Selasa, 02 Mei 2017

Integrasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Hadis (P-IPS D Semester Genap 2016/2017)


INTEGRASI ILMU SOSIAL DAN HADITS
(Pemahaman Hadits dengan Ilmu-ilmu Sosial)
Fachrun Nur Muhiba, Deri Indra dan Vicke Sendi W
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Sosial Kelas D Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
In this article will be discussed about the Integration of Social Sciences and Hadith (Understanding Hadith with the Social Sciences). The discussion covers the positions of social sciences and hadith, the relation of social sciences and hadith as well as the understanding of the hadith with the tools of social science. Hadith is a passive object of material and social science is a formal (approach) active move on material objects. In social science itself consists of the science of sociology, economics, history, politics, geography, anthropology, psychology. The social sciences and the hadith of the prophet are in essence a specification of the great project of religious and science integration. This scientific integration aims to illustrate that there is no difference between science and religion. Both should not stand alone separately, but must integrate and jointly solve the problems of the people.

Abstrak
Dalam artikel ini akan dibahas tentang Integrasi Ilmu Sosial dan Hadits (Pemahaman Hadits dengan Ilmu-ilmu Sosial). Pembahasannya meliputi posisi ilmu-ilmu sosial dan hadits, relasi ilmu-ilmu sosial dan hadits serta pemahaman hadits dengan perangkat ilmu sosial. Hadist merupakan objek material yang bersatus pasif dan ilmu sosial bersifat formal ( pendekatan) bergerak aktif pada objek material. Dalam ilmu sosial sendiri terdiri dari ilmu sosiologi, ilmu ekonomi, ilmu sejarah, politik, ilmu geografi, antropologi, psikologi. Ilmu-ilmu sosial dan hadits nabi pada hakikatnya merupakan spesifikasi dari proyek besar integrasi agama dan ilmu. Integrasi keilmuan ini bertujuan untuk menggambarkan bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan antara ilmu agama dan ilmu umum. Keduanya tidak boleh berdiri sendiri secara terpisah, tetapi harus berintegrasi dan secara bersama-sama memecahkan persoalan umat.
Keyword: Integrasi, Ilmu Sosial, dan Hadist Nabi




A.  Pendahuluan
Integrasi berasal dari bahasa Inggris “ Integration” yang berarti keseluruhan. Integrasi merupakan sebuah sistem yang mengalami perpaduaan hingga menjadi suatu kesatuan yang utuh. Pemikiran tentang integrasi ilmu pengetahuan saat ini banyak dilakukan oleh kalangan intelektual. Hal ini dilakukan karena mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ilmu sosial adalah ilmu yang berisi mengenai interaksi antara manusia dengan manusia secara individu, manusia dengan kelompok, maupun manusia secara sama-sama berkelompok. Sedang pengertian hadist adalah sumber hukum islam yang kedua setelah al-Quran. Keberadaannya dalam kerangka ajaran islam merupakan penjelas apa yang ada didalam al-Quran. Disamping itu, perannya semakin penting jika didalam ayat-ayat al-Quran tidak ditemukan suatu ketetapan, maka hadist dapat dijadikan dasar hukum dalam dalil-dalil keagamaan.
Dalam islam ilmu merupakan salah satu perantara untuk memperkokoh keimanan diri kita. Ajaran islam tidak pernah membedakan antara ilmu satu dengan ilmu yang lain. Semua ilmu sama halnya berasal dari Allah seperti ilmu agama maupun maupun ilmu umum dan yang lainnya. Islam juga menganjurkan kepada seluruh umatnya untuk bersungguh-sungguh mempelajari ilmu pengetahuan.
Di zaman modern ini para intelektual muslim sudah banyak yang berfikir tentang integrasi ilmu umum dengan ilmu agama. Dengan sebuah konsep bahwa umat islam akan dapat mengimbangi para ilmuan dari barat apabila mereka mampu mengembangkan ilmu baru hasil dari integrasi ilmu agama dan ilmu umum.
Berdasarkan pemikiran diatas artikel yang akan kami bahas berisi tentang integrasi dua ilmu yang mempunyai kajian yang berbeda yaitu tentang hadist dan ilmu-ilmu sosial. Hadist merupakan objek material yang bersatus pasif dan ilmu sosial bersifat formal ( pendekatan) bergerak aktif pada objek material. Dalam ilmu sosial sendiri terdiri dari ilmu sosiologi, ilmu ekonomi, ilmu sejarah, politik, ilmu geografi, antropologi, psikologi. Ilmu-ilmu sosial dan hadits nabi pada hakikatnya merupakan spesifikasi dari proyek besar integrasi agama dan ilmu.

B.  Posisi Ilmu-ilmu sosial dan Hadist Nabi
1.      Pengertian Ilmu Sosial dan Ruang Lingkupnya
Secara umum, ilmu sosial terdiri dari dua suku kata yaitu ilmu dan sosial. Dalam bahasa Inggris, ilmu merupakan Science yang berasal dari bahasa latin Scientia yang berarti pengentahuan. The Liang Gie,menyatakan bahwa ilmu dipandang sebagai kumpulan pengetahuan sistematis, metode penelitian, dan aktivitas penelitian. Selanjutnya, Soekanto menyatakan bahwa Ilmu Pengetahuan (Science) adalah pengetahuan (Knowledge) yang tersusun sistematis denan menggunakan kemampuan pikiran, pengetahuan selalu dapat diperiksa dan dianalisis oleh setiap orang lain yang ingin mengetahuinya.[1]
Sedangkan dalam bahasa Inggris sosial merupakan Social yang memiliki arti luas. Ilmu-ilmu sosial belum mempunyai kaidah-kaidah dan dalil tetap yang diterima oleh bagian terbesar masyarakat. karena, ilmu-ilmu tersebut belum lama berkembang. Sedangkan, yang menjadi objeknya adalah masyarakat atau manusia yang selalu berubah-ubah.[2] Dengan kata lain objek dari ilmu sosial adalah masyarakat.
Secara lebih jauh, Ralf Dahrendorf megemukakan pendapat bahwa ilmu sosial adalah suatu rancangan yang ambisius untuk mendefinisikan seperangkat disiplin akademik yang memberikan perhatian pada aspek-aspek kemasyarakatan manusia. Menurut Ralf Dahrendorf, bentuk tunggal ilmu sosial menunjukan sebuah komunitas yang berdekatan yang saat ini hanya dituntut oleh beberapa orang saja dan kurang akurat. Namun bentuk pluralnya adalah ilmu-ilmu sosial, menggambarkan bentuk yang lebih tepat. [3]Ilmu-ilmu sosial mencakup banyak bidang, antara lain, Sosiologi, Antropologi, Psikologi, Ekonomi, Geografi, Politik, Sejarah meskipun di satu sisi ilmu tersebut merupakan ilmu humaniara.
Sedangkan sampai saat ini para ahli tidak memiliki kesepakatan yang bulat mengenai ruang lingkup ilmu sosial itu sendiri. Wallerstein, yang merupakan ahli di bidang ini mengelompokkan beberapa disiplin ilmu yang dikategorikan sebagai ilmu sosial itu terbagi menjadi sosiologi, Antropologi, Geografi, Ekonomi, Sejarah, Psikologi, Hukum, dan Ilmu Politik. Sedangkan Brown, yang juga ahli dibidang ini dalam karyanya yang berjudul Explanation in Social Science bahwa yang termasuk dalam paket ilmu sosial meliputi Sosiologi, Ekonomi, Sejarah, Demografi, Ilmu Politik, dan Psikologi. Dari kedua pendapat tersebut, perbedaan yang mendasar terletak pada pendapat Wallerstein yang memiliki tambahan kategori pada Hukum. Sedangkan Brown yang memiliki kategori Demografi.[4]
Meskipun terdapat berbagai perbedaan tentang apa yang disebut ilmu sosial. Namun, semua mengarah kepada pemahaman yang sama bahwa ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan aktivitas sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Dadang Supardan, dalam bukunya yang bejudul “Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural” menerangkan bahwa yang termasuk dalam cabang ilmu-ilmu sosial adalah Antropologi, Psikologi, Ilmu Sejarah, Ilmu Geografi, Ilmu Politik, Sosiologi, dan Ekonomi.
Ilmu Antropologi, adalah ilmu yang membahas mengenai manusia, yang dimaksud mengenai manusia adalah masa lalu dan kini, yang menggambarkan manusia melalui pengetahuan ilmu sosial dan ilmu hayati atau alam, dan juga humaniora atau ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih berbudaya. Lalu ilmu psikologi adalah ilmu yang mempelajari mengenai perilaku manusia.
Ilmu sejarah adalah ilmu yang mempelajari tentang peristiwa yang telah terajadi di masa lalu. Ilmu geografi adalah ilmu yang mempelajari tentang keadaan bumi, sebagai contoh gunung, laut, dan sejenisnya.
Sedangkan ilmu politik adalah ilmu yang mengkaji tentang kekuasaan. Cabang ilmu ini lebih membahas mengenai analisis sistem politik. Lalu ilmu sosiologi adalah ilmu yang membahas tentang interaksi sosial dan perubahan sosial.
Selanjutnya ilmu ekonomi adalah cabang ilmu yang mempelajari perilaku manusia yang mencakup adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan alat kebutuhan manusia yang jumlah tidak terbatas.[5]

C.  Relasi ilmu-ilmu sosial dan hadits Nabi
Teks al-Qur’an maupun hadis, meskipun berasal dari Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai pembuat syariat, tetapi patut disadari bahwa audensinya adalah manusia, sehingga manusia mempunyai peran dalam proses interpretasi kedua sumber ajaran itu. Dengan demikian, paradigma yang diusung di sini bukan lagi sekedar teosentris, yaitu pengetahuan yang berasal pada Tuhan semata, tetapi lebih padaparadigma teo-antroposentris yang merupakan penggabungan dua dimensi pengetahuan yang berbeda, yaitu dimensi ketuhanan dan kemanusiaan.
Relasi ilmu-ilmu sosial dan hadits nabi pada hakikatnya merupakan spesifikasi dari proyek besar integrasi agama dan ilmu. Integrasi keilmuan ini bertujuan untuk menggambarkan bahwa dalam Islam tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Keduanya tidak boleh berdiri sendiri secara terpisah, tetapi harus berintegrasi dan secara bersama-sama memecahkan persoalan umat. Dengan perkembangan dan perubahan-perubahan yang semakin cepat diharapkan adanya relasi antara ilmu-ilmu sosial dengan hadits dapat mengatasi suatu permasalahan yang terjadi sehingga dalam bertindak seseorang selalu berpedoman pada hadits nabi setelah berpedoman pada al-quran. Karena untuk memahami suatu hadits yang juga merupakan pedoman bagi umat islam kita juga harus mempelajari sejarah yang ada pada zaman dahulu juga letak geografis umat islam serta keadaan masyarakat pada zaman dahulu dari berbagai aspek sehingga dalam hal ini kedua ilmu tersebut sangat berhubungan dan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, keduanya saling melengkapi hingga menjadikan umat berjalan dijalan yang lurus.[6]

D.  Integrasi Ilmu – Ilmu Sosial dan Hadist Nabi
Pemahaman Hadist dengan Ilmu-Ilmu Sosial
a)      Pemahaman Hadist
Pemahaman hadist atau dikenal dengan fahm al-hadist , mana al-hadist dan  konstekstualisasi hadist berbeda dengan naqd mant al-hadis. Penelitian mant hadist lebih mengutamakan keabsahan redaksi maupun informasi yang terkandung dalam suatu hadist. Sebaliknya, dalam pemahaman hadist hanya sebatas pemahaman hadist sesuai dengan kaidah yang berlaku dan didahului dengan adanya penelitian status kemurnian hadist yang dikaji dari sisi sanad dan mant.[7]
Secara sosialogis, orang dapat mengatakan bahwa munculnya rumusan sunnah yang tergolong lemah baik dari segi matan maupun dari segi sannad dapat saja terjadi, lantaran hadist bersatus kedua setelah al-Quran sebagai sumber hukum, tanpa memilih secara rinci dalam hal apa hadist berstatus demikian.[8]
Secara garis besar, tipologi pemahaman ulama dan umat terhadap hadist dibedakan menjadi dua bagian: yang pertama adalah tipologi pemahaman yang mempercayai hadist sebagai sumber kedua setelah al-Quran daripada ajaran Islam tanpa mempedulikan proses panjang sejarah pengumpulan Hadist dan cara pembentukan ajaran ortodoksi. Yang kedua adalah golongan yang mempercayai hadist sebagai sumber ajaran kedua setelah al- Quran daripada ajaran agama Islam, namun dengan menggunakan kritis-historis melihat dan mempertimbangkan asal-usul (asbab al-wurud) hadist tersebut. Mereka memahami hadist secara konstektual. Jenis pemahaman yang kedua ini tidak begitu terkenal karena pamahaman ini mulai hilang oleh pemikiran ahl al-sunnah wal jamaah, yang lebih menyukai memahami hadist secar tekstual. Pemahamn secara tekstual ini diperlukan oleh ahl-sunnah wal jamaah karena di dorong untuk menjaga dan mempertahankan ekuilibrium kekuatan ajaran ortodok.[9]
Sementara itu, pemahaman hadist sendiri dalam tata kebahasaan berasal dari kata paham yang memiliki arti : pendapat, pikiran, aliran, halauan, pandang mengenai suatu hal yang dianggap benar. Pemahamn sendiri diartikan sebagai proses perbuatan, cara memahami, memahamkan. Dengan demikian pemahaman merupakan konsep yang tertatam didalam otak ketika melihat sesuatu yang diinterpretasikan.[10]

b)      Pemahamn Hadist dengan Perangkat Ilmu- Ilmu Sosial
Pemahaman hadis ini, dilakukan dengan mendalami tentang sejarah nabi yang terjadi di masa lalu. Aspek penting yang harus dicatat dalam adanya upaya kritisisme pada hadis nabi baik itu berupa kritik, eksternal (sanad), maupun internal (matan), dari proses inilah dapat ditemukan makna yang dekat dengan tradisi nabi. Lebih dari itu, harus ada upaya pembongkaran makna yang terkandung didalamnya (fiqih al-hadis), yang dicampurkan dengan pendekatan history kritis, baik yang bersifat  mikro maupun bersifat makro. Pendekatan ini sangat penting karena sejarah Nabi pada saat ini berbeda jauh dengan dahulu. Dari hasil upaya ini kita dapat mengetahui latar belakang dari kemunculan suatu hadis dan kemudian memahami bagimana cara menerapkannya pada masa sekarang.[11]
Seperti yang dijelaskan sebelumnya perlu bagi kita untuk mengaplikasikan cabang ilmu sosial seperti, ilmu Antropologi, ilmu Sosiologi, ilmu Sejarah dalam memahami hadist Nabi. Ilmu Antropologi, adalah ilmu yang membahas mengenai manusia, yang dimaksud mengenai manusia adalah masa lalu dan kini, yang menggambarkan manusia melalui pengetahuan ilmu sosial dan ilmu hayati atau alam, dan juga humaniora atau ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih berbudaya. Ilmu Sosiologi adalah ilmu yang membahas tentang interaksi sosial dan perubahan sosial. Ilmu sejarah adalah ilmu yang mempelajari tentang peristiwa yang telah terajadi di masa lalu.
Segala aspek yang berkaitan erat dengan diri Nabi dan suasana yang melatarbelakangi suatu hal-hal yang dapat menyebabkan munculnya suatu hadist maka hal itu memiliki hal yang penting untuk pemahaman suatu hadist.[12]
Namun, demikian untuk memahami maksud suatu hadist secara baik terkadang sangat tidak mudah, terutama jika kita menjumpai hadist-hadist yang nampak saling bertentangan. Dari hal inilah bisanya para ulama hadist menempuh metode tarjih (pengulanggan) atau nasakh-mansukh (pembatalan) dan metode al-jam’u (mengompromikan) atau tawaqquf (mendiamkan) untuk tidak mengamalkan hadist sampai ditemukan keterangan, hadist manakah yang bisa diamalkan.
Disamping itu, dalam pemahaman ilmu hadist dikenal bahwa hadist ada yang memiliki asbabul wurud khusus, ada pula yang tidak. Persoalannya adalah bagaimana jika suatu hadist itu tidak memiliki asbabwul wurud secara khusus. Menurut H.Said Agil Husin Munawwar dalam bukunya untuk melakukukan analisis pemahaman hadist dengan menggunakan pendekatakan historis, sosiologis, antropologis bahkan mungkin juga pendekatan psikologis. Disamping itu, hadist kebanyakan berisi tentang hal-hal yang bersifat teknis dan jus’i sehingga boleh jadi ruh (spirt) nya universal, namun teksnya bersifat bayan al-waqi’ dalam mengungkapkan realitas masyarakat saat itu.[13]
Melalui pendekatan-pendekatan yang telah disebutkan diatas diharapkan bisa memberikan pemahaman hadist yang lebih tepat, dan akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa dalam memahami suatu hadist tidak hanya terpaku pada dhahirnya teks hadist, namun harus mengaitkannya dengan keadaan sosio-kultural pada waktu itu. Selain itu, melalui hadist-hadist Nabi SAW sebagai mitra al-Quran diharapkan bisa membantu masyarakat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang yang terjadi pada masa sekarang. [14]
Kemudian yang dimaksud dengan pendekatan historis, sosiologis, antropologis itu sendiri adalah suatu upaya memahami hadist dengan cara mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada waktu Nabi SAW menyampaikan hadist. Jadi yang dimaksud dengan pendekatan historis itu sendiri adalah cara mengaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat pada hadist dengan mementukan kondisi sosial dan kultural disekitarnya. Sedangkan dari pendekatan sosiologis lebih mempehatikan perilaku manusia dalam mengamalkan hadist tersebut. Selanjutnya pendekatan antropologi merupakan pendekatan yang memperhatikan terbentuknya polo-pola perilaku masyarakat pada tatatan nilai yang dianut.[15]
Integrasi ilmu-ilmu sosial dan hadist berpijak pada suatu prinsip yang disebut Shifting Paradigm ( pergeseran gugusan pemikiran keilmuan). Dimana kegiatan ilmu pengetahuan baik natural sciences maupun social sciences akan selalu bersifat historis, karena ilmu itu dirancang dan dirumuskan oleh akal budi manusia yang juga bersifat historis. Sedangkan yang dimaksud bersifat historis menurut penulis yaitu terikat oleh ruang dan waktu yang terpengaruh oleh perkembangan pemikiran dan kehidupan sosial yang mengitari penggal waktu tertentu. Dilihat dari aspek tersebut dapat memungkinkan terjadinya perubahan, pergeseran, perbaikan, perumusan kembali, nasikh dan mansukh, serta penyempurnaan rancangan bangun sumber-sumber keilmuan. Jika tidak demikian, maka kegiatan keilmuan akan berhenti dengan sendirinya alias bersifat statis. Islamic Studies dalam artian kegiatan keilmuan sangatlah kaya nuansa sehingga dimungkinkan untuk bisa diubah, dikembangkan, diperbaiki, dirumuskan kembali, disempurnakan sesuai dengan perkembangan zaman yang mengitarinya.[16]
Seperti yang dijelaskan tadi bahwasannya studi hadist merurupan bagian dari Islamic Studies yang harus mengalami proses Shiffing Paradigma. Dalam hal ini, ia melakukan aktivitas integrasi keilmuan dengan ilmu-ilmu yang sedang berkembang di era moderen contohnya saja dengan ilmu sosial. Dari kedua ilmu inilah (ilmu sosial dan hadist) maka akan bisa menimbulkan dialektika dan bertukar pikiran yang akan memunculkan perubahan, pergeseran, penyempuraan kembali. Perlu kita sadari di zaman sekarang ini ilmu hadist sangat membutuhan perangkat metodologis yang lebih modern sebagi hasil perpaduan dengan keilmuan modern seperti ilmu-ilmu sosial.[17]
Lebih lanjut tentang integrasi ilmu-ilmu sosial dan hadist, yang telah disebutkan bawasannya dalam ilmu sosial terdapat pendekatan diantaranya ada pendekatan Sosiologis, Antropologis dan Sejarah. Hal ini mengandung arti bahwa hadist merupakan objek material yang bersatus pasif dan ilmu sosial bersifat formal( pendekatan) bergerak aktif pada objek material. Terdapat dua cara hadist melakukan integrasi dengan ilmu-ilmu sosial yaitu, pertama adalah orang yang telah berkecimping dalam wacana studi hadist mempelajari ilmu-ilmu sosial dan mengamalkannya dalam kajian hadist. Kedua adalah orang yang telah bergulat didalam ilmu-ilmu sosial mencoba untuk mempelajari hadist dengan latarbelakang ilmu sosial yang dimilikinya.[18]
Terkait pemahaman hadist dengan ilmu-ilmu sosial, salah satu hadist yang dibahas yaitu  berhubungan dengan keutamaan bangsa Quraisy menjadi pemimpin suatu wilayah. Dimana tipe hadist ini ditemukan dalam tiga kitab yaitu, shahih al-Bukhari, shahih Muslim, dan Musnad Ahmad bin Hanbal dengan tiga gaya redaksi yang hampir mirip. Berikut tiga gaya redaksi tersebut[19] :

لَايَزَالُ هَذَا الْلأَمرُ فِي قُرَيْشٍ مَابَقِيَ مِنْهُمْ اثْنَانِ (ا لْبُخَارِي) لَا يَزَالُ هَذَا الْلأَمْرُ فِي قُرَيْشٍ مَابَقِيَ مِنْ النَاسِ اثْنَانِ ( مُسْلِم و   احْمَدْ) لَايَزَالُ هَذَا الأَمْرُ فِي قُرَيْشٍ مَا بَقِيَ فِي النَاسِ اثْنَانِ ( اَحْمَدْ)

Terjemahan secara generalnya adalah : “ Dalam urusan ini ( beragama, bermasyarakat, dan bernegara ), orang Quraisy selalu ( menjadi pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun merekahannya tinggal dua orang saja”[20]
Dari hal tersebut beberapa ahli fiqh seperti Al-Mawardi, Ibn Hasim dan Rasyid Ridha berpendapat bahwa menempatkan keturunan Quraisy merupakan syarat utama untuk menjadi seorang pemimpin pada masa Nabi. Hal tersebut merupakan inti dari pendapat ketiga ahli fiqh tersebut meskipun memiliki perbedaan dalam penyampaiannya.[21]
Jika hadist-hadist tentang syarat keturunan Quraisy menjadi seorang pemimpin dipahami dengan pendekatan sosiologi, dapat diketahui bahwa dijadikannya Quraisy sebagai satu syarat dalam imarah/imamah yang dimaksudkan dapat menghilangkan perpecahan dengan bantuan solidaritas atau fanatisme (ashabiyyah) dan superioritas. Hal itu disebabkan karena secara sosiologis suku Quraisy termasuk golongan suku Mudhar, merupakan leluhur yang paling tangguh dibandingkan dengan suku Mudhar lainnya.
Selain itu, dalam teori ashabiyyah atau solidaritas (fanatisme) kelompok ini bertolak dari anggapan bahwa seorang kepala negara atau pemimpin mampu mengendalikan ketertiban dan keaaman negara, baik itu berupa wibawa, intelektualitas dan kekuatan fisik yang memadai.[22]
Bertolak dari teori ashabiyyah tersebut, penetapan keturunan Quraisy oleh Nabi dalam memegang kepemimpinan didasarkan pada kenyataan sosiologis bahwa pada saat itu orang Quraisy merupakan suku Arab yang memiliki kualifikasi, tangguh, berwibawa, terkemuka, kuat dan memiliki fanatisme tinggi. [23]Dari kualifikasi tersebutlah kekuasan politik yang awalnya di pegang oleh Khuza’ah akhirnya berpindah ke suku Quraisy dibawah pimpinan Qushai.[24] Seiring berjalannya waktu dilihat dari keadaan sosial yang ada bahwa kekuasaan kaum Quraisy mulai melemah, solidaritas yang adapun juga mulai pudar sehingga menjadikan mereka lemah dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin.[25]
Melalui hal inilah maka penelusuran hal-hal seputar hadist dengan perangkat ilmu-ilmu sosial, misalnya sosiologi, antropologi, ilmu sejarah dan ilmu politik sangat diperlukan untuk memaparkan pemahaman yang representatif dan ideal dari hadist tersebut.

E.   Kesimpulan
Ilmu sosial membahas tentang interaksi antar manusia yang terjadi di masyarakat. Ruang lingkup ilmu sosial sendiri terdiri atas ilmu sosiologi, ilmu geografi, ilmu sejarah, ekonomi, antropologi, dan politik. Relasi ilmu-ilmu sosial dan hadits nabi pada hakikatnya merupakan spesifikasi dari proyek besar integrasi agama dan ilmu. Integrasi keilmuan ini bertujuan untuk menggambarkan bahwa dalam Islam tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Keduanya tidak boleh berdiri sendiri secara terpisah, tetapi harus berintegrasi dan secara bersama-sama memecahkan persoalan umat.
Integrasi ilmu-ilmu sosial dan hadist berpijak pada suatu prinsip yang disebut Shifting Paradigm ( pergeseran gugusan pemikiran keilmuan). Dimana kegiatan ilmu pengetahuan baik natural sciences maupun social sciences akan selalu bersifat historis, karena ilmu itu dirancang dan dirumuskan oleh akal budi manusia yang juga bersifat historis. Sedangkan yang dimaksud bersifat historis menurut penulis yaitu terikat oleh ruang dan waktu yang terpengaruh oleh perkembangan pemikiran dan kehidupan sosial yang mengitari penggal waktu tertentu. Dilihat dari aspek tersebut dapat memungkinkan terjadinya perubahan, pergeseran, perbaikan, perumusan kembali, nasikh dan mansukh, serta penyempurnaan rancangan bangun sumber-sumber keilmuan. Jika tidak demikian, maka kegiatan keilmuan akan berhenti dengan sendirinya alias bersifat statis. Islamic Studies dalam artian kegiatan keilmuan sangatlah kaya nuansa sehingga dimungkinkan untuk bisa diubah, dikembangkan, diperbaiki, dirumuskan kembali, disempurnakan sesuai dengan perkembangan zaman yang mengitarinya










DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin,  Studi agama, Normativitas atau Historisitas,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011)
Munawwar, Husain Agil Said, dan Mustaqim, Abdul, ” Asbabul Wurud : Studi Kritis Hadist Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual” (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001)
Supardan, Dadang, Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural(Jakarta: Bumi Aksara, 2013)

Sukanto, Surjono, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo, Persada, 2013)

Afwadzi, Benny, “Membangun Integrasi Ilmu – Ilmu Sosial  Dan Hadis Nabi” : Jurnal living hadis, vol 1,no 1, Mei 2016

Suryadi, dan Suryadilaga, Alfatih Muhammad, “ Metodologi Penelitian Hadis”(Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009)

Afwadzi, Benny, “Hadis di Mata Para Pemikir Modern: Telaah Buku Rethinking Karya

Hammy, Khirul, ” Reinterpretasi Hadits:upaya kontekstualisasi Makna Hadist Melalui Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial Modern”, Jurnal vol 1, nomer 1, Tahun 2011

Ali, Nizar, ” Hadis versus Sains”, (Yogyakarta: Teras, 2008)

Yatim, Badri, ”Sejarah Peradaban Islam”,(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,  2013)




Catatan:
Makalah ini belum menemukan kebaruan tulisan dari tulisan saya. Kebanyakan menulis kembali artikel saya, sehingga kurang mempunyai signifikansi. Harusnya pemakalah menambah banyak data-data lainnya.




[1]Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural(Jakarta: Bumi Aksara, 2013), Hal 22.-23
[2]Sujono Sukanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo, Persada, 2013) Hal 11.
[3]Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural(Jakarta: Bumi Aksara, 2013), Hal 30.      
[4]Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural(Jakarta: Bumi Aksara, 2013), Hal 34.
[5] Benny Afwadzi, “Membangun Integrasi Ilmu – Ilmu Sosial  Dan Hadis Nabi” : Jurnal living hadis, vol 1,no 1, Mei 2016
[6] Benny Afwadzi, Membangun Integrasi Ilmu-Ilmu Sosial Dan Hadis Nabi: Jurnal living hadis, vol 1,no 1, Mei 2016, hlm. 106.
[7] Suryadi dan Muhammad Alfatuh Suryadilaga “ Metodologi Penelitian Hadis”(Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm 192
[8] Amin Abdullah,” Studi Agama:Normativitas atau historisitas”( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal,313
[9] Ibid, hal.315
[10] Benny Afwadzi, “ Membangun Integrasi Ilmu-ilmu  sosial dan Hadis Nabi”, Jurnal living hadis, vol 1,no 1, Mei 2016
[11] Benny Afwadzi, “Hadis di Mata Para Pemikir Modern: Telaah Buku Rethinking Karya
[12] Benny Afwadzi, “ Membangun Integrasi Ilmu-ilmu  sosial dan Hadis Nabi”, Jurnal living hadis, vol 1,no 1, Mei 2016
[13] Khirul Hammy,” Reinterpretasi Hadits:upaya kontekstualisasi Makna Hadist Melalui Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial Modern”, Jurnal vol 1, nomer 1, Tahun 2011
[14] Said Agil Husain Munawwar dan Abdul Mustaqim,” Asbabul Wurud : Studi Kritis Hadist Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual” (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001), hal. 25
[15] Ibid, hal. 26
[16] Amin Abdullah,” Studi Agama:Normativitas atau historisitas”( Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996), hal, 102
[17] Benny Afwadzi, “ Membangun Integrasi Ilmu-ilmu  sosial dan Hadis Nabi”, Jurnal living hadis, vol 1,no 1, Mei 2016, hal.15
[18] Ibid., hal.16
[19] Ibid., Hal.117
[20] Ibid., Hal. 117
[21] Nizar Ali,” Hadis versus Sains”, (Yogyakarta: Teras, 2008),hal.93
[22] Ibid.,hal. 95
[23] Ibid.,hal.96
[24] Badri Yatim,”Sejarah Peradaban Islam”,(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,  2013)hal.14
[25] Nizar Ali, “ Hadis Versus Sains” hal.96

Tidak ada komentar:

Posting Komentar