Senin, 06 November 2017

Klasifikasi Hadis dari Aspek Kualitasnya (PAI D Semester Ganjil 2017/2018)




Nur Dhuha Zulfatul Aliyya dan Muhammad Fani Bakhrudin
PAI D Angkatan 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email : zulfasyarif19@gmail.com
Abstract
The classification of tradition in terms of quality is grouped into two parts, namely Hadith Maqbul (accepted) and Hadith Mardud (rejected). In the Hadith Maqbul there is the Hadith of Shohih and Hadith of Hasan. The Hadith of Shohih and Hadith of Hasanis divided into two, lighoirihi and lidzatihi. Maqbul Hadith can be used as a hujjah for a problem. Whereas in the Hadith Mardud there is Dhoif Hadith. The quality of this Dhoif Hadith is also stratified level in terms of sanad and matannya. The rejection of a hadith is due to the number of syudzdud and illat that exist in the hadith, both derived from matan, rowi, and sanad. Hadith Dhoif this can not be used hujjah in addressing a thing.
Keywords: Classification of Hadith from Quality, Maqbul Hadith, Hadith of Mardud, Hadith of Shohih, Hadith of Hasan, Hadith of Dhoif.

Abstrak
Klasifikasi hadis dari segi kualitasnya dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu Hadis Maqbul (diterima) dan Hadis Mardud (ditolak). Di dalam Hadis Maqbul terdapat Hadis Shohih dan Hadis Hasan. Hadis Shohih dan Hadis Hasan ini dibagi menjadi dua, lighoirihi dan lidzatihi. Hadis Maqbul ini dapat dijadikan sebagai hujjah atas suatu permasalahan.Sedangkan dalam Hadis Mardud terdapat Hadis Dhoif.  Kualitas Hadis Dhoif ini pun juga bertingkat tingkat dilihat dari segi sanad maupun matannya. Ditolaknya suatu hadis disebabkan karena banyaknya syudzdud maupun illat yang ada pada hadis tersebut, baik berasal dari matan, rowi, maupun sanad. Hadis Dhoif ini tidak bisa digunakan hujjah dalam menyikapi suatu hal.
Kata Kunci : Klasifikasi Hadis dari Segi Kualitas, Hadis Maqbul, Hadis Mardud, Hadis Shohih, Hadis Hasan, Hadis Dhoif.

A.    Pendahuluan
Dalam artikel ini kami akan membahas sedikit tentang pembagian atau klasifikasi hadis dari segi kualitasnya.Sebelum membahas kualitas hadis, sebelumnya apasih hadis itu. Hadits dari segi bahasa artinya berita, baru. Sedangkan secara terminologis, hadis ialahsegala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifatnya.[1]Kualitas Hadis ditinjau dari kehujjahannya, diterima atau tidaknya sebuah hadis sebagai sumber Islam digolongkan menjadi dua, yaitu hadis maqbul dan hadis mardud. Menurut Hasbi Asshiddiqy, Hadis Maqbul ialah hadis yang menunjukkan suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya, dan adanya lebih berat daripada ketiadaannya.
ما دلّ دليل على رجْحان ثبوته
Lebih jelas lagi, Hadis Maqbul adalah hadis yang diterima dan dapat digunakan sebagai hujjah, pedoman dan pengamalan syariat. Hadis yang termasuk Hadis Maqbul ialah Hadis Shohih (lidzatihi wa lighoirihi) dan Hadis Hasan (lidzatihi wa lighoirihi).
Sedangkan Hadis Mardud adalah kebalikan dari Hadis Maqbul. Ditolaknya suatu hadis mardud didasarkan pada tidak adanya sifat yang dimiliki oleh para perowi Hadis Maqbul didalam Hadis Mardud.Menurut istilah muhadditsin, mardud berarti
مالم يدلّ دليل على رجحان ثبوته ولاعدم ثبوته بل يتساوى الأمران فيه
“ suatu hadis yang tidak ditunjuki oleh suatu keterangan atas berat adanya dan tidak ditunjuki pula atas berat ketiadaannya, adanya dengan tidak adanya bersamaan. “
Hadis Mardud ini hanya terdiri dari satu, yaitu Hadis Dhoif. Dan Hadis ini tidak bisa diterima sebagai hujjah.
Untuk lebih jelasnya dalam pengertian dan pembagian Hadis Shohih, Hasan dan Dhoif. Kami akan menerangkannya satu persatu dalam bab selanjutnya
B.     Hadis Shohih
Kata sahih diambil dari bahasa Arab as-shahih dari bentuk pluralnya ashihha. Menurut bahasa, kata ini mempunyai beberapa arti, yaitu: selamat dari penyakit, bebas dari aib/cacat. Sedangkan menurut istilah, para pakar ulama mempunyai pendapat bahwa hadis shahih ialah: “hadis yang sanadnya bersambung (sampai kepada nabi Muhammad) dan diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabit sampai ke akhir sanadnya, dan pada hadis tersebut tidak terdapat kejanggalan dan cacat.[2] Sedangkan menurut istilah lain kata sahih secara bahasa diartikan selamat, sehat, sah, benar, dan sempurna. Jadi, hadis sahih menurut bahasa adalah hadis yang selamat, sehat, sempurna dan tidak sakit. Ibnu As Solah mendefinisikan Hadis Shohih sebagai berikut
المُسْنَدُ الَّذِى يتصل اسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط الى منتهاه وَلا يكون شاذا ولامعللا
hadis yang disandarkan kepada nabi muhammad yang sanadnya tersambung, dan diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabith, diterima dari periwayat yang adil dan dhabit hingga sampai ke akhir sanad, tidak ada syadz (kejanggalan) dan tidak mengandung cacat
Sedangkan menurut Al Qosimi dalam kitabnya, Hadis Shohih ialah
مااتّصل سنده بنقل العدل الضّابط عن مثله وسلم عن شذوذ و علة
“ hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan dan diterima dari periwayat yang adil dan dhobith, serta selamat dari kejanggalan dan kecacatan.”[3]
            Maka dari definisi di atas dapat di simpulkan bahwa kriteria hadis sahih ialah:
1.      Sanadnya bersambung.
2.      Seluruh periwayat dalam hadis bersifat adil.
3.      Semua periwayat dalam hadis bersifat dhabit.
4.      Sanad dan matan hadis terhindar dari syads (kejanggalan).
5.      Sanad dan matan hadis terhindar dari suatu yang ilat (cacat).
Jadi jika dalam suatu hadis tidak memenuhi persyaratan tersebut maka kualitas hadis tersebut tidak sahih. Berikut ini pembahasan dari lima ciri tersebut.
Ciri pertama dari hadis sahih ialah sanadnya harus bersambung. Maksudnya, adalah sanad dari hadis tersebut bersambung sampai terakhir atau disebut musnad.
Semua periwayat dalam sanad hadist sahih bersifat adil. Yang dimasudkan periwayat yang adil adalah periwayat memenuhi ciri-ciri berikut: beragama islam, mukallaf, melaksnakan ketentuan agama, dan memelihara muru’ah (memelihara kehormatan dirinya).
Semua periwayat dalam sanad harus bersifat dhabit. Dhabit memiliki arti ingatan dan hafalan yang sempurna. Periwayat memahami secara baik apa yang telah diriwayatkan dan mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja dikehendaki.
Adapun cara untuk mengetahui kedhobitan seorang periwayat dapat diketahui dari:
a.       Berdasarkan kesaksian para ulama
b.      Riwayatnya yang disampaikan sesuai dengan apa yang disampaikan oleh rowi lain yang terkenal kedhobitannya
c.       Apabila ia sekali kali melakukan kesalahan, maka ia masih dapat disebut dhobit. Tapi bila ia melakukannya berkali kali atau sering dilakukan, maka ia tidak termasuk kategori periwayat yang dhobit[4]
Sanad dan matan hadis yang sahih itu terhindar dari syad. Periwayat dikatakan mengandung syadz apabila periwayat yang meriwayatkan hadis itu sebenarnya sudah terpercaya, akan tetapi periwayat tersebut menyalahi periwayat-periwayat lain yang lebih tinggi.
Sanad dan matan hadis yang sahih terhindar dari illat. Illat ialah sifat yang tersembunyi yang menyebabkan hadis tersebut cacat dalam penerimaanya.
Sanad-sanad yang Paling Sahih
Para ulama telah menyeleksi periwayat-periwayat yang dapat diterima dan mengusahakan menyelidiki sanad-sanad beserta kriterianya melalui pendekatan periwayat-periwayat hadis yang sudah diakui kapasitas keilmuanya, ke-dhabit-an, ke-adil-an dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui lebih lanjut, para ulama melihat bahwa ada beberapa diantara sanad-sanad yang sahih menempati kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan sanad yang lain. Para ulama memberi istilah tersebut dengan sanad yang paling sahih (ashahhu al-asanid) dan para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang termasuk dalam kriteria ashahh al asanid.
1.      Menurut sebagian ulama bahwa ashahh al-asanid  adalah jalur riwayat yang melalui ibn syihab az-Zuhri dari salim Ibn Abdullah ibn Umar dari Ibn Umar.
2.      Pendapat Imam al-Bukhari, ashahh al-asanid ialah yang telah diriwayatkan melalui Malik ibn Anas dari Nafi’(pembantu Umar) dari ibn Umar.
3.      Sebagai ulama muta’akhirin berpendapat bahwa sanad-sanad yang paling sahih adalah yang diriwayatkan Ahmad ibn Hanbal dari Imam Syafi’i dari Imam Malik dari Nafi’ dari ibn Umar.[5]
C.    Macam -macam Hadis Sahih
Para ulama mengklasifikasi hadis sahih menjadi dua, yakni sahih li dzatih dan sahih lighairih. Pengertian sahih li dzatihi ialah hadis sahih yang telah memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal, seperti syarat-syarat yang di atas.[6] Misalnya, seperti hadis yang berbunyi: qala rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: al-muslim man salima al-muslimun min lisanihi wa yadihi wa al-muhajir man hajara ma naha allahu ‘anhu . muttafaq alaihi (seorang islam adalah orang yang tidak mengganggu muslim-muslim lainnya, baik dengan lidah maupun tanganya; dan orang berhijrah itu adalah orang yang pindah dari apa yang dilarang oleh Allah).
Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari dengan sanad sebagai berikut:
1.      Adam ibn Iyas
2.      Syu’bah
3.      a. Ismail
b. Ibn safar
4.      Al-Sya’by
5.      Abdullah ibn Amr ibn Ash.
Rawi dan sanad al-bukhari ini semua sudah memenuhi ciri hadis shahih li dzatih. oleh karenannya, hadis tersebut termasuk hadis sahih lidzatih.

Sedangkan hadis sahih li ghairihiialah hadis yang kesahihanya lantaran di bantu oleh keterangan yang lain. Maka pada hadis tersebut belum mencapai kualitas kesahihannya, kemudian ada dalil yang lain yang menguatkannya sehingga hadis itu meningkat menjadi sahih li ghairih.
Syuhudi ismail membeikan contoh sebagai berikut: misalnya ada dua hadis yang maknanya sama dan sama-sama berkualitas hasan lidzatih kemudian ada ayat yang meningkat menjadi hadis hasan lidzatih li ghairih; demikian juga bila ada hadis hasan lidzatih maka dilihat dari jurusan hadis yang tadinya berkualitas hasan tersebut menjadilah ia hadis sahih li ghairih. Sedangkan yang kualitasnya sahih lidzatih tetap berkualitas sebagaimana asalnya.[7]
D.    Kehujjahan Hadis Sahih
Para ulama telah sepakat bahwa hadis sahih dapat dijadikan sebagai hujjah untuk menetapkan syariat islam, baik itu hadis ahad terlebih yang mutawatir, namun pebedaaan penadapat ini dalam masalah akidah. Perbedaan pendapat terjadi karena penilaian para ulama tentang hadis sahih yang ahad itu berstatus qath’i (pasti), sebagaimana hadis mutawattir, atau berfaedah zhanni (samar).
Dalam hal ini, para ulama terbagi dalam beberapa pendapat: pertama sebagian ulama memandang bahwa hadis sahih tidak berstatus qhat’i sehingga tidak dapat dijadikan hujjah  untuk menetapkan persoalan akidah. Kedua, sebagian ulama hadis, yang sebagaimana dinyatakan oleh al-Nawawi, berpendapat bahwa hadis-hadis yang sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim berstatus qhat’i. Ketiga sebagian ulama, yang antara lain Ibn Hazm, memandang bahwa semua hadis yang sahih berstatus qhat’i tanpa adanya membedakan apakah diriwayatkan kedua ulama tersebut atau tidak. Menurutnya semua hadis yang sudah memenuhi syarat kesahihanya adalah sama dalam status sebagai hujjah.
Dengan demikian, hadis sahih baik yang ahad ataupun yang mutawatir, yang shahih li dzatihi ataupun sahih li ghairih dapat di jadikan hujjah atau dalil agama dalam bidang hukum, ekonomi, sosial, ahklak ataupun yang lainya kecuali akidah.[8]


E.     Hadis Hasan
Hadis hasan ialah hadis yang sanadnya sambung, terhindar dari syadz dan illat serta dinukil oleh periwayat yang adil, namun salah satu periwayat ada yang tidak terlalu dhobit. Menurut para muhadditsin, hadis hasan ialah
ما نقله عدل قليل الضبط متصل السند غير معلّل ولا شادّ
“ Hadis yang dinukilkan oleh seorang yang adil, kurang dhobid (tak begitu kokoh ingatannya), sambung sanadnya, dan tidak terdapat ‘illat(cacat) serta syadz(janggal)”[9]
Perbedaan hadis hasan dan shohih terletak pada keadaan perawinya. Pada hadis shohih perawinya sempurna dhobidnya (dhobid tam). Sedangkan pada hadis hasan, kedhobidan perowinya kurang sempurna. Oleh karena itu posisi hadis hasan dibawah hadis sohih.[10]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa uraian hadis hasan antara lain :
a.       Sambung sanadnya
b.      Rowinya adil
c.       Terhindar dari syadz (kejanggalan)
d.      Terhindar dari illat (cacat)
e.       Rowinya kurang dhobit
Sedangkan pembahasannya sama seperti hadis sohih diatas.

F.     Macam Macam Hadis Hasan
Hadis hasan dibagi dua, hadis hasan lidzatihi dan hadis hasan lighoirihi.
Hadis hasan lidzatihi adalah hadis yang menjadi hasan karena syarat dan kriterianya terpenuhi secara tersendiri (internal) bukan karena faktor lain. Lebih tepatnya hadis hasan lidzatihi ini memenuhi 5 kriteria hadis hasan diatas.Sedangkan hadis hasan lighoirihi adalah hadis lemah yang tidak parah kedhoifannya yang diriwayatkan di jalan lain dengan kualitas sanad yang lebih tinggi derajatnya sehingga hadis tersebut meningkat kualitasnya menjadi hasan lighoirihi[11]
Sedangkan menurut kitab ilmu mustolah hadis, hadis hasan ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat hafalannya, bersambung sambung sanadnya dan tidak mengandung cacat serta tidak ada kejanggalan. Hadis hasan lidzatih ini bisa naik derajatnya menjadi shohih lighoirihi apabila ada hadis yang sama dari jalur lain yang menguatkan hadis tersebut, baik serupa maupun lebih banyak ataupun lebih rendah.
Contohnya ialah hadis tentang siwak yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi melalui jalur Muhammad bin Amer. Dia menjadi kuat dan naik tingkatannya menjadi sohih lighoirihi karena ada hadis seperti itu melalui jalur Al A’roj[12]
G.    Kehujjahan Hadis Hasan
Meskipun hadis hasan kekuatannya berada dibawah hadis sohih, hadis hasan dapat dijadikan hujjah atau landasan hukum dalam suatu permasalahan, karena hadis hasan masih termasuk hadis yang maqbul (diterima) kehujjahannya.

H.    Hadis Dhoif
Menurut Bahasa, Dhoif artinya lemah. Secara terminologis,  para ulama mendeskripsikan dengan redaksi yang beragam. Meskipun maksud dan kandungannya sama.
Al Nawawi dan Al Qoshimi mendefinisikan hadis dhoif dengan
ما لم يوجد فيه شروط الصّحّة ولا شروط الحسن
“ Hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat syarat hadis shohih dan syarat syarat hadis hasan”
Muhammad ‘Ajjaj Al Khotib menyatakan, hadis dhoif ialah
كل حديث لم تجْتمعْ فيه صفة القبول
“ Segala hadis yang di dalamnya tidak terkumpul sifat sifat hadis yang diterima (maqbul)”[13]
Muhammad Ajjaj Al Khotib merumuskan, suatu hadis dikatakan Dhoif apabila[14]:
a.       Periwayatnya seorang pendusta
b.      Atau tertuduh berdusta
c.       Banyak membuat kekeliruan
d.      Suka pelupa
e.       Suka maksiat dan fasik
f.       Banyak berangan angan
g.      Menyalahi periwayat kerpercayaan
h.      Periwayatnya tidak dikenal
i.        Penganut bid’ah bidang aqidah
j.        Tidak baik hafalannya
Berikut ini penjabaran dari masing masing diatas, Hadis dhoif dalam segi rawinya  terdapat kecacatan para Rowi, baik mengenai keadilannya maupun kedhobitannya:
a.       Periwayatnya seorang pendusta, baik itu berdusta  walaupun hanya sekali seumur hidup. Hadis Dhoif yang rowinya dusta disebut hadis maudhu’. Hadis maudhu’ adalah
هوالمختلعالمصنوعالمنسوب إلى رسول الله ص م زوراً وبهتاناً سواء كان ذالك عمداً أم خطأً
“ Hadis yang dicipta serta dibuat oleh seorang (pendusta), yang ciptaan itu dinisbatkan kepada Rosulullah SAW secara palsu dan dusta baik disengaja ataupun tidak “
b.      Tertuduh dusta, yaitu seorang Rowi yang terkenal sebagai pendusta namun belum dapat dibuktikan bahwa ia pernah berdusta dalam membuat hadis
c.       Fasik, fasik ialah kecurangan dalam beramal dan sering berbuat maksiat
d.      Tidak baik hafalannya sehingga menyebabkan ia lengah dalam hafalan dan banyak salah. Dalam penerimaan hadis biasanya terjadi kelengahan, sedangkan dalam penyampaian  banyak kesalahan yang terjadi. Hadis yang rowinya fasik, lengah dalam hafalan dan banyak salah disebut hadis munkar.
e.       Menyalahi periwayat kerpercayaan. Yaitu membuat sisipan baik pada sanad maupun matan, melalui perkataannya sendiri maupun perkataan orang lain, baik dari sahabat maupun tabi’in.
f.       Penganut bid’ah,  maksudnya ialah adanya kecurangan dalam i’tikad, mereka mengi’tikadkan suatu i’tikad yang berlawanan dengan yang diterima dari Nabi Muhammad SAW dengan dasar syubhat. Bid’ah adakalanya mengkafirkan adakalanya memfasikkan.[15]
I.       Macam Macam Hadis Dhoif
Darisegi sanadnya, suatu hadis dinyatakan dhoif apabila sanadnya tidak bersambung (tidak muttashil), rowi murid tidak bertemu dengan rowi guru sehingga terdapat inqitha’ (gugur rowi) pada sanad.[16] Macam macam Hadis dhoif karena sanadnhya terputus antara lain[17]
a.       Hadis Muallaq
Adalah hadis yang terputus diawal sanad, muallaq artinya tergantung. Secara terminologis, hadis mu’allaq adalah hadis yang periwayatnya yang diawal sanad (periwayat yang disandari oleh penghimpun hadis) gugur atau terputus seorang atau lebih secara berurut. Jika lebih, keterputusan harus secara berurutan. Karena patokan keterputusannya berada diawal sanad, maka bila putusnya bukan diawal sanad atau beberapa periwayat yang guur tidak secara berurutan, maka hadis itu tidak termasuk Hadis Muallaq
b.      Hadis Munqothi’
Munqothi’ berasal dari kata ‘iqothoa yang berarti berhent, kering, pecah, pata, atau putus. Keterputusan di tengah sanad dapat terjadi pada satu sanad atau lebih, secara tidak berturut turut. Jika keterputusan berada ditengah sanad, atau dalam dua tempat dalam keadaan tidak berturut turut maka hadis ini termasuk Hadis Munqothi’.
c.       Hadis Mu’an’an dan Muannan
Kata mua’an’an dalah bentuk maful dari kata ‘an’ana yang berarti periwayat berkata  عن..عن...(dari...dari..). sedangkan muannan berasal dari kata anna yang menunjukkan bahwa periwayat meriwayatkan hadis dari periwayat lain dengan menggunakan metode انّ
d.      Hadis Mu’dhol
mu’dhol berasal dari kata ‘adhola yang berarti melemahkan, menutup rapat, melelahkan atau menjadikan cacat. Secara terminologi, hadis mu’dhol adalah hadis yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berturut-turut
e.       Hadis Mursal
Mursal berarti lepas atau terceraikan. Sebuah hadis dinyatakan mursal apabila diriwayatkan langsung oleh tabi’in tanpa menyebutkan sahabat. Secara terminologis, hadis mursal adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi oleh seorang tabi’in, tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat,
f.       Hadis Mauquf dan Maqthu’
Hadis mauquf adalah hadis yang disandarkan kepada sahabat Nabi atau hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat baik berupa perkataan, perbuatan ataupun persutujuan. Dilihat dari segi bahasa, mauquf berasal dari kata waqofa yang berarti di berhentikan atau diwakafkan.  Maksudnya hadis ini diberhentikan penyandarannya kepada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi. Berhubung matan hadis tidak disandarkan pada Nabi, maka hadis mauquf termasuk hadis dhoif yang tidak dapat dijadikan hujjah karena menilik dari pengertian hadis sendiri, hadis ialah segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan.
Maqthu’ berasal dari kata qotho’a yang berarti memotong. Secara istilah ialah hadis yang disandarkan kepada seorang tabi’in atau sesudahnya baik perkataan ataupun perbuatan

Pembagian Hadis Dhoif sebab lain dari keterputussan sanad[18]
a.       Hadis Maqlub, yaitu hadis yang menyalahi riwayat orang yang dipercaya dengan memutar balikkan susunan kata atau kalimat. Pemutarbalikan dimaksud bisa saja terjadi dalam sanad maupun matan hadis.
b.      Hadis Mudraj, yaitu hadis yang di dalamnya terdapat sisipan atau tambahan (yang tidak berasal dari potongan hadis tersebut, tetapi bisa berasal tafsiran dari sahabat atau perawi sesudahnya )
c.       Hadis Mushohhaf, yaitu hadis yang mengalami perubahan pada titik atau garis pada huruf hurufnya sehingga terjadi keslahan makna
d.      Hadis Syadz, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh perowi yang tsiqoh tetapi bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang lebih tsiqoh ( mukholafat al tsiqoh li al tsiqaat)
e.       Hadis Munkar, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh perowi dhoif yang bertentangan dengan periwayatan yang disampaikan oleh perowi tsiqoh
f.       Hadis Matruk, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh berdusta
g.      Hadis Maudhu’, yaitu Hadis yang dibuat buat, diadakan dan dinisbahkan oleh seorang pendusta kepada Rosulullah secara palsu baik dengan sengaja (‘amdan) maupun tidak sengaja (khothoan). Sebagian ulama’ menilai ini adalah hadis dhoif yang paling parah, sedangkan sebagian ulama’ menyatakan hadis maudhu’ bukan termasuk hadis dhoif, karena motif dibuatnya hadis palsu dengan motif periwayatn hadis dhoif itu berbeda. Hadis maudhu’ sejak awal (kebanyakan) memang diniatkan untuk melakukan kebohongan atas nama Nabi Muhammad SAW, sedangkan hadis dhoif kedhoifannya bisa terjadi dalam proses periwayatannya.
Hadis dhoif karena sanad yang terputus dinilai tidak cukup parah dibandingkan dengan kedho’ifan karena perowi yang dinilai cacat kepribadiannya. Semua sebab itulah yang menyebabkan berbedanya kualitas kedhoifan suatu hadis.
J.      Kehujjahan Hadis Dhoif
Pada dasarnya, jumhur ulama’ menolak penggunaan Hadis Dhoif untuk dijadikan hujjah. Penolakan penggunaan hadis dhoif itu didasarkan pada keyakinan bahwa hadis tersebut sangat sulit untuk dipertanggung jawabkan baik yang berasal dari Nabi dari sisi sanad maupun matannya. Namun ada beberapa ulama yang menggunakan hadis dhoif apabila telah melewati seleksi yang cukup ketat.[19]
Apabila telah diketahui bahwa hadis dhoif kualitasnya bertingkat tingkat, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah boleh tidaknya melakukan sebuah amalan ibadah berdalil dengan menggunakan hadis dhoif. Dalam masalah ini ada 3 pendapat yang paling populer yaitu[20] :
1. Hadis Dhoif tidak boleh diamalkan sama sekali. Baik untuk ibadah maupun fadhoilul amal. Pendapat ini dianut oleh Al Qadhi Abu Bakar ibn Arobi. Alasan mereka karena hadis sohih dan hasan sekarang sangat lah cukup untuk dijadikan sebagai dasar dalam melaksanakan amal ibadah dan muamalah dengan sesama.
2. Hadis Dhoif boleh diamalkan secara mutlak, selama tidak terdapat nash shohih yang menjelaskan permasalahan tersebut. Ini pendapat yang dianut oleh Imam Ahmad bin Hambal, Abu Daud dan lainnya.
3. Hadis Dhoif boleh diamalkan, namun dengan syarat dan ketentuan :
a. Untuk Fadhoilul Amal ( Motivasi dalam beramal )
b. Kualitas Dhoifnya tidak Parah
c. Berada di bawah payung nash shohih yang diakui kebenarannya, baik dari ayat maupun hadis sohih.
d.  Saat mengamalkan hadis tersebut tidak meyakini keabsahan sumbernya dari Nabi Muhammad SAW
perlu diketahui bahwa, pembagian hadis sohih, hasan dan dhoif belum dikenal pada masa Imam Ahmad bin Hambal. Pada masa itu, ulama hanya mengenal 2 pembagian hadis, yakni hadis sohih dan hadis dhoif. Dalam hadis dhoif ini dibagi menjadi dua tingkatan. Yang pertama hadis dhoif yang tidak dilarang pengamalannya (sekarang setingkat hadis hasan) dan yang kedua hadis dhoif yang wajib ditinggalkan. Menurut ibnu Taimiyah, pembagian hadis hasan baru muncul pada masa Abu Isa al-Turmudzi.[21]
K.  Penutup
            Dari penjelasan artikel diatas dapat diketahui bahwa, secara umum pembagian kualitas hadis dibagi 3, yakni hadis sohih, hasan dan dhoif. Hadis sohih dan hadis hasan ini termasuk ke dalam hadis maqbul, yakni hadis yang diterima kehujjahannya atau hadis yang bisa dijadikan landasan hukum. Sedangkan hadis dhoif termasuk kedalam hadis mardud, yaitu hadis yang ditolak untuk dijadikan hujjah. Namun ada beberapa ulama’ yang menggunakan hadis dhoif sebagai hujjah untuk melakukan fadhoilul amal, bukan menggunakannya dalam bidang hukum ataupun akidah.














DAFTAR PUSTAKA
Idri, Studi Hadis ( Jakarta : Penada Media Group, 2010 )

M. Al Fatih Suryadilaga, Ulumul Hadis ( Yogyakarta: Teras, 2010 )

Endang Soetari, Ulum Al Hadis ( Bandung : Pustaka Setia, 2010 )

Umi Sumbulah dkk, Studi Al quran dan Hadis ( Malang : UIN Malang Press, 2014 )

Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis ( Malang : UIN Malang Press, 2008 )

M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis(Yogyakarta: Penerbit Teras,  2009

Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis ( Surabaya: Al Muna, 2013)

Fadlil Sa’id, Ilmu Mustolah Hadis diterjemahkan dari kitab Minhatul Mughits karya Hafidz Hasan Al Mas’udi (Surabaya: Al Hidayah, 1420 H)

E-journal, Syarat Syarat Hadis Sohih IAIN Salatiga tahun 2015

Rustina N, Mengenal Musnad Ahmad bin Hambal e-journal

Catatan:
1.      Similarity 20%.
2.      Sistematika makalah ini kacau, tolong diperbaiki TOTAL. Tanyakan ketika di kelas apa yang tidak dipahami.


[1] Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis ( Surabaya: Al Muna, 2013) hal 1-2
[2] M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis(Yogyakarta: Penerbit Teras,  2009)  hlm, 244.
[3] Idri, studi hadis, prenada media grup, Jakarta 2010, hlm, 157-158.
[4] E-journal, Syarat Syarat Hadis Sohih IAIN Salatiga tahun 2015 hal 8-9
[5] Ibid. hlm. 246-247
[6] Ibid. hlm 144
[7] Ibid. hlm 249-250
[8] Ibid, hlm. 175
[9] Endang Soetari, Ulum Al Hadis ( Bandung : Pustaka Setia, 2010 ) hal 123
[10] Ummu Sumbulah dkk, Studi Al quran dan Hadis ( Malang : UIN Malang Press, 2014 ) hal 208
[11]Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis ( Malang : UIN Malang Press, 2008 ) hal 35

[12] Fadlil Sa’id, Ilmu Mustolah Hadis diterjemahkan dari kitab Minhatul Mughits karya Hafidz Hasan Al Mas’udi (Surabaya: Al Hidayah, 1420 H) hal 13-14
[13] Idri, Studi Hadis ( Jakarta : Penada Media Group, 2010 ) hal 177
[14] M. Al Fatih Suryadilaga, Ulumul Hadis ( Yogyakarta: Teras, 2010 ) hal 276
[15] Endang Soetari, Ulum Al Hadis ( Bandung : Pustaka Setia, 2010 ) hal 124-128
[16] Ibid, hal 129
[17] Idri, Studi Hadis ( Jakarta : Penada Media Group, 2010 ) hal 179-202
[18] Umi Sumbulah dkk, Studi Al quran dan Hadis ( Malang : UIN Malang Press, 2014 ) hal 218-225

[19] M. Al Fatih Suryadilaga, Ulumul Hadis ( Yogyakarta: Teras, 2010 ) hal 280
[20]Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis ( Malang : UIN Malang Press, 2008 ) hal 36-37
[21] Rustina N, Mengenal Musnad Ahmad bin Hambal e-journal hal 183

Tidak ada komentar:

Posting Komentar