Rabu, 17 Mei 2017

Nasionalisme Perspektif al-Qur'an Hadis (P-IPS D Semester Genap 2016/2017)




NASIONALISME PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITS
Vina Zahrotul Isma, Ayu devi setiowati, Adam Zainuri
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas D Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstrac
            This paper discusses the nationalism of the perspective of Al-Quran and Hadits. In this discussion contains the understanding of nationalism, history of nationalism, and nationalism according to the Quran and Hadits.  Nationalism can be interpreted as the understanding of nationality and the attitude of love of the homeland high that must be owned by citizens, felt to have the same history and ideals in the purpose of nation and state. Modern nationalism is the understanding of the right of nation to determine its own destiny and therefore anti-imperialism, in line with the principles of democracy. The development of nationalism according to the organization can be devided into 4 stages : 1) one stage nationalism from the stage of development of national unity politics primitive (the poliyics of primitive unification); 2) industrialization; 3) phase 3 nationalism, from the politics of national welfare; 4) phase 4 of nationalism from the stage of political development of prosperity (the politics of abudance). The nationalism of populism and religious nationalism always by it self constitute an antagonistic movement towards the increasingly national debt to the nation. Religious nationalism is one of the symbols of popular nationalism. The nation of nationalism may be more flowing if we describe it with a religious culture, a popular culture, which in this case wrestles against the culture of the state. Nationalism in islam must be accompanied by : 1) the love of the homeland, this is because “hub al-watan min al-iman” love the homeland part of faith 2) togetherness with the spirit of patriotism against all forms of colonialism to defend the dignity and dignity of a nation. The elements of nationalism can be found in the Quran : 1) equality of descent, 2) equation of language, 3) equation of customs, 4) equation of history, and 5) love of the homeland.
Abstrak
      Makalah ini membahas tentang nasionalisme perspektif Al-Quran dan Hadist. Dalam pembahasan ini memuat tentang pengertian nasionalisme, sejarah nasionalisme, dan nasionalisme menurut Al-Quran dan Hadis.Nasionalisme dapat diartikan sebagai paham tentang kebangsaan dan sikap cinta tanah air yang tinggi yang harus dimiliki oleh warga negara, merasa memiliki sejarah dan cita-cita yang sama dalam tujuan berbangsa dan bernegara. Nasionalisme modern adalah paham tentang hak bagi suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan karena itu, anti imperialisme, sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.Perkembangan nasionalisme menurut organisasi dapat dibedakan menjadi 4 tahap, yaitu: 1) Nasionalisme tahap satu dari tahap perkembangan politik kesatuan nasional primitive (the politics of primitif unification); 2) Industrialization; 3) Nasionalisme fase 3, dari politik kesejahteraan nasional (the politics of national welfare); 4) Nasionalisme fase 4 dari tahap perkembangan politik kemakmuran (the politics of abudance).Nasionalisme kerakyatan dan nasionalisme keagamaan selalu dengan sendirinya merupakan gerak antagonistik terhadap makin besarnya hutang negara kepada bangsa. Nasionalisme keagamaan merupakan salah satu simbol dari nasionalisme kerakyatan. Pengertian nasionalisme itu mungkin bisa menjadi lebih mengalir kalau kita gambarkan dengan kebudayaan agama, kebudayaan kerakyatan, yang dalam hal ini bergulat melawan kebudayaan negara. Nasionalisme dalam Islam harus disertai dengan adanya: 1) cinta tanah air, ini karena “hubb al-watan min al-iman” cinta tanah air sebagian dari iman 2) kebersamaan yang disertai jiwa patriotisme melawan segala bentuk penjajahan demi membela harkat dan martabat suatu bangsa.Unsur-unsur nasionalisme dapat ditemukan dalam Al-Quran: 1)Persamaaan keturunan,2) Persamaan bahasa, 3) Persamaan adat istiadat, 4) Persamaan sejarah, dan 5) Cinta tanah air.
A.  Pendahuuan
Nasionalisme merupakan jiwa dan semangat yang membentuk ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun dalam hal pengorbanan demi bangsa dan Negara. Nasionalisme merupakan sebuah faham tentang kebangsaan dan sikap cinta tanah air yang tinggi yang harus dimiliki oleh warga Negara, merasa memiliki sejarah dan cita-cita yang sama dalam tujuan berbangsa dan bernegara. Di era yang semakin modern ini, khususnya bagi umat islam semua hal yang mereka hadapi haruslah didasarkan pada al-quran dan hadits. Dalam Al-Quran semua permasalahan umat juga dibahas, termasuk nasionalisme ini. Seseorang selama berada dalam suatu Negara pasti akan memiliki rasa nasionalisme, namun tidak semua orang memahami atau mengetahui rasa nasionalisme yang sebenarnya menurut Al-Quran dan Hadits. Secara umum nasionalisme merupakan jiwa dan semangat yang membentuk ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun dalam hal pengorbanan demi bangsa dan negara. Islam mengakui bahwa tuhan menjadikan manusia berkelompok-kelompok dan berbangsa-bangsa. Oleh sebab itu, dalam makalah ini penulis berupaya membahas tentang nasionalisme dalam perspektif Al-Quran maupun hadits.
B.  Pengertian Nasionalisme
Secara etimologis kata nasionalisme, akar katanya national yang diambil dari natio yang berarti bangsa yang dipersatukan karena kelahiran. Kata natio berasal kata nascie yang berarti dilahirkan. Nation atau bangsa menurut Hans Kohn adalah golongan-golongan yang beragam dan tidak dapat dirumuskan secara eksak. Kebanyakan bangsa memiliki faktor-faktor obyektif tertentu yang membedakan mereka dengan bangsa-bangsa lainnya, sepertikesamaan keturunan, bahasa, daerah, kesatuan politik, adat istiadat, tradisi, perasaan dan agama. Akan tetapi tidak satupun diantara faktor-faktor itu bersifat mutlak guna merumuskan bentuk dasar sebuah bangsa.[1]
Nasionalisme merupakan jiwa dan semangat yang membentuk ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun dalam hal pengorbanan demi bangsa dan Negara.[2] Sementara itu, Nasionalisme secara etimologi berasal dari kata ‘National’ dan ‘Isme’ yaitu paham kebangsaan yang mengandung makna kesadaran dan semangat cinta tanah air, memiliki kebanggaan sebagai bangsa, atau memelihara kehormatan bangsa, memiliki rasa solidaritas terhadap musibah dan kekurangberuntungan saudara setanah air, sebangsa dan senegara serta menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan. Dari pengertian tersebut maka nasionalisme dapat di artikan sebagai faham tentang kebangsaan dan sikap cinta tanah air yang tinggi yang harus dimiliki oleh warga Negara, merasa memiliki sejarah dan cita-cita yang sama dalam tujuan berbangsa dan bernegara.[3]
Namun sejak revolusi perancis meletus 1789, pengertian nasionalisme mengalami berbagaiPengertian, sebab kondisi yang melatarbelakanginya amat beragam. Antara bangsa satu dengan bangsa yang ain. Nasionalisme bukan lagi produk pencerahan Eropa tetapi menjadi label perjuangan di Negara-negara Asia-Afrika yang dijajah bangsa Barat. Keragaman makna itu dapat dilihat dari sejumlah pendapat berikut. Smith (1979:1) memaknai nasionalisme sebagai gerakan ideologis untuk meraih dan memelihara otonoi, kohesi, dan individualitas bagi satu kelompok sosial tertentu yang diakui oleh beberapa anggotanya untu membentuk atau menentukan satu bangsa yang sesungguhnya atau yang berupa potensi saja.  Snyder (1964:23) sementara itu memaknai nasionalisme sebagai satu emosi yang kuat yang telah mendominasi pikiran dan tindakan politik kebanyakan rakyat sejak revolusi Perancis. Ia tidak bersifat alamiah, melainkan merupakan satu gejala sejarah, yang timbul sebagai tanggapan terhadap kondisi politik, ekonomi, dan sosial tertentu.[4]
Beberapa ahli juga banyak yang mendefinisikan tentang konsep nasionalisme. Abdul Munir Mulkhan (1996:14), mengatakan bahwa ‘nasionalisme adalah sebuah gagasan mengenai kesatuan kebangsaan dalam suatu wilayah politik kenegaraan’. Kemudian menurut Marvin Perry (2013:94). ‘Nasionalisme adalah suatu ikatan sadar yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang yang memiliki kesamaan bahasa, kebudayaan dan sejarah yang ditandai dengan kejayaan dan penderitaan bersama dan saling terkait dengan negeri tertentu’. Pada dasarnya nasionalisme memang lahir dari bermacam-macam cara, mulai dari karena kesamaan akan sejarah, kebudataan, cita-cita, ketidakadilan, penindasan, serta sebagai wujud perlawanan suatu kelompok bangsa.
Sementara itu, Margaret Moore, Nasionalisme adalah ‘argumen normative yang memberikan nilai moral pada keanggotaan bangsa, keberadaan bangsa tersebut di masa lalu dan kini, serta mengidentifikasi bangsa dengan tanah air tertentu atau bagian tertentu dari dunia ini’ (2002:5). Definisi nasionalisme tersebut dan sumber-sumber nasionalisme kerap diperdebatkan, ada yang melihatnya sebagai produk modernitas, ada pula yang melihatnya sebagai penyebab modernitas.[5]
Nasionalisme modern adalah paham tentang hak bagi suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan, karena itu, anti-imperialisme, sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Nasionalisme modern akan melahirakan kestabilan dan akan berfungsi sebagai kekuatan yang menyatukan suku-suku dan kelompok-kelompok etnis yang terpisah-pisah. Karena itu nasionalisme merupakan unsur esensial bagi pembangunan bangsa (Nation building) untuk Indonesia, sebuah bangsa dan Negara yang mana fragmentasi etnis dan kesukuan ataupun unsure-unsur perbedaan sosial cultural selalu merupakan ancaman bagi stabilitas dan pembangunan ekonomi[6]
Sedangkan cita-cita nasionalisme menurut Hertz ada empat macam:
1.  Perjuangan untuk mewujudkan persatuan nasional yang meliputi persatuan dalam politik, ekonomi, keagamaan, kebudayaan, dan persekutuan serta solidaritas.
2.  Perjuangan untuk mewujudkan kebebasan nasional yang meliputi kebebasan dari penguasa asing atau campur tangan dari dunia luar dan kebebasan dari kekuatan-kekuatan intern yang bersifat anti nasional atau yang hendak mengesampingkan bangsa dan negara.
3.  Perjuangan untuk mewujudkan kesendirian (separateness), pembedaan (distinctiveness), individualitas dan keaslian (originality).
4.  Perjuangan untuk mewujudkan pembedaan diantara bangsa-bangsa yang memperoleh kehormatan, kewibawaan, gengsi dan pengaruh.[7]
C.  Sejarah Nasionalisme
Kaitan antara nasionalisme dengan bangsa dan Negara amat jelas. Salah satu tujuan  perjuangan kaum nasionalis yang terutama adalah pembentukan Negara bangsa (nation state).Hertz (1996:47) nerpendapat bahwa nasionalisme merupakan ideology Negara dan satu bentuk tingkah laku dari suatu bangsa. Nasionalisme sebagai ideology dbentuk berdasarkan gagasan bangsa dan membuatnya untuk memberi fondasi kokoh bangi Negara. Sebagai ideology, nasionalisme dapat memainkan 3 fungsi, yaitu mengikat kelas warga bangsa, menyatukan mentalitas warga bangsa, dan membangun atau memperkokoh pengaruh warga bangsa terhadap kebijakan yang diambil oleh Negara. Nasionalisme merupakan salah satu alat perekat kohesi sosial untuk mempertahankan eksistensi Negara dan bangsa. Semua Negara dan bangsa emmebutuhkan nasionalisme sebagai faktor integrative.[8]
Sebagai suatu fenomena, nasionalisme terjadi dimana-mana yang meliputi benua Eropa, Amerika, Asia, dan Afrika. Ada beberapa factor yang melatarbelakangi dan ikut mewarnai tumbuhnya nasionalisme yang kemudian menjadi spirit bagi bangsa untuk mencapai harapan-harapan barunya seperti kemerdekaan, persamaan, dan kemandirian untuk menentukan kehidupan melalui  Negara nasionalnya.[9] Berikut akan membahas tentang sejarah lahirnya nasionalisme di Indonesia maupun di dunia
Di dalam tradisi penulisan sejarah secara umum,istilah nasionalisme bukan sesuatu hal yang bar. Eric Hobsbaw (1991), salah satu sejarawan Inggris terkemuka abad XX ini didalam tetraloginya tentang sejarah Eropa menempatkan nasionalisme sebagai salah satu fenomena historis yang sangat penting baik dalam sejarah Eropa maupun dalam kaitannya antara Eropa dengan wilayah lainnya sejak abad ke-18 sampai ke-20. Nasionalisme menjadi salah satu pokok bahasan pada setiap periode sejarah yang baginya menjadi empat babak, yaitu the age of revolution, the age of capital, the age of empire, dan age of extremes.[10]
Di Indonesia, tidak diragukan lagi jika memang bangsa Indonesia merupakan Negara yang memiliki rasa nasionalisme yang sangat tinggi untuk tanah air. Sejarah lahirnya nasionalisme atau cinta tanah air yang tinggi ada beberapa faktor, diantaranya yakni faktor lingkungan.
Secara garis besar nasionalisme Indonesia mengalami proses dan tahap-tahap dimulai dari perjuangan Kartini yang menghendaki emansipasi menghadapi tradisi yang dianggap  menghambat kaum perempuan. Walaupun katini sering dikategorikan sebagai pejuang wanita, tetapi ditinjau dari teori yang ada seperti teorinya Sartono Kartodirjon(1967). Pada tahap pembentukan, nasionalisme Indonesia berangkat dari pengertian yang  terbatas yaitu cinta bangsa dan cinta tanah air  sesuai dengan suku-suku yang sekarang ada. Dengan demikian pada tahap pertama nasionalisme agak mirip dengan etnosentrisme (Jong Java, Jong Karimunjawa, Jong Celebes, Jong Ambon,dll (sebelum 1908). Baru kemudian bergerak kea rah integrasi dan pembulatan konsep Indonesia sebagai konsep nasional.
Perkembangan selanjutnya nasionalisme dimaknai dengan  cinta tanah air dan bangsa, mendapatkan pengertian yang lebih luas yaitu dalam skop Indonesia. Dalam semangat perjuangan melawan penjajah nasionalisme sering disebut patriotism-heroisme (1908-1945). Baru kemudian bergerak kea rah integrasi dan pembulatan konsep Indonesia sebagai identitas nasional.[11]
Perlu diketahui beberapa ciri terpenting dari lingkungan sosial yang kemudian memunculkan nasionalisme Indonesia guna memahami karakter khas nasionalisme Indonesia maupun gerakan revolusi sebagai kelanjutannya. Alam penjajahan abad ke-20 yang melahirkan tahapan nasionalisme Indonesia yang modern, jelas, dan konkret menuntut analisis secara menyeluruh[12]
Sudah diketahui secara umum bahwa batas-batas politis umumnya membangun kesadaran nasional. Sudah pula dapat dipastikan bahwa batas-batas sewenang-wenang yang memperlihatkan wilayah kekuasaan Belanda di Hindia Timur menentukan menetapkan daerah-daerah perbatasan di Indonesia yang kemudian menarik perhatian kaum nasionalis Indonesia. Pemerintah Belanda menggalang orang-orang dari berbagai suku dan kebudayaan ke dalam satu kesatuan politis. Dalam hal  itu, ada kecenderungan bahwa orang-orang tersebut mengembangkan suatu “kesadaran kelompok” dalam diri mereka. Dengan demikian, Belanda tanpa sengaja membantu untuk merangkaikan patriotism-patriotisme lokal di nusantara menjadi satu patriotism yang merangkul semua patriotism tersebut. Dengan demikian pula, Belanda membantu untuk membuka satu saluran besar yang mengalirkan sikap-sikap antagonistic maupun kekecewaan di berbagai daerah di nusantaea yang diakibatkan oleh persentuhan dengan penguasa asing. Saluran tersebut merupakan saluran yang mampu menampung begitu banyak arus kekecewaan di daerah yang kemudian berkumpul secara kolektif, dan tidak lagi mengalir secara terpisah-pisah di tengah-tengah keterpencilan mereka[13]
Nasionalisme di Barat sebagai ide, baru muncul antara tahun 1776 hingga 1830 khusunya di Benua Eropa  dan Amerika ketika terjadi proses integrasi dari kerajaan-kerajaan sampai terbentuknya Negara nasional.  Dalam proses transisi itu lahir apa yang disebut masyarakat kelas menengah. Perkembangan nasionalisme di Barat khususnya di Eropa berjalan melalui tiga fase demikian :pertama, bermula pada saat hancurnya kerajaan yang dimulai pada zaman akhir abad pertengahan dan mulai berdirinya Negara-negara nasional dengan cirri pokok dalam fase ini ialah identifikasi bangsa dalam perorangan yang berkuasa. Tahap pertama ini memiliki karakteristik yang mendasar dalam diri perorangan yang berkuasa sebagaimana dikemukakan oleh Carr demikian “The essential characteristic of the periode was the identification of the nation with te periode was the identification of the nation with the person of the sovereign).
Fase kedua dari perkembangan nasionalisme di Eropa berula sejak kekacauan perang Napoleon dan berakhir dalam tahun 1914. Dan Fase ketiga, perkembangan nasionalisme di Eropa merupakan ungkapan dari tuntutan massa untuk ikut berperan sedemikian rupa hingga nasionalisme taraf ketiga ini dapat disebut sebagai “sosialisasi dari pada bangsa”  . Ungkapan kepentingan di perasaan massa ini  tercermin di setiap kebijaksanaan politik dan ekonomi bangsa yang bersangkutan dengan dorongan massa, sehingga masyarakat adanya loyalitas dari masyarakat tersebut[14]
Perkembangan nasionalisme menurut Organski(Nasikun,1996:3-4) dapat dibedakan menjadi 4 tahap, yaitu : (1) nasionalisme tahap satu dari tahap perkembangan politik kesatuan nasional primitive ( the politics of primitive unification) : (2)  industrialization (3) nasionalisme fase 3, dari politik kesejahteraan nasional (the politics of national welfare) dan (4) nasionalisme fase 4, dari tahap perkembangan politik kemakmuran (the politics of abudance).[15]
D.    Nasionalisme Menurut Al-Quran dan Hadits
Nasionalisme kerakyatan dan nasionalisme keagamaan selalu dengan sendirinya merupakan gerak antagonistik terhadap makin besarnya hutang negara kepada bangsa. Nasionalisme keagamaan merupakan salah satu simbol dari nasionalisme kerakyatan. Pengertian nasionalisme itu mungkin bisa menjadi lebih mengalir kalau kita gambarkan dengan kebudayaan agama, kebudayaan kerakyatan, yang dalam hal ini bergulat melawan kebudayaan negara. Kebudayaan negara memandang komitmen kenegaraan sebagai induk perilaku, sehingga sikap yang bertolak dari subjek ras, etnik, atau keagamaan, dilihat sebagai primodialisme. Sebaliknya kebudayaan agama memandang komitmen keagamaan merupakan induk, sehingga ras, etnik, juga negara adalah primodialisme.[16]
Menurut Ibnu Faris dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah, secara bahasa kata baldah berarti dada. Jika dikatakan wad a’at al-naqah baldataha bil ard, ai sadraha, artinya, onta itu meletakkan (menderumkan) dadanya di tanah. Dari makna asal, maka secara semantik, setiap tempat, negeri atau wilayah yang dijadikan tempat tinggal bisa disebut sebagai baldah. Dari kata baldah pula muncul kata taballada dan mubaladah yang bisa berarti “berperang” untuk membela dan mempertahankan tanah air yang ditempati.3 Seolah mereka harus berani pasang dada (baldah) untuk membela negarnya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa term al-balad dan al-baldah dalam Al-Qur’an agaknya mengandung pesan adanya kecintaan terhadap tanah air atau negeri yang menuntut penduduknya untuk membela dan mempertahankan hak-haknya dari siapa saja yang hendak merenggutnya. Dan, harus diingat bahwa upaya membela hak-haknya termasuk dari Jihad fi Sabilillah. Disebutkan dalam Al-Quran surat Saba’ [34]: 15 dan QS. Al-Baqarah [2]: 126,
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
“Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".(QS Saba’ : 15)
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَىٰ عَذَابِ النَّارِ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali".(QS Al Baqarah : 126)
Dari ayat Al Quran diatas, apapun konteks penyebutan kata balad atau baldah dalam Al-Qur’an, yang jelas semuanya bermuara pada pengertian bahwa kata balad atau baldah adalah daerah, tempat, kota, negeri, negara, kampung atau wilayah tertentu. Dalam konteks kehidupan bernegara, jelas bahwa keberadaan wilayah atau tanah air menjadi suatu keniscayaan bagi tegaknya suatu bangsa dan negara.[17]
Al-Qur’an juga merekam doa yang dipanjatkan Nabi Ibrahim as. agar negeri yang ditempatinya dijadikan negeri yang aman dan makmur, yang hal ini bisa dipahami sebagai sebuah bentuk rasa cinta tanah air yang layak untuk diteladani. Berikut ini petikan doa Nabi Ibrahim:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَام◌رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ ۖ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي ۖ وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيم◌رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia. Maka barangsiapa yang mengikutiku, sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Q.S. Ibrahim [14]: 35-37)[18]
Kata sya’ab, qaum, ummah banyak digunakan Al-Quran untuk merujuk makna ”bangsa”. Kata sya’ab yang menjadi kata tunggal dari syu’uban yang tercantun pada surat al-Hujarat (49):13 kita temukan dalam Al-Quran dan terjemahannya yang disusun oleh Departemen Agama mempunyai arti bangsa.[19] Bangsa sesungguhnya adalah suatu kelompok tertentu yang tinggal diwilayah tertentu yang terbentuk karena adanya unsur-unsur persamaan asal-usul keturunan, sejarah, suku, ras, cita-cita meraih masa depan.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

”Wahai manusia kami sesungguhnya telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.”(QS Al Hujarat (49) :13)
Nasionalisme dalam Islam harus disertai dengan adanya: 1) cinta tanah air, ini karena “hubb al-watan min al-iman” cinta tanah air sebagian dari iman 2) kebersamaan yang disertai jiwa patriotisme melawan segala bentuk penjajahan demi membela harkat dan martabat suatu bangsa. Nabi Saw. pernah bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah pembela keluarga besarnya, selama pembelaannya bukan dosa.” (H.R. Abu Dawud).[20]
Rujukan kedua dalam menegakkan nasionalisme adalah tindakan Nabi Muhammad SAW pada saat di Madinah. Saat itu, Rasullullah mengikat seluruh penduduk Madinah untuk mengadakan perjanjian yang disebut piagam Madinah. Piagam itu dianggap sebagai cikal bakal terbentuknya nation state oleh Montgomery Watt dan Bernard Lewis.[21] Isi pokok piagam Madinah antara lain: pertama, semua pemeluk Islam meskipun berasal dari banyak suku merupakan satu komunitas. Kedua, hubungan antara sesama komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan non Islam didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga dengan baik, saling membantu dalam menghadapi musuh, membantu mereka yang teraniaya, saling menasehati dan menghormati kebebasan beragama.[22] Beragama bukanlah kewajiban tetapi sebuah hak yang bersumber dari kesadaran jiwa dan nurani. Karena itu Al-Quran menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam menganut agama (QS. Al- Baqarah: 256)[23]
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS Al Baqarah :256)
Piagam madinah ini berfungsi sebagai teks konstitusi teladan dan mendasar bagi orang-orang muslim yang menjadi karakteristik kebudayaan dan sejarah mereka dan dapat mengakomodasi berbagai interpretasi mengenai komposisi umat, hak dan kewajiban penguasa dan pemerintah, dan peran fundamental negara. Piagam madinah telah diidentifikasi sebagai konstitusi nasional tertulis pertama di dunia.[24]
Piagam madinah merupakan kontrak sosial yang didasarkan pada pada konsep perjanjian masyarakat yang terdiri dari etnis yang beragam yang bisa hidup di bawah satu atap dan satu tuhan. Piagam juga menyatakan metode untuk memecahkan semua persoalan antara etnis dan kelompok yang beragam secara damai tanpa memaksa etnis tertentu untuk memeluk satu agama, satu bahasa, atau satu budaya. Hal ini mencerminkan bahwa nabi Muhammad memiliki keterampilan diplomatik yang tinggi sehingga dapat membentuk aliansi dengan semua pertimbangan praktis tanpa mengabaikan aspek agama. Sebagaimana piagam madinah, pancasila juga memuliki sejarah tersendiri, nilai-nilai pancasila diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri negara, dan dijadikan sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Sejarah perjuangan bangsa indonesia untuk membentuk negara sangat erat kaitannya dengan jati diri bangsa Indonesia. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan dan kerakyatan, serta keadilan. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sudah dihayati dalam kehidupan sehari-hari sebagai pandangan hidup masyarakat.[25]
Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Quran menyatakan bahwa unsur-unsur nasionalisme dapat ditemukan dalam Al-Quran:
1)      Persamaaan keturunan
Al-Quran sangat menekankan kepada pembinaan keluarga yang merupakan unsur terkecil terbentuknya masyarakat, dari masyarakat terbentuk suku, dan dari suku terbentuk bangsa, sebagaimana dalam Al-Quran surah Al-A’raf :160
وَقَطَّعْنَاهُمُ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ أَسْبَاطًا أُمَمًا ۚ وَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ مُوسَىٰ إِذِ اسْتَسْقَاهُ قَوْمُهُ أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ ۖ فَانْبَجَسَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا ۖ قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَشْرَبَهُمْ ۚ وَظَلَّلْنَا عَلَيْهِمُ الْغَمَامَ وَأَنْزَلْنَا عَلَيْهِمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَىٰ ۖ كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ۚ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَٰكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
“Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah besar dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu!". Maka memancarlah dari padanya duabelas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing. Dan Kami naungkan awan di atas mereka dan Kami turunkan kepada mereka manna dan salwa. (Kami berfirman): "Makanlah yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezekikan kepadamu". Mereka tidak menganiaya Kami, tapi merekalah yang selalu menganiaya dirinya sendiri. “(QS Al A’raf : 160)
2)      Persamaan bahasa
Bahasa merupakan perekat bagi terjadinya persatuan bangsa karena bahasa menjadi identitas pembeda dari bangsa lain. Sahabat-sahabat Rasulullah ketika meremehkan sahabat Salman (berasal dari Persia), Suhaib (berasal dari Romawi) dan Bilal (dari Ethiopia) maka Rasulullah bersabda: kebangsaan Arab yang ada pada diri kalian bukanlah karena bapak atau ibu melainkan dari bahasa, maka barang siapa berbicara bahasa Arab maka dia adalah bangsa Arab.
3)      Persamaan adat istiadat
Allah menandaskan dalam QS Al ‘Imran (3) :104

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“hendaklah ada sekelompok diantara kamu yang mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. “ (QS Al ‘Imran : 104)
Demikian pula dalam QS Al A’raf (7) :199
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“jadilah engkau pemaaf, perintahkan yang ’urf (adat istiadat yang baik), dan berpalinglah dari orang jahil “ (QS Al A’raf : 199)
Pada kedua ayat tersebut kata ’urf dan alma’ruf dimaksudkan sebagai adat istiadat dan kebiasaan yang baik yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Jadi jelas bahwa adat istiadat sebagai salah satu pembentuk bangsa tidaklah bertentangan dengan Islam. 
4)      Persamaan sejarah
Persamaan sejarah masa lalu, persamaan senasib dan sepenanggungan masa kini serta persamaan tujuan masa akan datang merupakan salah satu faktor yang mendominasi terbentuknya suatu bangsa. Sejarah yang gemilang masa lalu selalu dibanggakan generasi berikutnya, demikian pula sebaliknya. Al-Quran pun sangat menonjol dalam menguraikan sejarah dengan tujuan untuk diambil pelajaran guna menentukan langkah berikutnya. Jadi unsur kesejarahan sejalan dengan Al-Quran.
5)      Cinta tanah air
Cinta tanah air tidak bertentangan dengan Al-Quran, bahkan inklusif dalam ajarannya dan praktik Nabi Muhammad SAW. Cinta beliau kepada tanah air tampak pula ketika beliau meninggalkan kota Makkah seraya berucap: Demi Allah, sesungguhnya adalah bumi Allah yang paling aku cintai, seandainya orang yang bertempat tinggal di sini tidak mengusirku niscaya aku tidak meninggalkannya.
Demikian pula pada saat beliau sudah tinggal di Madinah dan menjadi warga kota, beliau memohon kepada Allah: Ya Allah cintakan kota Madinah kepada kami, sebagai mana engkau mencintakan kota Makkah kepada kami (HR Bukhari, Malik dan Akhmad).
Orang yang gugur dalam mempertahankan keluarga, harta dan negeri sendiri dinilai sebagai syahid, sebagaimana gugur dalam membela agama, bahkan agama menggandengkan pembelaan agama dan pembelaan negara dalam QS Al Mumtahanah(60) :8-9
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينإِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik, dan memberi sebagian hartamu (berbuat adil) kepada orang yang tidak memerangi kamu karena, dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperilaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu berkawan dengan orang-orang yang memerangi kau karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu orang lain mengusirmu.”(QS Al Mumtahanah : 8-9)[26]
E.  Penutup
Nasionalisme merupakan faham tentang kebangsaan dan sikap cinta tanah air yang tinggi yang harus dimiliki oleh warga Negara, merasa memiliki sejarah dan cita-cita yang sama dalam tujuan berbangsa dan bernegara. Kemudian nasionalisme modern adalah paham tentang hak bagi suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan, karena itu, anti-imperialisme, sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Nasionalisme modern akan melahirakan kestabilan dan akan berfungsi sebagai kekuatan yang menyatukan suku-suku dan kelompok-kelompok etnis yang terpisah-pisah.Di Indonesia, tidak diragukan lagi jika memang bangsa Indonesia merupakan Negara yang memiliki rasa nasionalisme yang sangat tinggi untuk tanah air. Sejarah lahirnya nasionalisme atau cinta tanah air yang tinggi ada beberapa faktor, diantaranya yakni faktor lingkungan.
Nasionalisme kerakyatan dan nasionalisme keagamaan selalu dengan sendirinya merupakan gerak antagonistik terhadap makin besarnya hutang negara kepada bangsa. Nasionalisme keagamaan merupakan salah satu simbol dari nasionalisme kerakyatan. Pengertian nasionalisme itu mungkin bisa menjadi lebih mengalir kalau kita gambarkan dengan kebudayaan agama, kebudayaan kerakyatan, yang dalam hal ini bergulat melawan kebudayaan negara. Kebudayaan negara memandang komitmen kenegaraan sebagai induk perilaku, sehingga sikap yang bertolak dari subjek ras, etnik, atau keagamaan, dilihat sebagai primodialisme. Sebaliknya kebudayaan agama memandang komitmen keagamaan merupakan induk, sehingga ras, etnik, juga negara adalah primodialisme.Nasionalisme dalam Islam harus disertai dengan adanya: 1) cinta tanah air, ini karena “hubb al-watan min al-iman” cinta tanah air sebagian dari iman 2) kebersamaan yang disertai jiwa patriotisme melawan segala bentuk penjajahan demi membela harkat dan martabat suatu bangsa.Unsur-unsur nasionalisme dapat ditemukan dalam Al-Quran: 1)Persamaaan keturunan,2) Persamaan bahasa, 3) Persamaan adat istiadat, 4) Persamaan sejarah, dan 5) Cinta tanah air.



DAFTAR PUSTAKA
Murod, Abdul Choliq. Nasionalisme dalam perspektif islam, Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XVI, No.2 Agustus 2011
Mustaqim, Abdul.Bela Negara Dalam Perspektif Al-Quran (Sebuah Transformasi makna Jihad),Analisis, Volume XI, Nomor 1, Juni 2011
Wahid, Wawan Gunawan Abd. 2015. Fikih Kebinekaan. Bandung : Mizan
Ghafur, Waryono Abdul. 2005. Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dan Konteks. Yogyakarta : el SAQ Press
Nadjib, Emha Ainun. 1995. Nasionalisme Muhammad: Islam Menyongsong Masa Depan. Yogyakarta: Sipress
J. R, Sutarjo Adisusilo. Nasionalisme- Demokrasi- Civil society, E-jurnal
Alfaqi, Mifdal Zusron. Memahami Indonesia Melalui Prespektif Nasionalisme, Politik Identitas, Serta Solidaritas, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015
Purwanto, Bambang. Memahami Kembali Nasionalisme Indonesia, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 4, No. 3, maret 2001
Kahin, George McTurnan. 2013. Nasionalisme & Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Bambu
Gaus, Gerals F dan Chandran Kukathas. 2012. Handbook Teori Politik. Bandung: Nusa Media
Rachman, Budhy Munawar. 2012. Ensiklopedi Nurcholis Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban. Jakarta: Democracy Project

Catatan:
1.      Jangan langsung copy-paste dari jurnal.
2.      Dalam tulisan ilmiah, gelar dihilangkan.
3.      Pengulangan footnote ada caranya sendiri.
4.      Tolong pendahuluan diperbaiki.


[1]Abdul Choliq Murod, Nasionalisme dalam perspektif islam, Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XVI, No.2 Agustus 2011: 45-58, hlm. 46-47
[2]I Nengah Suastika, Nasionalisme dalam perspektif  Postmodernisme…Ejurnal.undiksha.ac.id,
[3] Mifdal Zusron Alfaqi, jurnal pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, th, 28 november 2, Agustus 2015. hal. 112
[4] Sutarjo Adisusilo J.R Nasionalisme – Demokrasi- Civil Society. Ejurnal hal 3
[5] Geral F. Gaus dan Chandran Kukathas, Hanbook Teori Politik,
[6]Budhy Munawarah-rachman. Nurcholish Madjid 2012 hal 2166
[7]Abdul Choliq Murod, Nasionalisme dalam perspektif islam, Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XVI, No.2 Agustus 2011: 45-58, hlm. 48
[8] Sutarjo Adisusilo J.R Nasionalisme – Demokrasi- Civil Society. Ejurnal hal 8
[9]Dr. Drs. Yosaphat Haris Nusarastriya,M.Si. Sejarah Nasionalisme Dunia dan Indonesia.ejurnal
[10]Bambang Purwanti. Memahami kembali Nasionalisme Indonesia. Ejurnal volume 4, nomor 3, Maret 2001 (243)
[11] Dr. Drs. Yosaphat Haris Nusarastriya,M.Si. Sejarah Nasionalisme Dunia dan Indonesia.ejurnal  Hal 13
[12]Kahin,George McTurnan. 2013. Nasionalisme&Revolusi Indonesi. Komunitas bamboo, Depok. Hal 1
[13] Kahin,George McTurnan. 2013. Nasionalisme&Revolusi Indonesi. Komunitas bamboo, Depok. Hal  51
[14] Dr. Drs. Yosaphat Haris Nusarastriya,M.Si. Sejarah Nasionalisme Dunia dan Indonesia.ejurnal  Hal 3
[15] Sutarjo Adisusilo J.R Nasionalisme – Demokrasi- Civil Society. Ejurnal hal 8
[16] Emha Ainun Nadjib, Nasionalisme Muhammad, (Yogyakarta: Sipress,1995), hlm.5.
[17]Abdul Mustaqim, Bela Negara Dalam Perspektif Al-Quran (Sebuah Transformasi makna Jihad),Analisis, Volume XI, Nomor 1, Juni 2011, hlm. 113
[18]Ibid., hlm 114
[19]Abdul Choliq Murod, Nasionalisme dalam perspektif islam, Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XVI, No.2 Agustus 2011: 45-58, hlm. 53
[20]Abdul Mustaqim, Bela Negara Dalam Perspektif Al-Quran (Sebuah Transformasi makna Jihad),Analisis, Volume XI, Nomor 1, Juni 2011, hlm. 115
[21] Ibid., hlm.53
[22]Ibid., hlm. 54
[23] Waryono abdul Ghofur, Tafsir Sosial, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2005), hlm.192
[24] Wawan Gunawan Abdul Wahid dkk, Fiqih kebinekaan, (Bandung: Mizan, 2015), hlm. 130
[25]Wawan Gunawan Abdul Wahid dkk, Fiqih kebinekaan, (Bandung: Mizan, 2015), hlm. 132
[26]Abdul Choliq Murod, Nasionalisme dalam perspektif islam, Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XVI, No.2 Agustus 2011: 45-58, hlm. 54-55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar