Rabu, 28 Februari 2018

Sumber Hukum Islam yang Disepakati (PAI A Semester Genap 2017/2018)




Sumber Hukum Islam yang Disepakati, Meliputi: Al quran dan Sunah
Oleh: Saqifa Robi’ah Al Adawy, Citro Achmad Faisol
PAI – A, Semester VI
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang

Abstract
In the determination of Islamic law is divided into two, namely the source of law agreed by scholars fuqoha and who are still in debate by scholars fuqoha. In this discussion will be explained the source of Islamic law that includes the Al quran and sunah. The quran is the first and foremost source of Islamic law. It includes the content of the content of Al quran, hujjah, and the laws contained in Al quran. Then As sunah is the second source of Islamic law after the quran. Discussion of sunah includes the definition according to experts, hujjah, function and position against Al quran.
Key words: source of Islamic, Al quran, Sunah
Abstrak
Dalam penentuan hukum Islam dibagi menjadi dua, yaitusumber hukum yang disepakati oleh ulama fuqoha dan yang masih di perdebatan oleh ulama fuqoha. Dalam pembahasan ini akan dijelaskan sumber hukum Islam yang meliputi Al quran dan sunah. Al quran merupakan sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Didalamnya mencakup pokok isi kandungan Al quran, hujjah, serta hukum-hukum yang tertera didalam Al quran. Kemudian As sunah merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al quran. Pembahasan sunah meliputi definisi menurut para ahli, hujjah, fungsi maupun kedudukan terhadap Al quran.
Kata kunci: sumber hukum Islam, Al quran, Sunah.
A.      Pendahuluan
Sumber hukum Islam ialah dalil-dalil syariah yang digunakan dalam penentuan hukum Islam. Dari dalil-dalil yang ada dapat digunakan untuk mensarikan atau menetapkan hukum-hukum yang mengatur ‘amaliah dari setiap insan. Kata dalil berasal dari bahasa arab merupakan bentuk tunggal dari kata al-adillah  yang berarti petunjuk untuk sesuatu[1]. Jika ditinjau dari segi istilah dapat diartikan sebagai suatu yang dapat menghasilkan pandangan tentang suatu hal kebenaran dalam menentukan hukum.
Dalil dalam penentuan hukum Islam dapat terbagi menjadi dua, pertama dalil yang disepakati oleh ulama fuqoha (Al quran, hadits, ijma’, qiyas). Kedua dalil yang masih terdapat perdebatan diantara ulama fuqoha dalam digunakannya sebagai dasar penetapan hukum islam (Istihsan, istis-hab, al-maslahah al-mursalah, al-’urf/al-’adah, sadd al-dhariah, shar’u man qablana).
Diantara dalil yang disepakati oleh ulama fuqoha terdapat dua macam dalil yaitu dalil naqli dan dalil aqli. Dalil naqli merupakan dalil yang berasal atau berupa wahyu dari Allah yakni Al quran serta berasal dari segala sesuatu Rasalullah baik perkataan, perbuatan dan ketetapannya yang disebut sebagai hadits atau sunnah. Sedangkan dalil aqli ini merupakan dalil yang bukan wahyu atau hasil dari penggunaan akal pikiran atau pendapat dari mujtahid ynag telah disepakati yakni berupa ijma’ dan qiyas.
Landasan dari ditetapkannya dalil-dalil tersebut terutama dalil naqli sebagai suatu pedoman dalam menetapkan suatu hukum didasarkan pada suatu sabda Rasulullah SAW:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ مَا اِنْ تَمَسَكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا اَبَدَ كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِى
Aku tinggalkan dirimu dua perkara, sehingga dirimu tak akan tersesat jika berpegang pada kedua-duanya yakni Al quran dan sunnahku.”
Dari hadits tersebut dapat diketahui bahwa Rasulullah menganjurkan setiap umat nya untuk selalu berpegang teguh terhadap Al quran dan hadits (sunnah) dalam menetapkan serta menjalani amaliah kehidupannya agar tidak tersesat yang disebut sebagai dalil naqli pada proses penetapan hukum islam (Syariah).
Maka dari itulah dalam pembahasan kali ini akan diulas tentang sumber hukum Islam yang disetujui para ulama dan merupakan dalil naqli (wahyu) yakni Al quran dan Hadits (sunnah) sebagai dasar utama penetapan hukum. Sehingga akan ditemui alasan dijadikannya dalil naqli sebagai sumber utama yang disetujui ulama.
B.       Sumber Hukum Islam Meliputi Al Quran

Al quran merupakan kajian utama dalam ilmu ushul fiqh karena Al quran dijadikan sebagai bahan utama dalam penetapan suatu hukum. Al quran sendiri secara bahasa berarti bacaan atau tulisan. Hal ini seperti yang ada dalam surat Al Qiyamah ayat 17-18:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (١٧) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (١٨)
 Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (Al quran) didadamu dan membuatmu pandai membacanya (17). Maka jika kami telanh selesai membacanya ikutilah bacaan tersebut (18).”

Sedangkan secara epistimologi dapat diartikan sebagai Kalam Allah yang diturunkan pertama kali sebagai bukti kerasulan Nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun untuk pedoman hidup bagi umatnya serta rahmatal lil ‘alamin.

Al quran pertama kali turun berupa surat Al ‘Alaq ayat 1-5:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١)خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ(٢)اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (٣) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)
Artinya :
“Bacalah dengan menyebut nama (Tuhanmu) yang Maha Menciptakan (1) Dia yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2) Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3) Yang mengajarkan manusia dengan pena (4) Dia mengajarkan manusia dari apa yang belum diketahuinya (5)”.
Dari ayat pertama yang turun berupa surat Al Alaq ayat 1-5 sampai dengan ayat terakhir diturunkan selalu ditulis oleh para sahabat pada pelepah kurma, batu, kulit binatang. Kemudian dari teks-teks Al quran yang tercecer tadi dikumpulkan dan dikodifikasi kedalam bentuk mushaf dan disusun dari surat Al Fatihah sampai diakhiri surat An Nas. Bentuk kodifikasi berbentuk mushaf ini yang diwariskan sampai sekarang.
Al quran yang merupakan wahyu dari Allah SWT ini mulai dari awal diturunkan kepada Rasulullah SAW sampai berbentuk mushaf yang ada seperti sekarang ini tidaklah berbeda. Tidak pernah ada dan bisa dipalsukan karena Al quran itu sendiri telah dijaga dan dijamin keaslihannya oleh Allah SWT sendiri. Seperti yang telah difirmankan-Nya sendiri dalam Al quran surat Al Hijr ayat 9 :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya kami telah menurunkan Ad Dzikr ( Al quran) dan sesungguhnya kami selalu menjaganya(9)
Al quran yang merupakan wahyu dari Allah SWT memiliki beberapa pokok isi kandungan didalamnya. Berikut merupakan pokok isi kandungan yang ada di dalam Al quran :
1.    Tauhid
Merupakan fitrah berupa kepercayaan dan keyakinan untuk selalu mengesakan Allah SWT. Hal ini tercermin dalam firman Allah surat Al Ikhlas ayat 1-4:
قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ (١) ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ (٢)لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (٣) وَلَمْ يَكُن لَّهُۥكُفُوًاأَحَدٌ (٤)
Katakanlah: Dialah Yang Maha Esa (1) Allah adalah tempat bergantung dari segala sesuatu (2) Dia tidak beranak dan juga tidak diperanakan (3) Dan tiada sesuatu apapun yang setara dengan-Nya (4).”
2.    Ibadah
Merupakan amaliah atau bentuk perbuatan sebagai bentuk kepercayaan ajaran tauhid. Ibadah juga sebagai bentuk pengabdian seorang hamba kepada tuhannya. Ibadah sendiri terbagi atas dua macam yaitu ibadah mahdah dan ibadah muamalah (ghairu mahdah). Salah satu bentuk ibadah yang diatur dalam Al quran ialah sholat sebagaimana tertera pada surat Al Baqarah ayat 43:
وَأَقِيمُوا ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ
Dan dirikanlah sholat, dan tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk (43)”. QS. Al Baqarah: 43
3.    Akhlak
Merupakan tabiat atau sifat yang ada dalam diri manusia yang timbul dengan spontan dalam perilaku sehari-hari. Akhlak juga sebagai bentuk ekspresi dari sifat kemanusiaan sehingga dapat membedakan antara manusia dan makhluk lain. Sangat pentingnya akhlak bagi manusia sampai Rasulullah pun diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia seperti yang ada dalam riwayat hadits beliau:

Bahwasannya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik”. (HR: Ahmad.)

Akhlak terdapat dua macam yakni akhlakul karimah dan akhlakul madzmumah. Al quran sendiri juga menjelaskan tentang akhlak seorang manusia  dalam kehidupan sehari-harinya. Sebagai seorang manusia sudah seharusnyalah melihat dan mengikuti akhlak yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah SAW seperti yang dijelasskan di dalam Al quran surat Al Ahzab ayat 21:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ , وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad saw.) yang membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah SWT kepadamu. Dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat.”
4.    Janji dan Ancaman (Hukum)
Janji dan ancaman merupakan salah satu isi pokok kandungan dalam Al quran yang berisi tentang kaidah dasar dalam menjalankan kehidupan dengan disertai janji balasan dan ancaman balasan. Janji balasan berupa nikmat yang akan diberikan Allah SWT kepada manusia manakala manusia senantiasa menjalankan perintah Allah serta melakukan amaliah kebaikan.

Sebaliknya Ancaman balasan berupa siksa atau hukum bagi manusia manakala melakukan suatu hal yang dilarang oleh Allah SWT. Karena dalam kehidupan apa yang ada sudah memiliki ketetapan masing-masing.Tujuannya agar dalam kehidupan ini selalu terciptakan keadaan yang adil, damai, tentram, terarur didalamnya. Oleh karenanya Al quran yang memiliki isi tentang janji dan ancaman dari Allah SWT inilah dijadikannya sebagai suatu sumber hukum. Janji dan ancaman Allah SWT yang dielaskan dalam Al quran seperti pada surat Al Zalzalah ayat 7-8:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (٧) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ(٨)
Barangsiapa mengejarkan kebaikan sekecil apapun niscaya dia akan melihat (balasan) nya (7) Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apa pun niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula (8).”
5.    Kisah-kisah umat terdahulu
Al quran yang menjadi pedoman hidup manusia juga menceritakan banyak kisah-kisah umat terdahulu. Hampir 2/3 dari isi kandungan Al quran berisi tentang cerita atau kisah-kisah dari umat terdahulu. Cerita ataupun kisah-kisah kehidupan umat terdahulu bukanlah sekedar dongeng ataupun cerita rakyat, namun kisah-kisah itu ditampilkan dalam Al quran diperuntukan untuk diambil ibrah atau hikmah oleh umat selanjutnya sebagai gambaran kehidupan masa selanjutnya.

Kejadian maupun kisah umat terdahulu dijelaskan secara indah dalam Al quran baik tentang kehidupan pergolakan keimanan, pencarian tuhan, perang, dan kehidupan sosial yang memiliki banyak hikmah didalamnya. Karena dalam kehidupan ini akan dapat ditemui kejadian yang sama namu berbeda masa sehingga Al quran yang diperuntukan bagi manusia terutama yang selalu menggunakan akal dan nuraninya akan dapat menjawab nya serta mengambil hikmah dibalik kisah yang ada.
Salah satu kisah umat terdahulu yang di jelaskan dalam Al quran adalah terdapat dalam surat Al Furqon ayat 37-39:
وَقَوْمَ نُوحٍ لَمَّا كَذَّبُوا الرُّسُلَ أَغْرَقْنَاهُمْ وَجَعَلْنَاهُمْ لِلنَّاسِ آيَةً , وَأَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ عَذَابًا أَلِيمًا(٣٧) وَعَادًا وَثَمُودَ وَأَصْحَابَ الرَّسِّ وَقُرُونًا بَيْنَ ذَٰلِكَ كَثِيرًا(٣٨) وَكُلًّا ضَرَبْنَا لَهُ الْأَمْثَالَ , وَكُلًّا تَبَّرْنَا تَتْبِيرً (۳۹)
 Dan (telah kami binasakan) kaum Nuh ketika mereka mendustakan para rasul. Kami tenggelamkam mereka dan kami jadikan (cerita) mereka itu pelajaran bagi manusia. Dan kami telah sediakan bagi orang-orang zalim azab yang pedih (37) Dan (telah kami binasakan) kaum ‘Ad dan Samoed dan penduduk Rass serta banyak (lagi) generasi di antara (kaum-kaum) itu (38) Dan masing-masing telah kami jadikan perumpamaan dan masing-masing telah kami hancurkan sehancur-hancurnya (39).”
Al quran merupakan hujjah bagi manusia seperti yang diutarakan oleh Abd Al-Wahhab Khalaf:
“Bukti bahwa Al quran menjadi hujjah bagi manusia dimana hukum-hukumnya merupakan aturan-aturan yang wajib bagi manusia untuk diikuti, karena al quran itu datang dari Allah dan disampaikan kepada manusia dengan jalan yang pasti, tidak diragukan keabsahan dan kebenarannya. Sedangkan bukti bila Al quran itu datang dari Allah SWT, ialah Al quran itu membuat orang (kafir) tidak mampu membuat atau mendatangkan karangan seperti bacaan Al quran.”[2]
Sebagai sebuah hujjah yang dimana hukum-hukum yang ada dalam Al quran menjadi aturan-aturan wajib ditaati oleh manusia. Di dalam Al quran hukum-hukum yang ada memiliki sifat global atau hanya sekedar garis besar tidak sampai memperinci sehingga mayoritas penjelasan yang ada di dalam Al quran akan diperinci oleh As sunah atau hadis Rasulullah SAW. Meskipun bersifat global, hukum yang ada dalam Al quran sudah cukup lengkap secara garis besar.[3] Maka kesempurnaan Al quran sebagai landasan hukum dan rujukan hukum Islam telah dijelaskan dalam surat Al Maidah ayat 3:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا, ...
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu . . .(3)
Berbagai contoh hukum yang ada di dalam Al quran sangat banyak seperti hukum larangan riba, munakahah, larangan zina, hukum waris dan sebagainya. Berikut adalah contoh ayat Al quran yang mengatur tentang hukum-hukum:
1.    Larangan Zina
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً (۳۲)
Dan janganlah kamu mendekati zina, Sesungguhnya zina itu perbuatan keji dan merupakan jalan yang buruk” QS. Al Isra’: 32
2.    Munakahah atau pernikahan
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً , إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ(۲۱)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” QS. Ar Rum: 21
3.    Larangan Riba
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ , ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا , وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا , فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ , وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ , هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” QS. Al Baqarah: 275
4.    Hukum waris

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا ٱلْوَصِيَّةُ لِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ بِٱلْمَعْرُوفِ , حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibubapak dan kerabat karibnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” QS. AlBaqarah 180
Al quran selain memiliki hukum atau mengatur kehidupan hubungan antara manusia dengan sesama manusia, Al quran juga mengatur hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Karena Al quran memiliki dan menginginkan keseimbangan antara kehidupan hubungan hablum min Allah dan hablum min An naas.[4] Agar manusia senantiasa mengingat akan hari akhir dan balasan setiap amaliahnya.
Maka dari itulah Al quran dengan sangat rinci memperhatikan kehidupan manusia dengan Allah SWT serta kehidupan sosial manusia. Al quran juga mengkehendaki sebuah inti bahwa sasarannya adalah manusia dan perbaikannya dengan disertai dokumen lengkapnya[5].
C.      Sumber Hukum Islam Meliputi As-Sunah
As-Sunah adalah sumber hukum Islam kedua setelah Al quran. Menurut sebagian ulama hadis, kata “sunah” sama dengan kata “hadis”, dalam artian sama dalam segi pengertian, makna dan isi. Dengan adanya sunah atau hadis kita sebagai umat muslim mengenal isi kandungan Al quran dan kisah para nabi. Tanpa sunah, isi kandungan Al quran sebagian besar akan tak nampak atau tersembunyi dari pandangan manusia. Misal didalam Al quran terdapatperintah untuk mendirikan salat, maka jika tanpa sunah umat muslim tidak akan akan mengetahui tata cara untuk mengerjakannnya, karena salat merupakan tiang utama dalam beribadah kepada Allah.[6]
As-Sunah menurut etimologi adalah[7]:
الطَّرِيقَةُ مَحْمُوْدَةً كَانَتْ أَوْ مَذْمُوْمَةً.
“Jalan yang dilalui, baik terpuji ataupun tercela.”
Seperti sabda Rasulullah SAW:
لَتَتَّبِعُنَّ سُنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَى لَوْسَلَكُوْا حُجْرَضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ
“Sungguh kamu akan mengikuti sunah-sunah (perjalanan-perjalanan) orang yang sebelummu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka memasuki sarang dhab (serupa biawak) sungguh kamu memasuki juga.”[8]H.R. Bukhari dan Muslim.
Menurut terminology, para ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda.                                                    Terdapat tiga golongan yang mendeskripsikanAs sunah menurut pandangan mereka, disebabkan karena cara pandang yang berbeda serta latar belakang keahlian yang dimiliki masing-masing, yakni ahli fiqh, ahli ushul fiqh serta ahli hadis[9].
a.    Ahli Fiqh
Ahli fiqh atau ulama fiqh berpendapat bahwa sunah berarti suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila dtinggalkan akan mendapat dosa.[10] Karena mereka memandang sunah sebagai suatu perbuatan dalam Islam yang tingkatannya tidak melampaui pada fardhu ‘ain.
Menurut ahli fiqh, sunah masih berkaitan satu sama lain dengan taklifi, yakni wajib, sunah, makruh, mubah, serta haram. Sunah tidak di anggap segala hal yang berkaitan dengan Rasulullah dalam segi perbuatan, akan tetapi suatu pilihan hukum yang diberikan kepada mukallaf, yakni perintah Allah dan Rasulullah yang tidak wajib untuk dikerjakan, tetapi sangat dianjurkan, karena sunah merupakan kebiasaan Rasulullah SAW. Oleh karena itu,tidak berdosa apabila ditinggalkan.[11]
Firman Allah yang berkaitan dengan sunah tertera dalam surah Al Ahzab 21, sunah berarti uswatun hasanah dari semua perbuatan Rasulullah:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ اُسوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوااللهَ وَالْيَوْمَ الاَخِرَوَ ذَكَرَاللهَ كَثِيْرًا (٢١)
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah” QS. Al Ahzab: 21.
b.    Ahli Ushul Fiqh
كُلُّ مَاصَدَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلىْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ الْقُرْاَنِ الْكَرِيمِ مِنْ قَولٍ أَوْفِعلٍ أَوتَقْرِيرٍ مِمَّا يَصْلُحُ أَنْ يَكُونَ دَلِيلًا لِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ
“Hadis adalah segala sesuatu yang disandsarkan kepada Nabi SAW, selain Al quran Al Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut-paut dengan hukum Syara’.”[12]
Ajjaj Al-Khathib berpendapat jika didalam dalil hukum syara’ menyebutkan Al kitab dan As sunah, maka di maksudkan kepada Al quran dan Al hadis, karena yang disebut dengan sunah adalah segala sesuatu yang diperintahkan, yang dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW, baik berupa perkataan maupun perbuatannya.[13]
c.    Ahli Hadis
قَولٍ اَوْفِعْلٍ اَوتَقْرِيرٍ اَوصِفَةٍ خَلْقِيَّةٍ اَوْخُلُقِيَّةٍ اَوْسِيَرَةٍ سَوَاءٌ اَكَانَ ذَلِكَ قَبْلَ اْلبِعْثَةِ اَمْ بَعْدَهَا
“Segala yang bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi rasul, seperti ketika bersemedi di gua Hira maupun sesudahnya.”[14]
Dengan demikian ahli hadis mengemukakan bahwa sunah adalah segala sesuatu yang dinukilkan dari Rasulullah SAW, baik berupa perbuatan, perkataan, maupun taqrir, perjalanan hidup, pengajaran, sifat, baik ketika Rasulullah telah menjadi rasul maupun sebelumnya.[15]
Sunah juga merupakan hujjah yang disepakati oleh para ulama. Namun, sebagian besar ulama hadis berpendapat dalam menilai kesahihan suatu hadis maka dinilai dari segi sanadnya, mereka menyepakati bahwasanya hadis terbagi menjadi dua, yakni mutawatir dan sanad, tetapi menurut Hanafi, hadis terbagi menjadi tiga: mutawatir, masyhur, dan ahad.[16]
Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il musytaq dari At-tawatur yang artinya At-tatabu’(berturut-turut).[17]
Secara istilah, mutawatir adalah sebagai berikut:
مَا رَوَاهُ جَمْعٌ عَنْ جَمْعٍ تُحِيلُ الْعَادَةُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ
“Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka terlebih dahulu bersepakat untuk berdusta”.[18]
Sunah sebagai hujjah dapat diringkas sebagai berikut[19]:
Pertama, terdapat ­nash-nash Al quran yang memerintahkan supaya patuh dan tunduk terhadap Rasulullah SAW, Allah berfirman:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ اطَاعَ اللهَ
“Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah”. QS. An-Nisa: 80.
Kedua, Allah memberi tugas kepada Rasulullah untuk menyampaikan risalah Allah kepada umatnya, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ...
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu berarti) kamu tidak menyampaikan amanatNya . . .”.QS. Al Maidah: 67.
Ketiga, nash-nash Al quran yang menerangkan bahwa Rasulullah bersabda atas nama Allah, Allah berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى(٣) اِنْ هُوَ اِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى(٤)
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang di wahyukan (kepadanya)”. QS. An-Najm: 3-4.
Keempat, Al quran menerangkan secara jelas yakni berkewajiban beriman kepada Rasul, berkaitan dengan ini Allah mendesain bahwasanya beriman kepada Rasul sama halnya beriman kepadaNya. Allah befirman:
...فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الأمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Maka berimanlah kamu kepada Allah dan RasuNya, nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimatNya (kitab-kitabNya), dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”. QS. Al A’raf: 158.
Hadis Rasulullah mulai di kompilasikan pada akhir abad pertama Hijriyah pada zaman dinasti Umayyah masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H). Khalifah Umar memerintahkan para gubernurnya untuk mengumpulkan dan membukukan hadis Rasulullah supaya tidak punah. Perintah tersebut dilaksanakan oleh Muhammad Syihab Az Zuhri. Namun pengumpulan tersebut masih sangat sederhana, masih bercampur dan belum jelas kalsifikasi dan sistematiknya. Baru pada zaman dinasti Abbasiyah tepatnya pada masa Al Mansyur,kompilasi hadis Rasulullah telah dilakukan secara teratur dan rapi.[20]
Posisi sunah sebagai sumber hukum Islam kedua memiliki beberapa kedudukan dan fungsi. Dalam Islam kedudukan sunah adalah sebagai sumber hukum. Dilihat dari segi tingkatan, sunah memiliki kedudukan setelah Al quran sebagai sumber hukum Islam, karena sunah berfungsi sebagai penjelas atau pelengkap Al quran yang merupakan pokok asal. Sebagai penjelas, sunah berada di peringkat kedua setelah objek yang dijelaskan.[21]
Sunah juga berfungsi sebagai penopang Al quran dalam menjelaskan hukum-hukum Islam. Yang dimaksud penopang adalah sebagai berikut[22]:
Pertama, fungsi adalah menjelaskan ayat Al quran yang masih mubham, menguraikan ayat yang mujmal, serta mentakhsis ayat yang masih bersifat global.
Kedua, menambah kewajiban-kewajiban syara’ yang ketentuan pokoknya telah ditentukan dengan nash Al quran. Misal, sunah atau hadis yang memerintahkan untuk mendirikan salat, menunaikan ibadah zakat, puasa dan haji.
Ketiga, membawa hukum yang tidak terdapat ketentuan di dalam Al quran, dan tidak pula tambahan terhadap nash Al quran. Seperti diharamkan nya seorang laki-laki melakukan poligami terhadap dua wanita yang masih terikat persaudaraannya yaitu antara adik ibu (tante) dengan keponakannya.
Selain itu fungsi sunah adalah mempertegas dan memperkuat berbagai ketetapan hukum yang telah dikemukakan oleh Al quran, dan orang mukallaf dituntut untuk menegakkan ketetapan-ketetapan tersebut secara konsisten. Serta menetapkan hukum bagi permasalahan yang belum dapat dijangkau oleh Al quran, seperti bolehnya khiyar syarat, adanya hak syuf’ah, serta ketentuan-ketentuan berupa gugurnya qishas bagi seorang muslim yang membunuh orang kafir.[23]
D.      Kesimpulan

Al quran merupakan kajian utama dalam ilmu ushul fiqh karena Al quran dijadikan sebagai bahan utama dalam penetapan suatu hukum. Al quran sendiri secara bahasa berarti bacaan atau tulisan. Sedangkan secara epistimologi dapat diartikan sebagai Kalam Allah yang diturunkan pertama kali sebagai bukti kerasulan Nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun untuk pedoman hidup bagi umatnya serta rahmatal lil ‘alamin.
As sunah menurut ulama fiqh berarti suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila dtinggalkan akan mendapat dosa. Kemudian menurut ahli ushul fiqh sunah atau hadis adalah segala sesuatu yang disandsarkan kepada Nabi SAW, selain Al quran Al Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut-paut dengan hukum Syara’. Dan Ahli hadis mengemukakan bahwa sunah adalah segala sesuatu yang dinukilkan dari Rasulullah SAW, baik berupa perbuatan, perkataan, maupun taqrir, perjalanan hidup, pengajaran, sifat, baik ketika Rasulullah telah menjadi rasul maupun sebelumnya.
























DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud. 1999. Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Edi, Relit Nur. Juli 2014. As-Sunnah (Hadits) (Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah). Volume 6, No. 2, ejournal.radenintan.ac.id, 24 Februari 2018.
Hasan, Mustofa. 2012. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Rosyada, Dede. 1996. Hukum Islam Dan Pranata Sosial (Dirasah Islamiyah III). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Solahudin, Agus dan Suyadi, Agus. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh Untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung: Pustaka Setia.
Usman, Suparman. 2015. Filsafat Hukum Islam. Serang: Laksita Indonesia.
Yasin, Achmad. 2013. Ilmu Usul Fiqh. Surabaya: UIN Sunan Ampel.
Zahrah, Muhammad Abu. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Catatan:
1.      Similarity hanya 3%. Selamat!!!!!
2.      Penulisan yang baku adalah: Alquran, hadis, sunah.
3.      Pada pembahasan awal-awal, footnote kok masih jarang?




[1] Achmad Yasin, Ilmu Usul Fiqh, (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2013), 19
[2] Achmad Yasin, Ilmu Usul Fiqh, (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2013), 30
[3]Ibid, 37
[4]Suparman Usman, Filsafat Hukum Islam, (Serang: Laksita Indonesia, 2015), 28
[5] Ibid, 28
[6]Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1999), 91
[7]Agus Solahudin, Agus Suyadi,  Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 17
[8]Ibid, 18
[9]Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 19
[10]Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 60
[11]Mustofa Hasan, Op. Cit., 22
[12]Agus Solahudin, Agus Suyadi,  Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 16
[13]Mustofa Hasan, Op. Cit., 20
[14]Ibid., 20
[15]Ibid., 21
[16]Rachmat Syafe’I, Op. Cit., 60
[17]Agus Solahudin, Agus Suyadi, Op. Cit., 129
[18]Mustofa Hasan, Op. Cit., 192
[19]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), 151-153
[20]Muhammad Daud Ali, Op. Cit., 96
[21]Relit Nur Edi, As-Sunnah (Hadits) (Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah). ASAS, Vol. 6, No. 2, Juli 2014, 133.
[22]Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit., 161
[23]Dede Rosyada, Hukum Islam Dan Pranata Sosial (Dirasah Islamiyah III), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), 39-40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar