ILMU JARH WA TA’DIL
Ardika Fateh Hukama, Abdul Bari
Jailani
Mahasiswa
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: ardikafateh@gmail.com
Abstract
To
determine a hadith is saheeh or not, whether it truly from the prophet or not,
a Hadith remains zhanny, because it contains of Discourse about
the narrator on both sanad and matan. In this case, the criticism
must be done to refine the hadith. Therefore, required al-Jarh wa al-ta'dil
knowledge which will be presented by the author in this article. The al-Jarh
wa al-ta'dil knowledge serves to investigate and weigh a hadith narrator,
narrator who gets heavy weight scales is received and otherwise. The author
assumes that al-Jarh wa ta'dil knowledge as an attempt to avoid any
doubt againts the Hadith, including selecting the saheeh and fake hadith.
Keywords:
Hadith, al-Jarh wa al-ta'dil knowledge, narrator, sanad
Abstrak
Untuk
mengetahui shahih dan tidaknya sebuah hadits, apakah benar-benar dari nabi atau
bukan, sebuah Hadits tetap bersifat zhanny, karena masih mengandung diskusus mengenai
perawi baik secara sanad maupun secara matan. Dalam hal ini,
kritik terhadap keduanya mesti dilakukan untuk menyaring hadits. Untuk itu
diperlukan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, yang akan dipaparkan oleh penulis dalam
artikel ini. Ilmu Jarh wa Ta’dil berfungsi untuk menyelidiki dan menimbang
seorang rawi hadits, rawi yang berat timbangannya diterima riwayatnya, dan rawi
yang ringan timbangannya tidak diterima riwayatnya. Maka penulis berasumsi,
Ilmu Jarh wa Ta’dil sebagai upaya untuk menghindari keraguan terhadap Hadits,
termasuk memilih hadits yang shahih dan palsu.
Kata
kunci : Hadits, Ilmu al-Jarh wa
al-Ta’dil, rawi, sanad
A.
Pendahuluan
Kedudukan hadits (al-Sunnah) sebagai sumber
ajaran Islam setelah al-Qur’an sudah tidak diperselisihkan lagi oleh para
ulama. Berhujjah dengan hadits sahih jelas tidak diperdebatkan lagi, bahkan
demikianlah yang semestinya. Namun bagaimana menentukan kesahihan suatu hadits
merupakan kajian yang sederhana. Suatu hal yang pasti ada jarak waktu yang
panjang antara masa kehidupan Rasulullah dengan masa penulisan dan pembukuan
suatu hadits.
Untuk meneliti kesahihan suatu hadis dalam
ilmu hadis dikembangkan dua cabang ilmu
yakni ilmu hadits riwayat, yang objek
kajiannya ialah bagaimana menerima, menyampaikan kepada orang lain, memindahkan
dan mendewankan dalam dewan hadis. Dalam menyampaikan dan mendewankan hadis
dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya. Ilmu
ini tidak membicarakan hal ihwal sifat perawi yang berkenaan dengan ‘adil,
dhabith atau fasik yang dapat berpengaruh terhadap sahih tidaknya suatu hadis.
Perihal perawi merupakan objek kajian ilmu hadits dirayah. Karena kedudukan
perawi sangat penting dalam menentukan kesahihan suatu hadis, maka ilmu hadis
dirayah membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan
perawi itu adalah melalui ilmu al- Jarh wa al-Ta’dil.
Ilmu Jarh wa al-Ta’dil adalah sebagai
“timbangan” bagi para perawi hadits. Rawi yang “berat” timbangannya diterima
riwayatnya, dan rawi yang “ringan’ timbangannya ditolak riwayatnya. Dengan ilmu
ini kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima haditsnya dan kita dapat
membedakannya dengan periwayat yang tidak dapat diterima haditsnya.[1]
Oleh karena itulah para ulama hadits
memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatian dan mencurahkan segala pikirannya
untuk menguasainya. Mereka pun ber-ijma’ akan validasinya, bahkan
kewajibannya karena kebutuhan yang mendesak akan ilmu ini.[2]
B. Pengertian Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil
Menurut bahasa, kata al-Jarh (الجرح) adalah bentuk
mashdar dari kata jaraha-yajrahu (جرح - يجرح), artinya melukai. Keadaan luka kena
senjata tajam, atau, dengan non-fisik, misalnya luka hati karena kata kasar
yang dilontarkan oleh seseorang. [3]Sedangkan
menurut terminologi ilmu hadis, kata jarh berarti upaya mengungkapkan
sifat-sifat tercela dari periwayat hadis yang menyebabkan lemah atau
teertolaknya riwayat yang disampaikan.[4]
Adapun kata al-Ta’dil (التعديل) adalah bentuk
mashdar dari kata kerja ’addala-yu’addilu (عدل - يعدل), artinya mengemukakan sifat-sisfat adil
yang dimiliki oleh seseorang.[5] Dalam terminologi ilmu hadis, kata ta’dil
berarti upaya mengungkap sifat-sifat bersih dari seorang periwayat hadis
sehingga nampak keadilan (‘adalah)-nya yang menyebabkan diterimanya sebuah
riwayat yang disampaikan,[6]
Para ahli hadis mendefinisikan al-jarh dengan:
اَلطَّعْنُ
فِى رَاوِى الَحدِيْثِ بِمَايَسْلُبُ أَوْيَخُلُّ بِعَدَاَلَتِهِ أَوْضَبْطِهِ
“kecacatan pada perawi Hadis disebabkan oleh
sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedabitan perawi ”.
Sedang
at-ta’dil, yang secara bahasa berarti at-tasywiyah
(menyamakan), menurut istilah berarti:
عَكْسُهُ
هُوَتَزْكِيَةُ الرَّوِي اوَالْحُكْمِ عَلَيْهِ بِأَنَّهُ عَدْلُ أوْضَابِطٌ
“lawan dari
al-jarh, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adil
atau dabit”.
Ualam
lain mendefinisikan al-jarh dan at-ta’dil dalam satu definisi, yaitu:
عِلْمٌ
يَبْحَثُ عَنِ الرُّوَاةِمِنْ حَيْثُ مَاوَرَدَفِى شَأْنِهِمْ مَمَّايَشْنِيهِمْ
أَوْيُزَكِّيْهِمْ بِألْفَاظٍ مُخْصُوْ صَةٍ
“ilmu yang membahas tentang para perawi Hadis dari segi yang
dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencatatkan atau membersihkan
mereka, dengan uangkapan atau lafaz tertentu”.[7]
Dengandemikian, ilmu Al-Jarhwa Ta’dil secara
etimologis berarti ilmu tentang kecacatan dan keadilan perawi hadis.
Secara terminologis al-Jarh, menurut Muhammad Ajaj al-Khatib adalah :
ظهور صفة فى
الروىيقسدعدالةاوحيل يفطه وطبته مايترتب عسقوط روايته اوطعفها وردها
“Tampak suatu sifat para perawi yang merusakkan
keadilannya, hafalannya, karena gugurlah riwayatnya atau dipandang lemah”
Sedangkan al-Ta’dil didefinisikan sebagai berikut:
وصفة الراوى بصفات تز كيه فيطهر عدا لة وتقبل خيره
“Menafsirkan para
perawi dengan sifat-sifat yang menetapkan kebersihannya, maka tampaklah
keadilannya, dan diterima riwayatnya”[8]
Al-Jarh wa al-Ta’dil menurut para Muhahaddisin adalah
dijelaskan sebagai berikut:
الجرح عند المحد ثين الطعن فى راوى الحديث بما يسلب او يخل بعدالته او
ضبطه
“jarh menurut muhaddisin
adalah menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga mengagkat atau mencacatkan
adalah atau kedhabitannya”
والتعديل عكسه وهو تزكية الراوى والحكم عليه باءنه عدل او ضابط
“Ta’dil adalah
kebalikan dari jarh, yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi dan
menghukuminya bahwa ia adil atau dhabith”[9]
Menurut istilah Ilmu hadits, al-jarh adalah
kecacatan para perawi hadits disebabkan oleh semua yang dapat merusak keadilan
dan kedhabitan perawi. Definisi lain menyatakan bahwa al-jarh adalah
pengungkapan keadaan perawi tentang sifat-sifatnya yang tercela menyebabkan
lemah atau ditolaknya riwayat yang disampaikan oleh periwayat tersebut.
sedangkan al-Ta’dil adalah mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri
periwayat, sehingga tampak jelas keadilan perawi itu dan karenanya riwayat yang
disampaikannya dapat diterima.[10]
Ulama memberi pengertian al-Jarh dan al-Ta’dil
dalam satu definisi, yaitu ilmu yang membahas tentang para perawi hadits dari
segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau
membersihkan mereka dengan ungkapan dan lafaz tertentu. M. Hasbi Ash-Shiddiqy
mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil ialah ilmu
yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan
tentang pen-ta’dilannya, degan memakai kata-kata yang khusus dan tentang
martabat kata-kata itu.[11]
Dari beberapa pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa yang dinamakan ilmu jarh wa ta’dil adalah ilmu yang
mempelajari keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolaknya riwayatnya.
C.
Sejarah Perkembangan Jarh dan Ta’dil
kitab al-Tsiqahkarangan Ibnu Hibban (351 H)
dan al-Tsiqahkarangan Kegiatan kritik
hadis sebagai upaya untuk membedakan yang benar dan salah, yang maqbul dan yang
mardud, benih-benihnya telah dimulai sejak masa Nabi Muhammad. Tapi pada waktu
itu hanya terbatas pada kritik matan (al-naqd ad-dakhilil) dengan cara
mengkorfirmasikan apa yang telah diterima sahabat dari sahabat yang lain kepada
Nabi Muhammad untuk membuktikan bahwa apa yang diterimanya itu benar dari
beliau. Atau, dengan cara membandingkannya dengan hadis yang lain atau dengan
ayat al-Qur’an. Kemudioan pada masa sahabat, kegiatan keritik hadis tidak hanya
terbatas pada matan saja, tetapi sudah mulai pada kritik sanad hadis (an-naqd
al-khariji). Di antar para sahabat yang perintis sanad hadis adalah Abu Bakar,
Umar bin Khattab, Alibin Abi Thalib, Aisyah, Abdullah bin umar, juga Ibnu Abbas
dan Ubadah bin shamit. Keritik terhadap sanad hadis ini terutama sertelah
terjadinya al-fitnah al-kubra (bencana besar) dengan terbunuhnya khalifah Usman
bin Affan (61 H) dengan peperangan antara Ali dan Muawiyah dengan menimbulkan
perpecahan di kalangan kaum muslimin.
Pada masa inilah mulai diletakkan azaz-azaz dan kaedah-kaedah ilmu jarh dan
ta’dil sebagai ilmu yang membahas tentang kritik hadis dari sanadnya. Dalam
hala ini, Ibnu sirin mengatakan bahwa pada mulanya kaum muslimin tidak
menanyakan tentang isnad. Namun setelah terjadi fitnah tersebut, maka selalu
menanyakan tentang periwayat hadis yang mereka terima.
Sikap keritis para
sahabat dalam meriwayatkan hadis dilanjutkan oleh kalangan tabiin. Di antarnya
mereka yang ahli di bidang karakteristik hadis pada disebutkan seperti Said bin
Musyyab (w. 93 H), Amir al-Sya’bi (w. 103 H), Muhammad bin Sirin (w. 110 H),
juga ulama berikutnya seeperi syu’ban bin Hajjaj (82-160 H), al-Awza’i (88-158
H), Malik bin Anas (93-179 H), Yahya bin Said al-Qattan (w. 198 H), dan
Abdurrahman bin al-Mahdi (135-198). Orang pertama yang menghimpun pembicaraan
mengenai jarh dan ta’dil adalah Yahya bin Said al-Qattan. Pada abad kedua
hijriah ini, ilmu jarh dan ta’dil belum dibukakan, tetapi baru merupakan
penyempurnaan dari azas dasar yang telah dilakukan pada masa sebelumnya.
Para ulama di atas,
selanjutnya, menghasilkan sejumlah besar murid yang ahli dibidang kritik hadis.
Di antara mereka yang tekenal adalah Yahya bin Ma’in (w. 223 H), murid dari
Yahya bin Said al-Qattan, Ali bin Madin (w. 234 H), Ahmad bin Hambal (w. 241
H). Kemudian muncul pula para ahli9 kritik hadis yang terkenal, di antarnya
Ibnu Isma’il al-Bukhari (194-259 H), Abu Zur’ah Abdullah Abd al-Karim ar-Razi
(200-264 H), Abu Hatim Muhammad bin Idris ar-Razi (240-377 H), dan lain-lain.
Pada abad ketiga inilah muncul kitab-kitab yang secara khusus membicarakan jarh
dan ta’dil seperti Ma’ruf ar-Rijal karya Yahya bin Ma’in, at-Tarikh al-kabir
karya Imam Bukhari, dan Kitab al-Jarh wa al-Ta’dil karya Abu Hatim ar-Razi.[12]
Secara gradual pada tiap masa selama delapan abad,
mulaimasa sahabat sampai masa hidup Ibnu Hajar (652 H), terdapat ulamayang
secara rutin melakukan penelitian tentang keadaan para perawiHadis dan kemudian
memberikan penilain secara objektif dan penuhrasa tanggung jawab. Bahkan hasil
penelitian mereka banyakdikodifikasi dan dikemas dalam kitab-kitab jarh
dan ta’dil.
Kitab-kitab yang disusun dengan metode jarh
danta’dil dapatdiklasifikasikan
sebagai berikut:
1.
Kitab yang
khusus menerangkan perawi-perawi yang tepercaya,seperti Zainuddin Qasim
Al-Hanafi (879 H) yangterdiri atas empat jilid yang memuat perawi tepercaya
yang tidakterdapat pada al-kutub
al-sittah.
2.
Secara khusus menerangkan perawi-perawi yang lemah,
antara lainkitab Adl al-Dhu’afakarya Imam Bukhari dan yang dikarang olehIbnul
Jauzi (597 H) serta al-Kamilkarangan Ibn
‘Adi (365 H).Kitab Ibn ‘Adi dipandang sebagai kitab jarhyang paling
lengkap,yakni sebanyak 12 jilid, yang dijadikan sebagai pegangan ulama.Kitab
Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal, karangan az-Zahabi (748H) yang disusun
secara alfabetis.
3.
Kitab-kitab yang menghimpun perawi yang tepercaya
dan lemah,antara lain al-Jarh wa
al-Ta’dilkarangan Ibnu Hatim al-Razi(337 H) sebanyak enam jilid dan al-Thabaqat
al-KubrakaranganMuhammad bin Sa’ad (235 H). Kitab-kitab tersebut
memuatperawi-perawi dari sahabatdan tabi’inserta generasi sesudahmereka.[13]
D. Syarat Ulama al-Jarh wa al-Ta’dil
Seorang Ulama al-Jarh wa al-Ta’dil harus
memenuhi kriteria-kriteria yang menjadikannya obyektif dalam menguak
karakteristik para periwayat. Syarat-syaratnya adalah:
1) Berilmu, bertaqwa, wara’, dan jujur. Karena
bila ia tidak memiliki sifat-sifat ini, maka bagaimanai ia dapat menghukumi
orang lain dengan al-Jarh wa al-Ta’dil yang senantiasa membutuhkan keadilan.
2) Ia mengetahui sebab-sebab al-jarh wa al-ta’dil.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan dalam syarh al-Nukhbah, “Tazkiyah (pembersihan
terhadap diri orang lain) dapat diterima bila dilakukan oleh orang yang
mengetahui sebab-sebabnya, bukan dari orang tidak mengetahuinya, agar ia tidak
memberikan tazkiyah hanya dengan apa yang kelihatan olehnya dengan sepintas
tanpa mendalami dan memeriksanya.
3) Ia mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa
Arab, sehingga suatu Lafazh yang digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya,
atau men-jarh dengan lafazh yang tidak sesuai untuk men-jarh.[14]
Sedangkan dalam buku Fatchura Rahman dalam
Ikhtisar Mushthalahul Hadits, dijelaskan bahwa syarat-syarat bagi orang yang
men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1) Berilmu Pengetahuan.
2) Taqwa.
3) Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan
maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat)
4) Jujur.
5) Menjauhi fanatik golongan, dan
6) Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan
untuk menjarh-kan.[15]
E. Macam-macam ke’aiban Rawi
Seorang perawi hadits dapat tidak diterima
periwayatannya manakala terdapat suatu sifat atau beberapa sifat yang dapat
menggugurkan keadilannya, yang efeknya tidak dapat diterima periwayatannya.
Sifat-sifat tersebut, antara lain diuraikan seperti berikut ini.
1. Bid’ah (melakukan tindakan tercela, diluar
ketentuan syari’at)
Yang dimaksud dengan ahli bid’ah, yaitu perawi
yang tergolong melakukan bid’ah, dalam hal i’tikad yang menyebabkan ia kufur,
maka riwayatnya ditolak.[16]
Orang yang disifati dengan bid’ah adakalanya
tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya tergolong orang yang difasiqkan.
Mereka yang dianggap kafir, ialah golongan rafidlah, yang mempercayai bahwa
Tuhan itu menyusup (bersatu) pada Sayyidina Ali, dan pada Imam-imam lain, dan
mempercayai bahwa Ali akan kembali lagi didunia sebelum hari kiamat. Sedangkan
orang-orang yang dianggap fasiq, ialah golongan yang mempunyai i’tiqad
berlawanan dengan dasar syariat.[17]
2. Mukhalafah (melaini dengan periwayatan orang
yang lebih tsiqah)
Mukhalafah
yang dapat menimbulkan kejanggalan dan kemungkaran suatu hadits, ialah apabila
seorang rawi yang setia ingatannya lagi jujur meriwayatkan suatu hadits berlawanan dengan riwayat orang
yang lebih setia ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang, yang kedua
periwayatan tersebut tidak dapat dijama’kan. Periwayatan yang demikian ini
disebut Syadz, dan kalau perlawanannya itu berkesangatan atau rawinya sangat
lemah hafalannya, periwayatannya (haditsnya) disebut munkar.[18]
3. Ghalat
(banyak kekeliruan dalam meriwayatkan)
Ghalat
(salah) itu kadang-kadang banyak dan kadang-kadang sedikit. Seorang rawi yang
disifati banyak kesalahannya, hendaklah diadakan peninjauan mengenai
Hadits-hadis yang telah diriwayatkannya. Kalau periwayatannya tersebut terdapat
pada periwayatan orang lain yang tidak disifati ghalat, maka hadits yang diriwayatkan
oleh orang yang banyak salah tersebut dapat dipakai, tetapi bukan menurut jalan
sanadnya. Sedangkan apabila tidak didapati selain dengan jalan sanadnya,
hendaklah ditawaqufkan.[19]
4. Jahalatul Hal (tidak dikenal identitasnya)
Merupakan pantangan untuk diterima haditsnya,
selama belum jelas identitasnya.[20]kecuali
dari golongan sahabat atau orang yang disebut dengan lafal yang menyebutkan
atau menunjukkan kepada kepercayaan, seperti kengan lafal hadatsan, tsiqan,
atau akbarnya ‘adlun, dan sebagainya.[21]
5. Da’wa’l-inqitha’ (diduga keras sanadnya tidak
bersambung)
Da’wa’l-inqitha’
(pendakwaan terputus) dalam sanad, misalnya menda’wa rawi mentadliskan atau
mengirsalkan suatu Hadits.[22]
6. Dusta
Yang dimaksud dengan dusta dalam hal ini ialah
bahwa orang itu pernah berbuat dusta terhadap sesuatu atau beberapa hadits.
Dalam pengertian, seorang rawi berbuat dusta terhadap Rasulullah saw., seperti
membuat hadits palsu, pernah menjadi saksi palsu, kecuali ia sudah tobat.[23]
7. Tertuduh berbuat dusta
Yang
diamaksud tertuduh berbuat dusta adalah seorang perawi sudah tenar ikalangan
masyarakat sebagai orang yang berdusta. Periwayatan orang yang tertuduh dusta
dapat diterima apabila ia betul-betul telah betaubat sehingga masyarakat tidak
lagi menuduh pendusta.[24]
F. Jumlah orang yang dipandang cukup untuk
men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan rawi
Selanjutnya tentang jumlah orang yang dipandang
cukup untuk melakukan ta’dil dan tajrihterhadap perawi juga terdapat
perselisihan pendapat, antara lain:[25]
1. Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah
maupun soal riwayah.[26]ketika
jarh dan ta’dil berkumpul berada pada diri seorang rawi, maka jarh pada diri
rawi itu lebih dulu dilakukan. Namun ada yang berpendapat, jika banyak ahli
yang menta’dilkannya, maka ta’dil lebih dahulu dilakukan.[27]
2. Cukup seorang saja dalam soal riwayah bukan
dalam soal syahadah. Sebab oleh karena bilangan itu tidak menjadi syarat dalam
penerimaan hadits, maka tidak pula disyaratkan dalam menta’dilkan dan
mentarjihkan rawi-rawi. Berlainan dalam soal syahadah.
3. Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah
maupun dalam soal syahadah.
Adapun
kalau ke’adalahannya (keadilannya) itu diperoleh atas dasar pujian orang banyak
atau dimasyhurkan oleh ahli-ahli ilmu, maka tidak memperlukan orang yang
men-ta’dil-kan (muzakky = mu’addil). Seperti Maliki, As-Syafi’iy, Ahmad bin
Hanbal, Al-Laits, Ibnu’l-Mubarak, Syu’bah, Is-haq, dan lain-lainnya.[28]
G. Jalan-jalan untuk mengetahui keadilan dan
kecacatan rawi dan masalah-masalahnya
Men-ta’dil-kan (menganggap adil seorang rawi)
ialah memuji rawi dengan sifat-sifat yang membawa keadilannya, yakni
sifat-sifat yang dijadikan dasar penerimaan riwayat. Keadilan seorang rawi itu
dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut.
Pertama, dengan
kepopulerannya dikalangan para ahli ilmu, bahwa ia terkenal sebagai orang yang
adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai seorang yang adil di
kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah bin
al-Hajjaj, Asy-Syafi’iy, Ahmad, dan lainnya. Hal ini karena mereka sudah
terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak
perlu lagi untuk diperbincangkan tentang keadilannya.
Kedua, dengan
pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), yakni ditetapkan sebagai rawi yang
adil oleh orang yang adil, yang semula rawi yang dita’dilkan itu belum dikenal
sebagai rawi yang adil. Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah
dapat dilakukan oleh:
a. seorang rawi yang adil. Jadi tidak perlu
dikaitkan dengan banyaknya orang yang meta’dilkan. Sebab jumlah itu tidak
menjadi syarat untuk penerimaan riwayat (hadits). Oleh karena itu jumlah
tersebut tidak menjadi syarat pula untuk menta’dilkan seorang rawi. Demikian
menurut pendapat kebanyakan Muhadditsin. Berlainan dengan pendapat para fuqaha
yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyahkan seorang
rawi.
b. setiap orang yang dapat diterima
periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan dan baik orang yang merdeka
maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.[29]
Penetapan
tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh dengan dua jalan:
a. berdasarkan berita tentang ketenaran seorang
rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik
atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemashuran
itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
b. berdasarkan pentarjihan dari seorang yang adil
yang telah mengetahui sebab-sebab ia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang
oleh Muhadditsin, sedangkan menurut para fuqaha sekurang-kurangnya harus
ditarjih oleh dua orang laki-laki yang adil.[30]
H. Syarat diterimanya al-Jarh wa al-Ta’dil
Proses untuk mendeteksi kebenaran suatu berita
yang disampaikan oleh seorang melelui pelacakan dan kredibiltas penuturnya.
Sifat, karakter, dan kepribadian pembawa berita sangat dipertimbangkan bahkan
dijadikan sebagai landasan dalam menentukan layak tidaknya berita tersebut
untuk diterima.[31]
Al-Laknaewi
menjelaskan dalam kitab al-Rafu Wa al-takmiil, “Wajib bagimu untuk tidak
tergesa-gesa menghukumi jarh terhadap seorang rawi semata-mata karena ada
penilaian sebagai ahli al-jahr wa at-ta’dil, melainkan engkau harus meneliti
kebenarannya karena masalah ini amat penting dan banyak kendalanya. Anda tidak
berhak menerima penilaian seluruh orang yang men-jarh terhadap rawi yang mana
pun.karena sering kali didapatkan suatu hal yang menyebabkan invalidasi suatu
jarh”. Hal seperti ini banyak sekali bentuknya dan diketahui oleh mereka yang
banyak menelaah kitab-kitab syariat, yaitu sebagai berikut.
a)
Orang yang menilai jarh itu sendiri kadangkala
orang di-jarh. Dengan demikian, penilaian al-jarh wa ta’dil-nya tidak boleh
diterima begitu saja selama tidak didapati penilaian yang sama dari olang lain.
Ibnu Hajar menjelaskan sehubungan dengan biografi
Ahmad bin Syubaib setelah mengutip penilaian al-Azdi mengenainya yang berkata
“ghair mardhiyyin”-“bahwa Ahmad bin Syubaib adalah orang yang tidak diteerima”.
Berkata Ibnu Hajar, “tidak seorang pun menerima penilaian ini, justru al-Azdi
sendiri yang ghair mardhiyyin”.
b) Orang yang menilai
jarh termasuk di antara orang yang sangat mempersulitkan dan memperberat.
Mengingat ada sejumlah ulama al-jarh wa al-ta’dil yang memperberat perkataan
ini. Mereka men-jarh para periwayat hanya karena kecacatan yang sangat sedikit.
Orang yang seperti ini penilaian tsiqat-nya dapat diterima, sementara penilaian
jarh-nya tidak dapat diterima begitu saja, melaikan apabila ada penilaian
serupa dari orang lain yang objektif dan diperhitungkan. Diantara mereka adalah
Abu Hatim, al-Nasa’i, Ibnu Mai’in, Ibnu al-qaththan, Yahya,al-Qathan, dan Ibnu
Hibban. Mereka dikenal sebagai orang yang berlebihan dan terlalu keras dalam
men-jarh. Maka hendaklah setiap peneliti bersikap hati-hati dan berfikir kritis
terhadap rawi yang hanya dinilai jarh oleh mereka.[32]
Ilmu jarh wa al-ta’dil ini dipergunakan untuk
penetapan apakah periwayat seorang perawi itu bisa di terima atau harus ditolak
sama sekali. Apa bila seorang rawi “dijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang
cacat, maka periwayatannya harus di tolak. Sebaliknya, bila dipuji maka hadisnya
bisa di terima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.[33]
a. Syarat pertama, al-Jarh wa al-Ta’dil diucapkan oleh ulama
yang telah memenuhi segala syarat sebagai ulama al-Jarh wa al-Ta’dil.
b. Syarat kedua, jarh tidak dapat diterima kecuali dijelaskan sebab-sebabnya.
Adapun ta’dil tidak disyaratkan harus disertai dengan penjelasan
sebab-sebabnya.
c. Syarat ketiga, dapat diterima jarh yang sederhana tanpa
dijelaskan sebab-sebabnya bagi periwayat yang sama sekali tidak ada yang
men-ta’dil-nya.
d. Syarat keempat, jarh harus terlepas dari berbagai hal yang
menghalangi kediterimaanya. Maka bila ada hal-hal yang menghalanginya, jarh
tidak dapat diterima.[34]
I. Perlawanan antara Jarh dan Ta’dil
Apabila terdapat ta’arudl antara Jarh dan
Ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama men-ta’dil’kan dan sebagian
ulama yang lain men-jarh-kan dalam hal ini terdapat 4 pendapat:
1. Jarah harus di dahulukan secara mutlak,
walaupun jumlah mu’addilnya lebih banyak daripada jarhnya. Sebab bagi jarih,
tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’addil, dan kalau
jarih dapat membenarkan mu’addil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya
saja, sedangkan jarih memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh
mu’addil. Pendapat ini dipegang oleh jamhuru’l-Ulama.
2. Ta’dil harus didahulukan daripada Jarh
Karena
si-jarih dalam meng’aibkan si-rawi kurang tepat, dikarenakan sebab yang
digunakan untuk meng-aibkan itu bukan sebab yang dapat mencacatkan yang
sebenarnya, apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedang mu’addil, sudah barang
tentu tidak serampangan men-ta’dil-kan seseorang selama tidak mempunyai alasan
yang tepat dan logis.
3. Bila jumlah mu’addilnyalebih banyak daripada
jarihnya, didahulukan ta’’dil. Sebab jumlah yang banyak itu dapat memperkuat
kedudukan mereka dan mengharuskan untuk mengamalkan khabar-khabar mereka.
4. Masih tetap dalam ke-ta’arudlan-nya selama
belum ditemukan yang me-rajih-kannya. Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab
timbulnya khilaf ini, ialah jika jumlah mu-addil-nya lebih banyak, tetapi kalau
jumlahnya seimbang antara mu’addil dan jarih-nya, maka mendahulukan jarah itu
sudah merupakan putusan ijma’.[35]
J. Tingkatan Lafazh-lafazh al-Jarh wa al-Ta’dil
Para perawi yang meriwayatkan hadis tidak
semuanya berada dalam satu derajat. Bila di pandang dari segi keadilan,
kedlabitan, dan hafalan mereka kondisinya seangat beragam.[36]Sebagaimana
diketahui bahwa nilai (kualitas) perawi diikuti oleh nilai sanad, kemudian
diketahuilah nilai suatu hadits. Tingkatan Jarh dan Ta’dil perawi berbeda-beda.
Maratib (tingkatan) nilai Ta’dil disusun dengan urutan kebawah. Sedangkan
tingkatan nilai Jarh disusun dengan susunan keatas.[37]
Lafad-lafad yang digunakan untuk men-ta’dil-kan dan menjarihkan
rawi-rawi itu bertingkat-tingkat. Menurut ibnu abi hatim, Ibnu’s-Shalah dan
Imam An-Nawawi, lafadz-lafadz itu disusun menjadi 4 tingkatan, menurut
Al-Hafidh Ad-Dzahabi dan Al-Iraqi menjadi 5 tingkatan dan Ibnu Hajar
menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yakni:
Tingkatan dan Lafadh-lafadh untuk men-ta’dilkan
rawi-rawi:
Pertama, segala
sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan
Lafadz-lafadz yang berbentuk af’alut-tafdlil atau ungkapan lain yang mengandung
pengertian yang sejenis. Misalnya:
أوثق النا س Orang
yang paling tsiqah
أثبت الناس حفظا وعدالة Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya
إلية المنتهى فى الثبت Orang yang paling top
keteguhan hati dan lidahnya
ثقة فوق الثقة Orang yang tsiqah
melebihi orang yang tsiqah
Kedua, memperkuat ketsiqahan rawi
dengan membumbuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan
kedlabitannya, baik sifatnya yang dibubuhkan itu selafadh (dengan mengulangnya)
maupun semakna. Misalnya:
ثبت ثبت orang yang teguh (lagi)
teguh
ثقة ثقة orang yang tsiqah
(lagi) tsiqah
حجة حخة orang yang ahli (lagi) petah
lidahnya
ثبت ثبة orang yang teguh (lagi)
tsiqah
حافظ حجة orang yang hafidh
(lagi) petah lidahnya
Ketiga, menunjuk keadilan dengan suatu lafadh yang mengandung
arti kuat ingatan. Misalnya:
ثبت orang yang teguh (hati
dan lidahnya)
متقن orang yang meyakinkan
(ilmunya)
ثقة orang yang tsiqah
حا فظ orang yang hafidh (kuat
hafalannya)
حجة orang yang petah
lidahnya
Keempat,
menunjuk keadilan dan kedlabitan, tetapi dengan
lafadh yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya:
صدوق orang yang sangat jujur
مأ مون orang yang dapat
memegang amanat
لا بأس به orang yang tidak cacat
Kelima, menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak terpaham adanya
kedlabitan. Misalnya:
محله الصدق orang yang berstatus
jujur
جيد الحديث orang yang baik
haditsnya
حسن الحديث orang yang bagus
haditsnya
مقارب
الحد يث orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits orang
lain yang tsiqah
Keenam, menunjukkan arti yang
mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut diatas yang diikuti lafadh
“insyaalloh” atau lafadh tersebut di-tashghir-kan (pengecilan arti), atau
lafadh itu dikaitkan dengan suatu
pengharapan. Misalnya:
صدوق إن شاءالله orang yang jujur insyaalloh
فلان
أرجوبأن لابأس به orang yang diharapkan
tsiqah
فلان
صو يلح orang yang sedikit keshalehannya
فلان
مقبول حديثه orang yang diterima
haditsnya
Para ahli ilmu mempergunakan hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh rawi-rawi yang dita’dilkan menurut tingkatan pertama sampai
tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedangkan hadits-hadits para rawi yang
dita’dilkan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru
dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits perawi lain.[39]
Tingkatan
dan lafadh-lafadh untuk mentarjih rawi-rawi.
Pertama,
menunjukkan kepada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan
lafadh-lafadh yang berbentuk af’alut-tafdlil atau ungkapan lain yang mengandung
pengertian yang sejenisnya dengan itu. Misalnya:
أوضع النا س orang yang paling dusta
اكذب
النا س orang yang paling bodoh
إليه
المنتهى فى الوضع orang yang paling top
kebohongannya
Kedua, menunjuk kesangatan cacat
dengan menggunakan lafadh berbentuk shighat muballagah. Misalnya:
كذا
ب orang yang pembohong
وضا
ع orang yang pendusta
دجا
ل orang yang penipu
Ketiga,
menunjuk pada tuduhan dusta, bohong atau lain sebagainya. Misalnya:
فلان
متهم بالكذب orang yang dituduh
bohong
اومتهم
بالوضع orang yang dituduh dusta
فلان
فيه النظر orang yang perlu
diteliti
فلا
ن ساقط orang yang gugur
فلان
ذهب الحد يث orang yang haditsnya
telah hilang
فلا
ن متروك الحد يث orang yang ditinggalkan
haditsnya
Keempat, menunjuk kepada berkesangatan
lemah. Misalnya:
مطرح
الحد يث orang yang dilempar
haditsnya
فلان
ضعيف orang yang lemah
فلان
مرد ود الحديث orang yang ditolak
haditsnya
Kelima,
menunjuk kepada
kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya. Misalnya:
فلان لايحتج به orang yang tiak dapat dibuat hujjah haditsnya
فلان
مجهول orang yang tidak dikenal identitasnya
فلان
منكر الحد يث orang yang mungkar
haditsnya
فلان
مضطرب الحد يث orang yang kacau
haditsnya
فلان واه orang yang banyak
duga-duga
Keenam, mensifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk
kelemahannya, tetapi sifat itu berdekatan dengan ‘adil. Misalnya:
ضعف حديثه orang yang didla’ifkan
haditsnya
فلان مقل فيه orang yang
diperbincangkan
فلان فيه خلف orang yang disingkirkan
فلان لين orang yang lunak
فلان ليس بالحجة orang yang tidak dapat
dibuat hujjah haditsnya
فلان ليس بالقوى orang yang tidak kuat
Adapun orang yang ditarjih menurut tingkat pertama
sampai dengan tingkatan keempat, Haditsnya tidak dapat dibuat hujjah sama
sekali. Adapun orang-orang yang ditarjih menurut tingkatan kelima dan keenam.
Haditsnya masih dapat dipakai sebagai i’tibar (tempat membanding).
Perlu diketahui dalam masalah yang berkaitan
dengan jarh an ta’dil ini bahwa para sahabat itu tidak menjadi sasaran dalam
pembahasan ilmu ini. Sebab sudah disepakati oleh kebanyakan para muhaddisin
bahwa para sahabat itu seluruhnya dipandang adil, karena itu semua
periwayatannya dapat diterima. Dengan demikian yang menjadi sasaran utama ilmu
jarh wat ta’dil ini ialah rawi-rawi selain sahabat.[40]
K. Penutup
Ilmu
Jarh wa Ta’dil merupakan ilmu yang membahas tentang perawi, baik yang dapat
mencacatkan (menodai) ataupun yang membersihkan mereka dengan ungkapan lafadz
lafadz tertentu.Cara mengetahui keadilan seorang rawi dapat ditentukan dengan: a)
kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa ia terkenal sebagai orang yang
adil; dan b) pujian dari seorang yang adil. Cara mengetahui kecacatan seorang
rawi dapat ditentukan melalui 2 jalan yaitu: a) berdasarkan berita tentang
ketenaran seorang rawi dalam keaibannya; dan b)berdasarkan pentajrihannya dari
seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat.
Para
periwayat hadits (sekaligus penghimpunan hadits) sudah tidak dapat dijumpai
secara fisik karena mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan
pribadi mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka di bidang periwayatan
hadits, diperlukan informasi. Kejelekan atau kekurangan yang dikemukakan hanya
terbatas yang ada hubungannya dengan kepentingan penelitian periwayatan.
DAFTAR PUSTAKA
Suryadilaga, Alfatih, dkk. 2010. Ulumul
Hadits. Yogyakarta: Teras
Yahub, Ali Mustofa. 2001. Dasar-dasar
Ilmu Hadits. Jakarta: Putaka Firdaus
Rahman, Fatchur. 1981. Ikhtisar
Mushthalahul Hadits. Bandung: PT. Al-ma’arif
Sulaiman,
Muhammad Noor. 2008. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press
Jakarta
Suparta, Munzier. 2002. ilmu hadis.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Nurunuddin’itr. 1994. Ulumul
Al-hadits 1. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Nurunuddin’itr. 2012. Ulumul
Al-hadits. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul
Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia
Smeer, Zeid B. 2008. Pengantar
Studi Hadis Prakti. Malang: UIN-Malang Press
Bahrul Ma’ani.al-Jarh wa
al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis dan Hadis Palsu,(Media Akademika
Volume 25, No. 2, April 2010)
Catatan:
Makalah ini sudah cukup baik. Hanya
saja, judul buku dalam footnote harus dibuat miring.
[1] Nurunuddin’itr, Ulumul
Al-hadits 1, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 78
[2] Ibid hal. 78
[3]Muhammad Noor Sulaiman,
Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta, 2008), hal. 176
[4]Alfatih suryadilaga,dkk,
ulumul hadis, (yogyakarta: teras, 2010), hal. 156
[5]Muhammad Noor Sulaiman,
Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta, 2008), hal. 176
[6] Alfatih suryadilaga,dkk,
ulumul hadis, (yogyakarta: teras, 2010), hal. 156
[7] Munzier suparta, ilmu
hadis, (jakarta: PT RajaGrafindo persada, 2002), hal. 31-32
[8] Sohari Sahrani, Ulumul
Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 150
[9] Nurunuddin’itr, Ulumul
Al-hadits 1, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 78
[10] Muhammad Noor Sulaiman,
Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta, 2008), hal. 176
[11] Ibid hal.177
[12]Alfatih suryadilaga,dkk,
ulumul hadis, (yogyakarta: teras, 2010), hal. 157-159
[13]BahrulMa’ani, al-Jarh wa
al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis dan Hadis Palsu, (Media Akademika Volume
25, No. 2, April 2010), hal. 100-101
[14]Nurunuddin’itr, Ulumul
Al-hadits 1, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 79
[15] Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1981), hal. 271
[16] Sohari Sahrani, Ulumul
Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 153
[17] Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1981), hal. 269
[18] Ibid hal. 269
[19] Ibid hal. 269
[20] Ibid hal. 269
[21] Sohari Sahrani, Ulumul
Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 153
[22] Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1981), hal. 269
[23] Sohari Sahrani, Ulumul
Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 152
[24] Ibid hal. 152
[25]BahrulMa’ani, al-Jarh wa
al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis dan Hadis Palsu, (Media Akademika Volume
25, No. 2, April 2010), hal. 104
[26]Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1981), hal. 272
[27] Ali Mustafa Yaqub,
Dasar-dasar Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hal. 40
[28] Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1981), hal. 272
[29] Ibid hal 270
[30] Ibid hal. 271
[31]Zeid B. Smeer, Pengantar
Studi Hadis Prakti, (Malang, UIN-Malang Press, 2008), hal 129
[32]Nurunuddin’itr, Ulumul
Al-hadits , (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 88-89
[33] Munzier suparta, ilmu
hadis, (jakarta: PT RajaGrafindo persada, 2002), hal. 32
[34] Nurunuddin’itr, Ulumul
Al-hadits 1, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 82
[35] Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1981), hal. 272
[36]Zeid B. Smeer, Pengantar
Studi Hadis Prakti, (Malang, UIN-Malang Press, 2008), hal 138
[37]Muhammad Noor Sulaiman,
Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta, 2008), hal. 177
[38] Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1981), hal. 274
[39] Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1981), hal. 276
[40] Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1981), hal. 278
Tidak ada komentar:
Posting Komentar