INTEGRASI ILMU SOSIAL DAN HADITS
(Pemahaman
Hadits dengan Ilmu-ilmu Sosial)
Fachrun Nur Muhiba, Deri Indra dan Vicke Sendi W
Mahasiswa
Pendidikan Ilmu Sosial Kelas D Angkatan 2015
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: fachrunmuhiba22@gmail.com
Abstract
In this article
will be discussed about the Integration of Social Sciences and Hadith
(Understanding Hadith with the Social Sciences). The discussion covers the
positions of social sciences and hadith, the relation of social sciences and
hadith as well as the understanding of the hadith with the tools of social
science. Hadith is a passive object of material and social science is a formal
(approach) active move on material objects. In social science itself consists
of the science of sociology, economics, history, politics, geography,
anthropology, psychology. The social sciences and the hadith of the prophet are
in essence a specification of the great project of religious and science
integration. This scientific integration aims to illustrate that there is no
difference between science and religion. Both should not stand alone
separately, but must integrate and jointly solve the problems of the people.
Abstrak
Dalam artikel
ini akan dibahas tentang Integrasi Ilmu Sosial dan Hadits (Pemahaman Hadits
dengan Ilmu-ilmu Sosial). Pembahasannya meliputi posisi ilmu-ilmu sosial dan
hadits, relasi ilmu-ilmu sosial dan hadits serta pemahaman hadits dengan
perangkat ilmu sosial. Hadist merupakan objek material yang bersatus pasif dan
ilmu sosial bersifat formal ( pendekatan) bergerak aktif pada objek material.
Dalam ilmu sosial sendiri terdiri dari ilmu sosiologi, ilmu ekonomi, ilmu
sejarah, politik, ilmu geografi, antropologi, psikologi. Ilmu-ilmu sosial dan
hadits nabi pada hakikatnya merupakan spesifikasi dari proyek besar integrasi
agama dan ilmu. Integrasi keilmuan ini bertujuan untuk menggambarkan bahwa
dalam Islam tidak ada perbedaan antara ilmu agama dan ilmu umum. Keduanya tidak
boleh berdiri sendiri secara terpisah, tetapi harus berintegrasi dan secara
bersama-sama memecahkan persoalan umat.
Keyword:
Integrasi, Ilmu Sosial, dan Hadist Nabi
A.
Pendahuluan
Integrasi berasal dari bahasa Inggris “ Integration” yang berarti keseluruhan. Integrasi merupakan sebuah
sistem yang mengalami perpaduaan hingga menjadi suatu kesatuan yang utuh. Pemikiran
tentang integrasi ilmu pengetahuan saat ini banyak dilakukan oleh kalangan
intelektual. Hal ini dilakukan karena mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Ilmu sosial
adalah ilmu yang berisi mengenai interaksi antara manusia dengan manusia secara
individu, manusia dengan kelompok, maupun manusia secara sama-sama berkelompok.
Sedang pengertian hadist adalah sumber hukum islam yang kedua setelah al-Quran.
Keberadaannya dalam kerangka ajaran islam merupakan penjelas apa yang ada
didalam al-Quran. Disamping itu, perannya semakin penting jika didalam
ayat-ayat al-Quran tidak ditemukan suatu ketetapan, maka hadist dapat dijadikan
dasar hukum dalam dalil-dalil keagamaan.
Dalam islam ilmu merupakan salah satu perantara untuk memperkokoh
keimanan diri kita. Ajaran islam tidak pernah membedakan antara ilmu satu
dengan ilmu yang lain. Semua ilmu sama halnya berasal dari Allah seperti ilmu
agama maupun maupun ilmu umum dan yang lainnya. Islam juga menganjurkan kepada
seluruh umatnya untuk bersungguh-sungguh mempelajari ilmu pengetahuan.
Di zaman modern ini para intelektual muslim sudah banyak yang berfikir
tentang integrasi ilmu umum dengan ilmu agama. Dengan sebuah konsep bahwa umat
islam akan dapat mengimbangi para ilmuan dari barat apabila mereka mampu
mengembangkan ilmu baru hasil dari integrasi ilmu agama dan ilmu umum.
Berdasarkan pemikiran diatas artikel yang akan kami bahas berisi tentang
integrasi dua ilmu yang mempunyai kajian yang berbeda yaitu tentang hadist dan
ilmu-ilmu sosial. Hadist
merupakan objek material yang bersatus pasif dan ilmu sosial bersifat formal (
pendekatan) bergerak aktif pada objek material. Dalam ilmu sosial sendiri
terdiri dari ilmu sosiologi, ilmu ekonomi, ilmu sejarah, politik, ilmu
geografi, antropologi, psikologi. Ilmu-ilmu sosial dan hadits nabi pada
hakikatnya merupakan spesifikasi dari proyek besar integrasi agama dan ilmu.
B.
Posisi Ilmu-ilmu sosial dan Hadist Nabi
1.
Pengertian Ilmu Sosial dan Ruang Lingkupnya
Secara umum, ilmu sosial terdiri dari dua suku kata yaitu
ilmu dan sosial. Dalam bahasa Inggris, ilmu merupakan Science yang
berasal dari bahasa latin Scientia yang berarti pengentahuan. The Liang
Gie,menyatakan bahwa ilmu dipandang sebagai kumpulan pengetahuan sistematis,
metode penelitian, dan aktivitas penelitian. Selanjutnya, Soekanto menyatakan
bahwa Ilmu Pengetahuan (Science) adalah pengetahuan (Knowledge)
yang tersusun sistematis denan menggunakan kemampuan pikiran, pengetahuan
selalu dapat diperiksa dan dianalisis oleh setiap orang lain yang ingin
mengetahuinya.[1]
Sedangkan
dalam bahasa Inggris sosial merupakan Social yang memiliki arti luas.
Ilmu-ilmu sosial belum mempunyai kaidah-kaidah dan dalil tetap yang diterima
oleh bagian terbesar masyarakat. karena, ilmu-ilmu tersebut belum lama
berkembang. Sedangkan, yang menjadi objeknya adalah masyarakat atau manusia
yang selalu berubah-ubah.[2] Dengan kata
lain objek dari ilmu sosial adalah masyarakat.
Secara
lebih jauh, Ralf Dahrendorf megemukakan pendapat bahwa ilmu sosial adalah suatu
rancangan yang ambisius untuk mendefinisikan seperangkat disiplin akademik yang
memberikan perhatian pada aspek-aspek kemasyarakatan manusia. Menurut Ralf
Dahrendorf, bentuk tunggal ilmu sosial menunjukan sebuah komunitas yang
berdekatan yang saat ini hanya dituntut oleh beberapa orang saja dan kurang
akurat. Namun bentuk pluralnya adalah ilmu-ilmu sosial, menggambarkan bentuk
yang lebih tepat. [3]Ilmu-ilmu sosial mencakup banyak bidang, antara lain,
Sosiologi, Antropologi, Psikologi, Ekonomi, Geografi, Politik, Sejarah meskipun
di satu sisi ilmu tersebut merupakan ilmu humaniara.
Sedangkan sampai saat ini para ahli tidak memiliki
kesepakatan yang bulat mengenai ruang lingkup ilmu sosial itu sendiri.
Wallerstein, yang merupakan ahli di bidang ini mengelompokkan beberapa disiplin
ilmu yang dikategorikan sebagai ilmu sosial itu terbagi menjadi sosiologi,
Antropologi, Geografi, Ekonomi, Sejarah, Psikologi, Hukum, dan Ilmu Politik.
Sedangkan Brown, yang juga ahli dibidang ini dalam karyanya yang berjudul Explanation
in Social Science bahwa yang termasuk dalam paket ilmu sosial meliputi
Sosiologi, Ekonomi, Sejarah, Demografi, Ilmu Politik, dan Psikologi. Dari kedua
pendapat tersebut, perbedaan yang mendasar terletak pada pendapat Wallerstein
yang memiliki tambahan kategori pada Hukum. Sedangkan Brown yang memiliki
kategori Demografi.[4]
Meskipun terdapat berbagai perbedaan tentang apa yang
disebut ilmu sosial. Namun, semua mengarah kepada pemahaman yang sama bahwa
ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan aktivitas sosial dalam
kehidupan bermasyarakat.
Dadang
Supardan, dalam bukunya yang bejudul “Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian
Pendekatan Struktural” menerangkan bahwa yang termasuk dalam cabang ilmu-ilmu
sosial adalah Antropologi, Psikologi, Ilmu Sejarah, Ilmu Geografi, Ilmu
Politik, Sosiologi, dan Ekonomi.
Ilmu
Antropologi, adalah ilmu yang membahas mengenai manusia, yang dimaksud mengenai
manusia adalah masa lalu dan kini, yang menggambarkan manusia melalui
pengetahuan ilmu sosial dan ilmu hayati atau alam, dan juga humaniora
atau ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih
manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih berbudaya. Lalu ilmu psikologi adalah ilmu yang mempelajari mengenai perilaku manusia.
Ilmu
sejarah adalah ilmu yang mempelajari tentang peristiwa yang telah terajadi di
masa lalu. Ilmu geografi adalah ilmu yang mempelajari tentang keadaan bumi,
sebagai contoh gunung, laut, dan sejenisnya.
Sedangkan ilmu politik adalah ilmu yang mengkaji tentang
kekuasaan. Cabang ilmu ini lebih membahas mengenai analisis sistem politik.
Lalu ilmu sosiologi adalah ilmu yang membahas tentang interaksi sosial dan
perubahan sosial.
Selanjutnya
ilmu ekonomi adalah cabang ilmu yang mempelajari perilaku manusia yang mencakup
adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan
alat kebutuhan manusia yang jumlah tidak terbatas.[5]
C.
Relasi ilmu-ilmu sosial dan
hadits Nabi
Teks al-Qur’an
maupun hadis, meskipun berasal dari Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai pembuat
syariat, tetapi patut disadari bahwa audensinya adalah manusia, sehingga
manusia mempunyai peran dalam proses interpretasi kedua sumber ajaran itu. Dengan
demikian, paradigma yang diusung di sini bukan lagi sekedar teosentris, yaitu
pengetahuan yang berasal pada Tuhan semata, tetapi lebih padaparadigma
teo-antroposentris yang merupakan penggabungan dua dimensi pengetahuan yang
berbeda, yaitu dimensi ketuhanan dan kemanusiaan.
Relasi ilmu-ilmu
sosial dan hadits nabi pada hakikatnya merupakan spesifikasi dari proyek besar
integrasi agama dan ilmu. Integrasi keilmuan ini bertujuan untuk menggambarkan
bahwa dalam Islam tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Keduanya
tidak boleh berdiri sendiri secara terpisah, tetapi harus berintegrasi dan
secara bersama-sama memecahkan persoalan umat. Dengan perkembangan dan
perubahan-perubahan yang semakin cepat diharapkan adanya relasi antara
ilmu-ilmu sosial dengan hadits dapat mengatasi suatu permasalahan yang terjadi
sehingga dalam bertindak seseorang selalu berpedoman pada hadits nabi setelah
berpedoman pada al-quran. Karena untuk memahami suatu hadits yang juga
merupakan pedoman bagi umat islam kita juga harus mempelajari sejarah yang ada
pada zaman dahulu juga letak geografis umat islam serta keadaan masyarakat pada
zaman dahulu dari berbagai aspek sehingga dalam hal ini kedua ilmu tersebut
sangat berhubungan dan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, keduanya saling
melengkapi hingga menjadikan umat berjalan dijalan yang lurus.[6]
D.
Integrasi Ilmu – Ilmu Sosial dan
Hadist Nabi
Pemahaman Hadist dengan Ilmu-Ilmu Sosial
a)
Pemahaman Hadist
Pemahaman
hadist atau dikenal dengan fahm al-hadist
, mana al-hadist dan konstekstualisasi
hadist berbeda dengan naqd mant al-hadis.
Penelitian mant hadist lebih mengutamakan keabsahan redaksi maupun informasi
yang terkandung dalam suatu hadist. Sebaliknya, dalam pemahaman hadist hanya
sebatas pemahaman hadist sesuai dengan kaidah yang berlaku dan didahului dengan
adanya penelitian status kemurnian hadist yang dikaji dari sisi sanad dan mant.[7]
Secara
sosialogis, orang dapat mengatakan bahwa munculnya rumusan sunnah yang
tergolong lemah baik dari segi matan
maupun dari segi sannad dapat saja
terjadi, lantaran hadist bersatus kedua setelah al-Quran sebagai sumber hukum,
tanpa memilih secara rinci dalam hal apa hadist berstatus demikian.[8]
Secara
garis besar, tipologi pemahaman ulama dan umat terhadap hadist dibedakan
menjadi dua bagian: yang pertama adalah tipologi pemahaman yang mempercayai
hadist sebagai sumber kedua setelah al-Quran daripada ajaran Islam tanpa
mempedulikan proses panjang sejarah pengumpulan Hadist dan cara pembentukan
ajaran ortodoksi. Yang kedua adalah golongan yang mempercayai hadist sebagai
sumber ajaran kedua setelah al- Quran daripada ajaran agama Islam, namun dengan
menggunakan kritis-historis melihat dan mempertimbangkan asal-usul (asbab
al-wurud) hadist tersebut. Mereka memahami hadist secara konstektual. Jenis pemahaman yang kedua ini tidak begitu terkenal
karena pamahaman ini mulai hilang oleh pemikiran ahl al-sunnah wal jamaah, yang
lebih menyukai memahami hadist secar tekstual. Pemahamn secara tekstual ini
diperlukan oleh ahl-sunnah wal jamaah karena di dorong untuk menjaga dan
mempertahankan ekuilibrium kekuatan ajaran ortodok.[9]
Sementara
itu, pemahaman hadist sendiri dalam tata kebahasaan berasal dari kata paham
yang memiliki arti : pendapat, pikiran, aliran, halauan, pandang mengenai suatu
hal yang dianggap benar. Pemahamn sendiri diartikan sebagai proses perbuatan,
cara memahami, memahamkan. Dengan demikian pemahaman merupakan konsep yang
tertatam didalam otak ketika melihat sesuatu yang diinterpretasikan.[10]
b)
Pemahamn Hadist dengan Perangkat
Ilmu- Ilmu Sosial
Pemahaman
hadis ini, dilakukan dengan mendalami tentang sejarah nabi yang terjadi di masa
lalu. Aspek penting yang harus dicatat dalam adanya upaya kritisisme pada
hadis nabi baik itu berupa kritik, eksternal (sanad), maupun internal (matan),
dari proses inilah dapat ditemukan makna yang dekat dengan tradisi nabi. Lebih
dari itu, harus ada upaya pembongkaran makna yang terkandung didalamnya (fiqih
al-hadis), yang dicampurkan dengan pendekatan history kritis, baik
yang bersifat mikro maupun bersifat
makro. Pendekatan ini sangat penting karena sejarah Nabi pada saat ini berbeda
jauh dengan dahulu. Dari hasil upaya ini kita dapat mengetahui latar belakang
dari kemunculan suatu hadis dan kemudian memahami bagimana cara menerapkannya
pada masa sekarang.[11]
Seperti
yang dijelaskan sebelumnya perlu bagi kita untuk mengaplikasikan cabang ilmu
sosial seperti, ilmu Antropologi, ilmu Sosiologi, ilmu Sejarah dalam memahami
hadist Nabi. Ilmu Antropologi, adalah ilmu yang membahas mengenai manusia, yang
dimaksud mengenai manusia adalah masa lalu dan kini, yang menggambarkan manusia
melalui pengetahuan ilmu sosial dan ilmu hayati atau alam, dan juga humaniora
atau ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih
manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih berbudaya. Ilmu Sosiologi adalah ilmu yang membahas tentang interaksi
sosial dan perubahan sosial. Ilmu sejarah adalah ilmu yang mempelajari tentang
peristiwa yang telah terajadi di masa lalu.
Segala
aspek yang berkaitan erat dengan diri Nabi dan suasana yang melatarbelakangi
suatu hal-hal yang dapat menyebabkan munculnya suatu hadist maka hal itu
memiliki hal yang penting untuk pemahaman suatu hadist.[12]
Namun,
demikian untuk memahami maksud suatu hadist secara baik terkadang sangat tidak
mudah, terutama jika kita menjumpai hadist-hadist yang nampak saling
bertentangan. Dari hal inilah bisanya para ulama hadist menempuh metode tarjih (pengulanggan) atau nasakh-mansukh (pembatalan) dan metode al-jam’u (mengompromikan) atau tawaqquf
(mendiamkan) untuk tidak mengamalkan hadist sampai ditemukan keterangan, hadist
manakah yang bisa diamalkan.
Disamping
itu, dalam pemahaman ilmu hadist dikenal bahwa hadist ada yang memiliki asbabul wurud khusus, ada pula yang
tidak. Persoalannya adalah bagaimana jika suatu hadist itu tidak memiliki
asbabwul wurud secara khusus. Menurut H.Said Agil Husin Munawwar dalam bukunya
untuk melakukukan analisis pemahaman hadist dengan menggunakan pendekatakan
historis, sosiologis, antropologis bahkan mungkin juga pendekatan psikologis.
Disamping itu, hadist kebanyakan berisi tentang hal-hal yang bersifat teknis
dan jus’i sehingga boleh jadi ruh
(spirt) nya universal, namun teksnya bersifat bayan al-waqi’ dalam mengungkapkan
realitas masyarakat saat itu.[13]
Melalui
pendekatan-pendekatan yang telah disebutkan diatas diharapkan bisa memberikan
pemahaman hadist yang lebih tepat, dan akomodatif terhadap perubahan dan
perkembangan zaman. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa dalam memahami
suatu hadist tidak hanya terpaku pada dhahirnya teks hadist, namun harus
mengaitkannya dengan keadaan sosio-kultural pada waktu itu. Selain itu, melalui
hadist-hadist Nabi SAW sebagai mitra al-Quran diharapkan bisa membantu
masyarakat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang yang terjadi pada masa
sekarang. [14]
Kemudian
yang dimaksud dengan pendekatan historis, sosiologis, antropologis itu sendiri
adalah suatu upaya memahami hadist dengan cara mempertimbangkan kondisi
historis-empiris pada waktu Nabi SAW menyampaikan hadist. Jadi yang dimaksud
dengan pendekatan historis itu sendiri adalah cara mengaitkan antara ide atau
gagasan yang terdapat pada hadist dengan mementukan kondisi sosial dan kultural
disekitarnya. Sedangkan dari pendekatan sosiologis lebih mempehatikan perilaku
manusia dalam mengamalkan hadist tersebut. Selanjutnya pendekatan antropologi
merupakan pendekatan yang memperhatikan terbentuknya polo-pola perilaku
masyarakat pada tatatan nilai yang dianut.[15]
Integrasi
ilmu-ilmu sosial dan hadist berpijak pada suatu prinsip yang disebut Shifting Paradigm ( pergeseran gugusan
pemikiran keilmuan). Dimana kegiatan ilmu pengetahuan baik natural sciences maupun social
sciences akan selalu bersifat historis, karena ilmu itu dirancang dan
dirumuskan oleh akal budi manusia yang juga bersifat historis. Sedangkan yang
dimaksud bersifat historis menurut penulis yaitu terikat oleh ruang dan waktu
yang terpengaruh oleh perkembangan pemikiran dan kehidupan sosial yang
mengitari penggal waktu tertentu. Dilihat dari aspek tersebut dapat
memungkinkan terjadinya perubahan, pergeseran, perbaikan, perumusan kembali, nasikh dan mansukh, serta penyempurnaan rancangan bangun sumber-sumber
keilmuan. Jika tidak demikian, maka kegiatan keilmuan akan berhenti dengan
sendirinya alias bersifat statis. Islamic Studies dalam artian kegiatan keilmuan
sangatlah kaya nuansa sehingga dimungkinkan untuk bisa diubah, dikembangkan,
diperbaiki, dirumuskan kembali, disempurnakan sesuai dengan perkembangan zaman
yang mengitarinya.[16]
Seperti
yang dijelaskan tadi bahwasannya studi hadist merurupan bagian dari Islamic
Studies yang harus mengalami proses Shiffing
Paradigma. Dalam hal ini, ia melakukan aktivitas integrasi keilmuan dengan
ilmu-ilmu yang sedang berkembang di era moderen contohnya saja dengan ilmu
sosial. Dari kedua ilmu inilah (ilmu sosial dan hadist) maka akan bisa
menimbulkan dialektika dan bertukar pikiran yang akan memunculkan perubahan,
pergeseran, penyempuraan kembali. Perlu kita sadari di zaman sekarang ini ilmu
hadist sangat membutuhan perangkat metodologis yang lebih modern sebagi hasil perpaduan
dengan keilmuan modern seperti ilmu-ilmu sosial.[17]
Lebih
lanjut tentang integrasi ilmu-ilmu sosial dan hadist, yang telah disebutkan
bawasannya dalam ilmu sosial terdapat pendekatan diantaranya ada pendekatan
Sosiologis, Antropologis dan Sejarah. Hal ini mengandung arti bahwa hadist
merupakan objek material yang bersatus pasif dan ilmu sosial bersifat formal(
pendekatan) bergerak aktif pada objek material. Terdapat dua cara hadist
melakukan integrasi dengan ilmu-ilmu sosial yaitu, pertama adalah orang yang
telah berkecimping dalam wacana studi hadist mempelajari ilmu-ilmu sosial dan
mengamalkannya dalam kajian hadist. Kedua adalah orang yang telah bergulat
didalam ilmu-ilmu sosial mencoba untuk mempelajari hadist dengan latarbelakang
ilmu sosial yang dimilikinya.[18]
Terkait
pemahaman hadist dengan ilmu-ilmu sosial, salah satu hadist yang dibahas
yaitu berhubungan dengan keutamaan
bangsa Quraisy menjadi pemimpin suatu wilayah. Dimana tipe hadist ini ditemukan
dalam tiga kitab yaitu, shahih al-Bukhari, shahih Muslim, dan Musnad Ahmad bin
Hanbal dengan tiga gaya redaksi yang hampir mirip. Berikut tiga gaya redaksi
tersebut[19]
:
لَايَزَالُ هَذَا
الْلأَمرُ فِي قُرَيْشٍ مَابَقِيَ مِنْهُمْ اثْنَانِ (ا لْبُخَارِي) لَا يَزَالُ
هَذَا الْلأَمْرُ فِي قُرَيْشٍ مَابَقِيَ مِنْ النَاسِ اثْنَانِ ( مُسْلِم و احْمَدْ) لَايَزَالُ هَذَا الأَمْرُ فِي
قُرَيْشٍ مَا بَقِيَ فِي النَاسِ اثْنَانِ ( اَحْمَدْ)
Terjemahan secara generalnya adalah : “ Dalam urusan
ini ( beragama, bermasyarakat, dan bernegara ), orang Quraisy selalu ( menjadi
pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun merekahannya tinggal dua orang
saja”[20]
Dari
hal tersebut beberapa ahli fiqh seperti Al-Mawardi, Ibn Hasim dan Rasyid Ridha
berpendapat bahwa menempatkan keturunan Quraisy merupakan syarat utama untuk menjadi
seorang pemimpin pada masa Nabi. Hal tersebut merupakan inti dari pendapat
ketiga ahli fiqh tersebut meskipun memiliki perbedaan dalam penyampaiannya.[21]
Jika
hadist-hadist tentang syarat keturunan Quraisy menjadi seorang pemimpin
dipahami dengan pendekatan sosiologi, dapat diketahui bahwa dijadikannya
Quraisy sebagai satu syarat dalam imarah/imamah
yang dimaksudkan dapat menghilangkan perpecahan dengan bantuan solidaritas
atau fanatisme (ashabiyyah) dan superioritas. Hal itu disebabkan karena secara
sosiologis suku Quraisy termasuk golongan suku Mudhar, merupakan leluhur yang
paling tangguh dibandingkan dengan suku Mudhar lainnya.
Selain
itu, dalam teori ashabiyyah atau
solidaritas (fanatisme) kelompok ini bertolak dari anggapan bahwa seorang
kepala negara atau pemimpin mampu mengendalikan ketertiban dan keaaman negara,
baik itu berupa wibawa, intelektualitas dan kekuatan fisik yang memadai.[22]
Bertolak
dari teori ashabiyyah tersebut,
penetapan keturunan Quraisy oleh Nabi dalam memegang kepemimpinan didasarkan
pada kenyataan sosiologis bahwa pada saat itu orang Quraisy merupakan suku Arab
yang memiliki kualifikasi, tangguh, berwibawa, terkemuka, kuat dan memiliki
fanatisme tinggi. [23]Dari
kualifikasi tersebutlah kekuasan politik yang awalnya di pegang oleh Khuza’ah
akhirnya berpindah ke suku Quraisy dibawah pimpinan Qushai.[24]
Seiring berjalannya waktu dilihat dari keadaan sosial yang ada bahwa kekuasaan
kaum Quraisy mulai melemah, solidaritas yang adapun juga mulai pudar sehingga
menjadikan mereka lemah dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin.[25]
Melalui
hal inilah maka penelusuran hal-hal seputar hadist dengan perangkat ilmu-ilmu
sosial, misalnya sosiologi, antropologi, ilmu sejarah dan ilmu politik sangat
diperlukan untuk memaparkan pemahaman yang representatif dan ideal dari hadist
tersebut.
E.
Kesimpulan
Ilmu sosial
membahas tentang interaksi antar manusia yang terjadi di masyarakat. Ruang
lingkup ilmu sosial sendiri terdiri atas ilmu sosiologi, ilmu geografi, ilmu
sejarah, ekonomi, antropologi, dan politik. Relasi ilmu-ilmu sosial dan hadits
nabi pada hakikatnya merupakan spesifikasi dari proyek besar integrasi agama
dan ilmu. Integrasi keilmuan ini bertujuan untuk menggambarkan bahwa dalam
Islam tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Keduanya tidak boleh
berdiri sendiri secara terpisah, tetapi harus berintegrasi dan secara
bersama-sama memecahkan persoalan umat.
Integrasi
ilmu-ilmu sosial dan hadist berpijak pada suatu prinsip yang disebut Shifting Paradigm ( pergeseran gugusan
pemikiran keilmuan). Dimana kegiatan ilmu pengetahuan baik natural sciences maupun social
sciences akan selalu bersifat historis, karena ilmu itu dirancang dan
dirumuskan oleh akal budi manusia yang juga bersifat historis. Sedangkan yang
dimaksud bersifat historis menurut penulis yaitu terikat oleh ruang dan waktu
yang terpengaruh oleh perkembangan pemikiran dan kehidupan sosial yang
mengitari penggal waktu tertentu. Dilihat dari aspek tersebut dapat
memungkinkan terjadinya perubahan, pergeseran, perbaikan, perumusan kembali, nasikh dan mansukh, serta penyempurnaan rancangan bangun sumber-sumber
keilmuan. Jika tidak demikian, maka kegiatan keilmuan akan berhenti dengan
sendirinya alias bersifat statis. Islamic Studies dalam artian kegiatan
keilmuan sangatlah kaya nuansa sehingga dimungkinkan untuk bisa diubah,
dikembangkan, diperbaiki, dirumuskan kembali, disempurnakan sesuai dengan
perkembangan zaman yang mengitarinya
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Amin, Studi agama, Normativitas atau
Historisitas,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011)
Munawwar,
Husain Agil Said, dan Mustaqim, Abdul, ”
Asbabul Wurud : Studi Kritis Hadist Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual”
(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001)
Supardan, Dadang, Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural(Jakarta: Bumi Aksara, 2013)
Sukanto, Surjono, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo, Persada, 2013)
Afwadzi,
Benny, “Membangun
Integrasi Ilmu – Ilmu Sosial Dan Hadis
Nabi” : Jurnal living
hadis, vol 1,no 1, Mei 2016
Suryadi, dan
Suryadilaga, Alfatih Muhammad, “ Metodologi
Penelitian Hadis”(Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009)
Afwadzi,
Benny, “Hadis
di Mata Para Pemikir Modern: Telaah Buku Rethinking
Karya
Hammy, Khirul, ”
Reinterpretasi Hadits:upaya
kontekstualisasi Makna Hadist Melalui Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial Modern”, Jurnal
vol 1, nomer 1, Tahun 2011
Ali, Nizar, ” Hadis versus Sains”, (Yogyakarta: Teras,
2008)
Yatim, Badri, ”Sejarah Peradaban Islam”,(Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2013)
Catatan:
Makalah ini belum
menemukan kebaruan tulisan dari tulisan saya. Kebanyakan menulis kembali artikel
saya, sehingga kurang mempunyai signifikansi. Harusnya pemakalah menambah banyak
data-data lainnya.
[1]Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah
Kajian Pendekatan Struktural(Jakarta: Bumi Aksara, 2013), Hal 22.-23
[3]Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian
Pendekatan Struktural(Jakarta: Bumi Aksara, 2013), Hal 30.
[4]Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian
Pendekatan Struktural(Jakarta: Bumi Aksara, 2013), Hal 34.
[5] Benny Afwadzi, “Membangun
Integrasi Ilmu – Ilmu Sosial Dan Hadis
Nabi” : Jurnal
living hadis, vol 1,no 1, Mei 2016
[6] Benny Afwadzi,
Membangun
Integrasi Ilmu-Ilmu Sosial Dan Hadis Nabi: Jurnal living hadis, vol 1,no 1, Mei
2016, hlm. 106.
[7] Suryadi dan
Muhammad Alfatuh Suryadilaga “ Metodologi
Penelitian Hadis”(Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm 192
[8]
Amin
Abdullah,” Studi Agama:Normativitas atau
historisitas”( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal,313
[9] Ibid, hal.315
[10] Benny Afwadzi,
“ Membangun Integrasi Ilmu-ilmu sosial dan Hadis Nabi”, Jurnal living
hadis, vol 1,no 1, Mei 2016
[12] Benny Afwadzi,
“ Membangun Integrasi Ilmu-ilmu sosial dan Hadis Nabi”, Jurnal living
hadis, vol 1,no 1, Mei 2016
[13] Khirul Hammy,” Reinterpretasi Hadits:upaya kontekstualisasi
Makna Hadist Melalui Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial Modern”, Jurnal vol 1, nomer
1, Tahun 2011
[14] Said Agil
Husain Munawwar dan Abdul Mustaqim,”
Asbabul Wurud : Studi Kritis Hadist Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual”
(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001), hal. 25
[15] Ibid, hal. 26
[16] Amin Abdullah,”
Studi Agama:Normativitas atau
historisitas”( Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996), hal, 102
[17] Benny Afwadzi,
“ Membangun Integrasi Ilmu-ilmu sosial dan Hadis Nabi”, Jurnal living
hadis, vol 1,no 1, Mei 2016, hal.15
[18] Ibid., hal.16
[19] Ibid., Hal.117
[20] Ibid., Hal. 117
[21] Nizar Ali,” Hadis versus Sains”, (Yogyakarta: Teras,
2008),hal.93
[22] Ibid.,hal. 95
[23] Ibid.,hal.96
[24] Badri Yatim,”Sejarah Peradaban Islam”,(Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2013)hal.14
[25]
Nizar Ali,
“ Hadis Versus Sains” hal.96
Tidak ada komentar:
Posting Komentar