Rabu, 28 Februari 2018

Sumber Fiqih yang Disepakati Meliputi Alquran dan Sunah (PAI C Semester Genap 2017/2018)



SUMBER HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI MELIPUTI
ALQURAN DAN AS-SUNAH

Muhammad Hilal Maulidi dan Achmad Syaifudin Fahmi
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Kelas C Angkatan 2015
Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: maulidihilal97@gmail.com
Abstract:
In Islam there are many legal sources, whether agreed or unanimous. Among the agreed law are the Qur'an, as-sunna, ijma 'and qiyas. As Muslims we must hold on to the agreed source of law. Because if not guided to him then will be in error, therefore we must hold on to the source of law that has been agreed. But in this article we discuss only two sources namely the Qur'an and as-Sunna. The Qur'an is the kalam of Allah revealed by the Prophet Muhammad through the intermediary of the angel Gabriel, written on the sheets beginning with the letter of al-Fatihah and ending with an an-nas letter. While as-Sunna or hadith is anything that rests on the Prophet Muhammad SAW whether it be speech, determination, behavior, the character that becomes Shari'a for Muslims.
Keywords: Alquran, As-sunnah
Abstrak:
Dalam agama Islam banyak sekali sumber-sumber hukum, baik itu yang disepakati ataupun yang tidak disepakati. Diantara hukum yang disepakati tersebutadalah alquran, as-sunah, ijma’ dan qiyas. Sebagai umat islam kita harus berpegang teguh kepada sumber hukum yang telah disepakati tersebut. Karena apabila tidak berpedoman kepadanya maka akan berada pada kesesatan, oleh sebab itu kita harus berpegang teguh kepada sumber hukum yang telah disepakati tersebut. Namun dalam artikel ini kami hanya membahas dua sumber saja yakni alquran dan as-sunah. Alquran adalah kalam allah yang diturunkan oleh Nabi Muhammad melalui perantara malaikat jibril, ditulis diatas lembaran-lembaran yang diawali dengan surat alfatihah dan diakhiri dengan surat an-nas. Sedangkan as-sunah atau hadits adalah segala sesuatu yang bersandar pada Nabi Muhammad SAW baik itu berupa tutur, penetuan, tingkah laku, karakter yang menjadi syariat bagi umat islam.
Kata Kunci: Alquran, As-sunah
A.  PENDAHULUAN
Agama Islam adalah agama yang Rahmatallil alamin, karena di dalamnya Allah menurunksn Nabi Muhammad SAW sebagai makhluk yang akan memperbaiki akhlak manusia di bumi. Sehingga untuk menuntun mereka ke jalan yang benar yaitu addinul islam.
Maka dari itu dalam kehidup ummat islam membutuhkan sumber hukum yang telah disepakati sebagai pedoman hidup di dunia dan akhirat. Karena jika hidup kita tanpa sumber hukum yang telah disepakati, maka bisa-bisa kita terjerumus kedalam jalan yang sesat.
Alquran adalah salah satu kitab kalam Allah yang diturunkan kepada penutup para nabi melalui perantara malaikat Jibril, dengan bahasa Arab, dan disampaikan kepada kita secara berangsur-angsur. Di dalamnya juga terdiri dari berbagai hukum tentang islam, disamping itu juga memberi petunjuk kepada seluruh umat manusia mengenai hal-hal mana yang patut dicontoh dan mana yang tidak patut dicontoh.
Sedangkan as-sunah adalah suatu perkataan, perbuatan dan sikap yang disandarkan pada Nabi akhiruz zaman sebagai suri tauladan yang baik bagi seluruh ummat manusia.
Maka dari itu kita sebagai ummat manusia harus berpegang teguh kepada kedua sumber hukum tersebut. Karena keduanya saling berkaitan. Apabila kita tidak berpegang teguh kepadanya jangan berharap kehidupan kita selalu berada di jalan yang lurus.

B.  ALQURAN
1.    Pengertian
Dalam pengertian etimologi, kata “Alquran” adalah jenis mashdar dari قَرَأَ – يَقْرَأُ – قِرَاءَةً berwazan dari kata فَعَلَ – يَفْعَلُ – فُعْلاً  yang bermakna bacaan. Dalam arti kebahasaan Alquranadalah yang dicermati, dipandang, dan dipelajari.
Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa pengertian Alquran yang diungkapkan oleh para ulama.[1] Salah satunya diungkapkan oleh As-syekh Muhammad Ali ash-shobuni dalam kitabnya at-Tibyan fi ‘ulumil qur’an:[2]
اْلقُرْآنُ هُوَ كَلاَمُ اللَّهِ اْلمُعْجِزُ اْلمُنَزَّلُ عَلَى خَاتَمِ اْلاَنْبِيَاءِ وَاْلمُرْسَلِيْنَ بِوَاسِطَةِ اْلأَمِيْنِ جِبْرِيْلِ عَلَيْهِ السَّلاَمُ اْلمَكْتُوْبَ فِي اْلمَصَاحِفِ اْلمَنْقُوْلُ إِلَيْنَا بِالتَّوَاتِرِ اْلمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ اْلمَبْدُوْءُ بِسُوْرَةِ اْلفَاتِحَةِ اْلمُخْتَتَمُ بِسُوْرَةِ النَّاسِ
alquran adalah firman Allah yang menakjubkan, yang diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul, dengan perantara malaikat Jibril a.s, yang ditulis diatas lembaran-lembaran, yang dipindah kepada kami secara berangsur-angsur, dihitung beribadah bagi pembacanya, yang diawali dengan surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat an-naas”.
Adapun pengertian alquran menurut ulama ushul fiqh adalah:[3]
اْلقُرْآنُ هُوَ كَلاَمُ اللَّهِ تَعَالَى اْلمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِللَّفْظِ اْلعَرَبِيِّ اْلمَنْقُوْلُ إِلَيْنَا بِالتَّوَاتُرِ اْلمَكْتُوْبُ فِي اْلمَصَاحِفِ اْلمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ اْلمَبْدُوْءُ بِسُوْرَةِ اْلفَاتِحَةِ اْلمُخْتَتَمُ بِسُوْرَةِ النَّاسِ
alquran ialah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Muhammad SAW, berbahasa Arab, diriwayatkan kepada kita secara mutawatir, termaktub di dalam mushhaf, membacanya merupakan ibadah, dimulai dari surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat an-naas
Dapat kita mengerti bahwa inti dari dua pengertian alquran di atas itu adalah sebagai berikut:[4]
a.    Alquran adalah kalam Allah SWT baik makna ataupun lafalnya. Jika maknanya saja yang disampaikan, kemudian lafalnya diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW maka hal ini tidak bisa kita sebut sebagai alquran akan tetapi hal itu dinamakan dengan hadits qudsi ataupun hadits-hadits lainnya.
b.    Diwahyukan kepada penutup para nabi. Maksudnya, wahyu seperti: Taurat, Zabur dan Injil yang dahulu diwahyukan sebelum Nabi Muhammad SAW bukanlah alquran. Karena wahyu yang diberikan kepada Nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW banyak diceritakan kembali oleh alquran.
c.    Berbahasa Arab. Dalam hal ini, tafsiran atau terjemahan alquran ke bahasa apa saja tidak bisa dikatakan alquran, karena didalam tafsiran dan terjemahannya biasanya terdapat suatu kekeliruan atau ketidak samaan antara satu dengan yang lainnya. Maka dari itu tidak bisa digunakan sebagai dasar atau dalil dalam penetapan suatu hukum, jika alquran itu  diterjemahkan atau ditafsiri ke bahasa lainnya selain bahasa Arab.
d.   Alquran disampaikan kepada kita semua melalui riwayat mutawattir. Maksud dari mutawattir ialah dipelajari oleh banyak orang dan semua orang sepakat bahwa yang dipelajari semuanya adalah kebenaran dan tidak ada satu pun yang mendustakan.
Maka dari itu, hingga kapan saja dan selama keadaan apapun itu, ilmu ini tak pernah bersebrangan pada kunci pokoknya, yakni alquran. Seperti halnya didalam firman Allah SWT yang berbunyi:[5]
وَنُنَزِّلُ مِنَ اْلقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَيَزِيْدُ اْلظَّلِمِيْنَ إِلاَّخَسَارًا﴿۸٢﴾
“Dan, Kami turunkan dari alquran, suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian.”(QS. Al-Isra [17]: 82).
Demikian itulah tingkatan alquran menjadi pokok pegangan ushul fiqh. Maka dari itu, seluruh ulama muslim sepakat untuk menjadikan pengetahuan ushul fiqh sebagai petunjuk didalam memberlakukan ajaran syara’ yang sesuai pada nasihat-nasihat alquran.[6]
2.    Alquran dalam Hal Menjelaskan Hukum
Selain fungsi alquran sebagai sumber hukum Islam, didalamnya juga termuat kebutuhan umat manusia yang menyangkut pokok-pokok permasalahnnya. Tidak sedikitpun hal-hal yang menjadi kebutuhan manusia terlupakan dalam alquran. Seperti halnya yang telah Allah jelaskan didalam firman-Nya yang berbunyi:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِى اْلأَرْضِ وَلاَطَائِرٍ يَطِيْرُبِجَنَا حَيْهِ إِلاَّ أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِى اْلكِتَابِ مِنْ شَئٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ ﴿٣۸﴾
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”. (QS. Al-An’am [6]: 38).
Alquran juga memaparkan aturan-aturan norma secara rinci pada bidang budi pekerti, tetapi pada bidang ibadah dan muamalah sekedar disampaikan dengan keterangan-keterangan yang penting saja.
Kebanyakan alquran ketika memaparkan norma-norma yang ada didalamnya sangat memerlukan keterangan, adapun yang menerangkan didalamnya adalah sabda nabi. Maka dari itu, semua ulama sudah memutuskan bahwasanya kata alquran adakalanya erat ada juga yang sempurna dan erat. Misalnya kata qur-un, bisa bermakna suci ataupun haid dan beberapa para ulama lebih menegaskan pada arti suci. Hal ini salah satu penyebab yang menjadikan timbulnya perbedaan menentukan suatu hukum dikalangan para ulama.
Ketika memaparkan tentang norma-norma, alquran memakai bentuk yang tidak sama. Terkadang memakai bentuk kata perintah, misalkan pada kalimat اقم الصلوة, terkadang juga memakai bentuk kata larangan, misalkan pada kalimat لاتقربوا الزنا, dan sebagainya.
Pada intinya pendefinisian alquran tentang permasalahan norma bisa dijabarkan kedalam tiga kelompok:
1.    Pengertian yang menyeluruh dan hadis yang menegaskan, misal pada firman Allah di surat Al-Baqoroh [2]: 185 yang berbunyi:
فمن شهد منكم الشهر فليصم
Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa
2.    Alquran memaparkan aturanya secara global dan hadis memaparkannya, misal pada anjuran sholat. Nabi memaparkan bersama hadis beliau:
صلوا كما رايتمونى اصاى
Sholatlah kalian sebagaimana aku sholat
3.    Dengan petunjuk berdasarkan firman Allah di surat An-Nisa [4]: 25 yang berbunyi:
فإن أتين بفا حشة فعليهن نصف ماعلى المحصناة
Kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami”.
Ayat diatas memberikan tanda bahwasanya balasan bagi budak jika ia melakukan perbuatan zina, balasanya adalah setengah dari balasan wanita yang merdeka.
Dapat diketahui dari beberapa kesimpulan diatas bahwasanya pendefinisian alquran yang membahas norma-norma ada yang tidak membutuhkan pendefinisian seperti ayat-ayat had qazaf, ayat li’an, ayat waris dan sebagainya. Ada juga yang memerlukan pendefinisian karena sifatnya mujmal, membutuhkan penafsiran atau membutuhkan taqyid.[7]

3.    Hukum-hukum yang Terkandung didalam alquran
Secara global alquran adalah sebagai pedoman hidup yang berisi tentang tiga ajaran pokok, diantaranya:[8]
1)   Fatwa-fatwa yang berkaitan dengan iman yang membahas perkara yang wajib dipercayai, misalkan pada masalah tauhid, kenabian, kitab-kitab Allah, Malaikat, hari kiamat dan lain sebagainya yang berkaitan dengan ajaran akidah. Seperti halnya yang telah Allah jelaskan didalam Firman-Nya:[9]
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّنُوْحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآإِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ ﴿٢٥﴾
Dan kami tidak mengutus sorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku(QS. Al-Anbiya’ [17]: 25).
2)   Fatwa-fatwa yang berkaitan dengan budi pekerti, yakni peristiwa yang wajib membuat keindahan jiwa bagi setiap mukalaf yang bersifat unggul dan menjauhkan jiwa dari peristiwa yang mendorong pada hal keburukan.
Seperti halnya yang telah Allah jelaskan didalam Firman-Nya:[10]
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوآ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَلِدَيْنِ إِحْسَنًا إمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ اْلكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْكِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلاَتَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاًكَرِيْمَا ﴿٢٣﴾
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulai”. (QS. Al-Isro’ [15]: 23).
3)   Ketetapan-ketetapan amaliyah, adalah keputusan-keputusan yang berkaitan amal pekerjaan mukalaf (ajaran fikih). Dari peraturan-peraturan amaliyah tersebut muncul dan tumbuhlah ilmu fikih. Peraturan-peraturan dalam alquran terbagi menjadi dua bagian, yakni peraturan-peraturan ibadah yang memerintah ikatan manusia dengan tuhan, dan peraturan-peraturan mu’amalat yang memerintah ikatan manusia dengan manusia. Seperti halnya yang telah Allah jelaskan didalam Firman-Nya:[11]
يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لاَتَأْكُلُوآأَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْتَكُوْنَ تَجَارَةً عَنْتَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلاَتَقْتُلُوآ أَنْفُسَكُمْ إِنَّ للَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا ﴿٢۹
Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali denagn jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kemu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa’ [5]: 29).

C.  AS-SUNNAH
1.      Pengertian
Kata سنة “sunnah” dalam Bahasa arab berasal dari kata سن. Dilihat secara etimologis makna sunnah adalah cara yang bias dilakukan, baik cara itu merupakan sesuatu yang baik atau sesuatu yang buruk.[12]
Pengertian sunnah secara terminologis dapat dilihat dari beberapa disiplin ilmu, berikut tiga pengertian sunnah:
1.    Menurut ahli Hadist. Sunnah adalah suatu yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan serta sikap Nabi dalam sebuah peristiwa.
2.    Menurut ahli Usul Fiqh. Sunnah adalah semua yang berkaitan dengan masalah hukum yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan serta sikap Nabi dalam sebuah peristiwa.
3.    Menurut ahli Fiqih. Sunnah memiliki dua pengertian, pengertian yang pertama serupa dengan pengertian ahli Usul Fiqh. Sedangkan pengertian yang kedua adalah segala sesuatu yang apabila dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditingalkan tidak mendapat dosa.[13]
Dari beberapa pengertian sunnah yang telah disebutkan diatas, kita dapat mengetahui bahwa sunnah terdiri dari tiga macam. Berikut macam-macam sunnah:
1.    Sunnah Qauliyah adalah ucapan Nabi Muhammad SAW yang di dengar oleh sahabat Nabi lalu perkataan itu disampaikan kepada orang lain. Sebagai contoh adalah ucapan Nabi Muhammad SAW:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh melakukan kemudharatan, dan tidak boleh pula membalas kemudharatan dengan kemudharatan” (HR. Ibn. Majah)
2.    Sunnah Fi’liyah adalah perbuatan Nabi Muhammad SAW yang dilakukan dan diketahui oleh sahabat kemudian sahabat menyampaikannya kepada orang lain. Sebagai contoh hadis Nabi Muhammad SAW:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR.Bukhari)[14]

3.    Sunnah Taqririyah adalah perkataan yang diucapkan atau perbuatan yang dilakukan oleh sahabat dan diketahui oleh Nabi Muhammad SAW tetapi nabi diam atau tidak melarang, kemudian diamnya Nabi disampaikan oleh sahabat kepada orang lain. Sebagai contoh ketida ada sahabat yang memakan daging dhab dan nabi mengetahui akan hal itu, tetapi nabi tidak melarang sahabat tersebut. Peristiwa ini kemudia disampaikan oleh sahabat kepada orang lain dengan riwayat “saya melihat seorang sahabat memakan daging dhab di dekat nabi. Nabi mengetahui, tapi nabi tidak melarang perbuatan itu.[15]

2.      Periwayatan Sunnah
Macam-macam sunnah yang telah disebutkan berupa Sunnah Qouliyah, Fi’liyah dan Taqririyah, disebarkan oleh sahabat dengan menyampaikan kabar apa yang telah dilihat, didengar dan dialami secara beranting.  Sehingga sampailah kepada orang yang mengumpulkan dan menulis sunnah, maka terbentuklah kumpulan-kumpilan sunnah yang dapat kita temukan saat ini. Dalam prosesnya kebenaran sunnah yang disampaikan seseorang tersebut berbeda-beda. Ada beberapa faktor yang dapat menentukan kekuatan suatu sunnah, yaitu jumlah pembawa kabar, kesinambungan kabar, dan kualitas pembawa kabar tersebut.
Dari segi jumlah pembawa kabar, ulama membagi kepada tiga tingkatan:[16]
1.    Mutawatir. adalah kabar yang disampaikan dari banyak orang kepada banyak orang dengan berkesinambungan yang jumlahnya untuk setiap golongan tidak memungkinkan bagi mereka untuk besepakat melakukan kebohongan.
2.    Masyhur, adalah kabar yang disambaikan oleh beberapa sehabat yang jumlahnya hanya sedikit kepada banyak orang dan di sampaikan kembali kepada banyak orang hingga sampai derajat mutawatir.
3.    Ahad, adalah kabar yang didapat dari nabi oleh perseorangan dan disampaikan kepada perseorangan hingga sampai akhir perawi.
Sedangkan sunnah dilihat dari kualitas pembawa kabar dapat dibagi menjadi empat, yaitu:[17]
1.    Shahih, adalah sunnah yang riwayatnya berkesinambungan dari satu perawi kepada perawi yang lain, dan perawi tersebut besifat adil, kuat ingatannya serta sunnah yang diriwaayatkan tidak bertentangan dengan sunnah yang lainnya dan tidak cacat.
2.    Hasan, adalah sunnah yang riwayatnya berkesinambungan dari satu kepada perawi yang lain, dan perawi tersebut bersifat adil tetapi kurang kuat ingatannya serta, serta sunah yang diriwayatkan tidak bertentangan dengan sunnah yang lainnya dan tidak cacat. Hadis hasan bias meningkat menjadi hadis shahih lighairiha apabila ada seorang yang meriwayatkan dari jalur yang lain yang nantinya dapat menguatkan kedudukannya.
3.    Dha’if, adalah sunnah yang berada dibawah shahih dan hasan dikarnakan tidak memenuhi kriteria hadis shahih dan hasan. Baik kurang dalam kesinambunggannya, adilnya, kekuatan hafalannya, ataupun bertentangan dengan sunnah lainnya dan kecacatannya.
4.    Maudhu, adalah sunnah palsu yang seakan-akan berasal dari nabi padahal hanya direkayasa.

3.      Fungsi Sunnah
Alquran sebagai sumber hukum islam mengandung ayat-ayat yang berisikan hukum islam. Sebagaian besar ayat-ayat tersebut menjelaskan secara garis besar sehingga butuh suatu penjelas untuk dapat dipahami dan penjelas tersebut adalah sunnah. Dapat dipahami bahwa tugas utama dari sunnah adalah menjelaskan tentang apa yang terdapat didalam alquran, sebagai mana yang tertera dalam alquran surat An Nahl ayat 64:
وَمَآاَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَبَ اِلاَّ لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِى اخْتَلَفُوْا فِيْهِ وَهُدًى وَّرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ ﴿٦٤﴾
Dan kami tidak menurunkan Kitab (Alquran) ini kepadamu (Muhammad), melainkan agar engkau dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu, serta menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. An-Nahl [16]: 64).
Maka dapat dipahami jika alquran bertugas sebagai sumber bagi hukum fiqh maka sunnah menjadi bayannya. Adapun secara rinci tugas dari sunnah adalah:
1.    Fungsi Ta’qid menguatkan dan Taqrir menegaskan. Sunnah menggulanggi apa yang sudah dijelaskan di dalam alquran. Sebagai contoh firman Allah surat Al Baqarah ayat 110:
وَأَقِيْمُوْاالْصَلاَةَ وَآتُوْاالزَّكَاتَ
Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat
Ayat alquran diatas dikiatkan oleh perkataan nabi sebagai berikut:
 بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ 
“Islam dibangun diatas lima perkara; Bersaksi bahwa tiada AIlah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat”
2.    Fungsi penjelas. Yakni sunnah menjelaskan tentang suatu maksud yang ada dalam alquran, dalam hal ini adalah:
1.    Penjelas bagi kata-kata atau arti yang masi bersifat samar dalam Alquran.
2.    Perinci tentang segala hal yang disebutkan secara garis besar dalam Alquran.
3.    Pembatas tentang segala hal yang disebutkan secara umum dalam Alquran.
4.    Memperluas suatu maksud yang disebutkan dalam Alquran.
5.    Fungsi itsbat atau menetapkan suatu hukum. Dalam hal ini sunnah menentapkan suatu hukum yang secara jelas tidak ditemukan didalam Alquran, atau dalam hal ini dapat dipahami sebagai memperluas Hukum yang terdapat dalam Alquran dengan terbatas. Sebagai contoh adalah surah Al Maidah ayat 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi
Setelah ayat diharamkannya bangkai darah dan daging babi. Rasulullah menetapkan hukum tentang haramnya binatang buas dan burung buas dalam hadis dari Abu Hurairah r.a, ia berkata dari Nabi SAW, beliau bersabda:
كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakanya adalah haram”. (HR. Muslim)
Jika dilihat dari sunnah diatas dapat dipahai bahwa rasulullah menetapkan sutau hukum, tapi jika dilihat lebih seksama bahwa nabi menjelaskan tentang larangan memakan suatu yang kotor. Hal tersebut dijelaskan dalam surat Al Araf ayat 33:[18]
قَالَ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ مِنْهَا وَمَابَطَنَ
Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi ”.

4.  Kedudukan Sunnah
Telah disepakati oleh para ulama islam bahwa sunnah dapat menjadi hujjah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Hasyr ayat 7:
وَمَا آتَكُمْ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُوَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
Hendaklah kamu ambil (ikuti) suatu yang dibawa oleh rasul kepadamu dan hendaklah kamu jauhi suatu yang dilarang”.
Kemudian firman Allah SWT surat An Nisa ayat 80:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah”.
Dari ayat-ayat diatas dapat dipahami bahwa, sunnah menjadi hujjah yang kedua atau sumber yang kedua dalam menetapkan hukum syara’. Dari beberapa jenis sunnah yang telah dijelaskan yang dapat dijadikan sebagi hujjah adalah yang berkedudukan Mutawatir, Shohih dan Hasan atau sunnah yang lain tapi kemudian dikuatkan oleh sunnah lain yang berkedudukan Mutawatir, Shahih atau Hasan. Sedangkan hadis Dhaif terjadi pertentangan diperbolehkan atau tidak diperbolehkan digunakan untuk pengambilan hukum syara, tetapi Imam Nawawi berkata “telah sepakat ulama atas boleh beramal dengan hadits Dhaif pada kelebihan-kelebihan amal (untuk memperbanyak amal)”[19]
5.  Hukum-hukum Syara dalam Sunnah Nabi
1.    Aqidah. Dalah hal aqidah adalah suatau yang pasti yang artinya aqidah itu sebuah kepercayaan dan kepercayaan itu pasti dalam hal ini aqidah berhubungan dengan Allah SWT dan sifat-sifatnya, rasu, wahyu dan hari kiamat. Karna aqidah merupaan suatu yang pasti maka membutuhkan sunnah yang pasi pula yaitu sunnah mutawatir yang jumlahnya hanya terbatas.
2.    Akhlak. Sunnah banyak membahas tentang akhlak yang berupa adab, sopan santun, hikmah, pujian terhadap kebaikan, celaan terhadap keburukan dan nasihat-nasihat.
3.    Hukum-hukum amaliyah. Pembahasan tentang amaliyah amatlah banyak baik berupa ibadah, muamalah, hak dan kewajiban manusia dan lain-lain. Sunnah-sunnah yang didapat dari hukum-hukum amaliyah ini yang dijadiakan sebagai sumber hukum setelah alquran oleh ulama fiqih.  Dari sunnah-sunnahbinilah para ahli fiqih mengistimbathkan hukum  tentang dalil-dalil alquran yang mengandung hukum.[20]

6. Sunnah Sebagai Hukum Syara
Sunnah memiliki kekuatan sebagai sumber dalil syara, tetapi tidak semua sunnah dapat digunakan sebagai sumber hukum syara. Adapun tingkatan-tingkatan sunnah yang dapat dijadikan sumber adalah:
1.    Mutawatir. sunnah mutawatir memiliki kedudukan tertinggi dilihat dari jumlah pembawa kabar, maka sunnah dalam tingkatan ini tidak diragukan lagi.
2.    Shahih. Sunnah shahih dapat digunakan sebagai dalil syara atau hujjah apa bila sunnah tersebut tidak bertentangan dengan dengan dalil aluran atau dengan suatu sunnah yang lain yang tinggkatanya lebih kuat, dan juga sunnah shahih ini belum dimansukh oleh alquran atau dengan sunnah shahih yang lain.
3.    Hasan. Sunnah hasan bias digunakan layaknya sunnah shahih tetapi masi berada dibawah tungkatan shahih.
4.    Dhaif. Sunnah dhaif tidak dapat digunakan sebagi dalil syara seperti menentukan halal atau haram tetapi bias digunnakan sebagi fadilah amal atau keutamaan amal.[21]

D.  KESIMPULAN
Alquran kiatab suci umat islam sekaligus mujizat terbesar yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. alquran berisikan berbagai dalil termasuk didalamnya hukum-hukum yang berkaitan sengan syara. alquran menjadi sumber hukum yang utama, maka para ulama ushul fiqh mengunakan alquran sebagai hujjah dalam pengambilan istimbath hukum. Para ulama akan merujuk kepada alquran dalam hukum syara kemudian menambahkan sunnah sebagai penjelas karna alquran sebagaian besar menjelaskan secara garis besar.
Sunnah merupakan segala perkataan perbuatan dan ketetepan nabi Muhammad SAW dari suatu peristiwa. sunnah memiliki kedudukan sebagi sumber hukum yang kedua atau menjadi hujjah yang kedua. Sunnah berisikan aqidah, akhlaq dan berbagai amaliyah yang kemudia semua ini dijadikan pedoman oleh ulama ushul fiqh dalam beristimbath. Sunnah memiliki fungsi pendukung bagi alquran, yaitu fungsi penjelas, penetapan hukum yang tidak adala dalam alquran serta sebagi penguat alquran sebagi sumber hukum yang utama. Maka kita harus benar-benar memahami alquran dan sunnah dalam pembelajaran ushul fiqh karna keudanya memiliki peran yang amat penting dalam pembentukan hukumhukum syara.

E.  DAFTAR PUSTAKA
Ali Ashobuni, Muhammad. 2003. At-Tibyan Fii Ulumil Quran. Jakarta: Darul Kutub Al-Islamiyah.
Rahman Dahlan, Abd. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenadamedia Group.
Koto, Alaiddin. 2004. Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih. Jakarta: Pt Rajagrafindo Persada.
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup
Waid, Abdul. 2014. Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh. Jogjakarta: Ircisod.
Hadi, Saeful. 2009. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Sabda Media.
Djalil, Basiq. 2010. Ushul Fiqh Satu Dan Dua. Jakarta: Prenada Media Grup
Dahlan, Abd. Rahman. 2016. Ushul Fiqh. Jakarta: AMZAH
Firdaus. 2004. Ushul Fiqh. Jakarta: Zikrul Hakim
Bakry, Nazar. 2003. Fiqih Dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
syafe’I, Rachmad. 2015. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia

Catatan:
1.      Similarity hanya 2%. Selamat!!!!
2.      Dalam tulisan ilmiah, penggunaan kata “kita” hendaknya dihindari.
3.      Makalah ini perlu diperbanyak footnotenya, sebab banyak keterangan yang perlu diberikan footnote tapi tidak ada footnotenya.


[1] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 115
[2] Muhammad Ali ash-Shobuni, at-Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an, (Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2003), hlm. 8
[3]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 115
[4]Ibid, hlm. 116
[5]Abdul Waid, Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2014), hlm. 19-20
[6]Ibid, hlm. 22-23
[7] Alaiddin Koto, Ilmu Fidih dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2006), hlm. 66-68
[8]Satria Efendi, USHUL FIQH, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2005), hlm. 92
[9]Ibid, hlm. 81
[10]Saeful Hadi, USHUL FIQH, (Yogyakarta: Sabda Media, 2009), hlm. 120
[11] Satria Efendi, USHUL FIQH, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2005), hlm. 97
[12]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 1, (Kencana Prenadamedia Grup, Jakarta, 2008), hlm. 226
[13]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (AMZAH, Jakarta, 2016), hlm. 131
[14]Firdaus, Ushul Fiqh, (Zikrul Hakim, Jakarta, 2004), hlm. 34
[15]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 1., Op, Cit., hlm. 229-230
[16]Ibid, hlm. 239
[17]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (AMZAH, Jakarta, 2016), hlm. 137-138
[18]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 1., Op, Cit., hlm. 242-246
[19]Nazar Bakry, Fiqih Dan Ushul Fiqih, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003), hlm. 46-47
[20]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh., Op, Cit., 254-255
[21]Basiq Djalil, Ushul Fiqh Satu Dan Dua, (Prenada Media Grup, Jakarta, 2010), hlm. 151

Tidak ada komentar:

Posting Komentar