Senin, 18 September 2017

Nasikh dan Mansukh dalam al-Qur'an (PAI D Semester Ganjil 2017/2018)




Dwi Sartika dan Retno Windari
PAI D Angkatan 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang


Abstrack

This article talks about Nasikh and Mansukh. In the article is the definition of Nasikh and Mansukh, the examples of verses Nasikh and Mansukh in the Qur'an, forms of Nasikh and Mansukh, and the usability of Nasikh and Mansukh. Until now, the existence of Nasikh and Mansukh is still disputed by the scholars who support and reject it. However the establishment of an Islamic law does not mean it has become a final decision. It could have changed with the development and change of history.

Keywords : Nasikh, Mansukh, Definition, Examples, form, Usability

Abstrak

Artikel ini berbicara tentang Nasikh dan Mansukh. Didalamnya terdapat definisi Nasikh dan Mansukh, contoh-contoh ayat Nasikh dan Mansukh di dalam Al-Quran, bentuk-bentuk Nasikh dan Mansukh, serta hikmah adanya Nasikh dan Mansukh. Sampai saat ini, keberadaan Nasikh dan Mansukh masih diperdebatkan oleh para ulama yang mendukung dan menolaknya. Bagaimanapun penetapan suatu hukum Islam, bukan berarti sudah menjadi suatu keputusan akhir. Bisa saja keputusan itu berubah seiring dengan perkembangan dan perubahan sejarah.

Kata Kunci : Nasikh, Mansukh, Pengertian, Contoh, Bentuk, Hikmah


A.        Pendahuluan
Al-Quran merupakan sumber pertama dan utama hukum Islam, sehingga diyakini oleh setiap muslim bersifat abadi dan universal. Abadi berarti terus berlaku sampai akhir zaman. Sedangkan universal berarti syariatnya berlaku untuk seluruh dunia tanpa memandang perbedaan etnis dan geografis. Hanya saja, dalam menjabarkan arti abadi dan universal itu menjadi bahan diskusi para ulama karena adanya perbedaan masalah yang menjadi penekanannya. Perbedaan pandangan adalah rahmat, yang menurut imam Taufiq , menunjukkan beragamnya cara pandang manusia sebagai makhluk yang berakal, memahami simbul, intelek, berilmu pengetahuan dan normatif.[1]
Diantara masalah rumit yang diperdebatkan oleh para ulama mufassirin adalah tentang keberadaan nasikh dan mansukh. Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh merupakan asas utama dalam memahami Islam, sebagaimana ucapan Ali ibn. Abi Thalib dan Ibnu Abbas, r.a. ketika menafsirkan kata “al-hikmah” dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 269 dengan pengetahuan nasikh dan mansukh, muhkam, dan mutasyabihah-nya.[2]





Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).


B.        Pengertian Nasikh dan Mansukh
Nasikh-mansukh berasal dari kata naskh yang secara etimologi digunakan untuk beberapa pengertian, yaitu penghapusan, penggantian/pembatalan, pemindahan, dan pengubahan. Perbedaan makna ini disebabkan kata naskh dengan padanan katanya terdapat pada empat tempat di dalam Al-Quran; yansakhu, nasthansikhu, nansakhu , dan nuskh. Sesuatu yang membatalkan/mengganti, menghapus, memindahkan, dan sebagainya dinamai nasikh. Adapun yang dibatalkan/diganti, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya dinamai mansukh.[3]
Yang dimaksud dengan nasikh adalah yang menghapus, dan mansukh adalah yang dihapus. Contohnya : cahaya matahari menghapus bayangan. Jelasnya, bila di suatu tempat tadinya ada bayangan, dengan datangnya cahaya maka bayangan itu hilang, diganti oleh cahaya.[4]
Para ulama telah panjang dan lebar bertukar pikiran tentang takrif nasakh menurut istilah, karena lafal nasakh mengandung beberapa makna dari segi bahasa nasakh bermakna ‘izalah (menghilangkan), tabdil (mengganti/menukar), tahwil (memalingkan), dan juga bermakna menukilkan.[5]
Pengetahuan yang mendalam mengenai nasikh dan mansukh memudahkan kita dalam menentukan mana ayat-ayat Al-Quran yang turun terdahulu dan turun kemudian. Peristiwa-peristiwa yang dijelaskan dalam Al-Quran dan memperlihatkan kepada kita bahwa Al-Quran itu datangnya dari Allah, Allah yang menghapuskan mana yang dikehendaki dan menetapkan apa yang di kehendaki pula, tanpa seseorangpun bisa ikut campur di dalamnya.
Nasikh-mansukh menurut para ulama salaf pada umumnya adalah pembatalan hukum secara global, dan itu merupakan istilah para ulama muta’akhirin (belakangan); atau pembatalan dalalah (aspek dalil) yang umum, mutlak, dan nyata. Pembatalan ini dapat berupa pengkhususan atau pemberian syarat tertentu, atau mengartikan yang mutlak menjadi yang terikat dengan suatu syarat, menafsirkannya dan menjelaskannya.[6]

Berikut ini adalah definsi yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin abad ke-1 hingga abad ke 3 H yang memperluas arti naskh[7] :
1.        Pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian
2.        Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian
3.        Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar
4.        Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat

Dari berbagai penjelasan di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa definisi naskh sendiri bergantung pada kelompok ulama siapa yang akan diambil. Namun secara kasat mata dapat disimpulkan bahwa naskh merupakan dalil syar’i yang ditetapkan kemudian, tidak hanya ketentuan hukum yang mencabut atau merubah ketentuaan hukum sebelumnya, tetapi ketentuan hukum yang menyatakan bahwa suatu ketentuan hukum tidak berlaku terus menerus. Oleh karena itu, menurut Alie Yafie, ketentuan yang diberlakukan adalah ketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikan ketentuan yang mendahuluinya.
Salah satu contoh nasikh dan mansukh dalam agama Islam adalah hukum syara’ atau undang-undang syariat yang diganti dengan undang-undang yang baru atau yang datang kemudian. Contohnya ialah sabda Rasulullah saw[8] : “Dulu aku melarang kalian berziarah ke kuburan, maka sekarang (larangan itu aku tarik) berziarahlah ke kuburan.” (Hadis sahih riwayat Muslim).
Imam as-Suyuthi telah menyebutkan bahwa dari keseluruhan 114 surat dalam Al-Quran, terdapat[9] :
1. 43 surat yang tidak terdapat nasikh dan mansukh di dalamnya.
2. 6 surat yang terdapat nasikh saja.
3. 40 surat yang terdapat mansukh saja.
4. 25 surat yang terdapat nasikh mansukh.

Keberadaan nasikh dan mansukh dalam Al-Quran ini masih diperdebatkan kalangan ulama Islam hingga sekarang. Namun mayoritas ulama mengakui keberadaannya melalui argumentasi-argumentasi logis, historis serta dalil-dalil Al-Quran yang menunjang ( diantaranya : QS. Al-Baqarah: 106 , Ar-Ra’d: 39, dan QS. An-Nahl: 101 ).[10]

Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?" ( QS. Al-Baqarah 106)



Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh). (QS Ar-Ra’d 39)

“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui”. (QS. An-Nahl 101)

Secara logis (dalil Aqli); bahwa tidak ada yang menghalangi kemungkinan terjadinya nasikh dan mansukh ini dalam Al-Quran. Saksi sejarah (argument historis) juga menguatkan terjadinya nasakh dalam Al-Quran bahwa memang telah terjadi penggantian aturan-aturan syari’at dari syari’at umat terdahulu yang digantikan kemudian oleh syari’at Muhammad SAW juga memang telah disaksikan sejarah bahwa dalam Islam memang telah terjadi penggantian suatu hukum dengan hukum lain yang turun setelahnya.[11]
Naskh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan berita (khabar) yang bermakna amr (perintah) atau nahy (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, yang berhubungan dengan Dzat Allah, sifat-sifat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari kemudian, juga tidak berkaitan dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah. Hal ini karena semua syari’at Illahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Dalam masalah prinsip ini semua syari’at adalah sama.[12]

Untuk mengetahui nasikh dan mansukh terdapat beberapa cara[13] :
1)        Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat, seperti hadits :
“Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah kubur, maka (kini) berziarah     kuburlah.” (HR.Al-Hakim)
2)  Ijma’ umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh.
3)  Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang belakangan                                                             berdasarkan sejarah.



Macam-Macam Naskh dalam Al-Quran
a.       Lafadz Tetap, Hukum Dihapus
Contohnya adalah tentang hukum shalat malam bagi umat islam. Awalnya Allah SWT berfirman:




Wahai orang yang berselimut, bangunlah malam hari kecuali sedikit, yaitu setengahnya atau kurang dari itu sedikit.” (QS Al-Muzamil 73:1-3)

Kemudian dihapus dengan ayat:


Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau berdiri (shalat) kurang dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersamamu. Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah dari Al-Qurandan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang..” (QS Al-Muzamil 73:20)

Kesimpulannya, ayat pertama menunjukkan bahwa shalat pada malam hari hukumnya wajib. Akan tetapi, karena ada ayat lain yang menghapusnya, hukumnya menjadi sunah.

b.      Hukumnya Tetap, Lafadznya Dihapus
Sebagai contoh dalam hukum Islam, laki-laki dan perempuan yang melakukan zina, mereka sudah menikah, hukmnya adalah dirajam sampai mati.
Akan tetapi, ayat tentang rajam tidak terdapat dalam Al-Quran, yang ada hanya hukum cambuk sebanyak seratus kali.

pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali,dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat,    dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan           orang-orang yang beriman. (QS An-Nuur 24:2)

Ternyata, dahulu pernah turun ayat yang isinya perintah untuk merajam pezina, kemudian dihapus. Ayat itu adalah: “Laki-laki yang sudah menikah dan perempuan yang sudah menikah apabila mereka masing-masing berzina, maka rajamlah sampai mati, sebagai peringatan dari Allah. Dan sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

c. Lafadz dan Hukumnya Dihapus
Contohnya, hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, “Dahulu pernah diturunkan ketentuan yang mengharuskan minimal sepuluh hisapan susu sehingga ia (ibu susuan) menjadi mahram (anak susuan), kemudian dihapus dengan hanya lima hisapan saja yang diketahui (ma’lum).” (HR Muslim)[14]


C. Bentuk-Bentuk Nasikh dalam Al-Quran
Menurut Jalaluddin Abdurrahan Abi Bakar Al-Shuyuthi dan Manaul Qathan, bentuk-bentuk nasikh dalam Al-Quran terbagi menjadi tiga. Pertama, naskh teks dan hukumnya bersamaan.
Contohnya, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud adalah ketika suatu saat Rasul SAWmembacakan sepotong ayat kepadaku, lalu aku hafal dan aku tuliskan pada mashaf-ku. Pada malam harinya, aku melihat kembali mashafku itu, tidak ada suatu yang tampak (hilang). Keesokan harinya, pagi-pagi diatas mashafku itu ada selembar kertas putih dengan bacaannya. Hal ini kuberitahukan kepada Nabi SAW.berkata, “Hai Ibnu Mas’ud, kemarin sudah diangkat (dibuang).”
Kedua, menasikhkan hukum dan tetap adanya teks. Contoh jenis ini dalam ayat iddah dan pengharaman khamr. Jenis nasikh seperti ini terdapat di dalam kitab-kitab. Artinya, teks masih menjadi bagian dari Al-Quran, tetapi dianggap tidak dianggap secara hukum.
Ketiga, menasikhkan teks dan tetap hukumnya. Contohnya, ayat pada mushaf Aisyah sebelum mushaf Utsman mengubahnya.
Kemudian, ayat ini berubah menjadi (lihat, Al-Ahzab: 52):[15]

“Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.

Bentuk-Bentuk Nasikh-Mansukh dalam Syariat Islam
Proses Nasikh Mansukh dalam syariat Islam ada empat bentuk:
1.      Nasikh Al-Quran dengan Al-Quran. Bentuk Nasakh ini tidak diperdebatkan kebradaannya.
2.      Nasikh Sunnah dengan Al-Quran. Bentuk Nasakh ini juga diterima, seperti Nasakh syariat puasa wajib hari Asyuara (10 Muharram) dengan syariat puasa wajib bulan Ramadhan.
3.      Nasikh Al-Quran dengan Sunnah. Bentuk Naskh ini masih diperdebatkan para Ulama. Imam Syafi’I dalam kitab Ar-Risalah nya jelas menolak adanya penasakhan ini.
4.      Nasikh Sunnah dengan Sunnah. Nasakh jenis ini tidaklah dipermasalahkan.[16]

D. Hikmah Adanya Nasikh dan Mansukh
Menurut Fazlur Rahman, Al-Quran bukanlah dokumen hukum semata, melainkan berisi prinsip dan seruan moral. Oleh karena itu, Al-Quran terlibat dengan persoalan historis dan a-historis. Terbukti, legislasi Al-Quran bersifat gradual dan eksperimental. Oleh karena itu, adanya nasikh mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya Al-Quran itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya kitab suci Al-Quran tidak terjadi sekaligus, tetapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Al-Quran menjawab, penahapan itu untuk pemantapan (Al-Furqan: 32), khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini, Syekh Al-Qasimi berkata, “Sesungguhnya Al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sara sosial. Hukum-hukum itu mulanya bersifat kedaerahan, kemudia secara bertahap diganti oleh Allah dengan yang lain sehingga bersifat universal.”
Demikianlah, Sunnah Al-Khalik diberlakukan terhadap perseorangan dan bangsa-bangsadengan sama. Oleh karena itu, nasikh (penghapusan) senantiasa inheren dengan alam manusia. Ia adalah undang-undang alami yang lazim, baik dalam bidang material maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsure-unsur sperma dan telur, kemudian menjadi janin, anak, kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa, orang tua, dan seterusnya.
Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata dan selalu berjalan secara rutin. Kalau nasikh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari, mengapa dipersoalkan adanya penghapusan dan proses pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke yang lebih tinggi. Apakah seorang tidak menyadari bahwa Al-Khalik yang bijaksana akan langsung membenahi bangsa Arab yang masih dalam proses permulaan itu, padahal beban-beban itu hanya patut bagi suatu bangsa yang telah mencapai kemajuan dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi. Pikiran seperti ini, tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat, maka bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah SWT.yang Maha menentukan hukum, memberikan beban kepada suatu bangsa yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa dilakukan, melainkan oleh suatu bangsa yang telah menaiki jenjang kedewasaannya. Lalu, manakah yang lebih baik, apakah syariat kita yang menuntut, sunnah Allah ditentukan hukum-hukumnya sendiri, kemudian di-nasikh-kan karena dipandang perlu atau disempurnakan hal-hal yang dipandang tidak mampu dilaksanakan manusia dengan alasan kemanusiaan. Ataukah syariat-syariat agama lain yang diubah sendiri oleh para pemimpinnya sehingga sebagian hukum lenyap sama sekali.
Syariat Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dialah yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syariat-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera, dan bahagia di dunia dan akhirat. Menarik untuk dinukil penjelasan Manaul Qathan bahwa nikmat naskh adalah memelihara kemaslahatan manusia, mengembangkan tasyri’ kepada tingkat yang sempurna dengan menunjang perkembangan dakwah dan melihat perkembangan keadaan orang banyak, pengujian mukallaf dengan percobaan dengan mengikuti perintah dan meniadaknnya, dan menanamkan kemauan yang lebih baik kepada umat dan memudahkannya, sebenarnya nasikh itu untuk memecahkan persoalan di samping menambah pahala, dan jika itu meringankan, disini merupakan suatu kemudahan.[17]


Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).

Jadi dapat disimpulkan bahwa hikmah adanya nasikh dan mansukh antara lain adalah :
a.       Memelihara kemaslahatan hamba-hambaNya.
b.      Perubahan syariat yang selalu menuju kesempurnaan sesuai dengan perkembangan dakwah dan juga bperkembangan hidup manusia.
c.       Sebagai ujian bagi manusia apakah ia akan tunduk pada aturan yang telah ditentukan oleh Allah SWT, ataukah ia akan melanggarNya.
d.      Merupakan kehendak Allah SWT untuk memberikan yang terbaik bagi hambaNya, sekaligus memberikan kemudahan dalam menjalankannya. Jika hukum naskh memneratkan umatNya, Dia akan memberikan pahala yang lebih besar dan kalaulah dengan hiukum ini lebih meringankan, hal itu merupakan keringanan bagi hamba-hambaNya.


E. Penutup
Setelah melalui proses kajian di atas, dapat diketahui bahwa Nasikh dan Mansukh merupakan sebuah penghapusan atau pengangkatan hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain. Meskipun di dalam Al-Quran telah dijelaskan mengenai adanya Nasikh dan Mansukh, tetapi hingga saat ini masih ada beberapa ulama yang masih memperdebatkan keberadaan Nasikh dan Mansukh. Pembahasan mengenai Nasikh dan Mansukh merupakan pembahasan yang sangat vital bagi seorang mufassir untuk menghindari kekeliruan dan kesalahan dalam menangkap maksud Al-Quran.
Dari keseluruhan 114 surat dalam Al-Quran, terdapat 43 surat yang tidak terdapat nasikh dan mansukh di dalamnya, 6 surat yang terdapat nasikh saja, 40 surat yang terdapat mansukh saja, dan 25 surat yang terdapat nasikh mansukh. Hikmah mengetahui Nasikh dan Mansukh yang lebih utama adalah untuk memelihara kemaslahatan umat Islam, memperbaiki hukum syara’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.


























DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1990, Menempatkan Hukum dalam Agama, Bandung: Sinar Baru
Al Jauziah, Ibnu Qayyim. 2000, Panduan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Azzam
As-Salih, Subhi. 1993, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2002, Ilmu-Ilmu Al-Quran, Semarang: PT     Pustaka Rizki Putra
Manna, Syaikh Al-Qaththan. 2006,Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, Jakarta: Pustaka                      Kautsar
Nizhan, Abu. 2008,Buku Pintar Al-Quran, Jakarta: QultumMedia
Madyan, Ahmad Shams. 2008,Peta Pembelajaran Al-Quran, Yogyakarta: Pustaka                        Pelajar
S Juhaya Praja. 2013,Ushul Fiqih Perbandingan, Bandung: Pustaka Setia
Ulama’i, Hasan Asyari. Artikel : Konsep Nasikh dan Mansukh dalam Al-Quran. (http://stitmkendal.ac.id/docs/jurnal/konsep_nasikh_dan_mansukh_dalam_alquran_0.pdf.)
Yafie, Ali. 2007,Menyikapi Hadis-Hadis Nasikh dan Mansukh yang Saling Bertentangan, Jakarta: Pustaka Firdaus
Catatan:
1.      Abstrak tolong diperbaiki.
2.      Footnote juga diperbaiki.
3.      Keterangan jurnal dicantumkan lengkap keterangannya, termasuk jurnal apa.
4.      Pembahasan dalam makalah ini kurang sistematis, misalnya bentuk-bentuk nasikh mansukh dalam al-Qur’an ada di bagian pengertian (dituliskan dengan macam-macam nasikh mansukh).
5.      Makalah kurang referensial di beberapa bagian.




[1]Hasan Asyari Ulama’i, Konsep Nasikh dan Mansukh dalam Al-Quran. Vol. 7 No. 1, Februari 2016. hlm. 63
[2] Ibid.,64
[3]Juhaya S Pradja, Ushul Fiqih Perbandingan, Bandung: CV Pustaka Setia, hlm.375
[4]Abdurrahman, Menempatkan Hukum dalam Agama, Bandung: Sinar Baru, hlm. 30
[5]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Quran, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, hlm.150
[6]Ibnu Qayyim Al Jauziah, Panduan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Azzam, hlm.28
[7]Juhaya S Pradja, Op. Cit.,376
[8]Abdurrahman, Menempatkan Hukum dalam Agama, Bandung: Sinar Baru, hlm. 31
[9]Ahmad Shams Madyan, Peta PembelajaranAl-Quran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 200
[10]Ibid.,193.
[11]Ibid.
[12]Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, hlm. 286
[13]Ibid.,288.
[14] Ibid.,42.
[15] Juhaya S Praja, Ushul Fiqih Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm 379.
[16] Ahmad Shams Madyan, Peta Pembelajaran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm 200.
[17] Juhaya S Praja, Ushul Fiqih Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm 384.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar