Rabu, 26 April 2017

Ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil (P-IPS D Semester Genap 2016/2017)




ILMU JARH WA TA’DIL

Ardika Fateh Hukama, Abdul Bari Jailani
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: ardikafateh@gmail.com
Abstract
To determine a hadith is saheeh or not, whether it truly from the prophet or not, a Hadith remains zhanny, because it contains of Discourse about the narrator on both sanad and matan. In this case, the criticism must be done to refine the hadith. Therefore, required al-Jarh wa al-ta'dil knowledge which will be presented by the author in this article. The al-Jarh wa al-ta'dil knowledge serves to investigate and weigh a hadith narrator, narrator who gets heavy weight scales is received and otherwise. The author assumes that al-Jarh wa ta'dil knowledge as an attempt to avoid any doubt againts the Hadith, including selecting the saheeh and fake hadith.
Keywords: Hadith, al-Jarh wa al-ta'dil knowledge, narrator, sanad

Abstrak
Untuk mengetahui shahih dan tidaknya sebuah hadits, apakah benar-benar dari nabi atau bukan, sebuah Hadits tetap bersifat zhanny, karena masih mengandung diskusus mengenai perawi baik secara sanad maupun secara matan. Dalam hal ini, kritik terhadap keduanya mesti dilakukan untuk menyaring hadits. Untuk itu diperlukan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, yang akan dipaparkan oleh penulis dalam artikel ini. Ilmu Jarh wa Ta’dil berfungsi untuk menyelidiki dan menimbang seorang rawi hadits, rawi yang berat timbangannya diterima riwayatnya, dan rawi yang ringan timbangannya tidak diterima riwayatnya. Maka penulis berasumsi, Ilmu Jarh wa Ta’dil sebagai upaya untuk menghindari keraguan terhadap Hadits, termasuk memilih hadits yang shahih dan palsu.
Kata kunci : Hadits, Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, rawi, sanad

A.    Pendahuluan
Kedudukan hadits (al-Sunnah) sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an sudah tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama. Berhujjah dengan hadits sahih jelas tidak diperdebatkan lagi, bahkan demikianlah yang semestinya. Namun bagaimana menentukan kesahihan suatu hadits merupakan kajian yang sederhana. Suatu hal yang pasti ada jarak waktu yang panjang antara masa kehidupan Rasulullah dengan masa penulisan dan pembukuan suatu hadits.
Untuk meneliti kesahihan suatu hadis dalam ilmu  hadis dikembangkan dua cabang ilmu yakni ilmu hadits  riwayat, yang objek kajiannya ialah bagaimana menerima, menyampaikan kepada orang lain, memindahkan dan mendewankan dalam dewan hadis. Dalam menyampaikan dan mendewankan hadis dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan hal ihwal sifat perawi yang berkenaan dengan ‘adil, dhabith atau fasik yang dapat berpengaruh terhadap sahih tidaknya suatu hadis. Perihal perawi merupakan objek kajian ilmu hadits dirayah. Karena kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan kesahihan suatu hadis, maka ilmu hadis dirayah membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan perawi itu adalah melalui ilmu al- Jarh wa al-Ta’dil.
Ilmu Jarh wa al-Ta’dil adalah sebagai “timbangan” bagi para perawi hadits. Rawi yang “berat” timbangannya diterima riwayatnya, dan rawi yang “ringan’ timbangannya ditolak riwayatnya. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima haditsnya dan kita dapat membedakannya dengan periwayat yang tidak dapat diterima haditsnya.[1]
Oleh karena itulah para ulama hadits memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatian dan mencurahkan segala pikirannya untuk menguasainya. Mereka pun ber-ijma’ akan validasinya, bahkan kewajibannya karena kebutuhan yang mendesak akan ilmu ini.[2]
B.     Pengertian Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil
Menurut bahasa, kata al-Jarh (الجرح) adalah bentuk mashdar dari kata jaraha-yajrahu (جرح - يجرح), artinya melukai. Keadaan luka kena senjata tajam, atau, dengan non-fisik, misalnya luka hati karena kata kasar yang dilontarkan oleh seseorang. [3]Sedangkan menurut terminologi ilmu hadis, kata jarh berarti upaya mengungkapkan sifat-sifat tercela dari periwayat hadis yang menyebabkan lemah atau teertolaknya riwayat yang disampaikan.[4]
Adapun kata al-Ta’dil (التعديل) adalah bentuk mashdar dari kata kerja ’addala-yu’addilu (عدل - يعدل), artinya mengemukakan sifat-sisfat adil yang dimiliki oleh seseorang.[5] Dalam terminologi ilmu hadis, kata ta’dil berarti upaya mengungkap sifat-sifat bersih dari seorang periwayat hadis sehingga nampak keadilan (‘adalah)-nya yang menyebabkan diterimanya sebuah riwayat yang disampaikan,[6]
Para ahli hadis mendefinisikan al-jarh dengan:
اَلطَّعْنُ فِى رَاوِى الَحدِيْثِ بِمَايَسْلُبُ أَوْيَخُلُّ بِعَدَاَلَتِهِ أَوْضَبْطِهِ
“kecacatan pada perawi Hadis disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedabitan perawi ”.
            Sedang at-ta’dil,  yang secara bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakan), menurut istilah berarti:
عَكْسُهُ هُوَتَزْكِيَةُ الرَّوِي اوَالْحُكْمِ عَلَيْهِ بِأَنَّهُ عَدْلُ أوْضَابِطٌ
lawan dari al-jarh, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau dabit”.
            Ualam lain mendefinisikan al-jarh dan at-ta’dil dalam satu definisi, yaitu:
عِلْمٌ يَبْحَثُ عَنِ الرُّوَاةِمِنْ حَيْثُ مَاوَرَدَفِى شَأْنِهِمْ مَمَّايَشْنِيهِمْ أَوْيُزَكِّيْهِمْ بِألْفَاظٍ مُخْصُوْ صَةٍ
“ilmu yang membahas tentang para perawi Hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencatatkan atau membersihkan mereka, dengan uangkapan atau lafaz tertentu”.[7]
Dengandemikian, ilmu Al-Jarhwa Ta’dil secara etimologis berarti ilmu tentang kecacatan dan keadilan perawi hadis.
Secara terminologis al-Jarh, menurut Muhammad Ajaj al-Khatib adalah :
ظهور صفة فى الروىيقسدعدالةاوحيل يفطه وطبته مايترتب عسقوط روايته اوطعفها وردها            
“Tampak suatu sifat para perawi yang merusakkan keadilannya, hafalannya, karena gugurlah riwayatnya atau dipandang lemah”
          Sedangkan al-Ta’dil didefinisikan sebagai berikut:
وصفة الراوى بصفات تز كيه فيطهر عدا لة وتقبل خيره                                                                
“Menafsirkan para perawi dengan sifat-sifat yang menetapkan kebersihannya, maka tampaklah keadilannya, dan diterima riwayatnya”[8]
          Al-Jarh wa al-Ta’dil menurut para Muhahaddisin adalah dijelaskan sebagai berikut:
الجرح عند المحد ثين الطعن فى راوى الحديث بما يسلب او يخل بعدالته او ضبطه                                
“jarh menurut muhaddisin adalah menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga mengagkat atau mencacatkan adalah atau kedhabitannya”
والتعديل عكسه وهو تزكية الراوى والحكم عليه باءنه عدل او ضابط                                             
“Ta’dil adalah kebalikan dari jarh, yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi dan menghukuminya bahwa ia adil atau dhabith”[9]
Menurut istilah Ilmu hadits, al-jarh adalah kecacatan para perawi hadits disebabkan oleh semua yang dapat merusak keadilan dan kedhabitan perawi. Definisi lain menyatakan bahwa al-jarh adalah pengungkapan keadaan perawi tentang sifat-sifatnya yang tercela menyebabkan lemah atau ditolaknya riwayat yang disampaikan oleh periwayat tersebut. sedangkan al-Ta’dil adalah mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga tampak jelas keadilan perawi itu dan karenanya riwayat yang disampaikannya dapat diterima.[10]
Ulama memberi pengertian al-Jarh dan al-Ta’dil dalam satu definisi, yaitu ilmu yang membahas tentang para perawi hadits dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan dan lafaz tertentu. M. Hasbi Ash-Shiddiqy mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil ialah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang pen-ta’dilannya, degan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat kata-kata itu.[11]
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan ilmu jarh wa ta’dil adalah ilmu yang mempelajari keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolaknya riwayatnya.
C.    Sejarah Perkembangan Jarh dan Ta’dil
kitab  al-Tsiqahkarangan Ibnu Hibban (351 H) dan  al-Tsiqahkarangan Kegiatan kritik hadis sebagai upaya untuk membedakan yang benar dan salah, yang maqbul dan yang mardud, benih-benihnya telah dimulai sejak masa Nabi Muhammad. Tapi pada waktu itu hanya terbatas pada kritik matan (al-naqd ad-dakhilil) dengan cara mengkorfirmasikan apa yang telah diterima sahabat dari sahabat yang lain kepada Nabi Muhammad untuk membuktikan bahwa apa yang diterimanya itu benar dari beliau. Atau, dengan cara membandingkannya dengan hadis yang lain atau dengan ayat al-Qur’an. Kemudioan pada masa sahabat, kegiatan keritik hadis tidak hanya terbatas pada matan saja, tetapi sudah mulai pada kritik sanad hadis (an-naqd al-khariji). Di antar para sahabat yang perintis sanad hadis adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Alibin Abi Thalib, Aisyah, Abdullah bin umar, juga Ibnu Abbas dan Ubadah bin shamit. Keritik terhadap sanad hadis ini terutama sertelah terjadinya al-fitnah al-kubra (bencana besar) dengan terbunuhnya khalifah Usman bin Affan (61 H) dengan peperangan antara Ali dan Muawiyah dengan menimbulkan perpecahan  di kalangan kaum muslimin. Pada masa inilah mulai diletakkan azaz-azaz dan kaedah-kaedah ilmu jarh dan ta’dil sebagai ilmu yang membahas tentang kritik hadis dari sanadnya. Dalam hala ini, Ibnu sirin mengatakan bahwa pada mulanya kaum muslimin tidak menanyakan tentang isnad. Namun setelah terjadi fitnah tersebut, maka selalu menanyakan tentang periwayat hadis yang mereka terima.
Sikap keritis para sahabat dalam meriwayatkan hadis dilanjutkan oleh kalangan tabiin. Di antarnya mereka yang ahli di bidang karakteristik hadis pada disebutkan seperti Said bin Musyyab (w. 93 H), Amir al-Sya’bi (w. 103 H), Muhammad bin Sirin (w. 110 H), juga ulama berikutnya seeperi syu’ban bin Hajjaj (82-160 H), al-Awza’i (88-158 H), Malik bin Anas (93-179 H), Yahya bin Said al-Qattan (w. 198 H), dan Abdurrahman bin al-Mahdi (135-198). Orang pertama yang menghimpun pembicaraan mengenai jarh dan ta’dil adalah Yahya bin Said al-Qattan. Pada abad kedua hijriah ini, ilmu jarh dan ta’dil belum dibukakan, tetapi baru merupakan penyempurnaan dari azas dasar yang telah dilakukan pada masa sebelumnya.
Para ulama di atas, selanjutnya, menghasilkan sejumlah besar murid yang ahli dibidang kritik hadis. Di antara mereka yang tekenal adalah Yahya bin Ma’in (w. 223 H), murid dari Yahya bin Said al-Qattan, Ali bin Madin (w. 234 H), Ahmad bin Hambal (w. 241 H). Kemudian muncul pula para ahli9 kritik hadis yang terkenal, di antarnya Ibnu Isma’il al-Bukhari (194-259 H), Abu Zur’ah Abdullah Abd al-Karim ar-Razi (200-264 H), Abu Hatim Muhammad bin Idris ar-Razi (240-377 H), dan lain-lain. Pada abad ketiga inilah muncul kitab-kitab yang secara khusus membicarakan jarh dan ta’dil seperti Ma’ruf ar-Rijal karya Yahya bin Ma’in, at-Tarikh al-kabir karya Imam Bukhari, dan Kitab al-Jarh wa al-Ta’dil karya Abu Hatim ar-Razi.[12]
Secara gradual pada tiap masa selama delapan abad, mulaimasa sahabat sampai masa hidup Ibnu Hajar (652 H), terdapat ulamayang secara rutin melakukan penelitian tentang keadaan para perawiHadis dan kemudian memberikan penilain secara objektif dan penuhrasa tanggung jawab. Bahkan hasil penelitian mereka banyakdikodifikasi dan dikemas dalam kitab-kitab  jarh  dan  ta’dil.
Kitab-kitab yang disusun dengan metode  jarh  danta’dil  dapatdiklasifikasikan sebagai berikut:
1.      Kitab  yang khusus menerangkan perawi-perawi yang tepercaya,seperti Zainuddin Qasim Al-Hanafi (879 H) yangterdiri atas empat jilid yang memuat perawi tepercaya yang tidakterdapat pada  al-kutub al-sittah.
2.      Secara khusus menerangkan perawi-perawi yang lemah, antara lainkitab Adl al-Dhu’afakarya Imam Bukhari dan yang dikarang olehIbnul Jauzi (597 H) serta  al-Kamilkarangan Ibn ‘Adi (365 H).Kitab Ibn ‘Adi dipandang sebagai kitab jarhyang paling lengkap,yakni sebanyak 12 jilid, yang dijadikan sebagai pegangan ulama.Kitab Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal, karangan az-Zahabi (748H) yang disusun secara alfabetis.
3.      Kitab-kitab yang menghimpun perawi yang tepercaya dan lemah,antara lain  al-Jarh wa al-Ta’dilkarangan Ibnu Hatim al-Razi(337 H) sebanyak enam jilid dan al-Thabaqat al-KubrakaranganMuhammad bin Sa’ad (235 H). Kitab-kitab tersebut memuatperawi-perawi dari  sahabatdan  tabi’inserta generasi sesudahmereka.[13]

D.    Syarat Ulama al-Jarh wa al-Ta’dil
Seorang Ulama al-Jarh wa al-Ta’dil harus memenuhi kriteria-kriteria yang menjadikannya obyektif dalam menguak karakteristik para periwayat. Syarat-syaratnya adalah:
1)   Berilmu, bertaqwa, wara’, dan jujur. Karena bila ia tidak memiliki sifat-sifat ini, maka bagaimanai ia dapat menghukumi orang lain dengan al-Jarh wa al-Ta’dil yang senantiasa membutuhkan keadilan.
2)   Ia mengetahui sebab-sebab al-jarh wa al-ta’dil. Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan dalam syarh al-Nukhbah, “Tazkiyah (pembersihan terhadap diri orang lain) dapat diterima bila dilakukan oleh orang yang mengetahui sebab-sebabnya, bukan dari orang tidak mengetahuinya, agar ia tidak memberikan tazkiyah hanya dengan apa yang kelihatan olehnya dengan sepintas tanpa mendalami dan memeriksanya.
3)   Ia mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab, sehingga suatu Lafazh yang digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya, atau men-jarh dengan lafazh yang tidak sesuai untuk men-jarh.[14]
Sedangkan dalam buku Fatchura Rahman dalam Ikhtisar Mushthalahul Hadits, dijelaskan bahwa syarat-syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1)   Berilmu Pengetahuan.
2)   Taqwa.
3)   Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat)
4)   Jujur.
5)   Menjauhi fanatik golongan, dan
6)   Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan untuk menjarh-kan.[15]
E.     Macam-macam ke’aiban Rawi
Seorang perawi hadits dapat tidak diterima periwayatannya manakala terdapat suatu sifat atau beberapa sifat yang dapat menggugurkan keadilannya, yang efeknya tidak dapat diterima periwayatannya. Sifat-sifat tersebut, antara lain diuraikan seperti berikut ini.
1.    Bid’ah (melakukan tindakan tercela, diluar ketentuan syari’at)
Yang dimaksud dengan ahli bid’ah, yaitu perawi yang tergolong melakukan bid’ah, dalam hal i’tikad yang menyebabkan ia kufur, maka riwayatnya ditolak.[16]
Orang yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya tergolong orang yang difasiqkan. Mereka yang dianggap kafir, ialah golongan rafidlah, yang mempercayai bahwa Tuhan itu menyusup (bersatu) pada Sayyidina Ali, dan pada Imam-imam lain, dan mempercayai bahwa Ali akan kembali lagi didunia sebelum hari kiamat. Sedangkan orang-orang yang dianggap fasiq, ialah golongan yang mempunyai i’tiqad berlawanan dengan dasar syariat.[17]
2.    Mukhalafah (melaini dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah)
Mukhalafah yang dapat menimbulkan kejanggalan dan kemungkaran suatu hadits, ialah apabila seorang rawi yang setia ingatannya lagi jujur meriwayatkan  suatu hadits berlawanan dengan riwayat orang yang lebih setia ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang, yang kedua periwayatan tersebut tidak dapat dijama’kan. Periwayatan yang demikian ini disebut Syadz, dan kalau perlawanannya itu berkesangatan atau rawinya sangat lemah hafalannya, periwayatannya (haditsnya) disebut munkar.[18]
3.     Ghalat (banyak kekeliruan dalam meriwayatkan)
Ghalat (salah) itu kadang-kadang banyak dan kadang-kadang sedikit. Seorang rawi yang disifati banyak kesalahannya, hendaklah diadakan peninjauan mengenai Hadits-hadis yang telah diriwayatkannya. Kalau periwayatannya tersebut terdapat pada periwayatan orang lain yang tidak disifati ghalat, maka hadits yang diriwayatkan oleh orang yang banyak salah tersebut dapat dipakai, tetapi bukan menurut jalan sanadnya. Sedangkan apabila tidak didapati selain dengan jalan sanadnya, hendaklah ditawaqufkan.[19]
4.    Jahalatul Hal (tidak dikenal identitasnya)
Merupakan pantangan untuk diterima haditsnya, selama belum jelas identitasnya.[20]kecuali dari golongan sahabat atau orang yang disebut dengan lafal yang menyebutkan atau menunjukkan kepada kepercayaan, seperti kengan lafal hadatsan, tsiqan, atau akbarnya ‘adlun, dan sebagainya.[21]
5.    Da’wa’l-inqitha’ (diduga keras sanadnya tidak bersambung)
Da’wa’l-inqitha’ (pendakwaan terputus) dalam sanad, misalnya menda’wa rawi mentadliskan atau mengirsalkan suatu Hadits.[22]
6.    Dusta
Yang dimaksud dengan dusta dalam hal ini ialah bahwa orang itu pernah berbuat dusta terhadap sesuatu atau beberapa hadits. Dalam pengertian, seorang rawi berbuat dusta terhadap Rasulullah saw., seperti membuat hadits palsu, pernah menjadi saksi palsu, kecuali ia sudah tobat.[23]
7.    Tertuduh berbuat dusta
Yang diamaksud tertuduh berbuat dusta adalah seorang perawi sudah tenar ikalangan masyarakat sebagai orang yang berdusta. Periwayatan orang yang tertuduh dusta dapat diterima apabila ia betul-betul telah betaubat sehingga masyarakat tidak lagi menuduh pendusta.[24]
F.     Jumlah orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan rawi
Selanjutnya tentang jumlah orang yang dipandang cukup untuk melakukan ta’dil dan tajrihterhadap perawi juga terdapat perselisihan pendapat, antara lain:[25]
1.    Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun soal riwayah.[26]ketika jarh dan ta’dil berkumpul berada pada diri seorang rawi, maka jarh pada diri rawi itu lebih dulu dilakukan. Namun ada yang berpendapat, jika banyak ahli yang menta’dilkannya, maka ta’dil lebih dahulu dilakukan.[27]
2.    Cukup seorang saja dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab oleh karena bilangan itu tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadits, maka tidak pula disyaratkan dalam menta’dilkan dan mentarjihkan rawi-rawi. Berlainan dalam soal syahadah.
3.    Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.
Adapun kalau ke’adalahannya (keadilannya) itu diperoleh atas dasar pujian orang banyak atau dimasyhurkan oleh ahli-ahli ilmu, maka tidak memperlukan orang yang men-ta’dil-kan (muzakky = mu’addil). Seperti Maliki, As-Syafi’iy, Ahmad bin Hanbal, Al-Laits, Ibnu’l-Mubarak, Syu’bah, Is-haq, dan lain-lainnya.[28]
G.    Jalan-jalan untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi dan masalah-masalahnya
Men-ta’dil-kan (menganggap adil seorang rawi) ialah memuji rawi dengan sifat-sifat yang membawa keadilannya, yakni sifat-sifat yang dijadikan dasar penerimaan riwayat. Keadilan seorang rawi itu dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut.
Pertama, dengan kepopulerannya dikalangan para ahli ilmu, bahwa ia terkenal sebagai orang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai seorang yang adil di kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah bin al-Hajjaj, Asy-Syafi’iy, Ahmad, dan lainnya. Hal ini karena mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan tentang keadilannya.
Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), yakni ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil, yang semula rawi yang dita’dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil. Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah dapat dilakukan oleh:
a.    seorang rawi yang adil. Jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang meta’dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat (hadits). Oleh karena itu jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula untuk menta’dilkan seorang rawi. Demikian menurut pendapat kebanyakan Muhadditsin. Berlainan dengan pendapat para fuqaha yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyahkan seorang rawi.
b.    setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan dan baik orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.[29]
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh dengan dua jalan:
a.    berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemashuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
b.    berdasarkan pentarjihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebab ia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang oleh Muhadditsin, sedangkan menurut para fuqaha sekurang-kurangnya harus ditarjih oleh dua orang laki-laki yang adil.[30]
H.    Syarat diterimanya al-Jarh wa al-Ta’dil
Proses untuk mendeteksi kebenaran suatu berita yang disampaikan oleh seorang melelui pelacakan dan kredibiltas penuturnya. Sifat, karakter, dan kepribadian pembawa berita sangat dipertimbangkan bahkan dijadikan sebagai landasan dalam menentukan layak tidaknya berita tersebut untuk diterima.[31]
Al-Laknaewi menjelaskan dalam kitab al-Rafu Wa al-takmiil, “Wajib bagimu untuk tidak tergesa-gesa menghukumi jarh terhadap seorang rawi semata-mata karena ada penilaian sebagai ahli al-jahr wa at-ta’dil, melainkan engkau harus meneliti kebenarannya karena masalah ini amat penting dan banyak kendalanya. Anda tidak berhak menerima penilaian seluruh orang yang men-jarh terhadap rawi yang mana pun.karena sering kali didapatkan suatu hal yang menyebabkan invalidasi suatu jarh”. Hal seperti ini banyak sekali bentuknya dan diketahui oleh mereka yang banyak menelaah kitab-kitab syariat, yaitu sebagai berikut.
a)      Orang yang menilai jarh itu sendiri kadangkala orang di-jarh. Dengan demikian, penilaian al-jarh wa ta’dil-nya tidak boleh diterima begitu saja selama tidak didapati penilaian yang sama dari olang lain.
Ibnu Hajar menjelaskan sehubungan dengan biografi Ahmad bin Syubaib setelah mengutip penilaian al-Azdi mengenainya yang berkata “ghair mardhiyyin”-“bahwa Ahmad bin Syubaib adalah orang yang tidak diteerima”. Berkata Ibnu Hajar, “tidak seorang pun menerima penilaian ini, justru al-Azdi sendiri yang ghair mardhiyyin”.
b)      Orang yang menilai jarh termasuk di antara orang yang sangat mempersulitkan dan memperberat. Mengingat ada sejumlah ulama al-jarh wa al-ta’dil yang memperberat perkataan ini. Mereka men-jarh para periwayat hanya karena kecacatan yang sangat sedikit. Orang yang seperti ini penilaian tsiqat-nya dapat diterima, sementara penilaian jarh-nya tidak dapat diterima begitu saja, melaikan apabila ada penilaian serupa dari orang lain yang objektif dan diperhitungkan. Diantara mereka adalah Abu Hatim, al-Nasa’i, Ibnu Mai’in, Ibnu al-qaththan, Yahya,al-Qathan, dan Ibnu Hibban. Mereka dikenal sebagai orang yang berlebihan dan terlalu keras dalam men-jarh. Maka hendaklah setiap peneliti bersikap hati-hati dan berfikir kritis terhadap rawi yang hanya dinilai jarh oleh mereka.[32]
Ilmu jarh wa al-ta’dil ini dipergunakan untuk penetapan apakah periwayat seorang perawi itu bisa di terima atau harus ditolak sama sekali. Apa bila seorang rawi “dijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus di tolak. Sebaliknya, bila dipuji maka hadisnya bisa di terima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.[33]
a.       Syarat pertama, al-Jarh wa al-Ta’dil diucapkan oleh ulama yang telah memenuhi segala syarat sebagai ulama al-Jarh wa al-Ta’dil.
b.      Syarat kedua, jarh tidak dapat diterima kecuali dijelaskan sebab-sebabnya. Adapun ta’dil tidak disyaratkan harus disertai dengan penjelasan sebab-sebabnya.
c.       Syarat ketiga, dapat diterima jarh yang sederhana tanpa dijelaskan sebab-sebabnya bagi periwayat yang sama sekali tidak ada yang men-ta’dil-nya.
d.      Syarat keempat, jarh harus terlepas dari berbagai hal yang menghalangi kediterimaanya. Maka bila ada hal-hal yang menghalanginya, jarh tidak dapat diterima.[34]
I.       Perlawanan antara Jarh dan Ta’dil
Apabila terdapat ta’arudl antara Jarh dan Ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama men-ta’dil’kan dan sebagian ulama yang lain men-jarh-kan dalam hal ini terdapat 4 pendapat:
1.    Jarah harus di dahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’addilnya lebih banyak daripada jarhnya. Sebab bagi jarih, tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’addil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu’addil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedangkan jarih memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh mu’addil. Pendapat ini dipegang oleh jamhuru’l-Ulama.
2.    Ta’dil harus didahulukan daripada Jarh
Karena si-jarih dalam meng’aibkan si-rawi kurang tepat, dikarenakan sebab yang digunakan untuk meng-aibkan itu bukan sebab yang dapat mencacatkan yang sebenarnya, apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedang mu’addil, sudah barang tentu tidak serampangan men-ta’dil-kan seseorang selama tidak mempunyai alasan yang tepat dan logis.
3.    Bila jumlah mu’addilnyalebih banyak daripada jarihnya, didahulukan ta’’dil. Sebab jumlah yang banyak itu dapat memperkuat kedudukan mereka dan mengharuskan untuk mengamalkan khabar-khabar mereka.
4.    Masih tetap dalam ke-ta’arudlan-nya selama belum ditemukan yang me-rajih-kannya. Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini, ialah jika jumlah mu-addil-nya lebih banyak, tetapi kalau jumlahnya seimbang antara mu’addil dan jarih-nya, maka mendahulukan jarah itu sudah merupakan putusan ijma’.[35]
J.      Tingkatan Lafazh-lafazh al-Jarh wa al-Ta’dil
Para perawi yang meriwayatkan hadis tidak semuanya berada dalam satu derajat. Bila di pandang dari segi keadilan, kedlabitan, dan hafalan mereka kondisinya seangat beragam.[36]Sebagaimana diketahui bahwa nilai (kualitas) perawi diikuti oleh nilai sanad, kemudian diketahuilah nilai suatu hadits. Tingkatan Jarh dan Ta’dil perawi berbeda-beda. Maratib (tingkatan) nilai Ta’dil disusun dengan urutan kebawah. Sedangkan tingkatan nilai Jarh disusun dengan susunan keatas.[37]
Lafad-lafad yang digunakan  untuk men-ta’dil-kan dan menjarihkan rawi-rawi itu bertingkat-tingkat. Menurut ibnu abi hatim, Ibnu’s-Shalah dan Imam An-Nawawi, lafadz-lafadz itu disusun menjadi 4 tingkatan, menurut Al-Hafidh Ad-Dzahabi dan Al-Iraqi menjadi 5 tingkatan dan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yakni:
Tingkatan dan Lafadh-lafadh untuk men-ta’dilkan rawi-rawi:
Pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan Lafadz-lafadz yang berbentuk af’alut-tafdlil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenis. Misalnya:
            أوثق النا س                    Orang yang paling tsiqah
            أثبت الناس حفظا وعدالة     Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya
            إلية المنتهى فى الثبت         Orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya
            ثقة فوق الثقة                   Orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah
                        Kedua, memperkuat ketsiqahan rawi dengan membumbuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan kedlabitannya, baik sifatnya yang dibubuhkan itu selafadh (dengan mengulangnya) maupun semakna. Misalnya:
ثبت ثبت                          orang yang teguh (lagi) teguh
ثقة ثقة                           orang yang tsiqah (lagi) tsiqah
حجة حخة                        orang yang ahli (lagi) petah lidahnya
ثبت ثبة                           orang yang teguh (lagi) tsiqah
حافظ حجة                       orang yang hafidh (lagi) petah lidahnya
ضا بط متقن                     orang yang kuat ingatan (lagi) meyakinkan ilmunya.[38]
                        Ketiga, menunjuk keadilan dengan suatu lafadh yang mengandung arti kuat ingatan. Misalnya:
ثبت                                orang yang teguh (hati dan lidahnya)
متقن                              orang yang meyakinkan (ilmunya)
ثقة                                orang yang tsiqah
حا فظ                             orang yang hafidh (kuat hafalannya)
حجة                               orang yang petah lidahnya
Keempat, menunjuk keadilan dan kedlabitan, tetapi dengan lafadh yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya:
            صدوق                           orang yang sangat jujur
            مأ مون                           orang yang dapat memegang amanat
            لا بأس به                        orang yang tidak cacat
Kelima, menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak terpaham adanya kedlabitan. Misalnya:
            محله الصدق                    orang yang berstatus jujur
            جيد الحديث                      orang yang baik haditsnya
            حسن الحديث                   orang yang bagus haditsnya
                        مقارب الحد يث                 orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits orang lain yang tsiqah
                                                Keenam, menunjukkan arti yang mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut diatas yang diikuti lafadh “insyaalloh” atau lafadh tersebut di-tashghir-kan (pengecilan arti), atau lafadh itu  dikaitkan dengan suatu pengharapan. Misalnya:
                        صدوق إن شاءالله             orang yang jujur insyaalloh
                        فلان أرجوبأن لابأس به       orang yang diharapkan tsiqah
                        فلان صو يلح                    orang yang sedikit keshalehannya
                        فلان مقبول حديثه              orang yang diterima haditsnya
                                                Para ahli ilmu mempergunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang dita’dilkan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedangkan hadits-hadits para rawi yang dita’dilkan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits perawi lain.[39]
                                                Tingkatan dan lafadh-lafadh untuk mentarjih rawi-rawi.
                                                Pertama, menunjukkan kepada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafadh-lafadh yang berbentuk af’alut-tafdlil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenisnya dengan itu. Misalnya:
                        أوضع النا س                   orang yang paling dusta
                        اكذب النا س                    orang yang paling bodoh
                        إليه المنتهى فى الوضع       orang yang paling top kebohongannya
                                                Kedua, menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan lafadh berbentuk shighat muballagah. Misalnya:
                        كذا ب                             orang yang pembohong
                        وضا ع                           orang yang pendusta
                        دجا ل                             orang yang penipu
                                                Ketiga, menunjuk pada tuduhan dusta, bohong atau lain sebagainya. Misalnya:
                        فلان متهم بالكذب              orang yang dituduh bohong
                        اومتهم بالوضع                 orang yang dituduh dusta
                        فلان فيه النظر                  orang yang perlu diteliti
                        فلا ن ساقط                      orang yang gugur
                        فلان ذهب الحد يث             orang yang haditsnya telah hilang
                        فلا ن متروك الحد يث         orang yang ditinggalkan haditsnya
                                                Keempat, menunjuk kepada berkesangatan lemah. Misalnya:
                        مطرح الحد يث                  orang yang dilempar haditsnya
                        فلان ضعيف                     orang yang lemah
                        فلان مرد ود الحديث          orang yang ditolak haditsnya
                                                Kelima, menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya. Misalnya:
                        فلان لايحتج به                  orang yang tiak dapat dibuat hujjah haditsnya
                        فلان مجهول                     orang yang tidak dikenal identitasnya
                        فلان منكر الحد يث             orang yang mungkar haditsnya
                        فلان مضطرب الحد يث        orang yang kacau haditsnya
فلان واه                         orang yang banyak duga-duga
                        Keenam, mensifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi sifat itu berdekatan dengan ‘adil. Misalnya:
ضعف حديثه                     orang yang didla’ifkan haditsnya
فلان مقل فيه                    orang yang diperbincangkan
فلان فيه خلف                   orang yang disingkirkan
فلان لين                         orang yang lunak
فلان ليس بالحجة              orang yang tidak dapat dibuat hujjah haditsnya
فلان ليس بالقوى               orang yang tidak kuat
                        Adapun orang yang ditarjih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkatan keempat, Haditsnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang ditarjih menurut tingkatan kelima dan keenam. Haditsnya masih dapat dipakai sebagai i’tibar (tempat membanding).
                        Perlu diketahui dalam masalah yang berkaitan dengan jarh an ta’dil ini bahwa para sahabat itu tidak menjadi sasaran dalam pembahasan ilmu ini. Sebab sudah disepakati oleh kebanyakan para muhaddisin bahwa para sahabat itu seluruhnya dipandang adil, karena itu semua periwayatannya dapat diterima. Dengan demikian yang menjadi sasaran utama ilmu jarh wat ta’dil ini ialah rawi-rawi selain sahabat.[40]
K.    Penutup
Ilmu Jarh wa Ta’dil merupakan ilmu yang membahas tentang perawi, baik yang dapat mencacatkan (menodai) ataupun yang membersihkan mereka dengan ungkapan lafadz lafadz tertentu.Cara mengetahui keadilan seorang rawi dapat ditentukan dengan: a) kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa ia terkenal sebagai orang yang adil; dan b) pujian dari seorang yang adil. Cara mengetahui kecacatan seorang rawi dapat ditentukan melalui 2 jalan yaitu: a) berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya; dan b)berdasarkan pentajrihannya dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat.
Para periwayat hadits (sekaligus penghimpunan hadits) sudah tidak dapat dijumpai secara fisik karena mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan pribadi mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka di bidang periwayatan hadits, diperlukan informasi. Kejelekan atau kekurangan yang dikemukakan hanya terbatas yang ada hubungannya dengan kepentingan penelitian periwayatan.











DAFTAR PUSTAKA
Suryadilaga, Alfatih, dkk. 2010. Ulumul Hadits. Yogyakarta: Teras
Yahub, Ali Mustofa. 2001. Dasar-dasar Ilmu Hadits. Jakarta: Putaka Firdaus
Rahman, Fatchur. 1981. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT. Al-ma’arif
Sulaiman, Muhammad Noor. 2008. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta
Suparta, Munzier. 2002. ilmu hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Nurunuddin’itr. 1994. Ulumul Al-hadits 1. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Nurunuddin’itr. 2012. Ulumul Al-hadits. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia
Smeer, Zeid B. 2008. Pengantar Studi Hadis Prakti. Malang: UIN-Malang Press
Bahrul Ma’ani.al-Jarh wa al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis dan Hadis Palsu,(Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010)

Catatan:
Makalah ini sudah cukup baik. Hanya saja, judul buku dalam footnote harus dibuat miring.


[1] Nurunuddin’itr, Ulumul Al-hadits 1, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 78
[2] Ibid hal. 78
[3]Muhammad Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta, 2008), hal. 176
[4]Alfatih suryadilaga,dkk, ulumul hadis, (yogyakarta: teras, 2010), hal. 156
[5]Muhammad Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta, 2008), hal. 176
[6] Alfatih suryadilaga,dkk, ulumul hadis, (yogyakarta: teras, 2010), hal. 156
[7] Munzier suparta, ilmu hadis, (jakarta: PT RajaGrafindo persada, 2002), hal. 31-32
[8] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 150
[9] Nurunuddin’itr, Ulumul Al-hadits 1, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 78
[10] Muhammad Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta, 2008), hal. 176
[11] Ibid hal.177
[12]Alfatih suryadilaga,dkk, ulumul hadis, (yogyakarta: teras, 2010), hal. 157-159
[13]BahrulMa’ani, al-Jarh wa al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis dan Hadis Palsu, (Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010), hal. 100-101
[14]Nurunuddin’itr, Ulumul Al-hadits 1, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 79
[15] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1981), hal. 271
[16] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 153
[17] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1981), hal. 269
[18] Ibid hal. 269
[19] Ibid hal. 269
[20] Ibid hal. 269
[21] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 153
[22] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1981), hal. 269
[23] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 152
[24] Ibid hal. 152
[25]BahrulMa’ani, al-Jarh wa al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis dan Hadis Palsu, (Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010), hal. 104
[26]Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1981), hal. 272
[27] Ali Mustafa Yaqub, Dasar-dasar Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hal. 40
[28] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1981), hal. 272
[29] Ibid hal 270
[30] Ibid hal. 271
[31]Zeid B. Smeer, Pengantar Studi Hadis Prakti, (Malang, UIN-Malang Press, 2008), hal 129
[32]Nurunuddin’itr, Ulumul Al-hadits , (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 88-89
[33] Munzier suparta, ilmu hadis, (jakarta: PT RajaGrafindo persada, 2002), hal. 32
[34] Nurunuddin’itr, Ulumul Al-hadits 1, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 82
[35] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1981), hal. 272
[36]Zeid B. Smeer, Pengantar Studi Hadis Prakti, (Malang, UIN-Malang Press, 2008), hal 138
[37]Muhammad Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta, 2008), hal. 177
[38] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1981), hal. 274
[39] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1981), hal. 276
[40] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1981), hal. 278

Tidak ada komentar:

Posting Komentar