Minggu, 12 November 2017

Klasifikasi Hadis dari Aspek Kualitasnya (PAI B Semester Ganjil 2017/2018)




Muhammad A’adil, Jihan Nuzula Binti Sholihah dan  Kholida Zuhairoh
Mahasiswa PAI-B Semester 3 UIN Maliki Malang
Abstract
In Islam we have studied various sources of law in determining a case from ancient times to the present. Al-Quran is a revelation originating from Allah and put together to the Prophet Muhammad, besides the Qur'an is also the source of all sources of scholarship. In this case the Qur'an is described in various other sources, one of them is the Hadith. Hadith is an explanation of Al-Quran, hadith is a source of law that comes from the Prophet Muhammad SAW either words, deeds, or statutes. And these two sources of Islamic law are the guidance and guidance of men in the world for the afterlife. Classification of hadith in 'Ulumul Hadith is divided into two namely the classification of hadith in terms of quantity and classification of hadith in terms of quality aspects. In the classification of the division of hadith this much difference. In the division according to the quality of the opinions of the scholars is divided into three types which include hadist shohih, hadith hasan, and hadist dhoif. From the types of hadith has the characteristics and requirements that must be met.
Keywords: Hadith, classification, quality, characteristic, and requirements.
 
Abstrak
Dalam Islam kita telah mempelajari berbagai sumber hukum dalam menentukan suatu perkara sejak zaman dulu sampai saat ini. Al-Quran merupakan wahyu yang bersumber dari Allah dan dirunkan kepada Rasulullah SAW, selain itu Al-Qur’an juga sumber dari segala sumber keilmuan. Dalam hal ini Al-Qur’an dijelaskan dalam berbagai sumber lain salah satunya yakni Hadits. Hadits merupakan penjelas dari Al-Quran, hadits merupakan sumber hukum yang bersumber dari Rasulullah SAW baik perkataan, perbuatan, ataupun ketetapan. Dan kedua sumber hukum Islam ini adalah menjadi pegangan dan pedoman manusia di dunia untuk menuju akhirat. Klasifikasi hadits dalam ‘Ulumul Hadits ini dibagi menjadi dua yakni klasifikasi hadits yang ditinjau dari aspek kuantitas dan klasifikasi hadits yang ditinjau dari aspek kualitas. Dalam klasifikasi pembagian hadits ini banyak perbedaannya. Dalam pembagian menurut kualitas dari pendapat para ulama dibagi menjadi tiga jenis yang meliputi hadist shohih, hadits hasan, dan hadist dhoif. Dari jenis-jenis hadits tersebut mempunyai ciri-ciri dan syarat yang harus dipenuhi.
Kata Kunci : Hadits, klasifikasi, kualitas, ciri-ciri, dan syarat.
A.    Pendahuluan
Sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an merupakan wahyu yang bersumber dari Allah dan dirunkan kepada Rasulullah SAW. Sedangkan hadits menurut istilah ahli hadits adalah apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah SAW yang berupa perkataan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah Rasulullah, baik sebelum atau sesudah kenabian.[1]Dan kedua sumber hukum Islam ini adalah menjadi pegangan dan pedoman manusia di dunia untuk menuju akhirat.
Hadits dan sunnah, baik secara struktural maupun fungsional, disepakati oleh mayoritas kaum muslimin dari berbagai madzhab Islam, sebagai sumber ajaran Islam, karena adanya hadits dan sunnah itulah ajaran Islam menjadi jelas, rinci dan spesifik.  Sepanjang sejarahnya, hadits-hadits yang tercantum dalam berbagai kitab hadits yang ada, berasal melalui proses penelitian ilmiah yang rumit, sehingga menghasilkan kualitas hadits yang diinginkan oleh para penghimpunnya. Implikasinya, telah terdapat berbagai macam kitab hadits, yang sering kali dijumpai keanekaragam redaksi (matan hadits) dan sanadnya, karena diantara kolektor hadits tersebut memakai kriteria dan standar masing masing.
Dalam hal ini kita perlu mempelajari ulumul hadits dalam bidang pengkajian klasifikasi hadits yang mana pada materi ini membahas tentang klasifikasi hadits dari segi kualitasnya. Yang meliputi syarat-syarat klasifikasi hadits tersebut serta ciri-ciri hadits tersebut.
Pembagian Hadits yang ditinjau dari aspek kualitasnya berbeda dengan hadits yang ditinjau dari segi kuantitasnya. Sebagai mana pengklasifikasian menurut kuantitas yakni hadits ahad yang hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita melakukan penyelidikan, baik terhadap matan, maupun sanadnya sehingga hadits tersebut menjadi jelas. Sedangkan pengklasifikasian hadits menurut kualitasnya menurut para ulama ahli hadits membaginya menjadi 3 bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhoif. Yang akan dijelaskan pada pembahsan ini.[2]
B.     Hadits Shohih
a)      Pengertian Hadits Shohih
Shohih menurut bahasa antonim dari saqim (sakit). Menurut kamus bahasa Indonesia shohih diartikan sebagai, sah, benar, sempurna, sehat, pasti.[3]Al- nawawi Shahih secara bahasa artinya “sah, benar, sempurna, tidak ada celahnya”. Secara istilah, menurut Imam, hadits shohih adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawinya yang adil lagi dhabith, tidak ragu (syadz), dan tidak ber’illat.[4]
Menurut Ibn Al Sholah hadits shohih adalah hadits yang sanadnya bersambung (muttashil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabit, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber illat (cacat).[5]
Hadits shohih terdiri atas dua macam, yaitu hadits shahih lidzatihi dan hadits shahih lighairihi.[6] Hadits shahih lidzatihi yaitu hadits yang tidak membutuhkan keterangan lain sebab telah memenuhi kelima syarat hadits shahih. Contohnya, sebuah hadits yang berbunyi: qala rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: al-muslim man salima al-muslimun min lisanihi wa yadihi wa al-muhajir man hajara ma naha allahu ‘anhu muttafaq ‘alaihi (orang islam adalah orang yang tidak mengganggu muslim-muslim lainnya, baik lidah maupun tangannya, dan orang berhijrah itu adalah orang yang pindah dari apa yang dilarang oleh Allah). Hadits ini antara lain diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad sebagai berikut:
a.       Adam ibn Iyas
b.      Syu’bah
c.       1. Ismail
2.ibn safar
d. Al-Sya’by
e. Abdullah ibn Amr ibn Ash
Rawi dan sanad al-Bukhari ini semuanya memenuhi syarat hadits shahih lidzatihi. Oleh karena itu, hadits tersebut termasuk hadits shahih lidzatihi.
Kemudian hadits shahih lighairihi yaitu hadits yang shahihnya karena adanyaketerangan lain. Jadi, hadits ini belum mencapai kualitas shahih, kemudian ada keterangan lain yang menguatkannya sehingga hadits tersebut meningkat menjadi shahih lighairihi.
Contohnya,  “lawla an asyuqqa ‘ala ummatiy la-amartahum bi assiwak ‘inda kulli shalatin rawahu al-bukhari ‘an abi hurairah(sekiranya tidak akan memberatkan kepada umatku, niscaya akan kuperintahkan untuk siwakan setiap menjelang shalat).
Salah seorang perawi dari sanad hadits ini ada yang bernama muhammad ibn Amr ibn ‘alqamah, dia termasuk orang kepercayaan, tetapi rawi-rawi yang lain pada sanad itu semuanya tsiqah. Karenanya, kualitas hadits tersebut termasuk hasan lidzatihi. Kemudian,  ada sanad lain yang memuat hadits tersebut. Jadi, hadis tersebut meningkat derajadnya menjadi hadits shahih lighairihi.

b)     Syarat-syarat Hadits Shohih
Syarat-syarat daripada hadits shohih adalah:
a)      Sanadnya bersambung, maksudnya setiap perawi yang dalam sanad hadist menerima riwayat hadist dari periwayat terdekat sebelumnya, dan bersambung sampai akhir sanad dari hadist tersebut.
b)      Perawi yang adil, maksudnya dalam meriwayatkan hadits perawinya harus adil. Adapun syarat sebagai perawi yang adil selain harus islam dan baligh yaitu: 1) sebagai perawi harus taat melaksanakan semua perintah agama islam dan menjauhi setiap larangan agama islam, 2) selalu menjauhi perbuatan dosa kecil, 3) menjaga ucapan dan perilaku yang dapat menodai muru’ah (menjaga kehormatan),
Sifat adil sebagai perawi yaitu dapat diketahui melalui: a) terkenalnya keutamaan pribadi perawi di kalangan ulama ahli hadits, b) penilaian dari para kritikus perawi hadis tentang kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri perawi, c) perawi menerapkan kaidah al-jahr wa al-ta’dil, jika tidak ada kesepakatan dengan kritikus perawi hadist yang mengenai kualitas para perawi tertentu.
Menurut sebagian besar ulama ahli sunnah, perawi pada tingkat sahabat seluruhnya adil. Menurut kaum mu’tazilah, para perawi yang terlibat dengan pembunuhan ali dianggap fasik, maka periwayatannya di tolak.
c)      Perawinya dhabith, arti dhabith adalah “yang kokoh, kuat, yang sempurna hafalannya”. Menurut Ibnu Hajar al-asqalani, perawi yang dhabith adalah yang kuat hafalannya terhadap apa yang sudah pernah di didengarnya, lalu mampu dalam menyampaikan hafalannya kapanpun dan dimanapun.
Dalamn periwayatan hadist, dhobith di golongkan menjadi 2 yaitu dhabith fi al-sadhr dan dhabith fi al-kitab. Dhabith fi al-sadhr adalah terjaganya periwayatan dalam ingatan sejak menerima hadits sampai meriwayatkannya kepada orang lain. Sedangkan dhabith al-kitab adalah terjaganya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan. Menurut para ulama, sifat kedhabithan perawi dapat diketahui melalui kesaksian para ulama dan kesesuaian antara riwayat satu dengan riwayat orang lain yang telah dikenal kedhabithannya.
d)     Tidak syadz (janggal), maksudnya adalah hadist yang tidak syadz itu hadits yang matannya tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat  atau lebih tsiqah.
e)      Tidak ber’illat(cacat), maksudnya adalah haditsnya tidak cacat dan yang tidak merusak keshahihan hadist. Sehingga hadits yang tidak ber’illat  itu hadits yang didalamnya tidak terdapat kesamaran atau keraguan. [7]

c)      Ashah Al-Asanid (sanad-sanad terbaik)
Para ulama menyeleksi para periwayat yang bisa diterima dan berusaha menyelidiki sanad-sanad beserta kriterianya melalui pendekatan periwayat hadits yang diakui kapasitas keilmuannya, ke-dhabith-an, keadilannya, dan sebagainya.
Lebih lanjut, mereka melihat bahwa ada beberapa di antara sanad-sanad yang shahih menempati kedudukan yang lebih tinggi dibanding sanad yang lainnya karena memiliki nilai yang lebih baik dari segi periwayatannya atau segi yang lain. mereka memberi istilah tersebut dengan sanad yang paling shahih dan para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang termasuk dalam kriteria ashahh al-asanid.[8]
1.        Sanad terbaik melalui jalur riwayat Ibn Syihab Az-Zuhri dari Salim Ibn Abdullah Ibn Umar dari Ibn Umar.
2.        Sanad terbaik dari Abu bakr adalah Ismail bin Abi Khalid dari Ibn Abi Hazm dari Abu Bakr.
3.        Sanad terbaik dari Ali bin Abi Thalib adalah
a.         Muhammad bin Sirrin dari ‘Ubaidah Al-Salmani dari Ali
b.        Al-Zuhri dari Ali bin Husain dari ayahnya dari Ali
c.         Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Al-Husain dari ayahnya dari kakeknya dari Ali.
d.        Yahya bin Sa’id al-Qaththan dari Sufyan Al-Tsawri dari Sulaiman Al-Tamami dari  Harits bin Suwaid dari ali
4.        Sanad terbaik dari Aisyah adalah:
a.         Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah
b.        Aflah bin Humaid dari Al-Qasim dari Aisyah
c.         Sufyan Al-Tsawri dari Ibrahim dari Al-Aswad dari Aisyah
d.        ‘Abd al-Rahman bin Al-Qasim dari ayahnya dari Aisyah
e.         Yahya bin Sa’id dari Ubaidillah bin Umar dari Al-Qasim dari Aisyah
f.         Al-Zuhri dari Urwah bin Zubair dari Aisyah
5.        Sanad terbaik dari Sa’ad bin Abi Waqqash adalah Ali bin Al-Husain bin Ali dari Sa’id bin al-Musayyab dari Sa’ad bin Abi Waqqash
6.        Sanad terbaik dari Ibn Mas’ud adalah:
a.         Al-A’masy dari Ibrahim dari Aisyah dari Ibn Mas’ud
b.        Sufyan Al-Tsawri dari Manshur bin Ibrahim dari Alqamah dari Ibn Mas’ud
7.        Sanad terbaik dari Ibn ‘Umar adalah
a.         Malik dari Nafi’ dari  Ibn Umar
b.        Al-Zuhri dari Salim dari ayahnya dari Ibn ‘Umar
c.         ‘Ayyub dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar
8.        Sanad terbaik dari Abu Hurairah adalah:
a.         Yahya Bin Katsir dari Abi Salamah dari Abi Hurairah
b.        Al-Zuhri dari Sa’id bin Musayyab dari Abi Hurairah
c.         Malik dari Abi al-Zinah Abd Allah bin Dzakwan dari Al-A’raj dari Abu Hurairah
d.        Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Muhammad bin Sirrin dari Abu Hurairah
e.         Isma’il bin Abi Hakim dari Ubaidah bin Sufyan Al-Hadrami dari Abu Hurairah
f.         Ma’mur bin Hamnain dari Abu Hurairah
9.        Sanad terbaik dari Umm Salamah adalah Syu’bah dari Qatadah dari Sa’id dari Amir Akh Umm Salamah dari Umm Salamah
10.    Sanad terbaik dari Abd Allah bin Amr bin Al-Ash adalah Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, yang terbaik (shahih) menurut para pengkritik.
11.    Sanad terbaik dari Abu Musa al-Asy’ari adalah Syu’bah dari Al-Asy’ari dari Amr bin Murrah dari Ayahnya dari Abi Musa.
12.    Sanad terbaik dari Anas bin Malik adalah:
a.         Malik dari Al-Zuhri dari Anas
b.        Sufyan bin Uyainah dari Al-Zuhri dari Anas
c.         Ma’mar dari Al-Zuhri dari Tsabit dari Anas
d.        Syu’bah dari Qatadah dari Anas
e.         Hisyam Al-Daztawai dari Qatadah dari Anas
13.    Sanad terbaik dari Ibn Abbas adalah al-Zuhri dari Ubaidilah bin ‘Abd Allah bin ‘Utbah dari Ibnu Abbas
14.    Sanad terbaik dari Jabir bin Amir adalah Al-Laits bin Sa’ad dari Yazid bin Abd Allah bin Hubaib dari Abi Al-khair dari ‘Uqbah dari Jabir bin Amir.
15.    Sanad terbaik dari Abi Dzar adalah Sa’id bin Abd Al-Aziz dari Rabi’ah bin Yazid dari Abi idris al-Khawlani dari Abi Dzarr.
16.    Sanad terbaik dari Buraidah adalah Al-Husain bin Wahid dari Abd Allah bin Buraidah dari ayahnya, Buraidah.
Sanad-sanad terbaik dari kalangan sahabat agung kemudian dilengkapi dua sanad yang kuat, Syu’bah dan Al-Auza’i, dua ulama tabi’in yang meriwayatkan hadits dari sahabat, yaitu:
a.       Syu’bah dari Qatadah dari Sa’id bin al-Musayyab dari guru-guru sahabat.
b.      Al-Awza’i dari Hasan bin ‘Athiyah dari guru-guru sahabat.
Demikianlah sanad-sanad terbaik yang dikemukakan oleh para ulama dan memiliki keshahihan tertinggi.
d)     Hukum Hadits Shohih
Berdasarkan kesepakatan ulama ahli hadits, ahli ushul fiqih, dan ulama ahli ushul fiqih, hadits shahih wajib diamalkan karena ia merupakan salah satu hujjah (dasar) syari’at islam.[9]



e)         Sumber-sumber Hadits Shohih
Sumber-sumber disini dimaksudkan pada kitab-kitab yang mengandung hadits shahih, seperti kitab Al-Muwattha’, Al-Jami’ As-Shahih Al-Bukhari, Shahih muslim, Shahih Ibn huzaimah, dan Shahih Ibn Hibban.[10]
1.         Al-Muwattha’ merupakan kitab pertama yang disusun oleh Imam Malik pada tahun 93-179 H atau 712-798 M.
2.         Al-Jami’ As-Shahih Al-Bukhari merupakan kitab terbaik yang disusun oleh Imam Abu Abdullah Muhammad  Ibn Ibrahim Al-Mughirah Ibn Birdizbah Al-Ja’fari Al-Bukhari, yang lahir hari Jum’at, 13 syawal 194 H di Bukhara.
3.         Shahih Muslim merupakan kitab terbaik setelah kitab Shahih Al-Bukhari. Kitab ini disusun oleh Imam Muslim Ibn Al-Hajaj Al-Qusyairy An-Naisabury yang lahir pada 206 H dan wafat pada 20 Rajab 261 H.
4.         Shahih Ibn Huzaimah merupakan kitab hadits shahih yang disusun oleh Abu Abdullah Ibn Abu Bakar Al-Huzaimah. Kitab ini memuat hadits shahih yang belum ada dalam kitab Al-Bukhari.
5.         Shahih ibn Hibban merupakan kitab shahih yang ditulis oleh Abu Hatim Muhammad Ibn Hibban yang wafat pada 354 H.

f)       Contoh Hadits Shohih
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا جرير عن  عمارة ابن القعقاع عن ابي زرعة عن ابي هريرة قال : جاء رجول الى رسول الله صلى الله علييه و سلم فقال: يا رسول الله: من احق بحسنى صحابتى؟ قال : امك  قال : ثم من؟ قال: امك, قال : ثم من ؟ قال : امك, قال: ثم من ؟ قال :ثم ابوك
{رواه البخارى و مسلم}
Artinya: “ telah meriwayatkan kepada kami Qutaibah bin Said, ia berkata: telah meriwayatkan kepada kami Jarir dari Umarah bin Qada dari Abu Zurah dari Abu Hurairah, ia berkata “datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW. Lalu berkata, ‘ya Rasulullah, siapakah yang berhak mendapat perlakuan yang baik?’ Rasulullah menjawab, “Ibumu”. Orang itu bertanya lagi, ‘kemudian siapa?’ Rasulullah menjawab, “ibumu”. Orang itu bertanya lagi, kemudian siapa?, rasulullah menjawab, “ibumu”. Orang itu bertanya lagi, kemudian siapa?, Rasulullah menjawab, “bapakmu”.[11]
و عن عائشة رضي الله عنها قالت قال النبي صلى الله عليه و سلم : لا هجرة بعد الفتح, و لكن جهاد و نية, و إذا استنفرتم فانفروا, متفق عليه. ومعناه : لا هجرة من مكة لأنها صارت دار إسلام

Artinya: Dari Aisyah R.A, berkata: Nabi Nabi Muhammad SAW bersabda: “ Tidak ada hijarh setelah pembebasan Makkah, akan tetapi  yanga da ialah jihad dan niat. Maka dari itu, apabila engkau semua diminta untuk keluar oleh pemimpin untuk berjihad, maka keluarlah dan berangkatlah” (Muttafaqun ‘Alaih). [12]
C.    Hadits Hasan
a)      Pengertian Hadits Hasan
Menurut bahasa Hasan artinya yang baik, yang bagus. Menurut para ulama seperti Ibnu Hajar, hadist hasan adalah hadist yang telah memenuhi lima persyaratan hadits shohih sebagaimana disebutkan terdahulu, bedanya dengan hadist shohih terletak pada daya ingatan perawinya sempurna, sedang hadits hasan daya ingat perawinya kurang sempurna. Hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi tidak begitu kuat ingatannya, bersambung sanadnya, dan tidak terdapat ‘illat serta keraguan pada matannya. [13]
Menurut Subhi As-Salih hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, dinukilkan oleh penukil yang adil, namun tidak terlalu kuat ingatannya meski tetap terhindar dari keganjilan dan penyakit. [14]
Menurut At-Tirmizi, sebagaimana yang dikutip oleh Fatchur Rahman, hadits hasan adalah hadits yang pada sanadnya tidak terdapat rawi yang tertuduh berdusta, tidak terdapat kejanggalan pada matannya, dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jalur periwayatan saja. [15]
b)     Syarat-syarat hadits hasan
1.      Sanadnya bersambung
2.      Para periwayat bersifat adil(tidak tertuduh berdusta)
3.      Diantara periwayat terdapat orang yang kurang dhabith
4.      Sanad dan matan hadis terhindar dari syadz dan illat.[16]

Menurut Ajaj Al-Khatib, terdapat perbedaan antara hadits shohih dan hadits hasan adalah jika pada hadits shahih diisyaratkan ke-dhabithan yang sempurna, sedang dalam hadist hasan di isyaratkan ke dhabitan dasar.[17]
c)      Pembagian hadits hasan:
Hadist hasan memiliki 2 jenis, yaitu hasan li dzati hi, dan hasan lighairi hi. Hasan li dzati hi adalah hadits yang mencapai derajat hasan dengan sendirinya, sedikitpun tidak ada dukungan dari hadis lain. dan kalau hanya disebutkan hadist hasan maka yang dimaksudkan adalah hadits hasan lidzatihi. Menurut Ibrahim As-suqi As-Syahawiy hadits Hasan lidzatihi adalah hadits yang sanadnya bersambung, dinukil oleh periwayat yang adil dan dhabith, namun kedhabithannya tidak sempurna, meski tidak terdapat syadz dan illat padanya.
Sedang hasan lighairihi menurut Ibrahim As-Sauqiy as-Syahawiy adalah hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang lain yang dari si periwayat yang dhaif, namun kedhaifannya tidak karena banyaknya kesalahan, tidak bersifat fasik, dan hadis tersebut diriwayatkan oleh periwayat yang lain dari si periwayat yang dhaif tadi atau dari yang lebih tinggi darinya (baik lafalnya maupun maknanya).
Hadits hasan lighairihi pada mulanya merupakan hadist dhoif, yang naik menjadi hasan karena adanya penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena adanya penguat tersebut, seandainya tidak ada penguat maka disebut hadist dhoiif. Hadits hasan dapat dijadikan hujjah dan diamalkan sebagaimana halnya dengan hadits shahih, meskipun kekuatannya tetap dibawah hadist shohih. Oleh karena itu, jika terjadi kontradiksi, maka harus dimenangkan hadits shohihnya.[18]
d)     Sumber-sumber hadits hasan:
Diantara sumber-sumber hadits hasan adalah sebagai berikut:
1.      Al-jami’ karya At-Turmudziy
2.      As-sunan karya imam Abu dawud (202-273 H)
3.      Al-Mujtaba karya Imam An-Nasai
4.      Sunan Al-Mushthafa karya Ibn Majah  [19]

e)      Contoh Hadits Hasan

طلب العلم فريضة على كل مسلم
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang muslim”. (HR. Ibnu Majah)[20]

D.    Hadits Dhoif

a)      Pengertian Hadits Dhoif
Menurut bahasa dha’if berarti lemah. Hadits dha’if berarti hadist yang lemah, atau hadist yang tidak kuat. Menurut istilah, para ulama berbeda pendapat tentang rumusan definisi hadits dhaif. Tetapi, pada dasarnya isi dan maksudnya tidak berbeda. Hukum dari hadits dhaif ini adalah mardud (tertolak). Beberapa definisi antara lain sebagai berikut:
Menurut Al-Nawawi, hadits dho’if adalah hadist yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadist shahih dan syarat-syarat  hadist hasan.
Menurut Nur Al-Din ‘Athr’, hadist dha’if adalah hadist yang hilang satu syaratnya dari syarat-syarat hadits  maqbul (hadits yang shohih atau hadits hasan).[21]
Pada definisi ini, disebutkan secara tegas bahwa jika satu syarat saja yang hilang, berarti hadist itu dinyatakan sebagai hadist dha’if. Apalagi jika hilang itu dua atau tiga syarat, seperti perawinya tidak adil, tidak dhabith, dan  terdapat kejanggalan dalam matan. Hadits seperti ini jelas adalah hadist dha’if yang sangat lemah.
b)     Macam-macam Hadits Dhoif
Para ulama menemukan kedhoifan  hadist  itu pada tiga bagian yaitu pada sanad, matan dan perawinya. Dari ketiga bagian ini mereka membagi kedalam macam hadist dha’if. Antara lain;
a)      Hadist mursal adalah hadist yang gugur sanadnya setelah tabi’in. yang dimaksud gugur disini adalah nama sanad terakhir tidak disebutkan. Padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima hadist dari nabi saw.
Menurut al-hakim hasdist mursal adalah hadist yang disandarkan oleh tabi’in langsung kepada rasulullah saw, baik perkataan perbuatan, maupun taqrirnya. Tabi’in tersebut termasuk tabi’in kecil maupun tabi’in besar. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Al-Hakim di atas dapat diketahui bahwa ada dua macam hadist mursal, yaitu hadist mursal jali dan mursal khafi. Yang dimaksud mursal jali adalah tidak disebutkan nya nama sahabat oleh tabi’in besar, sedang musal khafi yaitu pengguguran nama sahabat yang dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil.
Hadist diriwayatkan oleh sahabat, yang ia sendiri tidak langsung menerima dari rasulullah saw, karena mungkin masih kecil atau menghadiri majlis rasul pada saat itu, juga termasuk hadits mursal(mursal as-shahabi).
Para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan hadist mursal (musal al-shahabi).Para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan hadist mursal sebagai hujjah, yang kesemuanya dapat diringkas kedalam 3 pendapat.. pertama, Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Ahmad, membolehkan berpegang kepada hadist mursal secara mutlak. Kedua, imam syafi’i dan kebanyakan ahli fiqih dan ushul fiqih tidak membolehkannya secara mutlak. Ketiga, pendapat yang membolehkan penggunaan hadist mursal apabila ada riwayat lain yang musnad, diamalkan oleh sebagian ulama, atau sebagian besar ahli ilmu. Demikian pendapat jumhur ulama dan ahli hadist.
b)      Hadist munqathi’ adalah hadist yang perawinya gugur, tidak terjadi pada tingkatan pertama (thabaqah al-shahabah), tetapi pada thabaqah berikutnya, kemungkinan pada thabaqah kedua, ketiga atau keempat. Kemudian digugurkan itu terkadang seorang perawi atau dua orang perawi dengan tidak berturut-turut.
Dilihat dari segi kesinambungan sanadnya, hadist munqathi’ jelas termasuk ke dalam kelompok hadist dhaif, dengan demikian, hadist ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Hal ini karena, dengan gugurnya seorang perawi atau lebih, menyebabkan hilangnya salah satu syarat dari syarat-syarat sahih, yang berarti tidak memenuhi syarat hadist shahih.
c)      Hadist mu’dhal adalah hadist yang gugurnya dua orang perawi terjadi secara berturut-turut.[22]
Para ahli hadist memasukkan hadits yang mawquf dan maqthu’ ke dalam kelompok hadist dhoif dari sudut sandarannya.
1)      Hadist mawquf adalah: hadist yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir sahabat. Dikatakan mawquf karena sandaran nya terhenti pada tingkatan sahabat. Kemudian ia tidak dikatakan marfu’, karena hadist ini tidak disandarkan kepada rasulullah saw.
Ibn Shalah membagi hadist mauquf menjadi dua bagian, yaitu mawquf maushul, mawquf ghairu maushul. Mawquf mawshul adalah hadist mawquf yang sanadnya bersambung sampai kepadaa sahabat, sebagai sumber hadist. Sedangkan mauquf gharu mawshul adalah hadist yang sanadnya tidaak bersambung. Dilihat dari segi persambungan ini, maka yang dinilai sebagai ghair mawshul yang lebih rendah daripada hadist mauquf mausul.
2)      Hadist maqthu’ adalah hadist yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya, baik perbuatan maupun perkataannya.[23]

Ke-dhaif-an disini dimaksudkan pada kecacatan dari segi matan dan rawinya. Kecacatan ini banyak sekali bentuknya. Para ulama menyampaikan beberapa bentuk saja.
1.      Hadits munkar
Hadits munkar adalah hadits yang pada sanadnya terdapat perawi yang sering berbuat kekeliruan, kelalaian, dan kefasikan secara nyata.
Menurut Al-Qasimi, hadits ini matannya tidak diriwayatkan kecuali oleh seseorang saja yang memiliki tingkat kedhabithan sangat rendah. Kemudian hadits ini bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah atau terpercaya, dan hadits ini diriwayatkan oleh perawi yang lemah.

2.      Hadits matruk
Hadits matruk adalah hadits yang sanadnya terdapat perawi yang tertuduh dusta.[24]
Menurut Al-Qasimi, hadist ini merupakan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang terkenal berdusta dalam persoalan selain hadits dan orangnya banyak melakukan kesalahan.
Ahli hadits menyebutkan bahwa antara hadits munkar dan hadits matruk itu merupakan hadits yang paling lemah setelah hadits maudhu’.

3.      Hadits syadz
Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkanoleh perawi yang maqbul, tetapi bertentangan dengan perawi yang lebih tsiqah atau lebih baik daripadanya.
Dalam periwayatan hadits ini hanya dilakukan melalui satu jalur sanad, bukan dikatakan sebagai syad, meskipun sanadnya tersebut lemah. Periwayatan baru dapat dikatakan syadz apabila matannya terjadi pertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Jika ada hadits yang diriwayatkan melalui satu jalur sanad, dan bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan melalui dua jalur atau tiga jalur sanad, maka hadits yang diriwayatkan melalui satu jalur sanad tersebut menjadi syadz. Dengan kata lain, hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang diterima periwayatannya, tetapi riwayat itu menyalahi riwayat perawi yang lebih kuat. Maka, hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih kuat disebut hadits mahfudz, sedangkan yang satunya disebut hadits syadz.

4.      Hadits maqlub
Hadits maqlub adalah hadits yang terbalik redaksinya baik pada sanad maupun matan. Ada dua jenis hadits yang terbalik atau tertukar, yaitu maqlub fi al-matan (yang terbalik adalah matan hadits) dan maqlub fi al-sanad (yang terbalik adalah sanad hadits). Kedua jenis hadits maqlub itu tidak dibenarkan, karena menjadi sebab dari perubahan makna hadits tersebut.[25]


c)      Pengamalan hadist dhoif
Para ulama berbeda pendapat tentang pengamalan hadist dhoif yang di rangkum menjadi tiga pendapat:
1)      Menurut abu dawud dan imam ahmad, hadist dhaif bisa diamalkan secara mutlak. Alasannya  hadist dhoif lebih kkuat daripada akal perorangan (qiyas) .
2)      Menurut ibnu hajar, hadist dhaif bisa digunakan dalam masalah fadha’il, mawa’izh, atau yang sejenisnya sesuai dengan beberapa syarat, yaitu:
a)      Kedhaifaannya tidak terlalu. Tidak tercakup didalamnya seorang pendusta atau yang tertuduh berdusta, ataau terlalu seering melakukan kesalahan.
b)      Hadist dhaif itu masuk dalam cakupan hadist pokok yang bisa diamalkan.
c)      Ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia berstatus kuat, tetapi sekedar berhati-hati.
3)      Hadist dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail, maupun hokum-hukum. Demikian pendapat ibn arabi, imam al-bukhori, imam muslim, ibn hazm, dan lainnya. [26]
Menurut Muhammad ‘ajaj al –khatib, pedndapat ketigalah yang paling aman. Ia memberikan alas an bahwa kita memiliki hadist hadist shahih tentang fadhail, targhib dan tarhib yang merupaka sabda nabi Muhammad saw, yang aangat padat dan berjumlah bessar.  Hal ini menunjukkan kita tidak perlu menggunakan dan meriwayatkan hadist dhaif mengenai masalah fadhail dan sejenisnya.

d)     Contoh Hadits Dhoif

Hadits yang diriwayatkanoleh At-Tarmidzimelaluijalan hakim Al-Atsramdari Abu Tamimah Al-Hujaimidari Abu HurairahdariNabi SAW bersabda :

وَمَنْ أَتَي حَائِضَا أَوِامْرَأَهٍ مِنْ دُبُرِ أَوْ كَاهِنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا اُنْزِلَ عَلَي مُحَمَّد
Barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW”.
Dalamsanadhaditsdiatasterdapatseorangdhaifyaitu Hakim Al-Atsram yang dinilaidhaifolehparaulama. Al-HafizhIbnuHajardalamThariq At- Tahzibmemberikankomentar :فِيْهِ لَيِّنٌpadanyalemah.[27]

Contoh hadits munkar, hadits riwayat al-Nasa’i dan Ibn Majah dari Abu Zakir Yahya bin Muhammad bin Qais dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah dalam bentuk hadits marfu’
كلوا البلح با التمر فإن ابن أدم إذ أكله غضب الشيطان
Artinya:Makanlah kalian buah kurma yang menah dengan yang masak, apabila bani adam memakannya, syetan akan marah.
Imam Nasa’i berkata, bahwa hadits ini hadits munkar, yang diriwayatkan secara sendirian oleh Abu Zakir, seorang guru yang shalih. Imam muslim juga meriwayatkan dalam al-Mutaba’at, hanya saja beliau tidak menjelaskan adanya perawi yang sendirian.
Contoh hadits matruk
Haditsnya Amr bin Syamr al-Ja’fiy al- kufiy al-Syi’iy dari Jabir dari abu Thufail dari ali dan ‘ammr, keduanya telah berkata:
كان النبي صلعم يقنت فى الفجر و يكبر يوم عرفة من صلاة الغداة, ويقطع صلاة العصر أخر أيام التشريق
Menurut an-nasa’i, al-daruquthniy dan lainnya dari Amr bin Syamr bahwa hadits tersebut adalah matruk.[28]
e)      Penutup

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa pengklasifikasian hadits dari segi kualitasnya ada tiga macam. Terdiri dari hadits shahih, hadits hasan dan hadits dhoif.
Hadits shahih dibagi jadi dua, yaitu hadits shohih lidzatihi dan hadits shohih lighairihi. Kemudian hadits hasan dibagi jadi dua, yaitu hadits hasan lidzatihi dan hadits hasan lighairihi. Dan hadits dhaif dibagi menjadi tiga dari aspek kedhoifan sanad, matan, rawi. Dan ketiga bagian tersebut dibagi lagi menjadi beberapa pembagian hadits. Hadits dari aspek sanad meliputi hadits mursal, munqathi’, maudhu’. Dari segi sanadnya adalah hadits Mauquf dan munqathi’. Dan dari aspek kedhoifan rawinya adalah hadits munkar, matruk, syadz, dan maqlub.









DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Mifdhol. 2005. Terjemah kitab Manna’ Al-Qathathan “Pengantar Studi Ilmu Hadits”.  Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
A, Muhammad.2000.Ulumul Hadits, Bandung: CV. Pustaka Setia
Smeer,Zeid B.2008.Ulumul Hadits “Pengantar Studi Hadis Praktis”,Malang: UIN Malang Press.
Sulaiman,M. Noor .2008. Antologi Ilmu Hadits, Jakarta,: Gaung Persada Press.
Suparta, Munzier .2002.Ilmu Hadits,Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suryadilaga,M. Alfatih.2010.Ulumul Hadits,Yogyakarta: Teras.
Thahhan,Mahmud.2007.Intisari ilmu hadits,Malang: UIN Malang Press.
Zuhri Suhaeri. 2013. Pembahasan Ilmu Hadits, Jombang : MA Unggulan Darul Ulum.
Benpani. 2011. Makalah “Pembagian dari Segi Kuantitas dan Kualitas Hadits”: UIN Jambi.
An-Nawawi Imam.2016.  Riyadhus Shalihin. Ikhwanuddin (Penyunting). Jakarta: Shahih.

.
Catatan:
1.      Makalah ini mempunyai similarity 32%.
2.      Hadis shahih dan hasan dalam bentuk lidzaithi dan lighairihi perlu diberikan contoh.
3.      Usahakan menuliskan hadis dalam bentuk Arabnya.
4.      Tolong diteliti penulisan footnotenya.



[1]Abdurrahman Mifdhol. Terjemah kitab Manna’ Al-Qathathan “Pengantar Studi Ilmu Hadits”.  (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005 ),22
[2]M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: GaungPersada Press, 2008), 95-96
[3]Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 126
[4]Ibid, hlm. 96
[5]Ibid, hlm. 96
[6]M. Alfatih suryadilaga, Ulumul Hadits (yogyakarta: Teras, 2010) hlm 249-250
[7]Ibid, hlm. 96-98
[8]M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm 98-101
[9]Mahmud Thahhan, Intisari ilmu hadits (Malang: UIN Malang Press, 2007), hlm 60-61
[10]M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm 248-249
[11]Muhammad A, Ulumul Hadits (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm, 101
[12]An-Nawawi Imam. Riyadhus Shalihin. Ikhwanuddin (Penyunting) (Jakarta: Shahih. 2016), hlm.5
[13]M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm.102-103
[14]Ibid, hlm. 261
[15]M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm.103
[16]M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 262
[17]M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm.103
[18]M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm.104
[19]M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 266-267
[20]H. Zeid B. Smeer, Ulumul Hadits “Pengantar Studi Hadis Praktis” (Malang: UIN Malang Press, 2008). hlm. 35
[21]M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm.105

[22]M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm.107
[23]Ibid. Hlm, 112
[24]Suhaeri Zuhri, Pembahasan Ilmu Hadits,(Jombang : MA Unggulan Darul Ulum,2008), hlm. 45
[25]M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm.112
[26]Ibid, hlm. 112
[27]Benpani, Makalah “Pembagian dari Segi Kuantitas dan Kualitas Hadits”, (Jambi, 2011), 15
[28]Muhammad A, Ulumul Hadits (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm, 122-124

Tidak ada komentar:

Posting Komentar