Minggu, 24 September 2017

Fiqih pada Masa Pertumbuhan (PAI E Semester Ganjil 2016/2017)




Difla Mawadda R dan Elfiyatus Sholihah
Mahasiswi UIN Malang Jurusan PAI kelas E tahun 2016

Abstract
Basically, this article discuss about fiqih in growth period in the same manner as the other religion science in Islam, fiqih science develop and always stand on with Al Qur’an and As Sunnah (Hadits). Fiqih science not grow it self, but the materials already exist since Rasulullah SAW, and his close friends’s era. Ulama’ divide the periods that have been passed by Fiqih science become two ways, the first is its growth was equated with the growth of human, as like human through child period, teenager, adult, and then become old, Fiqih also grew like that. And the second one is the growth based on the differences and privileges that have clear influence in a law and different period. Based on the result of research, this fiqih grow period divided into six periods, but we’re only discuss the first three of them here, history of fiqih when prophet period, history of fiqih when close friend of rasulullah’s period, history of fiqih when tabi’in period and history of fiqih when tabi’ut tabi’in period (golden age).

Abstrak
Artikel ini berbicara mengenai fiqih pada masa pertumbuhan, sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam islam, ilmu fiqih tumbuh dengan tetap berpijak pada Al-Qur’an dan As-sunnah (Hadits). Ilmu fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih – benihnya sudah ada sejak zaman Rosulullah dan sahabat. Ulama membagi periode – periode yang dilalui ilmu fiqih ini kepada dua jalan yaitu, yang pertama pertumbuhannya disamakan dengan pertumbuhan manusia, sebagaimana orang melewati masa kanak – kanak, remaja, dewasa, lalu masa tua, demikian juga keadaan fiqih. Yang kedua pertumbuhannya berdasarkan perbedaan dan keistimewaan yang memiliki pengaruh yang jelas dalam hukun dan masa yang berbeda. Menurut hasil penelitian, periode pertumbuhan fiqih ini dibagi dalam enam periode namun disini kami hanya akan membahas tiga periode awal saja yaitu yang meliputi, sejarah fiqih pada masa nabi, sejarah fiqih pada masa sahabat dan sejarah fiqih pada tab’in dan tabiut tab’in (keemasaan)

Keywords : Al-qur’an, sunnah, ijma’, qiyas.

A. PENDAHULUAN
Periode kenabian dapat dibedakan menjadi periode Makkah dan Madinah. Pada periode pertama risalah kenabian berisi ajaran – ajaran akidah dan akhlak, sedangkan pada periode kedua lebih banyak berisi tentang hukum – hukum. Namun hukum – hukum itu hanya berupa hukum yang terdapat pada Al – Qur’an dan hukum – hukum yang berasal dari nabi yang berupa fatwa terhadap pertanyaan. Para sahabat tidak perlu melakukan ijtihad sendiri, karena mereka dapat langsung bertanya pada nabi jika mereka mendapat suatu masalah yang belum mereka ketahui. Jadi hukum – hukum amaliyah pada masa ini hanya terbatas pada hukum – hukum yang ditetapkan oleh Allah dan Rosul-Nya. Meski demikian, Nabi juga memberi izin kepada orang tertentu dan dalam keadaan tertentu untuk melaukan ijtihad jika seseorang tidak mendapatkan hukumnya di dalam Al- qur’an dan Sunnah.[1]
Pada periode sahabat, dengan perkembangan islam diluar semenanjung Arabia muncul peristiwa –peristiwa dan persoalan – persoalan yang baru yan belum terjadi pada masa nabi, maka para sahabat yang memiliki kemampuan berijtihad melakukan ijtihad untuk mengatasi persoalan itu. Para sahabat tidak mengalami kesulitan dalam memahami hukum – hukum dalam Al-qur’an dan sunnah itu, mereka juga tidak membutuhkan metodologi khusus karena mereka mendengarnya secara langsung dari nabi. Dan pada masa – masa awal periode Tabi’in (masa dinasti Umayyah) muncul aliran – aliran dalam memahami hukum syari’ah dan dalam merespon persoalan – persolan baru yang muncul.[2]

B. Sejarah Fiqih Pada Masa Nabi
1. situasi Bangsa Arab Pra Islam
     Bangsa Arab sebelum kedatangan Nabi adalah bangsa yang tidak memiliki aturan, gelapnya kebodohan yang menaungi mereka dan tidak ada agama yang mengikat meraka, serta tidak ada undang – undang yang dapat mereka patuhi. Akibat dari itu semua aqidah mereka dipenuhi dengan aqidah yang batil. Terkadang mereka menganggap patung yang mereka buat sebagai tuhan yang mereka sembah, atau terkadang pada bintang - bintang. Hanya sedikit dari mereka yang hidupnya berjalan sesuai dengan aturan. Sebagian dari mereka memiliki kebiasaan yang baik, dan langkah yang mulia yang aturannya itu didapat dari nenek moyangnya yaitu nabi Ismail. Sebagian yang lain memeluk agama orang Yahudi dan nasrani yang ada di kalangan mereka, atau yan mengelilingi wilayah mereka. Sebagian yang lain mendapat petunjuk dari pengalaman dan melalui adat dan tradisi.[3]
Namun ketetapan ataupun adat istiadat itu bukanlah undang – undang tertulis yang dijadikan patokan dalam menyelesaikan perselisihan dan memelihara hak – hak mereka, tapi hanya ketetapan yang sedikit sekali pemanfaatannya, tidak cukup untuk merealisasikan peraturan dan tidak dapat mencegah pembuat kerusakan. Sampai akhirnya Allah mengizinkan Jazirah Arab yang tandus sebagai tempat lahirnya agama islam, sebagai tempat sumber ilmu dan petunjuk dalam mengokohkan alam ini.[4]

2. Periode Risalah
Periode ini dimulai sejak kerosulan Nabi Muhammad SAW sampai wafatnya nabi (11 H. / 632 M.). pada periode ini penentuan hukum sepenuhnya berada pada tangan Rosulullah, sumber hukum ketika itu adalah Al – Qur’an dan Sunnah Nabi. Pengertian fiqih pada masa itu identik dengan Syari’ah, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya kembali pada Rosul. Periode awal ini juga dapat di bagi menjadi dua periode, yaitu periode makkah dan periode madinah. Pada periode makkah risalah nabi lebih banyak tertuju pada masalah aqidah, ayat hukum yang turun pada saat itu tidak banyak jumlahnya dan itupun masi dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah semata. Para periode madinah, ayat – ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini, seluruh persoalan hukum diturunkan Allah, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karena itu, periode madinah ini disebut juga oleh ulama fiqih sebagai periode revolusi sosial politik.[5]

a. Hukum Islam di Makkah
     Pada mulanya, islam berorientasi memperbaiki aqidah, karena aqidah merupakan pondasi utama. Sehingga bila telah selesai tujuan yang pertama ini, di lanjutkan dengan meletakkan aturan kehidupan. Al – Qur’an yang turun pada mereka ketika di Makkah sebelum hijrah yang memperhatikan penolakan terhadap syirik dan mengajak mereka menuju tauhid, memuaskan mereka dengan kebenaran risalah yang di sampaikan oleh para nabi. Mengiringi mereka agar mengambil pelajaran dari kisah umat – umat terdahulu, menganjurkan mereka agar menmbuang taklid pada nenek moyangnya, dan memalingkan mereka dari pengaruh kebodohan yang ditinggalkan oleh leluhurnya seperti pembunuhan, zina, dan mengubur anak perempuan mereka hidup – hidup. Al – Qur’an juga banyak mengajarkan mereka moral dan akhlak islam seperti keadilan, menepati janji, berbuat baik, tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa. Kebanyakan ayat – ayat Al – Qur’an itu meminta kita agar menggunakan akal pikiran, Allah mengistimewakan mereka dengan akal yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya agar mereka mendapat petunjuk kebenaran dari dirinya sendiri. Mengingatkan mereka agar tidak menyelisihi para nabi agar tidak tertimpa adzab seperti apa yang ditimpakan pada umat terdahulu yang mendustakan rosul – rosul mereka dan mendurhakai tuhannya. Pada masa ini Al- qur’an hanya sedikit memaparkan tujuan yang kedua, sehingga mayoritas masalah ibadah belum disyariatkan kecuali setelah hijrah. Ibadah yang disyariatkan setelah hijrah erat kaitannya dengan pemeliharaan aqidah, seperti pengharaman bangkai, darah dan sembelihan yang tidak disebut nama Allah atasnya. Penyampaian Al – Qur’an seperti itu selama tiga belas tahun, sampai aqidah meresap dalam jiwa sebagian besarnya dan terbias kesesatan syirik dihadapan cahayanya. Pada saat itu Allah menizinkan orang – prang mu’min dan nabi untuk berhijrah ke Madinah, wilayah Anshar dan tanah air yang baru bagi kaum muslimin, serta tempat yang akan memberikan nuansa baru dalam menyiarkan agama Allah sampai selesai.[6]

Muhammad Hadlori menjelaskan bahwa periode Makkah dapat dilihat dari ayat-ayatnya sebagai berikut:
1.      Ayat-ayat makkiyah tidak menjelskan secara rinci tentang aspek hukum, tetapi berfokus pada tujuan agama, yaitu tauhidullah.
2.      Penegakan dalil-dalil keberadaan Tuhan.
3.      Peringatan akan adzab Allah dan sifat-sifat hari Kiamat.
4.      Mengajakk pada akhlak mulia sebagaimana Nabi SAW. Diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.
5.      Berkenaan dengan umat terdahulu yang ditimpa musibah karena tidak taat kepada nabi sebelumnya.[7]
Dengan kata lain, periode Makkah merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah system kepercayaan masyarakat Jahiliyah menuju keimanan kepada Allah saja; suatu revolusi yang menghasilkan fundamental, rekontruksi social dan moral pada seluruh dimensi kehidupan masyarakat.[8]

b. Hukum Islam di Madinah
Proses pembetukan hukum pada masa kenabian tidak dipaparkan peristiwa – peristiwa, menggambarkan kejadiannya, mencari sebab – sebab percabangannya dan kodifikasi hukum-hukum, sebagaimana masa – masa akhir yang telah dimaklumi. Tetepi pembentukan hukum pada masa ini berjalan bersama kenyataan dan pembinaan bahwa kaum muslimin, apabila mereka menghadapi sebuah masalah yang harus dijelaskan hukumnya, mereka kembali kepada nabi. Terkadang nabi memberi fatwa kepada mereka dengan suatu ayat atau beberapa ayat (wahyu) yang diturunkan allah kepadanya, terkadang dengan hadits dan terkadang dengan pengalamannya, atau sebagian dari mereka melakukan suatu perbuatan lalu nabi menetapkan (takrir) hal itu, jika hal itu benar. Dari semua penjelasan tersebut dapat diringkas menjadi tiga yaitu :
1.      Bahwa kekuasaan hukum pada masa  ini, disandarkan kepada nabi, tidak ada campur tangan orang lain, dan sumbernya adalah wahyu baik matlu yaitu Al-Qur’an ataupun ghair matlu yaitu sunnah.
2.      Bahwa ayat – ayat itu turn berkenaan dengan suatu peristiwa atau jawaban dari pertanyaan.
3.      Hukum islam tidak ditetapkan sekaligus melainkan di tetapkan sebagian – sebagian dan kontinu yang di dasari dengan ayat – ayat al-qur’an dan hadits nabi.
Para fuqoha menanamkan ayat – ayat yang berkenaan dengan hukum sebagai “ayat ahkam”, dan hadits yang berkenaan dengan hukum sebagai “hadits ahkam”. Tidak hanya bersumber pada al-qur’an dan hadits, akan tetapi telah diakui nabi telah melakukan ijtihad dalam sebagian hukum dan mengakui ijtihad sahabat dalam sebagian yang lain ketika ada kebutuhan dan terlambat datangnya wahyu, kemudian turun wahyu pada saat itu untuk menguatkan ijtihadnya atau mengingatkan segi – segi kesalahannya. Sedangkan ijitihas sahabat juga demikian, dilakukan apabila mereka kesulitan menemui nabi, tatkala mereka kembali pada nabi maka nabi menjelaskan segi – segi hukum yang merela ijtihadkan itu, benar atau salahnya. Dengan demikian ijtihat tidak dapat dikategorikan salah satu sumber hukum pada masa ini.[9]

C. Sejarah Fiqih Pada Masa Sahabat
Periode sahabat dimulai sejak wafatnya nabi Muhammad (11 H / 632 M).sampai pada akhir abad I H. Disebut periode sahabat karena yang memegang kekuasaan hukum adalah para tokoh sabahat. Sumber fiqih pada periode ini, di samping al – qur’an dan sunnah, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah pemerintahan umar bin khatab menjadi khalifah (13 H. / 634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengan masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk islam dari berbagai etnis dan budaya. Pada periode ini untuk pertama kalinya fuqoha berbenturan denga budaya, moral, etika dan nilai – nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah yang ditaklukkan islam sudah sangat luas dan masing – masing telah memiliki budaya, tradisi, situasi, dan kondisi yang menantang para fuqoha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan – persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada al – qur’an, jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam al – qur’an, mereka mencari jawabannya dengan sunnah, namun jika dalam sunnah rosul tidak juga dijumpai maka mereka melakukan ijtihad, cara mereka berijtihad ini dengan cara Ijma’ dan Ra’yu.[10]

Dasar argumentasi yang menjadikan ijtihad sahabat merupaka bagian dari sumber hukum islam adalah :
1.      Mereka ikut menyaksikan tindakan dan sikap Rosulullah saat berijtihad untuk menyelesaikan persoalan disaat wahyu itu tidak turun.
2.      Ketika Rosulullah sedang berdialog dengan Muadz bin Jabal (qadhi / hakim negeri Yaman). Rasulullah : “ bagaimana caramu menetapkan hukum atas suatu perkara yang kamu hadapi ?” Muadz bin Jabal : “ aku menetapkan hukum berdasarkan al –qur’an”. Rosulullah menjawab : “Kalau kamu tidak mendaptkan ketetapan dari al – qur’an ?” Muadz bin Jabal : “aku akan menetapkan hukumnya berdasarkan sunnah nabi.” Rasulullah : “kalau kamu tidak mendapatkan ketetapan dari sunnah ?” Muadz bin Jabal : “aku akan berijtihad dengan pendapatku sendiri.” Mendengar jawaban itu lalu nabi mengakui jawaban Muadz sambil memuji kepada Allah atas pemberian taufiq kepada utusan Rosul-Nya.
3.      Mereka memahami berdasarkan adanya penyebutan illat pada sebagian ayat – ayat hukum dalam al – qur’an dan sunnah, sehingga mereka memahami bahwa tujuan penetapan hukum dalam al – qur’an dan sunnah adalah untuk kemaslahatan umat. Dan apabila untuk merealisasikan kemaslahatan umat itu memerlukan suatu aturan, maka umat islam wajib berusaha, menyusun, dan merumuskan peraturan yang dapat menjadikan kemaslahatan itu.
Berdasarkan sumber diatas para mufti dari kalangan sahabat sepakat menjadikan al – qur’an, sunnah, dan ijtihad sebagai sumber hukum.[11]

Serperti yang sudah dijelaskan diatas, setelah wilayah Islam semakin luas, tentu permasalahan tentang hukum dalam menghadapi setiap persoalan dalam kehidupan juga semakin berkembang, ada tiga permasalahan pokok yang berkembang pada masa sahabat, diantaranya adalah:
1.      Banyak kejadian baru yang muncul dan membutuhkan jawaban lahiriah yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
2.      Munculnya masalah yang secara lahiriah jawabannya sudah ada dalam al-Qur'an dam Sunnah Nabi, tetapi jawaban atau ketentuan itu dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan akan menimbulkan pemahaman baru agar sesuai dengan perkembangan dan permasalahan yang ada.
3.      Suatu kejadian yang jawabannya sudah dijelaskan dalam al-Qur'an secara jelas dan terpisah. Jika kejadian tersebut berlaku dalam kejadian tertentu, para sahabat mengalami kesulitan dalam menerapakan dalil-dalil yang ada.[12]
Dari tiga pokok kejadian tersebut berkembanglah ijtihad atau pemikiran para sahabat, diantaranya adalah:
Dalam menanggapi kejadian yang Pertama, para sahabat mencari jawabannya dari zhahir ayat al-Qur'an, dan penjelasan yang pernah diberikan Nabi. Apabila sahabat masih belum menemukan jawaban secara jelas, maka para sahabat mencarinya dari balik zhahir lafadz hukum yang ada. Dengan cara, lafadza zhahir itu direntangkan kepada kejadian yang dipersoalkan, usaha ini dapat dilakukan dengan cara:
1.      Memahami lafadz, yaitu memahami maksud secara lahir dari lafadz tersebut, misalnya: bagaimana hukum mebakar harta anak yatim secara aniaya, sedangkan hukum membakar tidak ada. Ijtihad para sahabat adalah menyamai kata membakar dengan menghilangkan, karena semua juga tahu bahwa membakar sesuatu barang, tentunya juga menghilangkan atau melenyapkan barang itu. Jadi hukumnya adalah haram. Cara ini sisebut dengan menggunakan metode mafhum.
2.      Memahami alasan atau 'illat yang terkandung dalam suatu kejadian yang dipersoalkan, kemudian menghubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan atau 'illat yang sama dengan kejadian yang lain. Cara ini disebut dengan metode qiyas.[13]

Persoalan Kedua yaitu perubahan keadaan yang menghendaki perubahan pemikiran.Seperti masalah diwajibkannya zakat di dalam al-Qur’an. Nabi dan Sunnahnya menjelaskan bahwa zakat itu diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang miskin. Sesuai dengan perintah Allah (Q.s. al-Taubah/9: 103). Dengan cara yang bijaksana (Q.s. al-Nahl/16: 125) yang dapat dijalankannya dengan baik. Tetapi pada zaman khalifah Abu Bakar pengambilan zakat secara lemah lembut seperti pada zaman Nabi sudah tidak efektf lagi karena adanya pembangkangan terhadap pembayaran zakat. Oleh karena itu Abu Bakar mendasarkan pemikirannya terhadap sikap Nabi yang lemah lembut, kewajiban membayar zakat tidak dapat ditegakkan. Maka Abu Bakar menggunakan sikap keras, bahkan menetapkan untuk memerangi mereka yang tidak mau membayar kewajiban zakat.[14]
Persoalan Ketiga yaitu pemahaman terhadap dua ayat al-Qur’an yang menetapkan hukum secara terpisah. Nabi menjelaskan untuk penetapan tersebut dapat dijalankan dengan apa adanya.[15]
Misalnya seperti kasus tentang bagaimana hukumnya suami yang menceraikan istrinya dalam kondisi sakit keras, alasan suami tersebut adalah untuk menghindarkan hak istri dari hak warisnya. Disini sahabat berbeda pendapat, tetapi Utsman bn Affan berpendapat dan menetapkan fatwanya bahwa istri berhak atas warisan itu menurut kadar yang berlaku. Sebagaimana dalam riwayat bahwa Abdurrahman bin Auf yang menceraikan istrinya ketika sedang sakit, dan Utsman memberikan hak waris terhadap istrinya yang ditinggal mati.[16]
Dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa ‘iddahnya wanita yang diceraikan suaminya dalam keadaan hamil adalah sampai dia melahirkan anaknya, sesuai dalam surah al-Thariq (65):4. Kemudian tentang ‘iddahnya wanita sebab ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepluh hari, seperti dalam surah al-Baqarah (2): 234. Tetapi tidak ada penjelasan pasti dari Allah tentang bagaimana ‘iddahnya istri yang ditinggal mati suaminya dan dia dalm keadaan sedang dalam keadaan hamil; apakah dia harus menggunakan ayat 4 dalam surah al-Thariq walaupun belum sampai pada masa empat bulan sepuluh hari atau menggunakan ayat 234 pada surah al-Baqarah meskipun anaknya belum lahir. Dalam hal ini sahabat berbeda pendapat lagi, tetapi Ali ibn Abi Thalib berpendapat dan berfatwa bahwa masa ini adalah masa ‘iddah terpanjang bagi istri, pendapat Ali ini atas dasar kehati-hatian dalam mengamalkan dua ayat tersebut. Sedangkan sahabt lain yaitu Umar ibn Khattab berpendapat bahwa tetap melahirkan anak meskipun belum sampai empat bulan sepuluh hari.[17]

D. Sejarah Fiqih Pada Masa Tabi’in
Periode ini dimulai ketika para khalifah Bani Umayyah memegang kekuasaan kaum muslim setelah meninggalnya Ali bin Abi Thalib dan berakhir pada awal abad kedua hijriyah sebelum Dinasti Umayyah berakhir. Pada masa ini juga terjadi berbagai peristiwa dan perkembangan, perbedaan fiqih, dan pergolakan politik karena sejak awal berdirinya dinasti ini kaum muslim telah terpecah menjadi tiga golongan yaitu :
1.      Syi’ah, yaitu adalah mereka yang berada di kubu Ali bin Abi Thalib atau mereka – mereka yang fanatik kepada Ali, yang menganggap bahwa khilafah hanya untuk Ali dan keturunnya saja, bukan dengan cara ba’iat.
2.      Khawarij, yaitu kelompok pengikut Ali yang kemudian keluar karena kecewa dengan adanya tahkim (perdamaian) dengan kelompok Muawiyah, dan mayoritas dari mereka berpendapat wajib melantik seorang khalifah taat agama, adil mutlak, tegas dan keras, dan tidak harus dari suku quraisy atau keturunan arab.
3.      Jumhur kaum Muslimin, yaitu kaum moderat yang memiliki sifat adil dan tidak radikal. Mereka berpendapat bahwa khalifah harus dari suku quraisy, namun harus dipilih oleh kaum muslim dengan cara ba’iat.
Pada awal periode ini perkembangan fiqih masi sama pada periode sahabat, dimana tidak ada ulama khusus yang membahas fiqih, seorang alim mengajarkan al – qur’an pada masyarakat, menafsirkan al-qur’an, meriwayatkan sunnah dan memberi fatwa ketika ada masalah. Namun ketika masuk zaman khalifah Abdul Malik bin Marwan, dapat ditemukan sekelompok ulama untuk memberi fatwa hala dan haram, setelah itu bermunculan mujtahid dengan kemampuan yang berbeda- beda yang menjadikan munculnya perbedaan fiqih.[18]
a.       Definisi Tabi’in
Tabi’in adalah orang – orang yang tidak sempat bertenu atau melihat nabi, namun mereka masih sempat bertemu dengan sahabat baik sahabat itu meriwayatkan hadits atau tidak. Jadi dari penjelasan tersebut dapat di katakan bahwa tabi’in tidak harus melihat dan betemu langsung dengan nabi, sebab jika bertemu berarti itu di sebut sebagai sahabat. Dan juga tabi’in disyaratkan harus bertemu dengan sahabat meskipun sahabat itu tidak meriwayatkan hadits, cukup hanya dengan bertemu saja sudah dikategorikan sebagai tabi’in asalkan orang itu sudah dewasa (baligh).
Seperti yang di jelaskan Allah dalam (Q.S At- Taubah : 100) tentang adanya tabi’in, yang artinya sebagai berikut ;
“ orang – orang yang terdahulu lagi pertama – tama (masuk islam) dari golongan muhajirin dan anshor dan orang – orang yang mengikuti mereka dengan baik, allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada allah dan allah menyediakan bagi mereka surga – surga yang mengalir sungai – sungai didalamnya selama – lamanya. Mereka kekal didalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”

Dari arti ayat diatas dapat disimpulkan bahwa allah memberi penghormatan dengan memberikan pahala yang besarbagi para tabi’in yang mengikuti para sahabat dengan ihsan.[19]

b.      Perpecahan politik dan aliran pemikiran
Setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib kaum muslim terpecah menjadi tiga kelompok yaitu khawarij, syi’ah, dan jumhur kaum muslimin. Hal ini selain merupak perpecahan dalam bidang politik namun juga berimbas pada aliran – aliran fiqih, mengapa demikian karena perbedaan mereka tentang sumber – sumber hukum fiqih dan juga ada beberapa masalah fiqih yang berkaitan dengan keyakinan politik.
1)      Khawarij
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwasannya khawarij ini adalah kelompok orang – orang yang keluar dari kubu Ali bin Abi Thalib karena kecewa dengan tindakan Ali yang menerima perdamaian dengan Muawiyah. Dalam kelompok ini memiliki beberapa doktrin yang pertama, yaitu menjadi khilafah adalah hak bagi seluruh muslim, tidak terbatas hanya untuk kelompok tertentu dan juga pemilihannya harus dilakukan secara umum dan terbuka dari semua kalangan serta khalifah boleh lebih dari satu apabila ada pendukungnya. Kedua, orang khawarij tidak menganggap qiyas sebagai sumber hukum syari’at dan menolak ijma’ sebagai dasar hukum, yang menjadi dasar adalah sandaran ijma’ jika tampak, jika tidak tampak ijma’ tidak dapat di jadikan dadil. Ketiga, sebagian dari mereka mengingkari hukum – hukum syariat yang telah ditetapkan berdasarkan ijma’ seperti hukum rajam bagi orang yang berzina, hukum qazaf bagi kaum laki – laki, dan mereka juga mewajibkan memotong tangan orang yang mencuri. Kaum khawarij sendiri telah terpecah – pecah menjadi beberapa kelompok kecil yang cukup banyak jumlahnya.[20]

2)      Syiah
Adalah kelompok yang fanatik dengan Ali bin Abi Thalib sehingga setelah sepeninggalannya, kelompok ini menganggap bahwa yang pastas menjadi penerus ke khalifahan Ali adalah dari keturunannya. Kaum syiah juga terpecah menjadi beberapa kelompok yaitu ; Zaidiyah, imamiyah itsna’asyariyah, dan isma’iliyah. Kelompok syiah ini memiliki aliran fiqih yang berbeda dengan kaum muslim diantaranya yang pertama, orang syiah memperbolehkan nikah mut’ah (kontrak) dan hal ini sebenarnya telah diharamkan oleh Rasulullah. Kedua, orang syiah mengharamkan seorang muslim menikahi ahli kitab. Ketiga, orang syiah tidak memakai sunnah sebagai sumber hukum, kecuali hadits – hadits yang datang dari periwayat ahli bait dan para pengikutnya dan mereka juga menolak ijma’ sebagai sumber hukum. Keempat, orang syiah menolak qiyas karena qiyas berupa pendapat pribadi sedangkan agama tidak dikaji sebagai pendapat sendiri melainkan dari Allah, rosul, dan imam yang maksum.[21]

3)      Jumhur Kaum Muslimin
Mereka adalah orang – orang yang abstain atau tidak mau terlibat dalam pergolakan politik, mereka tidak bergabung bersama kelompok Ali ataupun lawan politiknya Ali. kelompok ini menempuh jalan ilmu yang benar dan manhaj yang lurus serta kajia yang tepat dalam memahami agama Allah berdasarkan penjelasan al – qur’an, sunnah serta riwayat – riwayat para sahabat. Metode yang digunakan kelompok ini telah melahirkan dua aliran dalam mengistinbat hukum syariat. Pertama, kelompok yang berpegang zhahirnya nash – nash saja, pengikutnya ini dinamakan ahli hadits (kaum literalis). Kedua, aliran yang mencari illat hukum dan hikmahnya dari nash, baik al-qur’an maupun sunnah, kelompok ini dinamakan ahli ra’yi (kaum rasional).[22]

c.       Peningkatan kreativitas fiqih
Banyaknya permasalahan yang di hadapi para ahli fiqih sehingga menjadikan banyaknya fatwa yang dikeluarkan para ulama untuk mengatasi permasalah tersebut, serta ruang lingkup fiqih pun semakin meluas sehingga aktivitas fiqih juga semakin meningkat dibandingkan dengan zaman sebelumnya. Hal ini dikarenakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu, menyebarnya para sahabat ke seluruh pelosok wilayah, meluasnya periwayatan hadits, para hamba sahaya mulai mempelajari fiqih serta ilmu sayariat, dan yang terakhir adalah munculnya beberpa aliran fiqih.[23]
1.      Menyebarnya para sahabat keseluruh pelosok wilayah
Awalnya Umar bin khatab melarang para pembesar sahabat terutama yang ahli dalam bidang ra’yi untuk meninggalkan kota madinah, hal ini dikarenakan agar mempermudah melakukan ijma’ jika sewaktu – waktu yerjadi permasalahan yang menjadi perselisihan. Namun pada masa Ustman ini wilayah islam menjadi semakin luas dan ustman membolehkan mereka untuk menyebar dan menetap di daerah – daerah taklukan yang mana di daerah itu juga kekurangan orang – orang yang ahli dalam ajaran – ajaran agama, sehingga penduduk yang tinggal di situ menghadap kepada  sahabat yang menetap disitu untuk dimintai fatwa dan belajar darinya.  Pada pengetahuan para sahabat tidak selalu sama dan apa yang dihafalkan para sahabatpun belum tentu juga dihafalkan oleh sahabat yang lain dan juga adat istiadat masing – masing daerah berbeda, hasilnya adalah bahwa penduduk setiap daerah bergantung pada fatwa, haidts, dan tradisi perbuatan para ulama yang ada di masing – masing daerah karena mereka telah percaya pada sahabat.[24]
2.      Meluasnya periwayat hadits
Pada masa tabi’in ini kebutuhan untuk memperbanyak periwayat hadist semakin menguat di bandingkan dengan pada masa sahabat, hal ini dikarenakan semakin luasnya daerah taklukan islam sehingga menimbulkan banyak masalah yang membutuhkan fatwa. Jauhnya jarak antar suatu negeri mempersulit komunikasi sesama mereka sehingga setiap ulama hadits terpaksa meriwayatkan hadits yang telah dihafalanya untuk berfatwa dan terkadang mereka pergi ke Madinah untuk mengumpulkan hadits dan dihafalkannya. Hal ini tentu juga menimbulkan dampak negatif yaitu munculnya indikasi pemalsu hadits.[25]
3.      Munculnya ulama dari kalangan mawali
Mawali adalah mereka yang semualanya adalah hamba sahaya yang dimerdekakan oleh tuannya, bekas tawanan perang, dan juga mereka yang masuk islam dari bangsa selain arab. Jadi yang di maksudkan mawali disini adalah mereka yang masuk islam selain dari bangsa arab. Munculnya ulama dari kalangan mawali ini salah satunya disebabkan karena ketekukan dan semangat mereka yang tinggi unruk mempelajari islam dengan cara berguru dengan para sahabat.[26]
4.      Munculnya aliran – aliran fiqih
Seperti yang telah dijelaskan pada point pertama, luasnya wilayah taklukan islam dan corak adat kebiasaan yang berbeda di setiap daerahnya seta banyaknya permasalah yang muncul di setiap daerah itu melahirkan corak fiqih yang berbeda – beda dan lain dari fiqih yang ada di hegeri lain. Inilah yang disebut sebagai aliran fiqih, seperti aliran fiqih syam, hijaz, mesir, kufah, aliran bashrah dan lain – lain. Keberagaman aliran fiqih ini juga diakibatkan karena perbedaan sosilogis yang sulit untuk dihindari, sehingga mereka tidak menganggapnya sebagai masalah yang besar.[27]
Pada garis besar aliran itu terbagi menjadi dua yaitu aliran hijaz dan aliran iran. Aliran hijaz terkelan dengan berpegang pada nash as-sunnah karena itu hijaz disebut sebagai madrasah ahli hadits, mereka mengikuti fiqih dua sahabat Ibn umar dan Zaid ibn sabit, dan tujuh tabi’in fuqoha yaitu, Said ibn musayyab, Sulaiman Ibn yasar, Urwah Ibn zubair, Kharijah ibn zaid, Ubaidillah ibn utbah, Aby bak ibn abdurrahman, dan Qasim bin muhammad. Sedangkan aliran Iran cenderung menggunakan qiyas sehingga mereka dinamai Al-ra’yi. Dalam fiqih mereka mengikuti fiqih sahabat Abdullah ibnu mas’ud di kufah dan tabi’in yang termasyhur diantaranya Ibrahim An-nakha’i (kufi).[28]

d.      Sumber – sumber fiqih pada masa Dinasti Umayyah
Sumber fiqih pada masa tabi’in masih terbatas pada al – qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas (logika). Tapi ada sedikit perubahan dalam aspek penggunaannya. Terhadap al-qur’an, terdapat banyak perbedaan dalam menafsirka nash-nash yang tidak qath’i interpretasinya yang sebelumnya tidak terjadi pada masa sahabat. Hal ini terjadi karena para fuqoha pada masa ini tidak melihat langsung turunnya al-qur’an sehingga sulit memahami asbabun nuzul yang dapat membantu dalam memahami maksud ayat, sejarah turunnya ayat, mengenal nashik dan manshuk kecuali jika bertemu langsung denga sahabat sedangkan tidak semua tabi’in bertemu langsung dengan sahabat, ditambah lagi perbedaan kemampuan linguistik diantara mereka yang terus mengalami perkembangan. Setelah berakhirnya zaman sahabat, beberapa penggunaan bahasa yang banyak digunakan di zaman nabi dan digunakan oleh al-qur’an mulai ditinggalkan, para fuqoha menggunakan bahasanya sendiri secara umum dan ini menjadikan menambahnya jurang pemisah diantara mereka dalam memahami al-qur’an. Sedang terhadap sunnah, mereka lebih menggantungkan diri dengannya terutam setelah menyebarnya periwayat hadits dan fuqoha yang memberi fatwa, akhirnya muncullah kelompok yang komitmen dengan sunnah dan sangat selktif dan juga ada kelompok yang sangat bebas menggunakan logika.[29]
Terhadap ijma’, terdapat perbedaan tentang ijma’ yang dapat dijadikan sumber hukum, yaitu kesepakatan semua mujtahid atau sebagian kelompok khusus, termasuk pendapat kaum syiah yang mengatakan semua kesepakatan mujtahid dari kalangan ahli bait. Berawal dari zaman inilah ijma’ mengalami penurunan sebagai sumber hukum islam, setelah para fuqoha menyebar keseluruh pelosok negeri sehingga menyulitkan untuk saling bertemu. Dan yang terakhir terhadap ra’yi (logika), biasanya mereka menamakannya qiyas secara umum. Pada masa sahabat mereka menjadikan fiqih sebagai praktik harian sehingga sangat kuat hubungnnya dengan maslahat mursalah, sedang pada zama tabi’in fiqih menjadi sebuah teori fuqoha yang menjadi objek kajian dan proses pembelajaran yang jauh dari sentuhan negara, sedangkan secara teori mereka mengarah pada pemakaian logika.[30]

E. Sejarah Fiqih Pada Masa Tabiut dan Tabi’in (keemasan)
Periode ini dimulai dari awal abad ke 2 sampai pada pertengahan abad ke 4.H. periode ini termasuk pada dalam periode kemajuan islam pertama (700-1000). Sama seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol disini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan ini tidak dalam bidang ilmu agama saja namun juga dalam bidang ilmu pengetahuan umum. Para penguasa awal abbasiyah sangat mendorong para fuqoha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqih yang digunakan untuk menghadapi permasalahan – permasalahn sosial yang semakin kompleks. Khalifah Harun ar-rosyid meminta kepada Imam abu yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan, dan pertanahan, dan akhirnya Imam Yusun ini menyusun buku yang diberi judul al-Kharaj. Ketika Abu ja’far al-mansur menjadi khalifah, ia juga meminta kepada Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqih yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga peradilan, dan buku itu di beri judul al-Muwaththa’ (yang disepakati). Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlu hadits dan ahlu ra’yi semakin menjadi, sehingga penimbulkan semangat berijtihad diantara keduanya. Semangat ijtihad ini juga menajadi awal munculnya mazhab – mazhab fiqih, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Upaya ijtihad ini tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis masa itu tapi juga untuk membahas persoalan – persoalan yang mungkin akan terjadi, biasa disebut sebagai fiqih taqdiri (fiqih hipotesis). Pertempuran kedua aliran ini baru mereda setelah murid – murid kelompok ahlurra’yi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra’yu yang dapat digunakan untuk mengistinbat hukum, akhirnya aliran ahlu hadits menerima pengertian ra’yu yang dimaksudkan oleh ahli ra’yu dan juga menerima ra’yu sebagai salah satu cara mengistinbatkan hukum.[31]

Dibawah ini adalah mujtahid-mujtahid besar yang dikenal sebagai empat mazhab yang sangat popular, yaitu:
1.      Imam Abu Hanifah (80 H–150 H / 697 M–767 M)
Adapun penetapan metodologi hukum yang telah ditempuhnya yaitu seperti yang diungkapkannya sendiri sebagai berikut : ”Sesungguhnya saya berpedoman kepada Alquran, jika saya tidak mendapatkannya dari Alquran, maka saya berpedoman pada Sunnah rasul dan atsar-atsar yang sahih dan yang terdapat di kalangan orang tsiqah (adil dan dhabith). Bila Al-qur’an dan Sunnah tidak saya temukan, maka saya beralih kepada keterangan para sahabat jika saya kehendaki dan meninggalkan pendapatnya jika saya kehendaki. Kalau suatu masalah tidak ditemukan hukumnya dalam Al-qur’an, sunnah dan pendapat para sahabat, maka saya berijtihad sebagaimana halnya Ibrahim al-Nakha’iy, al-Sya’biy, al-Hasan, Ibnu Sirin dan Said bin Musayyab berijtihad.”. Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa metodologi istinbath hukum yang ditempuh oleh Abu Hanifah adalah: Al – qur’an, sunnah Rasulullah, qiyas, istihsan, dan adat yang berlaku di masyarakat. Atas dasar metodologi penetapan inilah, sehingga fiqhi dan ilmu ushul fiqh mengalami perkembangan dan kemajuan baru.[32]

2.      Imam Malik bin Anas (93 H–173 H / 712 M–792 M)
Pemikiran Imam Malik dalam bidang hukum Islam sangat dipengaruhi oleh lingkungannya, yaitu Madinah sebagai pusat timbulnya Sunnah Rasulullah dan sunnah sahabat. Sehingga pemikiran hukumnya banyak berpegang kepada sunnah - sunnah tersebut, kalau terjadi perbedaan satu Sunnah dengan yang lainnya, maka ia berpegang pada tradisi yang biasa berlaku di masyarakat Madinah. Imam Malik lebih mendahulukan amalan penduduk Madinah daripada hadits ahad, jika terjadinya perbedaan antara keduanya. Karena penduduk Madinah itu mewarisi apa yang mereka amalkan dari ulama salaf mereka, kemudian ulama salaf itu mewarisi dari para sahabat. Selain itu Imam Malik juga merujuk kepada metode qiyas (analogi). Selain itu juga banyak persoalan hukum yang dibangun dengan metode maslahah mursalah. Dari pemikiran Imam Malik tersebut, maka dalam menentukan hukum adalah sebagai berikut: Al-qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, maslahah mursalah.[33]

3.      Imam Syafi’i (150 H–204 H / 767 M–820 M)
Metodologi penetapan hukum menurut Imam Syafi’i adalah sebagai berikut – Alquran, sunnah, ijma’, fatwa sahabat yang disepakati, fatwa sahabat yang diperselisihkan, qiyas, dan istidlal. Dasar pertama dalam menetapkan hukum adalah Al-qur’an dan Sunnah. Al-qur’an dan Sunnah ditempatkan sejajar, karena baik Al-qur’an maupun sunnah datang dari Allah sekalipun berbeda cara dan sebab datangnya. Mengenai hadits ahad, Syafi’i tidak mewajibkan syarat kemashuran, alasannya bahwa Allah telah memerintahkan beriman kepada-Nya dan rasul-Nya, dengan konsekwensi wajib mematuhinya baik dalam perkataan, perbuatan maupun takrirnya. Hadits ahad tidak dipersoalkan untuk dijadikan sandaran, selama yang meriwayatkannya dapat dipercaya, teliti dan sanadnya bersambung kepada Rasulullah. Dasar kedua adalah ijma’, jika ijma’ belum juga didapatkan, maka beliau beralih ke fatwa sahabat yang disepakati, apabila fatwa sahabat yang disepakati belum juga didapatkan maka beliau beralih pada fatwa sahabat yang diperselisihkan. Setelah itu barulah menempuh jalan qiyas bila keadaan telah memaksa. Apabila tidak dijumpai dalil qiyas, maka ia memilih jalan istidlal, yaitu menetapkan hukum berdasarkan kaidah-kaidah umum agama Islam.[34]

4.      Imam Ahmad bin Hanbal (164 H–241 H / 780 M–855 M)
Ahmad bin Hanbal belajar fiqhi dari Imam Syafi’i dan menyertainya selama ia tinggal di Bagdad. Ahmad bin Hanbal termasuk imam mujtahid hanya lebih cenderung kemuhaddisannya daripada kefaqihannya. Dasar-dasar penetapan hukum Imam Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut:
·         Nash (al-qur’an dan hadits marfu’)
·         Fatwa sahabat yang tidak diketahui ada yang menentangnya
·         Apabila sahabat berbeda pendapat, ia memilih pendapat mereka kepada yang dekat pada kitabullah dan sunnah
·         Hadits mursal dan dhaif, yang dianggap lebih kuat dari pada qiyas. Akan tetapi hadits mursal dan dhaif dapat dijadikan dasar hukum selama tidak ada dalil lain, dan tidak termasuk hadits munkar dan tertuduh pendusta perawinya
·         Qiyas, jika keempat tersebut tidak dapat ditemukan barulah beralih kepada qiyas. Jadi, qiyas dilakukan karena keterpaksaan.
Landasan ijtihad Imam Ahmad bin Hanbali tidak jauh berbeda dengan prinsip Imam Syafi’i, hal ini dimungkinkan karena ia belajar fiqhi dari Imam Syafi’i.[35]


F. PENUTUP
Pada masa Rosulullah SAW perkembangan fiqih terbagi menjadi  dua priode yaitu Periode Makkah dan Priode Madinah, pada priode Makkah yang di tonjolkan adalah perbaikan Akidah agar menjadi Pondasi hidup, sedangkan pada periode Madinah ini baru munculnya perintah - perintah pondasi islam lainnya seperti perintah zakat, puasa, dan haji. Pada masa Rosulullah juga sudah terjadi Ijtihad, baik yang dilakukan oleh Rosulullah sendiri ataupun dilakukan oleh para shahabat.Pada masa shahabat penyebaran agama islam sangat luas sekali, perkembangan fiqih islam pun sudah sangat banyak, dikarenakan bertambah luasnya daerah taklukan islam dan beragamnya adat kebiasaan penduduk taklukan islam diluar Jazirah Arab sehingga mendorong terjadinya Ijtihad. Pada masa Tabi’in perkembangan fiqih islam sudah sampai pada titik sempurna yang ditandai dengan lahirnya ulama’ - ulama’ besar, berkembangnya pusat studi islam serta dibukukannya ilmu penting dalam hukum islam sebagai pedoman hukum.


DAFTAR PUSTAKA


Wahab, Abdul Khallaf. Sejarah Pembentukan & Perkembangan Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002.

Nata, Abuddin. Masail Al-Fiqhiyah. Jakarta : KENCANA, 2006.

Anwar, Syahrul. Ilmu Fiqh & ushul Fiqh. Bogor : Ghalia Indonesia, 2010.

Ali, Muhammad As-sayis. Sejarah Fikih Islam. Jakarta : PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2003.

Hasan, Rasyad Khalil. Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam. Jakarta : AMZAH, 2009.

Djatnika, Rachmat. Perkembangan Ilmu Fiqih di Dunia Islam. Jakarta : Departemen Agama Republik Indonesia, 1986.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid I. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997.

Darmawati, H. 2012. Hukum Islam pada Masa-Masa Imam Mujtahid. Sulesana, Vol 7, No 2.

Supriyadi, Dedi. Sejarah hukum Islam. Bandung : Pustaka Setia, 2010.

Catatan:
1.      Tolong footnote dirapikan.
2.      Dalam pendahuluan, diberikan kata-kata penghubung dengan materi.
3.      Dalam masa keemasan diberikan keterangan tentang adanya tokoh-tokoh mujtahid mutlak lain selain pendiri madzhab empat.

Makalah ini sudah cukup baik, Good...


[1] Abuddin Nata, Masail Al-Fiqhiyyah (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 21-22.
[2] Ibid, hlm 22
[3] Muhammad Ali As-Sayis, Sejarah Fikih Islam (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm 17-18
[4] Ibid, hlm 18
[5] Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), hlm 33
[6] Muhammad Ali As-Sayis, Sejarah Fikih Islam (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm 18 -20
[7]Dedi Supriyadi, Sejarah hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm 62
[8] Ibid, hlm. 63
[9] Ibid, hlm 20-22
[10] Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), hlm 34
[11] Abdul Wahab, Sejarah Pembentukan & Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 49
[12]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),  hlm. 22
[13]Ibid., hlm. 22-23.
[14]Ibid., hlm. 23.
[15]Ibid., hlm. 25.
[16]Ibid.,hlm. 27.
[17]Ibid.,hlm. 28.
[18] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, (Jakarta : AMZAH, 2009), hlm. 77-78
[19] Ibid, hlm. 78-79
[20] Ibid, hlm. 80-81
[21] Ibid, hlm. 81-83
[22] Ibid, hlm. 83
[23] Ibid, hlm. 84
[24] Ibid, hlm. 84-85
[25] Ibid, hlm. 86-88
[26] Ibid, hlm. 90
[27] Ibid, hlm. 92
[28] Rachmat Djatnika, Perkembangan Ilmu Fiqih di Dunia Muslim, (Departemen Agama Republik Indonesia : Jakarta, 1986), hlm. 13
[29] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, (Jakarta : AMZAH, 2009), hlm. 99-100
[30] Ibid, hlm. 100-101
[31] Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 36-37
[32]Darmawati, H. 2012. Hukum Islam pada Masa-Masa Imam  Mujtahid. Sulesana, Vol 7, No 2, hlm. 26
[33]Ibid.,hlm. 27.
[34]Ibid.,hlm. 28.
[35]Ibid.,hlm. 29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar