Senin, 18 September 2017

Nasikh dan Mansukh dalam al-Qur'an (PAI B Semester Ganjil 2017/2018)





Afifatud Diana Sari dan Falih Anfasa

Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
PAI B 2016
Abstract:
This article discusses the nasikh mansukh that exists in al-quran. nasikh mansukh has a meaning related to halal haram, then nasikh it replace or remove the mansukh or the replaced or the deleted. there is a problem that has long been the conversation and debate of scholars about still there are verses in the al-quran commonly called nasikh and mansukh. the problem became the debate of the scholars, some argue that there is a verse nasikh mansukh and some others have no opinion. among the mujtahidin and the mufassirin even jumhurnya they hold tight to their opinion that some of the verses of al-quran still in it. read and stroked, has been manipulated by the law, no longer practiced. doctrinally, the existing manuscripts in our hands today have covered the whole revelation of the prophet Muhammad (SAW). however, a number of narrations that mention that some other revelations were not recorded in writing in the official manuscripts of ustmani. behind all the differences of opinion about nasikh mansukh there are some wisdom that can also be taken from nasikh mansukh.
Key Words:Nasikh, Mansukh
Abstrak:
Artikel ini membahas tentang nasikh mansukh yang ada pada Al-Qur`an. Nasikh mansukh memiliki makna yang berkaitan dengan halal haram, maka nasikh itu mengganti atau menghapus yang mansukh atau yang diganti atau yang dihapus. Terdapat sebuah masalah yang sudah lama menjadi perbincangan dan perdebatan para ulama mengenai masih adakah ayat-ayat di dalam Al-Qur`an yang biasa disebut nasikh dan mansukh. Permasalahan tersebut menjadi perdebatan para ulama, sebagian ada yang berpendapat bahwa ada ayat nasikh mansukh dan sebagian yang lain berpendapat tidak ada. Diantara para mujtahidin dan para mufassirin bahkan jumhurnya mereka berpegang erat kepada pendapat mereka yaitu sebagian ayat-ayat Al-Qur`an yang masih terdapat di dalamnya, dibaca dan ditilawatkan, telah dimansuk hukumnya, tidak diamalkan lagi. Secara doktrinal, mushaf yang ada di tangan kita sekarang ini telah mencakup keseluruhan wahyu yang diterima Nabi Muhammad SAW. Namun demikian, sejumlah riwayat yang menyebutkan bahwa ada beberapa wahyu lainnya yang tidak terekam secara tertulis di dalam mushaf resmi Utsmani. Dibalik semua perbedaan pendapat mengenai nasikh mansukh terdapat beberapa hikmah yang juga dapat diambil dari nasikh mansukh.
Kata Kunci: Nasikh, Mansukh
A.      Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan mu’jizat Islam yang kekal dan abadi serta diperkuat dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan teknologi, yang ditirunkan Allah kepada nabi Muhammad SWA untuk mengeluarkan manusia dari zaman jahiliah menuju kepada zaman islamiyah, serta dapat membimbing ke jalan yang lurus.
Rosulullah SAW menyampaikan Al-Qur’an kepada para sahabatnya (orang-orang asli arab) sehingga mereka dapat memahaminya berasarkan naluri mereka. Apabila mereka mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakan kepada Rosulullah SAW.
Semakin panjang hidup yang telah berjalan, maka akan semakin terasa bahwa Al-Qur’an merupakan pedoman bagi keidupan. Karena Al-Qur’an membawa ajaran yang penting bagi manusia disepanjang zaman dan dalam segala segi kehidupan. Banyak manusia yang mempunyai Al-Qur’an, tetapi belum mengetahui magna dan isi secara menyeluruh.
Nasikh dan mansukh mempunyai makna yang berkaitan dengan hukum halal dan haram, maka nasikh itu mengganti atau menghapuskan yang mansukh, yang diganti atau dihapuskan. Masalah yang sudah lama menjadi bahan perbincangan adalah mengenai nasikh dan mansukh. Sekarang betulkah di dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang biasa disebut nasikh dan mansukh?
Permasalahan tersebut dalam lingkungan para ulama menjadi perselisihan pendapat. Sebagian berpendapat “ada ayat nasikh dan mansukh”, dan sebagain yang lain ada yang berpendapat “tidak ada”. Diantara para mujtahidin, seperti Al-Imam Asy-Syafi’y dan juga demikian diantara para mufassirim, bahkan jumhurnya, berpendapat dan berpegang erat kepada pendapatnya itu, yakni “sebagian ayat-ayat Al-Qur’an yang masih terdapat di dalamnya, dibaca dan ditilawatkan, telah dimansukhkan hukumnya, tidak diamalkan lagi. Pendapat tersebut telah berkembang luas dalam masyarakat, sesuai dengan berkembangnya madzhab yang mempunyai pendapat-pendapat itu.[1]
Sebelum mengeruaikan arti nasikh dan mansukh dari segi terminologi, perlu digarisbawahi bahwa para ulama sepakat tentang tidak ditemukannya ikhtilaf dalam arti kontradiksi dalam kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam menghadapi ayat-ayat sepintas lalu dinilai memiliki gejala kontra diksi, mereka mengompromikannya. Pengkompromian tersebut ditempuh oleh satu pihak tanpamenyatakan adanya ayat yang telah dibatalkan, dihapus, atau tak berlaku lagi, dan ada pula dengan menyatakan bahwa ayat yang turun kemudian telah membatalkan kandungan ayat sebelumnya, akibat kondisi sosial.[2]
B.       Pengertian Nasikh-Mansukh
Secara etimologis nasikh mansukh(منسوخ – نسخ) berasal dari akar kata nasakha-yansukhu-naskhun (نسخ – نسخ – نسخ). Nasikh adalah isim fa’il dari nasakha dan mansukh adalah isim maf’ulnya. Dalam bentuk masdar, naskun berarti al izala (اإلزالة) dengan pengertian menghilangkan sesuatu dengan sesuatu yang mengikutinya  (يتعقبهشيءبشيءاإلزالة) seperti matahari menghilangkan bayang- bayang ( الظلالشمسإزالة) . [3]
Naskh mengandung dua makna, yaitu:
1.         Mengilangkan sesuatu dan meniadakannya (izalah asy-syai’wa I’damuh) dalam Al-Qur’an Surat Al-Hajj 52:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِيالشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkanapa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."(Q.S. Al-Hajj 22:52)
2.         Memindahkan sesuatu atau mengubanya,tetapi substansinya tetap, seperti mengolah madu menjadi bentuk lain demikian pula tansulah al-mawarith, artinya berpindahnya warisan dari satu kaum kepada kaum yang lain.[4]
Menurut Moenawar Kholil berpendapat bahwa kata “Nasikh” artinya penganti, penukar atau penghapus dan kata “Mansukh” artinya yang diganti, ditukar atau dihapuskan. Sehingga,  kalau ada orang yang mengatakan ayat ini mansukh, artinya ayat ini telah diganti atau ditukar dengan ayat lain yang nasikh. Maksudnya, kalau ayat yang “nasikh” dan ada yang mansukh itu bersankut-paut dengan hukum haram dan halal, maka yang nasikh itu yang menganti atau yang dihapuskan.[5]
Adanya perbedaan pendapat dalam mengartikan nask ini disebabkan arti secara bahasa  dan istilah terapat ikatan yang sulit diberikan batasaannya. Pendapat yang masyhur tentang naskh ini adalah raf al-ukm al-syari’at bid dalil asy-syar’i. Definisi tersebut akan membawa pada pengertian bahwa naskh itu menandung arti izalah dan raf’. Selanjutnya, apabila hukum syar’i hanya bisa dihapus oleh hukum syar’i maka akan timbul persoalan, apakah naskh hanya berlaku antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an saja, tidak dengan sunnah.[6]
Bagi para ulama yang menyetujui adanya naskh dalam syari’at Islam, masih terdapat perbedaan antara mereka dalam menentukan sampai di mana batas berlakunya nasihk dan mansukh itu. Sebagian berpendapat bahwa wilayah nasikh apat terjadi antara uraian dalam Al-Qur’an denan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan As-Sunnah dan As-Sunnah dengan Al-Qur’an. Para ulama berpendirian bahwa ucapan Rasul itu pun bukan keluar begitu saja tetapi semuanya bersumber pada wahyu Allah yan dijelaskan dalam surat (Q.S. An-Najm: 3)

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى, إِنْهُوَإِلَّاوَحْيٌيُوحَى
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)."(Q.S. An-Najm 53: 3-4)

Ada yang berpendapat bahwa Al-Qur’an dapat di-nask-an Al-Qur’an saja, dan dengan alasan yang dipegunakan adalah firman Allah (Q.S. An-Nahl: 101 dan Q.S. Al-Baqarah: 106).

وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ ...(101)

"Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain…"(Q.S. An-Nahl 16:101)
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (106)
"Ayatmanasaja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupakepadanya, Kami datangkan yang lebihbaikdaripadanyaatau yang sebandingdengannya…"(Q.S. Al-Baqarah 2: 106)
Disamping itu, ada pula ulama yang menolak adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an, yaitu Muhammad ibn Bahr yan lebih dikenal dengan Abu Muslim Al-Asfahany, seorang mufasir Mu’tazilah dan beliau menulis sebuah kitab berjudul Jam’Al-Takwil. Ia tidak menerima adanya naskh karena hal tersebut bertentangan dengan firman Allah:

لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ (42)

"Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji."(Q.S. Fushilat 41: 42)

Menurutnya, arti naskh di sini bukan al-izala atau al-i’dam tetapiat-taksis. Tampaknya, Abu Muslim berusaha menjaukan diri dari pernyataan membatalkan ukum Al-Qur’an yang diturukan Allah.[7]
Pengembangan dalam pembahasan ini sangat tergantung pada konsepsi awal tentang ada-tidaknya nasikh-mansukh dalam al-Qur’an. Sebab beberapa kalangan tetap meyakini bahwa dalam sejara al-Qur’an tidaklah terdapat apa yang dinamakan dengan nasikh-mansuk ini.[8]
Berkaitan dengan ada dan tidaknya naskh dalam Al-Qur’an, ini tidak lain dengan melihat bahwa ada suatu hukum, lalu ada perubahan, pengantian, dan penambahan. Inilah yang menyebabkan adanya kesimplan tentang keberadaaan naskh.
Untuk memastikan bahwa telah terjadi proses nasikh-mansukh dalam al-Qur’an maka harus dipastikan beberapa hal, bahwa naskhharus memenuhi empat syarat:
a.         Hukum yang dinasikh harus hukum syar'i, bukan hukum aqli.
b.         Dalîl syar'i yang menasakh haruslah datang kemudian dari dalîl syar'i yang dinasakh. Dan antara keduanya terdapat ق pertentangan yang hakiki ( التعارضالحقيي ) yang sama sekalitidak mungkin dikompromikan dengan metode apapun termasuk dengan takhshîsh atau at-tadarruj fi at-tasyrî'.
c.         Khithâb yang diangkat hukumnya tidak boleh merupakan khithâb yang dikaitkan dengan waktu tertentu, karena hukum akan berhenti dengan sendirinya apabila waktunya sudah habis, hal seperti ini tidak dinamai naskh.
d.        Naskhhanyaadapadamasalahhokumsemata.Dengandemikiantidakadanaskhuntukmasalahaqidah, sejarah, tentangalamsemestadan lain-lain yang tidakbersifathukum.[9]
Dalam mengetahui naskh, seseorangharus mengetahui lebih dahulu dua halpenting, yaitu mana nash yang nasikh dan mananash yang mansukh. Menurut Al-Zarqany menjelaskan beberapa cara dalammengetahuinya:
a.       Harus ada keterangan di antara dua nash yang menunjukkan atas ditentukannya nash yang datang kemudian, seperti QS. Al-Mujadilah/58: 13.

أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ayat di atas me-naskh ayat sebelumnya, yakni QS. Al-Mujadilah/58: 12.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

b.      Harus ada ijma' ummah yang sah pada saat tertentu atas penentuan nash yang datang lebih dahulu dan nash yang datang kemudian.
c.       Harus ada keterangan yang menjelaskan tentang ditentukannya salah satu nash dari dua nash yang bertentangan dalam kedatangannya, lebih dahulu atau lebih akhir, dari sumber yang benar, dari salah satu sahabat, seperti dikatakan, misalnya, ayat ini diturunkan sebelum ayat ini atau ayat ini diturunkan pada tahun sekian dan tahun itu diketahui mendahului turunnya ayat yang bertentangan dengan ayat tersebut atau tahun itu diketahui sesudah turunnya ayat tersebut.[10]

C.      Bentuk-bentuk  nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an
Secara doktrinal, mushaf yang ada di tangan kita sekarang ini, telah mencakup keseluruhan wahyu Tuhan yang diterima Nabi Muhammad SAW. Namun demikian, sejumlah riwayat yang menyebutkan bahwa ada beberapa wahyu lainnya yang tidak terekam secara tertulis di dalam mushaf resmi Utsmani. Pengetahuan masalah ini banyak ditemukan dalam beberapa bahasan yang secara khusus berbicara tentang nasikh dan mansukh dalam Al-Qur`an.
Atas dasar itulah, para ulama ketika membahas masalah nasikh dan mansukh membagi nasikh kedalam tiga kategori utama, yaitu pertama, wahyu yang terhapus, baik hokum maupun teksnya di dalam mushaf (naskh al-hukm wa al-tilawah jami`an); kedua, wahyu yang terhapus teks atau bacaannya saja, sedangkan hukumnya masih tetap berlaku (naskh al-tilawah duna al-hukm); dan ketiga, wahyu yang hanya terhapus hukumnya, sementara teks atau bacaannya masih terdapat di dalam mushaf (naskh al-hukm duna al-tilawah).
Tipe yang disebutkan pertama adalah unit-unit wahyu yang teksnya masih sempat direkam dalam sejumlah propetologia, tetapi baik teks maupun hukumnya dinyatakan terhapus (naskh al-hukm wa al-tilawah jami`an). Dalam beberapa riwayat, tipe yang pertama ini diakui eksistensinya sabagai bagian dari Al-Qur`an pada masa tertentu. Contoh yang sering disebut diantaranya adalah riwayat yang datang dari `Aisyah tentang terjadinya muhrim karena sepuluh kali susuan, kemudian di naskh dengan lima kali susuan.`Aisyah mengatakan:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَاقَالَتْ كَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ اْلقُرْأَنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمّ نُسِخْنَ بِخَمْسِ مَعْلُوْمَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنّ فِيْمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْأَنِ
“Aisyah berkata :”Diantara yang diturunkan kepada beliau adalah sepuluh susuan yang diketahui (ma`lum) itu menyebabkan muhrim, kemudian ketentuan ini di naskh oleh lima susuan yang diketahui (ma`lum). Maka ketika Rasulullah saw meninggal dunia, lima susuan ini (hokum yang terakhir) tetap dibaca sebagai bagian dari teks Al-Qur`an”.
Hadist diatas adalah hadist shahih, meskipun berstatus mauquf, yaitu disandarkan kepada `Aisyah, meskipun demikian, hadist tersebut dihukumi sebagai marfu`, yaitu setingkat dengan hadist yang dtang dari Nabi Muhammad saw.
Kata-kata `Aisyah `lima susunan ini termasuk ayat al-Qur`an yang dibaca`, secara zhahir dapat dipahami bahwa tilawahnya masih tetap, padahal tidak demikian sebab teks tersebut tidak terdapat di dalam mushaf resmi Ustmani. Yang jelas bahwa teks ayat tersebut juga telah dinaskh. Hal ini baru diketahui masyarakat setelah meninggalnya Rasulullah SAW, sementara sebagian dari mereka masih membacanya.
Kata-kata `Aisyah `lima susunan ini termasuk ayat al-Qur`an yang dibaca`, secara zhahir dapat dipahami bahwa tilawahnya masih tetap, padahal tidak demikian sebab teks tersebut tidak terdapat di dalam mushaf resmi Ustmani. Yang jelas bahwa teks ayat tersebut juga telah dinaskh. Hal ini baru diketahui masyarakat setelah meninggalnya Rasulullah SAW, sementara sebagian dari mereka masih membacanya. Contoh senada juga dapat dilihat dalam riwayat Bukhari Muslim, sebagai berikut:

لَوْاِنّ لإِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنَ مَالٍ لاَبْتَغَى وَادِيًا ثَالِثًا وَلَا يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلّا التُرَابُ وَيَتُوْبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Seandainya anak adam (manusia) memiliki dua gunungan harta kekayaan, maka akan meminta tambah untuk ketiga kalinya dua gunungan harta kekayaan itu, tetapi hanya debu yang akan memenuhi perutnya. Dan Allah akan mengampuni orang-orang yang kembali (bertaubat) kepada-Nya”
Ubay bin Ka`ab memasukkan ayat ini dalam mushafnya diantara ayat 24 dan 25 dari QS. Yunus (10). Menurut sejumlah sahabat seperti Abu Musa al-Asy`ari, berpandangan bahwa hadist diatas termasuk bagian dari Al-Qur`an yang diwahyukan, tetapi pada masa belakangan telah di naskh. Dilihat dari segi rima (taqfiyah), tampak bahwa ayat tersebut tidak cocok disisipkan pada surat yang dimaksud. Sebab, ayat-ayat sebelum dan sesudahnya rata-rata berirama dalam un (takfurun), kecuali ayat 25 yang berirama -im (atau -in, mustaqim). Labih jauh, kata-kata yang digunakannya secara jelas menunjukkan asal-usulnya sebagai hadist. Bahkan, ungkapan ibn Adam, sebagaimana Schwally, merupakan ungkapan yang asing bagi Al-Qur`an.[11]
Di samping itu, dalam riwayat Bukhari dari Ibn Zubair, ayat diatas hanya disebut sebagai hadist Nabi Muhammad SAW, bukan wahyu Al-Qur`an. Ada juga hadist yang hampir sama dengan hadist diatas yang dirawikan oleh Anas r.a. katanya Kami pernah membicarakan di masa Rasulullah SAW. Surat termasuk surat Taubah. Yang aku hafal bukan hanya satu ayat. Diantaranya ayat yang berbunyi:

وَلَوْلَا إِنَّ لإبْنِ آدَمَ وَادِيْنَ مِنْ ذَهْبٍ لَايَبْتَغِى إِلَيْهَا رَابِعًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفِ اِبْنِ آدَمَ إِلّا التُرَابُ وَيَتُوْبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Kalau tidaklah, bahwa untuk anak Adam ini dua buah lembah emas, maka dia masih meminta yang keempatnya. Rongga perut anak Adam ini tidak akan penuh kecuali tanah. Bertaubatlah kepada Allah orang-orang yang bertaubat.”

Kata Ibnu Mas`ud, Rasulullah pernah membacakan sepotong ayat kepadaku, lalu aku hafal dan aku tuliskan pada mushafku. Setelah hari malam aku lihat kembali mushafku itu, dan tidak ada sesuatu yang tampak. Dan keesokan paginya diatas mushafku itu ada selembar kertas putih. Hal ini aku beritahukan kepada Nabi Muhammad SAW. Kata Nabi Muhammad SAW: Hai Ibnu Mas`ud, kemarin sudah diangkat (dibuang).
Apa yang aku alami ini hampir saja aku tunjukkan kepada Nabi Muhammad SAW supaya dia menyingkapkan rahasia itu. Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.tidak ada tulisan yang ditulis oleh tangan manusia yang dikatakan sama rata, atau yang ditulis itu dapat dibatalkan. Rasulullah SAW menyampaikan hadist ini kepada kaum Muslimin dan membacakan wahyu langit kepada mereka itu. Rasulullah pernah mengingkari apa-apa yang disampaikan orang kepadanya itu secara berturut-turut, karena ingin untuk menyelamatkan wahyu dari menghafal yang lainnya itu.
Berapa banyaknya orang salah dengar tentang wahyu atau hadist. Tapi hanya sedikit yang ditolak untuk diselamatkan ketika dia menemui Rasulullah SAW dan sahabat yang mempunyai bashirah (melihat dengan mata hati) apakah dia wahyu atau apakah dia hadist. Keduanya ini harus cepat-cepat dibetulkan. Harus cepat-cepat didudukan persoalannya. Setelah tiba waktunya Allah menerangkan kepada Rasulullah SAW tujuan akhir dari Al-Qur`an.
Selain itu diriwayatkan pula bahwa dalam mushaf Ubay pada surat al-Bayyinah (98) terdapat ayat yang berbunyi sebagai berikut:

إِنّ ذَاتَ الدّيْنِ عِنْدَ اللهِ الْخَلِيْفَةِ الْمُسْلِمَةِ لَا اْليَهُوْدِيّةُ وَلَا النّصْرَنِيّةُ مَنْ يَعْمَلْ خَيْرًا فَلَنْ يُكْفَرَ
“Sesungguhnya Agama di sisi Allah SWT adalah al-hanifiyyah, bukan Yahudi bukan pula Nashrani. Maka barang siapa yang berbuat baik, tidak akan diingkari jerih payahnya.”

Rima ayat diatas yakni-ah hingga taraf tertentu, bisa dikatakan relatife cocok dengan rima ayat-ayat dalam surat al-Bayyinah (98). Tetapi, kalau ayat ini betul-betul bagian dari Al-Qur`an, maka bentuk awalnya pasti agak berbeda, karena kata-kata hanifiyyah, yahudiyyah, dan nashraniyyah, dalam kasus ayat ini terlihat merupakan kata bentukan yang asing dalam pemakaian kitab suci tersebut. Kata hanifiyyah misalnya, dalam Al-Qur`an tidak pernah digunakan. Hanya saja yang sering digunakan adalah hanifan, atau hunafa. Demikian juga, kata yahudiyyah dalam Al-Quran juga tidak pernah digunakan, yang digunakan adalah al-yahud dan yahudiyyan. Sama halnya dengan dua kata yang telah disebutkan, kata nashraniyyah juga tidak pernah digunakan dalam Al-Qur`an, tetapi yang sering digunakan adalah kata nashrani dan nashara.
Riwayat lain juga mengatakan bahwa Maslamah ibnMukhallad al-Anshari pernah membacakan dua ayat berikut ini kepada temannya sebagai bagian dari Al-Qur`an. Namun, keduanya di dalm mushaf Utsman tidak ditulis. Kedua ayat tersebut adalah sebagai berikut:
ان الذين أمنوا وهاجروا وجاهدوا فى سبيل الله بأ موالهم وأنفسهم ألا ابشروا انتم المفلحون – والذين اووهم ونصرهم وجادلوا عنهم القوم الذين غضب الله عليهم اولائك لا تعلم نفسا ما أخفى لهم من قرة أعين جزاء بما كانوا يعلمون
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka, maka bergembiralah kamu, karena sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang member tempat kediaman dan membantu serta berperang bersama mereka melawan kaum yang dikutuk Tuhan, maka tak satu jiwa pun yang mengetahui apa yang disimpankan untuk mereka dari berbagai hal yang menyenangkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan.”
Kedua ayat diatas menurut penilaian Adnan Amal dalam keseluruhan kasus, menggunakan kata yang banyak digunakan di dalam Al-Qur`an. Menurutnya, perubahan gramatik kata ganti orang seperti tercermin di dalamnya, juga sering digunakan di dalam Al-Qur`an. Tetapi penggunaan konstruksi (tarkib) ala dengan bentuk imperative (`amr) dalam ayat pertama tidak pernah muncul dibagian manapun dari Al-Qur`an. Di samping itu, bunyi kedua ayat di atas lebih merupakan gabungan dengan sedikit tambahan dari QS. Al-Anfal/8:72 dan QS. Al-sajdah/32:17, tang barangkali dilakukan Maslamah untuk menonjolkan para sahabat Nabi berhadapan dengan pemimpin dinasti Umayyah, Mu`awwiyah.
Kategori kedua adalah beberapa unit wahyu yang terhapus teks atau bacaannya, tetapi hukumnya masih berlaku (naskh al-tilawah duna al-hukm). Contoh yang sering muncul dalam literature adalah ayat rajam, ayat al-rajm yang mengungkapkan bentuk hukuman rajam bagi orang yang berzina. Dalam beberapa riwayat dinyatakan bahwa Umar bin Khattab memandangnya sebagai bagian dari teks Al-Qur`an. Adapun ayat al-rajm tersebut berbunyi sebagai berikut:
اَلشّيْخُ وَالشّيْخَةُ إِذَا زَيَنَا فَارْجُمُوْهُمَا البَتّةَ نَكَالًا مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
“Apabila seorang laki-laki dewasa dan seorang perempuan dewasa berzina, maka rajamlah keduanya, itulah kepastian hukum dari Tuhan dan Tuhan Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam beberapa riwayat dinyatakan bahwa teks ayat di atas termasuk bagian dari teks Al-Qur`an yang dinaskh. Menurut riwayat tersebut bahwa posisi semula ayat ini berada di dalam QS. Al-Ahzab (33). Tetapi, gagasan terlihat tidak logis, karena ayat-ayat dalam surat tersebut berirama dalam -`a, sedangkan ayat diatas berirama –im. Sementara itu, dalam riwayat Bukhari menyatakan bahwa posisi semula ayat tersebut di dalam QS. Al-Nur (24). Riwayat kedua ini lebih logis dibandingkan yang pertama. Sebab, disamping memiliki kecocokan rima, dalam QS. Al-Nur (24) salah satunya berisi tentang perbuatan zina yang dilakukan laki-laki dan wanita. Namun, terdapat perbedaan antara keduanya, di mana dalam QS. Al-Nur (24), terdapat batasan terhadap hukuman perbuatan zina dengan cambukan, sementara dalam ayat di atas tidak demikian. Di sisi lain secara fraseologis, term al-syaikh, al-syaikhah, dan albattah, tidak pernah digunakan dalam Al-Qur`an. Dengan demikian, keberadaan ayat di atas sebagai bagian dari teks Al-Qur`an sangat meragukan.
Demikian juga hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Anas bin Malik tentang kisah orang-orang yang dibunuh dalam pertempuran Bi`r Ma`una, sehingga Rasulullah berqunut untuk mendoakan para pembunuh mereka. Anas bin malik berkata: “Berkenaan dengan mereka, turunlah ayat Al-Qur`an yang kami baca sampai ia dihapuskan (rafa`a) kembali”. Ayat tersebut berbunyi:

أَنّ بَلّغُوْا عَنّا قَوْمَنَا بِأَنّا قَدْ لَقِيَنَا رَبّنَا فَرَضِيَ عَنّا وَأَرْضَانَا
“sampaikanlah kepada kaum kami bahwa kami telah bertemu Tuhan kami, dan dia ridha kepada kami serta kami pun ridha kepadanya.”
Teks ayat di atas terdapat di dalam beberapa riwayat dengan sedikit perbedaan redaksi dan kebanyakan dituturkan dalam bentuk hadist. Kenyataan ini jelas membuktikan bahwa asal-usulnya sebagai bukan bagian dari teks Al-Qur`an, meskipun secara fraseologis hampir mirip dengan Al-Qur`an.
Kategori yang terakhir dari nasikh mansukh adalah wahyu yang hanya terhapus hukumnya, sementara teks atau bacaannya masih terdapat dalam mushaf (naskh al-hukm duna al-tilawah). Bentuk naskh yang terkahir ini merupakan materi yang banyak dibahas oleh para sarjana klasik maupun kontemporer dalam beberapa karyanya. Menurut kami bahwa jenis ini adalah yang paling relevan dengan kosep nasikh mansukh.
Contoh naskh ini adalah pada Surat Al-Mujadilah ayat 12 dinasakh oleh Surat yang sama ayat 13 berikutnya. Yang dinasakh hanyalah hukumnya, sedangkan tilawah keduanya tetap ada dalam mushaf Utsmani.

يَا أَيّهَا الّذِيْنَ أَمَنُوْا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرّسُوْلَ فَقَدّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوْا فَإِنّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Mujadilah 58:12)

ءَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوْا وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيْمُوْا الصّلَاةَ وَآتُوْا الزّكَاةَ وَأَطِيْعُ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَاللهُ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul ? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah member taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah 58:13)
Hukum memberikan sedekah terlebih dahulu kepada orang miskin sebagai syarat untuk dapat berbicara secara khusus dengan Rasulullah SAW pada ayat 12 diatas, dinasakh oleh ayat 13 berikutnya sebagai keringanan bagi umat.[12]
 Pembagian Naskh ada empat bagian: pertama, nask al-Qur’an dengan al-Qur’an. Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya, ayat tentang idah empat bulan sepuluh hari.
Kedua, naskh al-Qur’an dengan sunnah. Naskh ini ada dua macam: a. Naskh al-Qur’an dengan hadits ahad. Umhur berpendapat, al-Qur’an tidak boleh disakhkan oleh hadist ahad zanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula mengahpuskan sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dengan yang maznun (diduga). b. Naskh Al-Qur'an dengan hadits mutawâtir, dalam hal ini para ulama berpeda pendapat. Imâm Mâlik, Abu Hanîfah dan Ahmad dalam suatu riwayat membolehkannya karena keduanya adalah wahyu sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)."(Q.S. An-Najm 53: 3-4)
Dan juga berdasarkan firman Allah SWT:
بِالْبَيِّنَاتِوَالزُّبُرِوَأَنْزَلْنَاإِلَيْكَالذِّكْرَلِتُبَيِّنَلِلنَّاسِمَانُزِّلَإِلَيْهِمْوَلَعَلَّهُمْيَتَفَكَّرُونَ
"…. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan."(Q.S. An-Nahl 16: 44)
Dalam pada saat itu asy-syafi’I, ahli Zahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah:
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ...
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupakepadanya, Kami datangkan yang lebihbaikdaripadanyaatau yang sebanding dengannya…" (Q.S. Al-Baqarah/2: 106). Sedan hadits tidak lebih baik dari atau sebanding dengan al-Qur’an.
Ketiga, Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur'an, Jumhur ulama membolehkan naskh as-Sunnah dengan Al-Qur'an. Shalat menghadap Baitul Maqdis ditetapkan dengan as-Sunnah, lalu dinasakh oleh Al-Qur'an:
قَدْنَرَىتَقَلُّبَوَجْهِكَفِيالسَّمَاءِفَلَنُوَلِّيَنَّكَقِبْلَةًتَرْضَاهَافَوَلِّوَجْهَكَشَطْرَالْمَسْجِدِالْحَرَامِوَحَيْثُمَاكُنْتُمْفَوَلُّواوُجُوهَكُمْشَطْرَهُ
"Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya ..."(Q.S. Al-Baqarah 2:144)[13]
Keempat, Naskh As-Sunnah dengan As-Sunnah, Ada empat macam naskh as-Sunnah dengan as-Sunnah: a. Naskh mutawâtir dengan mutawâtir; b. Nasakh âhâd dengan âhâd ; c. Naskh âhâd dengan mutawâtir; dan d. Naskh mutawâtir dengan âhâd. Tiga bentuk pertama dibolehkan. Sedangkan bentuk keempat, jumhur ulama tidak membolehkannya.[14]


D.      Hikmah adanya nasikh-mansukh

Syariat Islam datang untuk menyempurnakan syariat yang datang sebelumnya al ini menunjukkan keutamaan dankesempurnaan Islam itu. Syariat Muhammad SAW. secara langsung tela menasakhkan syariat yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. Alasan yang jelas adalah bahwa tuntunan kebutuhan manusia terus berkembang sesuai dengan tingkat perkembangan keadaan masing-masing.
Adapun macam-macam hikmah yang dapat ditarikdari nasikh-mansukh ini, Antara lain:
1.         Hukum nasikh lebih berat dari mansukh
Sebagai alasan adanya naskh yang membawa hukum yang lebih berat bertujuan untuk membawa umat ke derajat yang lebih tingi akhlak dan tingkat peraabannya. Pada mulanya mereka cukup untuk meningalkan kebiasaan yang sudah lama seperti kasus minum khamar. Pada mulanya masik dinyatakan bahwa khamar mengandung manfaat akan tetapi dosanya lebih berat dari manfaatnya, kemudian khamar diharamkan sama sekali.
2.         Hukum nasikh lebih ringan dan mansukh
Hikmah jenis kedua ini bertujuan untk memberikan keringanan kepada hamba-Nya dan menunjukkan karunia Allah SWT. rahmat-Nya. Dengan demikian, hamba-Nya dituntut untuk lebih memperbanyak syukur, memuliakan, dan mencintai agama-Nya.
3.         Hukum nasikh sama beratnya dengan mansukh
Sebagai kebalikan dari pertama dan kedua, dalam bagian ketiga ini nasikh dan mansukh tidak memberikan petunjuk mana yang lebih ringan dan berat. Para ulama menasirkan hikmanya untuk menjadi cobaan bagi hamba-Nya sekaligus sebagai pemberitaan untuk menuji siapa di antara mereka yan betul-betul beriman. Siapa yang beriman berarti dia akan selamat dan siapa yang menadi munafik. Pemisahan antara yang betul-betul beriman menjadi faktor utama.
Kajian tentang nâsikh mansûkh sangat penting sekali dalam kajian Islam, terutama dalam bidang fiqh karena menyangkut ketetapan hukum. Lebih-lebih lagi dalam menyelesaikan kasus ayat-ayat yang terdapat pertentangan satu sama lain, dan tidak ada cara untuk menyelesaikannya kecuali dengan meneliti kronologi turunnya, mana yang lebih dahulu turun dibandingkan dengan yang lain, sehingga dapat ditentukan mana yang nâsikh dan mana yang mansûkh. Itulah sebabnya kenapa para ulama pada masa yang lalu sangat memperhatikan hal ini. Betapa pentingnya ilmu ini dapat dilihat dari penafsiran Ibn 'Abbâs tentang makna al-hikmah pada ayat berikut ini:

…..وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
"… dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak..."(Q.S. Al-Baqarah 269)

Menurut Ibn 'Abbâs, yang dimaksud dengan hikmah dalam ayat ini adalah "pengetahuan tentang nâsikh mansûkh, muhkam mutasyâbih, kronologi turunnya ayat-ayat Al-Qur'an dan pengetahuan tentang halal dan haram dalam Al-Qur'an".
Adanya nâsikh mansûkh ini juga memberikan keuntungan kepada umat Islam. Jika pengganti hukum yang dihapus ternyata lebih berat daripada yang diganti akan memberikan tambahan pahala kepada umat yang melaksanakannya. Jika pengganti lebih ringan akan memberikan kemudahan dan keringanan kepada umat.[15]
Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya naskh dengan menyatakan bahwa: “Hukum-hukum tidak diundang kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hokum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hokum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik dari hokum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hemba-hamba Allah.”[16]
Berkaitan dengan itu, Allah SWT senantiasa telah memelihara dan mempertimbangkan konisi yang ada dimasyarakat. Teradinya perubahan hukum yang diberlakukan kepada manusia tiada lain berdasarkan kondisi yang terjadi dan supaya kemaslahatan tetap teramin. Akan tetapi, tidak berarti bahwa Allah tidak mengetahui kejadian yang akan terjadi, justru di sinilah kelebihan islam, yakni menetapkan hukum secara berangsur-angsur. Oleh karena itu, persoalan nasikh hanya berlaku pada masa Rasulullah masih hidup makna setelah Rasulullah SAW. itu wafat, tidak ada lagi nasakh.
Menurut Muhammad Said Ramadhan AL-Buthi, diantara hikmah adanya konsep naskh adalah berkaitan dengan pemeliharaan kemaslahatan umat manusia, sekaligus menunjukkan fleksibilitas hokum berlakunya suatu hokum telah selesai menurut kehendak syar’i, maka datang tahapan berikutnya, sehingga kemaslahatan manusia tetap terpelihara.[17]

E.       Contoh-contoh Nasakh
As-Suyuti menyebutkan dalam al-Itqan sebanyak dua puluh satu ayat yang dipandangnya sebagai ayat-ayat mansukh diantaranya sebagai berikut:
1.         Firman Allah:

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah……” (al-Baqarah/2: 115)

...فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ...
 “………Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram……” (al-Baqarah/2: 144).
Telah dikatakan, dan inilah yang benar, bahwa ayat pertama tidak dinasakh sebab ia berkenan dengan salat sunnah saat alam perjalanan yang dilakukan di atas kendaraan, uga dalam keadaan takut dan darurat. Dengan demikian, hukum ayat ini tetap berlaku, sebagaimana dielaskan dalam as-Sahihain. Sedang ayat kedua berkenaan dengan shalat fardhu lima waktu. Dan yang benar, ayat kedua ini menasakhkan perintah menghadap ke Baitul Maqdis ayat ditetapkan dalam sunnah.
2.         Firman Allah:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ.....
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya....” (al-Baqarah/2: 180).
Dikatakan, ayat ini mansukh oleh ayat tentang kewarisan dan oleh hadis, “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
3.         Firman Allah:

...وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ...
“...bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah...” (al-Baqarah/2: 184). Ayat ini dinasakh oleh:
...فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ...
“...Karema itu, barang siapa diantara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah...” (al-Baqarah/2: 185).
Hal ini berdasarkan keterangan dalam as-Sahihain, berasal dari Salamah bin Akwa’, “ketika turun Surah al-Baqarah/2: 184, maka orang yang ingin tidak berpuasa, ia membayar fidyah, sehingga turunlah ayat sesudahnya yang menasakhkannya.”
Ibn abbas berpendapat, ayat pertama adalah muhkan, tidak mansukh. Bukhori meriwayatkan dari 'Ata', bahwa ia mendengar Ibn Abbas membaca: "Dan bagi mereka yang kuat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, memberi makan seorang miskin." Ibn Abbas mengatakan, ayat ini dimansukh, tetapi tetap berlaku bagi mereka yang telah lanjut usia yang tidak lagi sanggup berpuasa. Mereka boleh tidak berpuasa dengan memberikan makanan kepada seorang miskin pada setiap harinya. Dengan demikian, maka makna يطيقونه  bukanlah يستطيعونه  (sanggup menjalankannya). Tetapi maknanya ialah "mereka sanggup menjalankannya dengan sangat susah payah dan memaksakan diri."
Sebagian ulama berpendapat, ayat tersebut mengadung لا النافية  (huruf yang menyatakan "tidak") sehingga artinya ialah: وعلى الذين لا يطيقونه  (dan wajib bagi orang-orang yang tidak sanggup berpuasa...)
4.      Firman Allah:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ...
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar...” (al-Baqarah/9: 217).
 Ada yang berpendapat, keumuman perintah berperang dalam ayat ini arus diartikan sebagai perintah berperang diluar bulan-bulan haram. Karena itu dalam hal ini tidak ada nasakh.
5.      Firman Allah:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya tanpa mengeluarkannya (dari rumah)...” (al-Baqarah/2: 240). Ayat ini dinasakh oleh:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا...
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari...” (al-Baqarah/2: 234).
Ada yang berpendapat, ayat pertama muhkam, sebab ia berkaitan dengan pemberian wasiat bagi istri jika istri itubtidak keluar dari rumah suami dan tidak kawin lagi. Sedangkan ayat kedua bereknaan dengan masalah 'iddah. Dengan demikian maka tak ada pertentangan antata kedua ayat itu.
6.      Firman Allah:
وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ
"Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungannya (tentang perbuatan itu) bagimu...” (al-Baqarah/2: 284). Ayat dinaskakh oleh firman-Nya: “
...لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا...
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...” (al-Baqarah/2: 286).
7.      Firman Allah:
وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ
"Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya)...” (an-Nisa’/4: 8).
Ayat ini dinaskh oleh mawaris. Namun adayang berpendapat, dan inilah yang benar, ayat tersebut tidak mansukh, dan hukumnya tetap berlaku sebagai anjuran.
8.      Firman Allah:
وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا . وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا...
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka...” (an-Nisa’/4: 15-16). Kedua ayat ini dinaskh oleh ayat dera bagi yang belum nikah sebagaimana dijelaskan dalam ayat:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ...
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera...” (an-Nur/24: 2),
Dan oleh hukuman dera bagi yang belum nikah dan hukuman rajam bagi yang telah nikah seperti ditetapkan dalam sunnah, “perzinahan antara bujang dengan perawan itu didera seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Sedankan perzinaan antara duda dengan janda didera seratus kali dan dirajam.
9.      Firman Allah:
...إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ...
"...Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh...” (al-Anal/8: 65). Ayat ini dinaskh oleh ayat berikutnya:
الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ
"Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada ratus orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu ratus (orang musuh)...” (al-Anfal/8: 66).
10.  Firman Allah:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا...
"Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat...” (at-Taubah/9: 41). Ayat ini dinaskh oleh firman-Nya:
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضَى...
"Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit...” (at-Taubah/9: 91), dan ole firman-Nya:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً...
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang)...” (at-Taubah/9: 122).
Dalam hal ini ada yang berpendapat, ayat tersebut termasuk kategori takhsis, bukan naskh. Dan contoh-contoh lainnya telah dikemukakan oada bagian muka.[18]

F.       Penutup

Setelah melalui proses pembahasan dan kajian di atas, terlihat bahwa terdapat beberapa bukti bahwa adanya nasikh mansukh itu benar adanya karena banyak riwayat yang menjelaskan peristiwa nasikh mansukh tersebut. Dan rata-rata para mujtahid membagi nasikh mansukh yang terdapat dalam Al-Qur`an membagi kedalam tiga bagian seperti yang sudah di jelaskan di atas.
Syariat Islam datang untuk menyempurnakan syariat yang telah datang sebelumnya, hal ini menunjukkan keutamaan dan kesempurnaan Islam itu sendiri. Syariat Nabi Muhammad SAW secara langsung telah menasakh syariat Nabi sebelumnya. Dan alasan yang jelas tentang adanya nasikh mansukh yaitu karena tuntutan kebutuhan manusia yang terus berkembang sesuai dengan tingkat perkembangan keadaan masing-masing. Selain itu juga ada hikmah tersendiri yang ingin Allah SWT manusia dapat mengambilnya dan mengamalkannya agar menjadi Muslim yang kaffah dimata Allah SWT.


Daftar Pustaka

Al-Abyadi, Ibrahim. 1992. Sejarah AL-Qur’an. Jakarta: PT Melton Putra.
Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2015. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
Ichwan, Nor. 2002. Memahami Bahasa Al-Qur’an. Semarang: Pustaka Pelajar.
Ilyas, Yunahar. 2004.Kuliah Ulumul Qur’an.Yogyakarta: ITQAN Publishing.
Kholil, Moenawar.1985. Al-Qur’an Dari Masa Ke Masa. Solo: C.V. Ramadhani.
Madyan,Shams. 2008.Peta Pembelajaran Al-Qur’an. Yogyakarta; Pustaka Belajar
Syafe’i, Rachmat. 2006.Pengantar Ilmu Tafsir.Bandung: Pustaka Setia.
Shiddieqy, M. Hasbi Ash. 1987.Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Shihab, M. Quraish.2007. Membumikan Al-Qur’an. Jakarta: Mizan Media Utama
Syae’i, Rachmat. 2015. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
Fauzan, Noor Rohman. 2014. “Urgensi Nasikh-Mansukh Dalam Legislasi Hukum Islam.”Isti’dal: Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2014.


Catatan:
Makalah ini sudah cukup baik, hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperbaiki:
1.      Teliti dalam menulis footnote, judul buku ditulis miring.
2.      Dalam beberapa bagian, perujukan masih minim.


[1] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987), hlm. 107-108
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Jakarta: Mizan Media Utama, 2007), 143
[3]Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: ITQAN Publishing,2014), hlm. 173
[4] Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 84
[5]Moenawar Kholil, Al-Qur’an Dari Masa Ke Masa, (Solo: C.V. Ramadhani1985), hlm. 39.
[6] Rachmat Syafe’i, Op. Cit. hlm. 84
[7]Ibid.,hlm. 87
[8] Ahmad Shams Madyan, Peta Pembelajaran Al-Qur’an, (Yogyakarta; Pustaka Belajar, 2008), hlm. 194-195
[9]Yunahar Ilyas,Op. Cit., hlm. 175-176
[10] Noor Rohman Fauzan, “Urgensi Nasikh-Mansukh Dalam Legislasi Hukum Islam.” Isti’dal:Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2014,hlm. 210


[11] Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, (Semarang: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 292-295
[12]Yunahar Ilyas, Op. Cit., hlm. 183
[13]Manna’ Khalil Al-Qattan, Op. Cit., hlm. 336
[14]Yunahar Ilyas, Ibid., hlm. 186
[15]Yunahar Ilyas, Ibid., hlm. 186-187
[16] M. Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 145
[17] Rachmat Syae’I, Ilmu Ushul Fiqih, Op. Cit., hlm. 232-233
[18] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa), 2015 hlm. 344-349)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar