tanqibul manath
yaitu upaya untuk menentukan illat menentukan satu sifat di antara beberapa sifat yang terdapat di ashl untuk di jadikan illat, setelah proses penelitian kepantasannya. Kemudian sifat khusus itu di beri illat yang lebih umum.
7.    At-Thard
yaitu penyertaan suatu hokum yang tidak ada keserasian yang berarti antara keduanya.misalnya ucapan “hukumlah penjahat yang buruk rupa itu”  dalam contoh memang di jelaskan keharusan menghukum penjahat itu dan di sertai dengan sifatnya. Namun tidak ada kaitan antara sifat denganhukumnya .
8.    Asy-Syabah
 yaitu sifat yang mempunyai kemiripan.

9.    Dauran
yaitu suatu keadaan dimana ditemukan adanya suatu hukum apabila bertemu dengan sifat dan tidak terdapat adanya suatu hukum ketika sifat tidak ditemukan. Hal ini memberi petunjuk bahwa illat itu suatu sifat yang selalu mengikuti hukum
10.     Ilgha Al-Fariq
adalah adanya suatu titik perbedaan antara sifat dan hukum, tetapi titik perbedaan itu dapat di hilangkan, sehingga yang ada hanyalah kesamaannya.














KESIMPULAN

Sumber hukum islam setelah alqur'an dan as-sunnah yakni ijma dan qiyas.Yang mana sumber hukum ini di gunakan ketika ada suatu permasalahan yang terjadi namun tidak di temukan di dalam alqur'an dan as-sunnah. Ijma merupakan kesepakatan para mujtahid (ummat nabi muhammad SAW ) tentang suatu hukum atau permasalahan di dalam suatu masa setelah beliau wafat. Sedangkan qiyas merupakan penetapan hukum tentang suatu peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasar hukum di dalam alaquran dengan cara membandingkan dengan suatu peristiwa yang lain yang telah di tetapkan sumber hukumnya berdasarkan alquran dan hadist dengan cara mencari persamaan illat.

























DAFTAR PUSTAKA

 Tharaba Fahim, M.Pd, hikmatut tasyri’ wa hikmatus syar’i, malang: cv.dream litera buana,2015

Dahlan Abd. Rahman, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2016

Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh jilid 1, Kencana, (Jakarta : 2008)

Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqh unutk madrasah Aliyah Agama Islam dan Sederajat, Bulan Bintang, (1975)

Alaidin oto, filsafat hukum islam, Raja Graffindo Persada, (Jakarta : 2014)

Muslehuddin muhammad, filsafat hukum islam dan pemikiran orientasi, yogyakarta: tiara wacana, 1991

Hadi saiful, ushul fiqh, yogyakarta: sabda media, 2009


Catatan:
1.      Similarity 11 %.
2.      Mengapa referensi hanya tujuh?
3.      Dalam tulisan ilmiah, penulisan gelar (Prof. Dr. Ustadz, dll) dihilangkan. Begitu pula dalam footnote.
4.      Pelajari cara menulis huruf kapital, kapan diperlukan menulis huruf dengan kapital.
5.      Kata “kita” dalam tulisan ilmiah hendaknya dihindari.
6.      Makalah ini menggunakan footnote atau innote?
7.      Anda pakai referensi dalam menulis pembahasan qiyas?
8.      Tidak mungkin ada referensi yang tidak ditemukan dalam footnote, tapi ternyata muncul dalam daftar pustaka.
9.      Perujukan sangat minim.

Makalah ini perlu banyak pembenahan.........


[1] Dr. M. Fahim Tharaba, M.Pd, hikmatut tasyri’ wa hikmatus syar’i, malang: cv.dream litera buana,
   hlm: 110.
[2]  Dr.H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jakarta: kencana, 2008, hlm: 276.
[3]  Dr.H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm: 276-279
[4]  Dr. M. Fahim Tharaba, M.Pd, hikmatut tasyri’ wa hikmatus syar’i, malang: cv.dream litera buana,
   hlm: 111-112.
[5]  Dr. M. Fahim Tharaba, M.Pd, hikmatut tasyri’ wa hikmatus syar’i, malang: cv.dream litera buana,
   hlm: 113.
[6]  Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2016, hlm: 151-156

Tidak ada komentar:

Posting Komentar