Rabu, 17 Mei 2017

Nasionalisme Perspektif al-Qur'an Hadis (P-IPS E Semester Genap 2016/2017)




NASIONALISME PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITS
Ahmad Khoirudin
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas E (ICP) Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
This paper discusses about the nationalism of the viewpoint of islam. Nationalism is the political attitude of the society have in common areas, culture, language, ideology, ideals and goals, and then crystallized into a familiar anthem. Understand this burgeoning political power to affect the world and broad impact for countries of the nation. Addressing Muslims nationalism is diverse, there are received, there is a priori, and some were refused. Regardless of how Muslims addressing the concept of nationalism, nationalism has actually been a lot simpler in the teachings of islam. Description of nationalism embodied in many verses of the Qur'an nor Hadith of the Prophet. There is no textual basis verses that clearly mention about nationalism. However, if we ferret out even further, then we will find some verses of the Qur'an nor Hadith of the Prophet which contextually has a meaning that is closely associated with nationalism.

Abstrak
Tulisan ini membahas mengenai nasionalisme ditinjau dari sudut pandang islam. Nasionalisme merupakan sikap politik masyarakat yang mempunyai kesamaanwilayah, budaya, bahasa, ideologi, cita-cita dan tujuan, kemudian mengkristal menjadipaham kebangsaan. Paham ini berkembang kemudian mempengaruhi politik kekuasaan duniadan berdampak luas bagi negara-negara bangsa. Umat Islam menyikapi nasionalisme ini beragam, ada yangmenerima, ada yang apriori, dan ada yang menolak. Terlepas dari bagaimana umat islam menyikapi nasionalisme, konsep mengenai nasionalisme sebenarnya telah banyak tertuang di dalam ajaran-ajaran islam. Penjelasan mengenai nasionalisme banyak terkandungdalam ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits-hadits nabi. Secara tekstual memang tidak ada ayat yang secara jelas menyebutkan tentang nasionalisme. Akan tetapi, jika kita mengorek lebih jauh lagi, maka kita akan menemukan beberapa ayat Al-Qur’an maupun hadits nabi yang secara kontekstual memiliki makna yang sangat erat kaitannya dengan nasionalisme.
Keywords: Nationalism, Al-Qur’an and Hadits
A.    Pendahuluan
Nasionalisme merupakan suatu paham kebangsaan yang dikembangkan dalam rangka mempersatukan semua elemen yang ada pada suatu bangsa. Paham ini lahir pada abad ke- 20 di negara-negara Barat, terutama di benua Eropa dan Amerika. Nasionalismee lahir didasarkan pada rasa cinta terhadap tanah air, bangsa dan negara serta ideologi dan politik. Nasionalisme juga diartikan sebagai suatu sikap politik dan sosial dari kelompok masyarakat yang mempunyai kesamaan budaya, bahasa, wilayah, serta kesamaan cita-cita dan tujuan. Mereka merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap kelompok-kelompok yang lain dalam satu bangsa.
Rupert Emerson mendefinisikan nasionalisme sebagai komunitas orang-orang yang merasa bahwa mereka bersatu atas dasar elemen-elemen penting yang mendalam dari warisan bersama dan bahwa mereka memiliki takdir bersama menuju masa depan.[1] Dari pengertian diatas dapat kita pahami bahwasanya agar tercipta rasa nasionalisme butuh yang namanya rasa saling memiliki antar masyrakat sebagai anggota suatu bangsa.
Islam sebagai agama yang Rahmatan lil ‘alamin telah mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Sebagai agama yang sempurna, islam telah memberikan intisari dari nasionalisme. Intisari dari nasionalisme adalah rasa kecintaan terhadap tanah air. Konsep mengenai nasionalisme banyak tertuang dalam sumber pokok ajaran islam baik itu ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadits Nabi Saw. Oleh karena itu, penulis akan berupaya mengupas mengenai nasionalisme dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits.
B.     Pengertian Nasionalisme
Beragam definisi nasionalisme yang dilontarkan para ahli kebangsaan, yang pada intinya mengarah pada sebuah konsep mengenai jati diri kebangsaan yang berfungsi dalam penetapan identitas individu di antara masyarakat dunia. Konsep nasionalisme juga sering dikaitkan dengan kegiatan politik karena berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah dan negara.
Nasionalisme tidak lepas dari unsur konsep nation, nasional, isme. Ketiga unsur ini memiliki arti yang berbeda, yang sama berbeda dengan definisi nasionalisme. Nation berarti kumpulan penduduk dari suatu propinsi, suatu negeri atau suatu kerajaan. Adapula yang mengartikan suatu negara atau badan politik yang mengakui suatu pusat pemerintahan bersama dan juga wilayah yang dikuasai oleh negara tersebut serta penduduk yang ada didalamnya, atau lebih mudahnya dikatakan sebagai bangsa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasional berarti bersifat kebangsaan; berkenaan/berasal dari bangsa sendiri; meliputi suatu bangsa. Nasionalisme lebih merupakan paham meskipun memiliki akhiran-isme. Hal ini pun diakui dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa nasionalisme bermakna paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Nasionalisme berasal darikata nation yang memiliki makna “bangsa” jika diterjemahkan kedalam bahasa indonesia.[2]
Makna nasionalisme sebenarnya lebih mengacu pada sikap yang menganggap kepribadian nasional memiliki nilai dan arti yang sangat penting dalam tata nilai kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. [3] Maksudnya memiliki rasa nasionalisme berarti ada gemetar kecintaan dalam dirinya terhadap negaranya. Rasa kecintaan inilah yang nantinya akan membuat seorang warga negara rela berkorban dan berjuang demi memajukan bangsanya. Itulah mengapa nasionalisme penting.
Nasionalisme menurut Hans Kohn adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Sebelum lahirnya nasionalisme, kesetiaan orang tidak ditunjukan kepada negara bangsa tetapi ditujukan kepada berbagai bentuk kekuasaan sosial, organisasi politik, raja, kesatuan ideologiseperti suku, negara kota, kerajaan dinasti atau gereja.[4]
Nasionalisme adalah paham yang memiliki beberapa unsur pemersatu yang menyebabkan seseorang mempunyai rasa kepemilikan dan kesamaan terhadap budaya bangsanya. Hal ini sesuai dengan pernyataan John Crom, nasionalisme adalah paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi dan individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Adapun unsur-unsur yang menetapkan nasionalisme adalah:[5]
1.      Bahasa
2.      Kebudayaan
3.      Asal keturunan
4.      Persamaan nasib / perjuangan bersama
5.      Kepentingan bersama
Pengertian yang berbeda diberikan oleh Sarman[6], ia secara kritis menulis sempitnya kerangka pikir sebagian besar orang mengenai nasionalisme. Menurutnya, nasionalisme sering diartikan sebagai kecintaan terhadap tanah air yang tanpa reserve, yang merupakan simbol patriotisme heroik semata sebagai bentuk perjuangan yang seolah-olah menghalalkan segala cara demi negara yang dicintai. Definisi tersebut menyebabkan makna nasionalisme menjadi usang dan tidak relevan dengan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masa kini, yang tidak lagi bergelut dengan persoalan penjajahan dan merebut kemerdekaan dari tangan kolonialis.
Sementara, Hayes membedakan empat arti nasionalisme, yaitu[7]:
1.      Sebagai suatu proses sejarah aktual, yaitu proses sejarah pembentukan nasionalitas sebagai unit-unit politik, pembentukan suku dan imperium kelembagaan nasional modern.
2.      Sebagai teori, prinsip, atau implikasi ideal dalam suatu proses sejarah aktual.
3.      Nasionalisme menaruh perhatian terhadap kegiatan-kegiatan politik, seperti kegiatan partai politik tertentu, penggabungan proses historis dan suatu teori politik.
4.      Sebagai suatu sentimen, yaitu menunjukkan keadaan pikiran diantara suatu nasionalitas.
Dari beberapa pengertian nasionalisme diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa kata kunci dalam nasionalisme adalah kesetiaan, yang muncul karena adanya kesadaran akan identitas kolektif yang berbeda dengan lainnya. Pada kebanyakan kasus kesetiaan itu terjadi karena kesamaan keturunan, kebudayaan, bahasa. Akan tetapi semua unsur bukanlah unsur yang substansial, sebab yang ada dalam nasionalisme adalah kemauan untuk bersatu.
C.    Sejarah Nasionalisme
Istilah nasionalisme sebenarnya muncul dari dunia barat yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai nationalism. Nasionalisme ini awalnya timbul sebagai reaksiatas feodalisme dimana suatu negara dipersatukan atas dasar kesetiaan pada tokoh bangsawan tertentu, agama atau negara yang dikepalai raja dari suatu dinasti.
Masalah nasionalisme menjadi hangat semenjak Napoleon Bonaparte pada akhir abad 18 menguasai dan menjajah bangsa lain di Eropa. Bangsa-bangsa yang menjajah ini dapat menikmati segala keuntungan dari negara yang dijajahnya. Sedangkan bangsa-bangsa yang dijajah benar-benar merasa tertindas oleh bangsa lain; nasib bersama menimbulkan kebutuhan kepada persatuan, terutama diantara mereka yang dijajah.[8]
Menurut Barbara Ward, akar nasionalisme di dunia barat, diawali setelah runtuhnya Kerajaan Roma di Eropa Barat dimana menumbuhkan kelompok-kelompok kesukuan dan setelah melakukan serangkaian penaklukan lalu menjadi negara-negara feodal. Dengan majunya abad pertengahan, tiga dari kelompok-kelompok ini mulai mengambil bentuk nasional yang dapat dilihat. Suku-suku Gaul telah ditaklukkan Caesar dan mereka diberi bahasa yang dilatinisasi. Di bawah pembagian tanah secara feodal—diantara pangeran-pangeran Inggris, raja-raja Capet dan pengikut-pengikut Burgundia—maka masyarakat mulai memakai bahasa Perancis yang memepunyai bentuknya sendiri dan daerah bahasa ini mempunyai batas-batasnya yang tegas secara geografis—sepanjang Laut Atlantika, sepanjang Pegunungan Pyrenea dan Alpen. Akhir abad ke-14, Perancis menjadi sadar tentang dirinya sebagai sebuah kelompok nasional yang besar yang memakai bahasa Perancis.[9]
Menurut Yosaphat Haris Nusarastriya pada essai penelitiannya sejarah nasionalisme dunia Barat khususnya di Eropa dibagi menjadi tiga fase, yakni:[10]
Pertama,faseini ditandai dengan runtuhnya banyak kerajaan beserta sistemnya  yang kemudian dilanjutkan dengan berdirinya negara-negara nasional. Fase ini dimulai pada saman akhir abad pertengahan. Ciri utama yang sangat ketara dalam fase ini ialah identifikasi bangsa dalam perorangan yang berkuasa
Kedua,fase ini sering juga disebut sebagai “the middle class nationalism”. Dimana pada fase ini terdapat banyak kekacauan perang yang dibuat oleh Napoleon dan yang segera berakhir pada tahun 1914. Nasionalisme pada masa ini bukan hanya tercermin dari perilaku seorang raja saja, tapi juga pada masyarakat secara umum yang memiliki peran signifikan kala itu.
Ketiga,pada fase ini nasionalisme sering disebut dengan terma ”sosialisasi dari pada bangsa”. Corak yang paling dominan pada fase ini adalah melebih-lebihkan kepentingan bangsa sendiri, melampaui batas sehingga mudah menjelma menjadi suatu nasionalisme sempit dan congkak yang berkeinginan untuk mengadakan adu kekuatan dengan bangsa lain
Nasionalisme bersifat statis dan senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan. Perubahan pola dan sistem nasionalisme banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial suatu negara kala itu. Di abad ke- 20, nasionalisme di negara-negara Barat seperti Jerman dan Italia dan beberapa negara lainnya lebih condong ke arah nasionalisme totaliter.Nasionalisme totaliter di Jerman dengan Italia jauh berbeda. Di Italia nasionalisme lebih mengarah ke paham fasisme, yakni paham yang menekankan kedaulatan negara diatas kedaulatan rakyat. Berbeda halnya dengan Jerman. Dibawah pimpinan Hitler, Jerman lebih menitikberatkan faktor ras. Nasionalisme semacam ini dekenal dengan Nasionalisme Sosialis (NAZI). Paham ini merupakan penurunan tradisi nasionalisme-romantisme Jerman yang dulu pernah ada pada abad ke-19, tetapi kemudian muncul kembali dan bermetamorfosis di abad ke-20 dalam bentuk yang dianggap ekstrim.[11]
Paham nasionalisme yang awalnya lahir di dunia Eropa dengan cepat menyebar ke negara-negara lain di berbagai penjuru dunia. Hingga akhirnya paham nasionalisme ini juga masuk dan berkembang di Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, India/Pakistan, Iran, Irak, Kuait, Palestina, Aljazair, Sudan, Yaman, Mesir dan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Masuknya paham nasionalisme ini berimplikasi dengan terjadinya aksi-aksi politik bangsa-bangsa tersebut untuk membebaskan negaranya dari penjajahan kolonial Eropa.[12]
Semangat nasionalisme yang tumbuh dan berkembang di Indonesia berlatar belakang kolonialisme.  Berbagai macam suku bangsa yang ada di Indonesia disatukan oleh pengalaman yang sama yakni pernah dijajah oleh kolonial Belanda. Setelah Indonesia berdiri, suku-suku tersebut kemudian menjadi satu kesatuan dan sekaligus bagian dari Indonesia. Kesamaan nasib yang dialami oleh mereka menyebabkan mereka memiliki semangat untuk bersatu dan berjuang untuk melawan penjajahan.[13]
Nasionalisme dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia dikenal sebagai sebuah kata sakti yang mampu membangkitkan kekuatan berjuang melawan penindasan yang dilakukan kaum kolonialis selama beratus-ratus tahun lamanya. Perasaan senasib dan sepenanggungan yang dialami mampu mengalahkan perbedaan etnik, budaya dan agama sehingga lahirlah sejarah pembentukan kebangsaan Indonesia. 
Abad ke 19 dan ke 20 yang dijuluki sebagai abad ideologi merupakan masa yang penuh dengan benturan sosial yang meliputi hampir seluruh belahan dunia. Peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi manusia menggulirkan pemahamanpemahaman dan kesepakatan-kesepakatan yang mengarah pada tata dunia baru. Gagasan mengenai hak setiap bangsa untuk dapat menentukan nasib sendiri yang terjadi di berbagai belahan dunia disertai perasaan yang kuat untuk melepaskan diri dari penindasan yang dialami, mengantarkan masyarakat yang mendiami pulau-pulau yang terpisah untuk bersatu, bergabung memproklamirkan diri sebagai bangsa Indonesia yang berjuang menegakkan kedaulatannya.
Tonggak sejarah yang terpenting dalam proses nasionalisme di Indonesia adalah ketika lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908, diikuti ikrar Sumpah Pemuda pada tahun 1928, yang mengilhami lahirnya konsep bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia dan berbahasa Indonesia. Proses nasionalisme tersebut berlanjut dan melandasi perjuangan-perjuangan berikutnya hingga lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah melalui proses yang sangat panjang dan berat. Keberhasilan bangsa Indonesia lepas dari penjajahan melalui perjuangannya sendiri juga melahirkan pengakuan dunia bahwa nasionalisme Indonesia termasuk salah satu yang terkuat karena hanya sedikit negara dari dunia ketiga yang mampu merdeka melalui proses revolusi.[14]
Kentalnya kaitan nasionalisme dengan perjuangan melawan penjajah pada masa tersebut turut menyebabkan keterbatasan pemahaman definisi nasionalisme. Ungkapan “hidup atau mati” atau “right or wrong is my country” yang dahulu lantang diucapkan oleh para pejuang kemerdekaan, menjadi hal yang semu dan kurang tepat dialamatkan pada generasi muda saat ini. Pergeseran makna dari nasionalisme itu sendiri tidak jarang menyebabkan penilaian negatif terhadap semangat nasionalisme generasi muda saat ini.
D.    Nasionalisme Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits
Sebagaimana bangsa Eropa yang mengenal nasionalisme semenjak abad ke delapan belas, orang Islam- pun tidak mengenal nasionalisme. Pada saat penyebaran agama Islam tidak dikenal kata atau kalimat yang berkonotasi dengan kata  nasionalisme. Terminologi yang dipakai untuk menunjukan pada komunitas Islam adalah al ummah al islamiyyah yang berarti umat Islam. Istilah yang dapat merujuk kepada nasionalisme baru muncul saat ekspedisi Napoleon Bonaparte ke Mesir. Saat itu, dia memperkenalkan terminologi al ummah al misriyyah yang berarti umat Mesir.
Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Quran menyatakan bahwa unsur-unsur nasionalisme dapat ditemukan dalam Al-Quran:[15]
1.      Persamaaan Keturunan
Al-Quran menegaskan bahwa Allah SWT  menciptakan manusia terdiri dari berbagai ras, suku dan bangsa agar tercipta  persaudaraan dalam rangka menggapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Al-Quran sangat menekankan kepada pembinaan keluarga yang merupakan unsur terkecil terbentuknya masyarakat, dari masyarakat terbentuk suku, dan dari suku terbentuk bangsa, sebagaimana dalam Al-Quran 7:160 dan mereka kami bagi menjadi duabelas suku yang masing-masing menjadi umat (bangsa), dan kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya (bangsanya) meminta air kepadanya, ”pukullah batu itu dengan tongkatmu” maka memancarlah darinya dua belas mata air. 
Rasulullah sendiri dalam perjuangannya di Makkah justru mendapat pembelaan dari keluarga besarnya. Sejalan dengan itu Muhammad SAW bersabda: sebaikbaiknya kamu adalah pembela keluarga besarnya selama pembelaannya itu bukan dosa (HR Abu Daud dari Suroqoh bin  Malik). Hanya saja pengelompokan dalam suku bangsa tidak boleh menyebabkan fanatisme buta, sikap superioritas dan penghinaan terhadap bangsa lain. Nabi bersabda: tidaklah termasuk dalam golongan kita orang yang mengajak kepada ashobiyyah (fanatik buta terhadap kelompok), bukan pula yang berperang atas dasar ashobiyyah, bukan pula yang mati dengan mendukung ashobiyyah (HR Abu Daud dari Jubair bin Muth’im).
2.      Persamaan Bahasa
Bahasa pada hakikatnya bukan hanya sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan isi pikiran dan tujuan, tapi untuk memelihara identitas dan sebagai pembeda dari komunitas lain. Jadi bahasa dapat merupakan perekat terjadinya persatuan umat atau bangsa. Sahabatsahabat Rasulullah ketika meremehkan sahabat Salman (berasal dari Persia), Suhaib (berasal dari Romawi) dan Bilal (dari Ethiopia) maka Rasulullah bersabda: kebangsaan Arab yang ada pada diri kalian bukanlah karena bapak atau ibu melainkan dari bahasa, maka barang siapa berbicara bahasa Arab maka dia adalah bangsa Arab.
3.      Persamaan Adat Istiadat
Adat istiadat menurut pakar hukum Islam selama tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat dipertimbangkan sebagai hukum. Allah menandaskan dalam Q.S. 3:104 “hendaklah ada sekelompok diantara kamu yang mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar.”
Demikian pula dalam Q.S. 7:199 “jadilah engkau pemaaf, perintahkan yang ’urf (adat istiadat yang baik), dan berpalinglah dari orang jahil”. Pada kedua ayat ini kata ’urf dan alma’ruf dimaksudkan sebagai adat istiadat dan kebiasaan yang baik yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Jadi jelas bahwa adat istiadat sebagai salah satu pembentuk bangsa tidaklah bertentangan dengan Islam.
4.      Persamaan Sejarah
Persamaan sejarah masa lalu, persamaan senasib dan sepenanggungan masa kini serta persamaan tujuan masa akan datang merupakan salah satu faktor yang mendominasi terbentuknya suatu bangsa. Sejarah yang gemilang masa lalu selalu dibanggakan generasi berikutnya, demikian pula sebaliknya. Al-Qur’an pun sangat menonjol dalam menguraikan sejarah dengan tujuan untuk diambil pelajaran guna menentukan langkah berikutnya. Jadi unsur kesejarahan sejalan dengan Al-Qur’an.
5.      Cinta Tanah Air
Cinta tanah air tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Bahkan inklusif dalam ajaran Al-Qur’an dan praktik nabi Muhammad Saw. Hal ini bukan sekedar dibuktikan melalui ungkapan populer yang dinilai oleh sebagian orang sebagai hadits nabi Saw. “Hubbul wathan minal iman”(cinta tanah air adalah sebagian dari iman) melainkan justru dibuktikan dalam praktik nabi Muhammad SAW. Baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat.
Ketika Rasullullah Saw. Berhijrah ke Madinah, beliau shalat menghadap ke Bait Al-Maqdis. Tetapi, setelah enam bulan, rupanya beliau rindu kepada Mekkah dan Ka’bah, karena merupakan kiblat leluhurnya dan kebanggaan orang-orang Arab. Wajah beliau bolak-balik menengadah ke langit, bermohon agar kiblat diarahkan ke Mekkah, maka Allah merestui keinginan ini dengan menurunkan firman-Nya:Hasil gambar untuk qs. al baqarah ayat 144
Artinya : “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.(Q.S. Al-Baqarah : 144)
Cinta beliau kepada tanah tumpah darahnya, tampak juga ketika meninggalkan kota Mekkah dan berhijrah ke Madinah. Sambil menengok ke kota Mekkah, beliau berucap:
والله انك احب ارض الله اليّ ولو لا ان قومك اخرجوني ما خرجت
Artinya: “Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah bumi Allah yang paling kucintai; seandainya bukan yang bertempat tinggal disini mengusirku, niscaya aku tidak akan meninggalkannya”
Sahabat-sahabat nabi pun demikian, sampai-sampai nabi Saw. Bermohon kepada Allah Swt.:
اللهم حبّب الينا إلينا المدينة كحبّنا لمكّة واشد. رواه البخاري ومالك وأحمد
“Wahai Allah, cintakanlah kota Madinah kepada kami sebagaimana engkau Mencintakan kota Mekkah kepada kami, bahkan lebih. (H.R. Bukhori, Malik, dan Ahmad)
Cinta kepada tanah tumpah darah merupakan naluri manusia, karena itu pula nabi Saw. Menjadikan tolok ukur kebahagiaan adalah “diperolehnya rizki dari tanah tumpah darah”. Sungguh benar ungkapan “hujan emasa di Negeri orang lain, hujan batu di Negeri sendiri, lebih senang di Negeri sendiri”
Bahkan Rasullullah Saw. Mengatakan bahwa orang yang gugur karena membela keluarga, mempertahankan harta dan negeri sendiri dinilai sebagai syahid sebagaimana yang gugur membela ajaran agama. Bahkan Al-Qur’an menggandengkan pembelaan agama dan negara dalam firman-Nya:
Hasil gambar untuk qs al mumtahanah 8-9
Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
(Q.S. Al-Mumtahanah : 8-9)
Dari uraian diatas bahwa paham kebangsaan sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah. Bahkan semua unsur yang melahirkan ajaran tersebut, inklusif didalam Al-Quran, sehingga seorang muslim yang baik, pastilah anggota suatu bangsa yang baik.
E.     Penutup
Paham nasionalisme dikembangkan untuk mempersatukan semua elemen yang ada pada suatu bangsa yang didasarkan pada rasa cinta terhadap tanah air, bangsa, negara, idiologi dan politik. Ia merupakan suatu sikap politik dan sosial dari masyarakat yang mempunyai kesamaan budaya, bahasa, wilayah, serta kesamaan cita-cita dan tujuan. Paham nasionalisme lahir di Eropa sekitar abad ke-15 M., kemudian berkembang ke Timur (Asia dan Afrika) pada abad ke-20 M. Berkembangnya paham nasionalisme ini dapat mempengaruhi wajah dunia dari sisi politik kekuasaan, dan memiliki dampak yang luas bagi negara-negara bangsa, baik di dunia Barat maupun di dunia Timur. 
Jauh sebelum paham nasionalisme masuk dan mempengaruhi dunia Timur, di sana sudah ada nilai-nilai Islam yang universal, yang berlaku dan dianut oleh masyarakat muslim serta menjadi unsur pemersatu di antara mereka. Nilai-nilai Islam telah mempengaruhi dan membentuk kaum muslimin merasa senasib sepenanggungan dan memiliki kedekatan emosional dalam persaudaraan dengan mengabaikan perbedaan suku bangsa dan keturunan. Bagi kaum muslimin, kehadiran paham nasionalisme ini bersentuhan langsung dengan nilai-nilai Islam yang telah lebih lama berada di tengah-tengah mereka.
Akar-akar nasionalisme ternyata dapat diketemukan dalam ayat-ayat Al-Quran dan dalam kehidupan Nabi Mahammad Saw. Nasionalisme tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Bahkan inklusif dalam ajaran Al-Qur’an dan praktik nabi Muhammad Saw. Hal ini bukan sekedar dibuktikan melalui ungkapan populer yang dinilai oleh sebagian orang sebagai hadits nabi Saw. “Hubbul wathan minal iman”(cinta tanah air adalah sebagian dari iman) melainkan justru dibuktikan dalam praktik nabi Muhammad SAW. Baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat.
F.     Daftar Pustaka
Amal, Ichlasul & Armawi, Armaidy. 1998. Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Dault, Adhyaksa. 2005. Islam dan Nasionalisme. Jakarta; Pustaka Al-Kautsar.
Dewi, Ita Mutiara. Nasionalisme dan Kebangkitan dalam Teropong. Mozaik Vol.3 No. 3, Juli 2008 ISSN 1907-6126
Ilahi, Mohammad Takdir. 2012. Nasionalisme Dalam Bingkai Pluralitas Bangsa. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Kusumawardani, Anggraeni & Faturochman. Nasionalisme. Buletin Psikologi, Tahun XII, No. 2, Desember 2004.
Mugiyono. Relasi Nasionalisme Dan Islam Serta Pengaruhnya Terhadap Kebangkitan Dunia Islam Global. Palembang: jurnal .radenfatah.ac.id
Murod, Abdul Kholid. Nasionalisme Dalam Perspektif Islam. Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol.  XVI, No. 2 Agustus 2011: 45-58
Nusarastriya, Yosaphat Haris. Sejarah  Nasionalisme Dunia  Dan  Indonesia
Shihab, Quraish. 1996. Wawasan Al-Quran. Bandung: Penerbit Mizan.
Sianipar, Madiri Thamrin. 2010. Pokok-Pokok Ilmu Politik dan Pengelolaan. Bandung: Lubuk Agung.
Taniredja, Tukiran. 2013. Konsep Dasar Kewarganegaraan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Catatan:
1.      Tolong footnote diperbaiki.
2.      Jika referensi dari jurnal, maka tetap harus mencantumkan keterangan lengkap jurnal.


[1]Adhyaksa Dault. 2005. Islam dan Nasionalisme. Jakarta; Pustaka Al-Kautsar. Hal. 2
[2]Ita Mutiara Dewi. Nasionalisme dan Kebangkitan dalam Teropong. Mozaik Vol.3 No. 3, Juli 2008 ISSN 1907-6126
[3]Mohammad Takdir Ilahi. 2012. Nasionalisme Dalam Bingkai Pluralitas Bangsa. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Hal. 13
[4]Abdul Kholid Murod. Nasionalisme Dalam Perspektif Islam.Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol.  XVI, No. 2 Agustus 2011: 45-58. Hal. 47
[5]Madiri Thamrin Sianipar. 2010. Pokok-Pokok Ilmu Politik dan Pengelolaan. Bandung: Lubuk Agung. Hal. 104
[6]Sarman dalam Anggraeni Kusumawardani & Faturochman. NASIONALISME. Buletin Psikologi, Tahun XII, No. 2, Desember 2004. Hal. 61
[7]Tukiran Taniredja. 2013. Konsep Dasar Kewarganegaraan. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hal. 187
[8]Ibid.  Hal. 50
[9]Ita Mutiara Dewi. Nasionalisme dan Kebangkitan dalam Teropong. Mozaik Vol.3 No. 3, Juli 2008 ISSN 1907-6126
[10]Yosaphat Haris Nusarastriya. SEJARAH  NASIONALISME DUNIA  DAN  INDONESIA
[11]Ita Mutiara Dewi. Nasionalisme dan Kebangkitan dalam Teropong. Mozaik Vol.3 No. 3, Juli 2008 ISSN 1907-6126
[12]Mugiyono. RELASI NASIONALISME DAN ISLAM SERTA PENGARUHNYA TERHADAP KEBANGKITAN DUNIA ISLAM GLOBAL. Palembang: jurnal .radenfatah.ac.id
[13]Ichlasul Amal & Armaidy Armawi. 1998. Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 39
[14]Ibid. Hal. 63
[15]Quraish Shihab. 1996. Wawasan Al-Quran. Bandung: Penerbit Mizan. Hal. 334

Tidak ada komentar:

Posting Komentar