Rabu, 10 Mei 2017

Nasionalisme Perspektif al-Qur'an dan Hadis (P-IPS C Semester Genap 2016/2017)





NASIONALISME PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADIST
Afnida Nur Chikmah, Dwi Febriyanti, Lailatul Firdausy
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas C Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
This article discusses about the nationalism perspective of Al-Quran and Hadith. The discussion contains of the nation of nationalism, history of nationalism, and nationalism according to Al-quran and Hadith. Nationalism is a state of the soul and a belief, embraced by a large number of individual humans which from nationality. Nationalism emerged and developed in the west since 15th century AD. British nationalism became the forerunner of western nationalism. Furthermore, East nationalism (Asia and Africa) including Indonesia is a continuation of the developed idea of nationalism that emerged for the first time in the west. Indonesian nationalism emerged along withthe emergence of awareness of the existence of the nation it self which want to escape from colonization so that the spirit of nationalism arises from the spirit of resistance against colonialism. The next discussion is nationalism which a seen by explaining the meaning of nationalism according to Islamic point of view.
Keywords: Nasionalism, Al-Qur’an, Hadith
Abstrak
Artikel ini membahas tentang nasionalisme perspektif Al-Quran dan Hadist. Dalam pembahasan ini memuat tentang pengertian nasionalisme, sejarah nasionalisme, dan nasionalisme menurut Al-Quran dan Hadis. Nasionalisme merupakan suatu keadaan jiwa dan suatu kepercayaan, dianut oleh sejumlah besar manusia perseorangan sehingga mereka membentuk suatu kebangsaan. Nasionalisme muncul dan berkembang di Barat sejak abad ke 15 Masehi. Nasionalisme Inggris menjadi cikal bakal nasionalisme barat. Selanjutnya Nasionalisme Timur (Asia dan Afrika) termasuk Indonesia merupakan lanjutan dari perkembangan ide nasionalisme yang muncul pertama kalinya di barat. Nasionalisme Indonesia muncul bersamaan dengan munculnya kesadaran akan adanya bangsa sendiri yang ingin lepas dari penjajahan asing sehingga semangat nasionalisme lahir dari semangat perlawanan terhadap penjajahan. Pembahasan selanjutnya yaitu Nasionalisme yang di lihat dari perpektif Al-Qur’an dan Hadist, dengan menjelaskan pengertian nasionalisme menurut pandangan Islam.
Kata Kunci: Nasionalisme, Al-Qur’an, Hadist

A.  Pendahuluan
Nasionalisme merupakan suatu paham kebangsaan yang timbul karena adanya perasaan senasib dan sejarah untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka, berdaulat, dan bersatu dengan memiliki cita-cita yang sama dalam membentuk suatu negara kebangsaan. Hal ini didasarkan atas rasa cinta terhadap tanah air, bangsa dan negara serta ideologi dan politik. Oleh karena itu nasionalisme sering dipandang sebagai ideologi pemelihara bangsa.
Secara historis paham nasionalisme berawal dari Barat (Eropa) sekitar abad ke-15 kemudian mulai berkembang ke Timur terutama (Asia dan Afrika) termasuk Indonesia sekitar abad ke-20, yang dapat mempengaruhi sisi politik kekuasaan. Dalam artikel ini menjelaskan nasionalisme Barat dan nasionalisme Timur terdapat perbedaan yang signifikan.  Nasionalisme Barat yang awalnya lekat dengan liberalisme lambat laun berubah menjadi kekuatan kolonialisme, sehingga terjadi persaingan antara Inggris dan Perancis untuk memperkuat kolonialisme di berbagai benua Timur terutama Asia dan Afrika termasuk Indonesia. Kolonialisme tersebut membangkitkan semangat dan upaya-upaya perlawanan terhadap Barat dengan menggunnakan ide yang lahir dan berkembang di Barat yaitu nasionalisme. Namun nasionalisme Timur berlawanan dengan nasionalisme Barat yang identik dengan serang menyerang karena sistem kolonialisme, sedangkan nasionalisme Timur mempunyai rasa kemanusiaan.
Islam mengakui bahwa Tuhan menjadikan manusia berkelompok-kelompok dan berbangsa-bangsa. Namun dalam Islam bahwasanya tidak diperbolehkan menjadikan Nasionalisme yang fanatik. Oleh sebab itu, dalam artikel ini penulis akan berupaya membahas tentang nasionalisme dalam perspektif al-quran maupun hadis
B.  Pengertian Nasionalisme
Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Bangsa mempunyai dua pengertian, yaitu dalam pengertian antropologis serta sosiologis, dan dalam pengertian politis. Dalam pengertian antropologis serta sosiologis bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan suatu persekutuan-hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota persekutuan-hidup tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat. Persekutuan-hidup semacam ini dalam suatu negara dapat merupakan persekutuan-hidup yang mayoritas dan dapat pula merupakan persekutuan hidup minoritas. Bahkan dalam satu negara bisa terdapat beberapa persekutuan hidup “bangsa” dalam pengertian antropologis, dan dapat pula anggota satu bangsa tersebar di beberapa negara. Adapun yang dimaksud bangsa dalam pengertian politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam.[1]
Konsep nasionalisme sendiri lahir ketika Ben Anderson mengungkapkan gagasannya tentang masyarakat khayalan (imagined communities). Menurut Anderson nasionalisme adalah sebuah komunitas politik berbayang yang dibayangkan sebagai kesatuan yang terbatas dan kekuasaan tertinggi.[2]
Nation (bangsa) dalam pengertian politik inilah yang kemudian merupakan pokok pembahasan tentang nasionalisme. Tetapi bangsa dalam pengertian antropologis tidak dapat begitu saja ditinggalkan atau diabaikan, sebab ia memiliki faktor obyektif. Meskipun tidak merupakan hal pokok, namun sering menentukan bagi terbentuknya bangsa dalam pengertian politik. Jadi dalam kedua pengertian bangsa itu, ada kaitan yang sangat erat dan penting.[3]
Mengenai definisi nasionalisme, banyak rumusan yang dikemukakan diantaranya adalah:[4]
1.      Encyclopaedia Britannica:
Nasionalisme merupakan keadaan jiwa, dimana individu merasa bahwa setiap orang memiliki kesetiaan dalam keduniaan (sekuler) tertinggi kepada negara kebangsaan.[5]
2.      Huszer dan Stevenson:
Nasionalisme adalah yang menentukan bangsa mempunyai rasa cinta secara alami kepada tanah airnya. International Encyclopaedia of the Social Science[6]
3.      International Encyclopedia of the Social Science:
Nasionalisme adalah suatu ikatan politik yang mengikat kesatuan masyarakat modern dan memberi pengabsahan terhadap klaim (tuntutan) kekuasaan. [7]
4.      L. Stoddard:
Nasionalisme adalah suatu keadaan jiwa dan suatu kepercayaan, dianut oleh sejumlah besar manusia perseorangan sehingga mereka membentuk suatu kebangsaan. Nasionalisme adalah rasa kebersamaan segolongan sebagai suatu bangsa.[8]
5.      Hans Kohn:
Nasionalisme menyatakan bahwa negara kebangsaan adalah cita-cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi politik, dan bahwa bangsa adalah sumber dari semua tenaga kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi.[9] Nasionalisme menurut Hans Kohn adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Sebelum lahirnya nasionalisme, kesetiaan orang tidak ditunjukan kepada negara bangsa tetapi ditujukan kepada berbagai bentuk kekuasaan sosial, organisasi politik, raja, kesatuan ideologi seperti suku, negara kota, kerajaan dinasti atau gereja.[10]
Sedangkan Rupert Emerson mendefinisikan nasionalisme sebagai komunitas orang-orang yang merasa bahwa mereka bersatu atas dasar elemen-elemen penting yang mendalam dari warisan bersama dan bahwa mereka memiliki takdir bersama menuju masa depan.[11]
Dalam pandangan Ernest Renan bangsa adalah kesatuan. Solidaritas yang digantungkan atas kehendak warganya untuk secara bersama dalam identitas kolektif baru yang melampaui garis-garis primodial sektarian. Renan mengemukakan bahwa bangsa tidak disamakan dengan kesatuan manusia yang didasarkan atas kesamaan ras, bahasa, agama, dan geografi.Sedangkan menurut Joseph Stalin bangsa merupakan suatu komunitas yang terbentuk dari bahasa, wilayah, kehidupan ekonomi dan psikologis yang stabil dan berkembang secara histories termanifesi dalam suatu komunitas kebudayaan.[12]
Hal yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Sartono Kartodirjo. Menurutnya nasionalisme adalah ideologi yang mencakup lima prinsip yaitu unity (kesatuan) yang merupakan syarat yang tidak bias ditolak, liberty (kemerdekaan) termasuk kemerdekaan untuk mengemukakan pendapat, equality (persamaan) bagi setiap warga untuk mengembangkan kemampuannya masing-masing, personality (kepribadian) yang terbentuk oleh pengalaman budaya dan sejarah bangsa, dan performance dalam arti kualitas atau prestasi yang dibanggakan kepada bangsa lain.[13]
Sedangkan menurut Gellner nasionalisme adalah suatu perjuangan untuk membuat budaya dan perpolitikan menjadi bersesuaian. Nasionalisme adalah pemaksaan umum suatu tradisi besar kehidupan masyarakat. Hal itu sesungguhnya berawal dari tradisi kecil yang sebelumnya telah mengangkat kehidupan mayoritas dan dalam beberapa kasus keseluruhan penduduk.[14]
C.  Sejarah Nasionalisme
Keberadaan paham nasionalisme secara umum dapat dilihat pada sejarah nasionalisme Barat (Eropa). Nasionalisme muncul dan berkembang di Barat sejak abad ke 15 Masehi. Namun hal yang sama tidak dirasakan oleh Timur (Asia dan Afrika).[15]Nasionalisme merupakan gejala modern, tetapi tidak ada kesepakatan mengenai darimana muncul dan berkembangnya nasionalisme. Nasionalisme muncul pertama di Inggris pada abad ke-17 ketika terjadi revolusi Purittan. Pada kesepakatan bahwa nasionalisme berawal dari barat kemudian menyebar ke timur.[16]
Nasionalisme Inggris inilah yang menjadi cikal bakal nasionalisme barat, karena Inggris unggul dalam penemuan-penemuan ilmiah, perdagang dan dalam perkembangan pemikiran serta aktivitas politik. Munculnya nasionalisme Amerika (1775) dan revolusi perancis merupakan perkembangan lanjut dari nasionalisme Inggris.[17] Berawal dari revolusi Amerika dan Eropa barat ini, nasionalisme kemudian menjalar keberbagai penjuru dunia yaitu Eropa Tengah, Eropa Timur, hingga ke Amerika Latin. Nasionalisme yang pada awalnya justru banyak mementingkan hak-hak asasi manusia, dalam perkembangan selanjutnya nasionalisme dengan segera menganggap kekuasaan kolektif dan persatuan menjadi jauh lebih penting daripada kemerdekaan perseorangan.[18]
Nasionalisme bangsa-bangsa di Eropa mengalami kejayaan pada periode abad ke 19 Masehi, mereka bersatu dengan baik dari berbagai kelompok dan etnis. Bangsa-bangsa di Eropa yang menjalin kesatuan karena nasionalisme ini akhirnya memasuki masa imperialisme.[19]Sasaran utama dari Imperialisme Barat adalah negeri-negeri yang masih terbelakang, yang sifat kebangsaan penduduknya masih dipertanyakan. Negeri-negeri itu terutama adalah negeri-negeri di Asia, dan Amerika Latin.[20] Secara politik, sosial, dan ekonomi mereka mengambil alih kekuasaan atau menjajah negara-negara lemah di Asia, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin.[21]Jika sebelumnya nasionalisme Eropa lekat dengan liberalisme, lambat laun berubah menjadi kekuatan-kekuatan kolonialis-imperialis yang ekspansif. Inggris dan Prancis saling berlomba menaklukkan wilayah-wilayah di benua lain. Terjadi persaingan antarkedua kekuatan kolonial ini di berbagai benua, terutama di Asia dan Afrika.[22]
Beberapa ciri dari nasionalisme barat dalam pandangan Soekarno adalah:[23]
Pertama, nasionalisme barat mengandung prinsip demokrasi yang berawal dari revolusi Prancis. Kemenangan kaum borjuis pada Revolusi Prancis melahirkan demokrasi parlementer, yang biasa juga disebut demokrasi liberal. Demokrasi semacam ini melahirkan kapitalisme. Kehidupan ekonomi rakyat tidak terjamin, bahkan rakyat miskin semakin tertindas dan semakin melarat.[24]
Kedua, perkembangan nasionalisme yang dijiwai oleh kapitalisme telah melahirkan imperialisme. Munculnya imperialisme tersebut disebabkan adanya kebutuhan akan bahan mentah dengan rasa kebangsaan yang agresif.[25]
Ketiga, menurut pendapat C.R. Das menggambarkan nasionalisme barat suatu nasionalisme yang serang-menyerang, yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yag menhitung untung atau rugi.[26]
Keempat, Fasisme yang lahir di barat, yang biasanya disebut dengan nasionalisme-sosialisme tidak  berdiri diatas pokok kerakyatan, tetapi ialah berdiri diatas pokok ketaatan pada seorang diktator. Tidak bertanggung jawab kepada rakyat, tatapi orang-orang bawahan itulah yang bertanggung jawab kepada diktator.[27]
Nasionalisme Barat mengandung individualisme, liberalisme, dan melahirkan kapitalisme dan imperialisme. Disamping itu nasionalisme barat mempunyai patriotisme sempit dan ekstrim yang mengakibatkan munculnya konflik-konflik, permusuhan, dan pertikaian antara nasionalisme-nasionalisme.[28]
Di Asia, Afrika, dan Amerika Latin mulai disadari bahwa nasionalisme merupakan suatu gerakan perjuangan rakyat yang modern dan berperan penting dalam membangun suatu kekuatan bangsa melawan kolonialisme bangsa Eropa Barat,[29] yang membangkitkan nasionalisme negeri-negeri Timur yang terjajah dengan sikap yang sama yaitu keinginan untuk mencapai kemerdekaan dari penjajah,[30] sekaligus dalam rangka mendirikan suatu negara dan pemerintahannya.[31]
Bangsa Timur yang pertama kali bangkit dan berhasil dalam mengejar ketinggalannnya dari Barat adalah Jepang, yang berusaha melengkapi alat peperangannya. Kemenangan Jepang atas Rusia dalam tahun 1905, telah membuktikan kemungkinan kemenangan bangsa Asia dengan menggunakan cara-cara, teknik, dan organisasi barat atas negara militer Eropa yang besar.[32]
Kemenangan itu membangunkan harapan-harapan baru, dan menggerakkan rakyat-rakyat bangsa Timur dalam satu kesadaran diri baru, kesadaran nasional. Benih-benih nasionalisme yang telah ada pada bangsa-bangsa Timur, dengan adanya kemenangan itu, berubah sifat dari sesuatu yang evolusioner menjadi nasionalisme yang revolusioner.[33]
Nasionalisme di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin merupakan lanjutan dari perkembangan ide nasionalisme yang muncul pertama kalinya di barat.[34] Tetapi nasionalisme timur tidak merupakan suatu jiplakan mutlak dari nasionalisme barat. Akan tetapi, dalam kenyatannya nasionalisme timur yang bangkit di negera-negara jajahan merupakan reaksi yang sangat khas terhadap imperialisme dan kolonialisme.[35] Perbedaan antara perkembangan nasionalisme barat dengan timur, adalah bahwa perkembangan yang terjadi di Eropa di mulai dari gerakan kaum elite yang memunculkan kelompok kelas menengah. Akibatnya adalah munculnya golongan yang merasa sebagai golongan yang tersingkir dari gerakan nasionalisme, terutama mereka yang berasal dari golongan kelas bawah.[36]
Ada dua hal yang melatarbelakangi munculnya nasionalisme. Pertama, adanya keinginan suatu bangsa untuk melepaskan diri dari penjajahan. Keinginan ini muncul karena adanya perasaan senasib, sepenanggungan dan sependeritaan di bawah penjajahan bangsa lain.Kedua, rasa persatuan dan cinta tanah air tanpa menonjolkan perbedaan yang ada dalam masyarakat. Lahirnya pergerakan Budi Utomo pada tahun 1908 dan peristiwa ikrar Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan akar dari semangat perjuangan menuju gerbang kemerdekaan.[37]
Indonesia menganut paham Nasionalisme Timur dan menolak prinsip-prinsip yang terkandung dalam nasionalisme Barat, yang mana nasionalisme timur lebih bersifat prikemanusiaan. Oleh karena itu, nasionalisme di Indonesia adalah nasionalisme yang anti-imperialisme dan kolonialisme, anti-kapitalisme, prinsip-prinsip yang terkandung dalam Nasionalisme Barat, dan yang sangat di kecam oleh Nasionalisme Timur.[38]
Istilah pergerakan nasional menunjukkan seluruh proses terjadi dan pertumbuhan nasionalisme Indonesia yang berwujud sebagai organisasi-organisasi nasionalistis yang berdasarkan kesadaran, perasaan, dan keinginan yang sama yaitu berjuang bagi kemerdekaan rakyat di dalam satu lingkungan negara kesatuan.[39] Pemunculan gerakan muda Indonesia pada awal abad ke 20 bersamaan waktunya dengan pemunculan sekelompok orang Indonesia yang mendapat prndidikan Barat.[40]
Nasionalisme Indonesia muncul bersamaan dengan munculnya kesadaran akan adanya bangsa sendiri yang ingin lepas dari penjajahan asing sehingga semangat nasionalisme lahir dari semangat perlawanan terhadap penjajahan.[41] Salah satu hal penting yang dilakukan di dalam periode Pergerakan Nasional ini ialah munculnya pencarian identitas diri sebagai bangsa baru.[42]
Semangat nasionalisme Indonesia sudah mulai terasa pada saat berdirinya organisasi Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908.Walaupun organisasi ini pada awalnya didirikan oleh para pelajar dan mahasiswa Jawa dan Madura tapi orang lainpun bisa masuk. Nama itu punya arti cendekiawan, watak atau kebudayaan yang mulia. Boedi Oetomo menetapkan perhatiannya pada penduduk Jawa dan Madura, dengan bahasa melayu sebagai bahasa resminya. Organisasi ini mengilhami berdirinya banyak organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes yang pada puncaknya mereka mengikrarkan sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928, berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia dan berbahasa satu bahasa Indonesia, walaupun sumpah pemuda bukan identik dengan nasioanlisme tetapi merupakan kebersamaan dalam pluralitas yang sangat dibutuhkan dalam usaha mengintegrasikan bangsa, yang berarti sejalan dengan hakikat nasionalisme. [43]
Nama organisasi Boedi Oetomo berkaitan dengan hal tingkah laku dan kebudayaan. Warga terdidik tercerahkan berbangsa Jawa tidak segera melompat ke gerakan politik dengan tujuan untuk kemerdekaan, melainkan untuk pembebasan. Tujuannya adalah untuk memberikan pendidikan kepada warga anak-anak bangsa jawa. Dengan gerakan kebudayaan dan pendidikan itu, maka Boedi Oetomo hendak membangun landasan yang kokoh bagi penyadaran diri dan pembebasan itu.[44]
Setelah organisasi budi utomo di bentuk, pada tahun 1912 lahirlah organisasi yang bernama Sarekat Islam. Pada waktu mana juga telah ditetapkan tujuannya, yaitu memajukan perdagangan, memberi pertolongan kepada anggota-anggota yang mengalami kesukaran, memajukan kepentingan rohani dan jasmani penduduk asli dan memajukan kehidupan Agama Islam.[45]Sarekat islammerupakan gerakan yang tidak terbatas pada satu orientasi tujuan, tetapi mencakup pelbagai bidang aktivitas, yaitu ekonomi, sosial, politik, dan kultural. Dalam gerakan itu agama Islam berfungsi sebagai ideologi sehingga gerakan itu lebih merupakan suatu revivalisme, yaitu kehidupan kembali kepercayaan dengan jiwa atau semangat yang berkobar-kobar.[46]
Gerakan SI (Sarekat Islam) bertumpu pada ideologi agama Islam, sehingga dengan mudah menghimbau rakyat dari pelbagai lapisan baik dari kota maupun dari pedesaan. Oleh karena semangat keagamaan sering meluap-luap sehingga gerakan SI merupakan gerakan total yang bernada kuat dalam keagamaan, maka gerakan SI sering dipandang sebagai suatu revivalisme religius.[47] Menegakkan moralitas agama, mengusahakan kesejahteraan rakyat, serta meningkatkan kedudukan serta peranan sosial ekonominya, kesemuanya sekaligus berbarengan dengan penggalangan kesadaran sosial rakyat. [48]
Kemudian dibentuk organisasi Indiche Partij yang di pelopori E.F.E. Douwes Dekker.[49] IP lahir pada tanggal 25 Desember 1912, tetapi tidak mendapat pengakuan dari Belanda, sehingga statusnya adalah terlarang. IP yang didirikan oleh Douwes Dekker itu menggariskan tujuannya ialah untuk membagunkan patriotisme terhadap tanah air, yang telah memberi lapangan hidup kepada mereka, agar mereka mendapat dorongan untuk bekerjasama atas dasar persamaan ketatanegaraan untuk memajukan tanah air ‘Hindia’ dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka.[50]
Menurut Hatta, Indische Partij adalah yang mula-mula mencetuskan cita-cita tanah air dan bangsa. Meskipun demikian, karena statusnya yang terlarang dan karena ketiga pemimpinnya (Douwis Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Suryadi Suryadiningrat) pada bulan Agustus 1913 dijatuhi hukuman buangan (mereka memilih ke negeri Belanda), maka partai itu tidak bisa berbuat apa-apa.[51]
Pada 4 Juli 1927 Bung Karno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang merupakan wadah nasionalisme modern yang radikal. Ideologi partai tersebut nasional radikal, yang dalam pandangan Bung Karno dianggap bahwa kekuatanbangsa Indonesia terletak pada Nasionalisme, Islamisme dan Komunisme (NASAKOM).[52]
Disamping organisasi-organisasi yang telah disebutkan di atas masihbanyak lagi organisasi yang lain, ada yang bersifat lokal, ada yang bersifat sosial, agama, pendidikan, dan lain-lain. Yang bersifat/berasas Islam misalnya Jami’at Khair (lahir 1901), Muhammadiyah ( 1912, organisasi yang besar dengan cabang dan sekolahnya yang banyak di seluruh tanah air), al- Irsyad (1914), PERSIS (l923), NU (1926) meskipun tidak menjuruskan dirinya pada politik namun peranan ulama-ulamanya atau pemimpinnya sangat besar untuk meningkatkan kesadaran rakyatnya, bukan saja terhadap agamanya, tetapi juga terhadap hak-hak dan kewajibannya untuk kemerdekaan tanah air.[53]
Demikianlah usaha-usaha yang telah dirintis sejak semula telah membuahkan sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Isinyamenyatakan: Berbangsa satu, Bangsa Indonesia; Berbahasa satu, Bahasa Indonesia; Bertanah air satu, Tanah air Indonesia; satu tekad yang kompak yang akhirnya setelah melalui pahit getirnya perjuangan menjelmakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.[54]

D.  Nasionalisme Perspektif Al-Qur’an dan Hadist
Hakekat yang terdalam dari Nasionalisme, tidak lain dari kemauan untuk bersatu sebagai satu bangsa dalam arti politik. Semakin besar jumlah individunya yang mau bersatu, semakin kuatlah persatuan bangsa itu. Dengan ungkapan lain hakekatnya tidak lain dari keinsafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun menjadi satu, keinsafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsafan itu bertambah besar oleh karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat, oleh karena jasa bersama, kesengsaraan bersama, pendeknya oleh karena peringatan kepada riwayat bersama yang tertanam dalam hati dan otak. Kemauan untuk bersatu itu bisa mengendor dan bisa semakin kuat,tergantung kepada berkurang atau bertambah kuatnya, perasaan senasib dan setujuan itu.[55]
Kemauan untuk bersatu itu mungkin saja mula-mula dimiliki oleh sejumlah kecil individu, tetapi lambat laun, melalui propaganda, pendidikan, dan lain-lain kemauan itu menjadi milik orang banyak. Faktor kesatuan bahasa, satu agama, dan satu ras, dapat menjadi basis yang memperkuat nasionalisme, tetapi bukanlah faktor yang mutlak harus ada. Kesatuan politik yang didukung oleh faktor di atas niscaya kuat sekali persatuannya, tapi dalam kenyataan dewasa ini mungkin tidak ada lagi suatu negara nasional dengan satu agama, satu bahasa, dan satu ras.[56]
Dilihat dari sudut Islam, kemauan untuk bersatu dalam kesatuan negara itu tidak ada salahnya. Islam mengakui bahwa Tuhan memang menjadikan manusia itu berkelompok-kelompok, berkabilah, dan berbangsa-bangsa. Tidak ada salahnya muncul unit-unit manusia (masyarakat) dari yang sekecil-kecilnya sampai yang sebesar-besarnya: unit satu keluarga, satu desa, seprovinsi, senegara, sebenua, dan seterusnya. Syaratnya selagi tidak untuk bermusuh-musuhan atau menghalangi untuk saling berkenalan, berbuat baik atau berbuat yang ma’ruf. Dasar pendirian ini dapat ditemukan dalam kitab al-Qur’an Surat al-Hujurat ayat 13:[57]
Artinya : “Wahai manusia, Kami menciptakanmu dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya, yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.” (Al-Hujurat:13).
Semangat nasionalisme merupakan semangat kelompok manusia yang hendak membangun suatu bangsa yang mandiri, dilandasi satu jiwa dan kesetiakawanan yang besar, mempunyai kehendak untuk bersatu dan terus menerus ditingkatkan untuk bersatu, dan menciptakan keadilan dan kebersamaan.[58]
Nasionalisme yang cocok dengan Islam adalah nasionalisme yang memupuk persahabatan dan kerjasama yang adil antar bangsa, nasionalisme yang saling membantu untuk kebaikan, bukan untuk berbuat dosa dan permusuhan. Tegasnya nasionalisme yang paling cocok dengan Islam adalah corak nasionalisme yang tidak meletakkan loyalitas kepada tanah air di atas segala-galanya, tetapi meletakkan loyalitasnya kepada Allah dan Rasul-Nya di atas dari segalanya.[59]
Nasionalisme juga dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 126 sebagai berikut:
Artinya:
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan berikanlah rezki kepada penduduknya dari (berbagai macam) buah-buahan, (yaitu penduduknya) yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” Allah berfirman: “Dan siapa yang kafir maka Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku memaksanya menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali“.[60]

Dan juga di jelaskan dalam surat Ibrahim ayat 35 sebagai berikut:
Artinya :
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku agar tidak menyembah berhala.[61]
Jadi berdasarkan kedua ayat tersebut bahwasanya nasionalisme merupakan sikap yang mempertahankan kedaulatan dan keamanan bangsa agar tidak ada terjadinya pertikaiann yang merusak persatuan dalam suatu negara yang merdeka.
Cinta tanah air yang merupakan pengertian sempit dari nasionalisme tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, bahkan inklusif di dalam ajaran Al-Qur’an dan praktek Nabi Muhammad SAW.[62]
Ketika Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah beliau shalat mengadap Bait Al-Maqdis. Tetapi, setelah 16 bulan rupanya beliau rindu kepada Makkah dan Ka’bah, karena merupakan kiblat leluhurnya dan kebanggan orang-orang Arab. Begitu tulis Al-Qasimi dalam taksirannya. Wajah beliau berbolak-balik mengadah ke langit, bermohon agar kiblat diarahkan ke Makkah, maka Allah merestaui keinginannya ini dengan menurunkan firmannya:[63]
Artinya: “Sungguh kami (senang melihat wajahmu menghadang ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah masjid Al-Qaram)(QS Al-Baqarah 2: 144).[64]
Cinta beliau kepada tanah tumpah darahnya tampak pula ketika meninggalkan kota Makkah dan berhijrah ke Madinah. Sambil menengok ke kota Makkah beliau berucap :
“Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah bumi Allah yang paling aku cintai, seandainya bukan yang bertempat tinggal di sini mengusirku, niscaya aku tidak akan meninggalkannya.”[65]
Dan ketika Nabi Pertama sampai di Madinah beliau berdoa lebih dahsyat:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا وَفِي مُدِّنَا وَصَحِّحْهَا لَنَا وَانْقُلْ حُمَّاهَا إِلَى الْجُحْفَةِ قَالَتْ وَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ وَهِيَ أَوْبَأُ أَرْضِ اللَّهِ قَالَتْ فَكَانَ بُطْحَانُ يَجْرِي نَجْلًا تَعْنِي مَاءً آجِنًا
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ya Allah, jadikanlah Madinah sebagai kota yang kami cintai sebagaimana kami mencintai Makkah atau bahkan lebih dari itu. Ya Allah, berikanlah barakah kepada kami dalam timbangan sha' dan mud kami sehatkanlah (makmurkan) Madinah buat kami dan pindahkanlah wabah demamnya ke Juhfah". 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; Ketika kami tiba di Madinah, saat itu Madinah adalah bumi Allah yang paling banyak wabah bencananya. Sambungnya lagi: "Lembah Bathhan mengalirkan air keruh yang mengandung kuman-kuman penyakit". (HR al-Bukhari)[66]
Sahabat-sahabat Nabi Saw. pun demikian, sampai-sampai Nabi Saw. bermohon kepada Allah:
“Wahai Allah, cintakanlah kota Madinah kepada kami, sebagaimana engkau mencintakan kota Makkah kepada kami, bahkan lebih (HR Bukhari, Malik dan Ahmad).”[67]
Memang, cinta kepada tanah tumpah darah merupakan naluri manusia, dan karena itu pula Nabi Saw. menjadikan salah satu tolok ukur kebahagiaan adalah "diperolehnya rezeki dari tanah tumpah darah". Sungguh benar ungkapan, "hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih senang di negeri sendiri."[68]
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ رَاحِلَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا
"Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ja'far dari Humaid dari Anas radliallahu 'anhu berkata; Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam apabila pulang dari bepergian dan melihat dataran tinggi kota Madinah, Beliau mempercepat jalan unta Beliau dan bila menunggang hewan lain Beliau memacunya karena kecintaannya (kepada Madinah)”(HR al-Bukhari).[69]
Bahkan Rasulullah SAW. mengatakan bahwa orang yang gugur karena membela keluarga, mempertahankan harta, dan negeri sendiri dinilai sebagai syahid sebagaimana yang gugur membela ajaran agama. Bahkan Al-Quran menggandengkan pembelaan agama dan pembelaan negara dalam firman-Nya:[70]
Allah tidak melarang kamu berbuat baik, dan memberi sebagian hartamu (berbuat adil) kepada orang yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama, mengusir kamu dari negerimu, dan membantu orang lain mengusirmu (QS Al-Mumtahanah [60]: 8-9).[71]

E.     PENUTUP
Nasionalisme menurut Sartono Kartodirjo, nasionalisme adalah ideologi yang mencakup lima prinsip yaitu unity (kesatuan) yang merupakan syarat yang tidak bias ditolak, liberty (kemerdekaan) termasuk kemerdekaan untuk mengemukakan pendapat, equality (persamaan) bagi setiap warga untuk mengembangkan kemampuannya masing-masing, personality (kepribadian) yang terbentuk oleh pengalaman budaya dan sejarah bangsa, dan performance dalam arti kualitas atau prestasi yang dibanggakan kepada bangsa lain.
Nasionalisme merupakan gejala modern, tetapi tidak ada kesepakatan mengenai darimana muncul dan berkembangnya nasionalisme. Nasionalisme muncul pertama di Inggris pada abad ke-17 ketika terjadi revolusi Purittan. Pada kesepakatan bahwa nasionalisme berawal dari barat kemudian menyebar ke timur sampai ke Indonesia.
Semangat nasionalisme Indonesia sudah mulai terasa pada saat berdirinya organisasi Boedi Oetomo, kemudian diikuti oleh organisasi-organisasi yang lainnya. Usaha-usaha yang telah dirintis sejak semula telah membuahkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Isinya menyatakan: Berbangsa satu, Bangsa Indonesia; Berbahasa satu, Bahasa Indonesia; Bertanah air satu, Tanah air Indonesia; satu tekad yang kompak yang akhirnya setelah melalui pahit getirnya perjuangan menjelmakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Nasionalisme dari sudut pandang Islam mengakui bahwa Tuhan memang menjadikan manusia itu berkelompok-kelompok, berkabilah, dan berbangsa-bangsa. Tidak ada salahnya muncul unit-unit manusia (masyarakat) dari yang sekecil-kecilnya sampai yang sebesar-besarnya: unit satu keluarga, satu desa, seprovinsi, senegara, sebenua, dan seterusnya. Syaratnya selagi tidak untuk bermusuh-musuhan atau menghalangi untuk saling berkenalan, berbuat baik atau berbuat yang ma’ruf.
Nasionalisme yang cocok dengan Islam adalah nasionalisme yang memupuk persahabatan dan kerjasama yang adil antar bangsa, nasionalisme yang saling membantu untuk kebaikan, bukan untuk berbuat dosa dan permusuhan. Tegasnya nasionalisme yang paling cocok dengan Islam adalah corak nasionalisme yang tidak meletakkan loyalitas kepada tanah air di atas segala-galanya, tetapi meletakkan loyalitasnya kepada Allah dan Rasul-Nya di atas dari segalanya.




DAFTAR PUSTAKA
Yatim, Badri. 1999.Soekarno Islam dan Nasionalisme. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Murod,Abdul Choliq. Nasionalisme Dalam Perspektif Islam. Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XVI, No. 2 Agustus 2011
Dault,Adhyaksa. 2005.Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Mugiyono. 2016. Relasi Nasionalisme dan Islam serta pengaruhnya terhadap kebangkitan dunia Islam global. Palembang: jurnal.radenfatah.ac.id.
Silaban, Winner.Pemikiran Soekarno Tentang  Nasionalisme. Jurnal Dinamika Politik, Vol.1, No.3, Desember 2012.
Kartodjo,Sartono.2013. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hendrastomo,Grendi. Nasionalisme vs Globalisasi “Hilangnya Semangat Kebangsaan dalam Peradaban Modern”. Jurnal DIMENSIA, Volume 1, No 1, Maret 2007.
Naseh,Ahmad Hanany.Nasionalisme Dalam Tinjauan Islam. Jurnal Ulumuddin Volume 4, Nomor 2, Desember 2014.
Shihab,Quraish. 1996.Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Suryadinata, Leo. 2010.Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Abdurrahman, Fadhil dkk. 2013. Al-Qur’an dan Terjemahan Al-Hikmah. Bandung: Diponegoro.
Kitab 9 Imam.



[1]Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 57-58.
[2] Grendi Hendrastomo, Nasionalisme vs Globalisasi “Hilangnya Semangat Kebangsaan dalam Peradaban Modern” Jurnal DIMENSIA, Volume 1, No 1, Maret 2007, hlm 3
[3]Badri Yatim, Op.cit., hlm. 58.
[4]Ibid.,
[5] Ibid.,
[6]Ibid.,
[7]Ibid.,
[8]Ibid,. hlm. 59
[9]Ibid.,
[10]Abdul Choliq Murod, Nasionalisme Dalam Perspektif Islam,Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XVI, No. 2 Agustus 2011, hlm. 47
[11] Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 2.
[12]Abdul Choliq Murod, Op.Cit.
[13]Ibid.,
[14]Ibid.,
[15] Mugiyono, Relasi Nasionalisme dan Islam serta pengaruhnya terhadap kebangkitan dunia Islam global, jurnal.radenfatah.ac.id (Palembang, 2016) hlm: 3.
[16] Badri Yatim, Op.Cit., hlm. 64
[17]Ibid., hlm. 65
[18]Ibid., hlm. 68
[19] Mugiyono, Op.cit. hlm. 4
[20]Badri Yatim, Op.cit. hlm. 74
[21] Mugiyono, Op.cit.
[22] Adhyaksa Dault, Op.cit., hlm. 6
[23] Badri Yatim, Op.cit. hlm. 72
[24]Ibid.,
[25]Ibid, hlm. 74
[26]Ibid.,
[27]Ibid,hlm.75
[28]Ibid.,
[29] Adhyaksa Dault, Op.cit., hlm. 10
[30] Badri Yatim, Op.cit., hlm.79
[31] Adhyaksa Dault, Op.cit.,
[32] Badri Yatim, Op.cit., hlm.80
[33]Ibid.,
[34]Ibid., hlm. 82
[35]Ibid., hlm. 83
[36]Ibid.,
[37] Winner Silaban, Pemikiran Soekarno Tentang  Nasionalisme, Jurnal Dinamika Politik, Vol.1, No.3, Desember 2012, hlm. 3-4
[38] Badri Yatim Op.Cit., hlm. 85
[39] Sartono Kartodjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 228.
[40]Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), hlm 150.
[41] Winner Silaban, Op.Cit., hlm. 4.
[42] Adhyaksa Dault, Op.Cit., hlm. 39.
[43]Abdul Choliq Murod, Op.cit., hlm. 48
[44]Adhyaksa Dault, Op.cit. hlm. 39-40.
[45]Ahmad Hanany Naseh, Nasionalisme Dalam Tinjauan Islam, Jurnal Ulumuddin Volume 4, Nomor 2, Desember 2014, hlm. 16.
[46]Sartono Kartodjo, Op.cit.hlm. 107.
[47]Ibid, hlm. 109.
[48]Ibid, hlm. 109-110.
[49]Badri Yatim, Op.cit. hlm. 20.
[50]Ahmad Hanany Naseh, Op.cit., hlm. 17.
[51]Ibid,.
[52]Abdul Choliq Murod, Op.cit., hlm. 49.
[53]Ahmad Hanany Naseh, Op.cit., hlm. 18.
[54]Ibid, hlm. 18-19.
[55]Ibid, hlm. 19.
[56]Ibid,.
[57]Ibid, hlm. 20.
[58]Adhyaksa Dault, Op.cit. hlm. 3.
[59]Ahmad Hanany Naseh,Op.cit., hlm. 21-22.
[60]Fadhil Abdurrahman dkk, Al-Qur’an dan Terjemahan Al-Hikmah. QS Al-Baqarah 126 (Bandung: Diponegoro, 2013) hlm. 19.
[61]Ibid, QS. Ibrahim 35, hlm. 260.
[62]Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan 1996) hlm: 344
[63]Ibid, hlm 344
[64]Fadhil Abdurrahman dkk, Op.cit., QS Al-Baqarah 144, hlm. 22.
[65] Quraish Shihab, Op.cit.
[66]Di akses di Aplikasi Kitab 9 Imam.
[67]Quraish Shihab, Op.cit. hlm. 345
[68]Ibid.,
[69]Kitab 9 Imam, Op.cit.
[70]Quraish Shihab, Op.cit. hlm. 345.
[71]Fadhil Abdurrahman dkk, Op.cit., QS Al-Mutamimah 8-9, hlm. 550.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar