Kamis, 02 Maret 2017

Nasikh dan Mansukh dalam al-Qur'an (P-IPS C Semester genap 2016/2017)




Nasikh Mansukh dalam Al-Quran

Baitur Rohim dan Daura Dirasia Hacika Triandofa
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas C Angakatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail:Baiturrohim27@gmail.com
Abstract
            This article is going to discuss a key theme in the study of Nasikh and Mansukh. Studies on Nasikh and Mansukh in the Qur'an is very important to be studied and understood correctly because it would be fatal if the wrong in understanding it. Until there is a saying that the verses mansukh it need not exist in the Qur'an as the legal aspect is not used anymore. It is erroneous pehaman against this understanding.In this paper, the authors should be born law is the law which according to all the times. But in reality the theory nasikh mansukh no longer give birth to Islamic law in accordance with today's contemporary cultural context. Therefore, some contemporary Muslim jurists there are seeking the reconstruction of the theory in order to give birth to a more appropriate legal again with the demands of the times.
Keywords: Nasikh, Mansukh, Al-Quran
Abstrak
            Artikel  ini  hendak  membahas sebuah  tema  pokok  dalam  kajian Nasikh  dan  Mansukh.  Kajian  tentang Nasikh  dan  Mansukh  dalam  Al-Qur’an  sangat  penting  untuk dikaji  dan  dipahami  secara  benar  karena  akan  berakibat  fatal apabila  salah  dalam  memahaminya. Sampai  ada  yang  mengatakan  bahwa  ayat-ayat  mansukh  itu tidak perlu keberadaannya dalam Al-Qur’an karena pada aspek hukum  tidak  dipakai  lagi.  Itu  adalah  pehaman  yang  keliru terhadap pemahaman ini. Dalam tulisan ini, penulis hukum yang dilahirkan semestinya merupakan hukum yang sesuai dengan segala perkembangan zaman. Namun kenyataannya teori nasikh mansukh tersebut tidak lagi melahirkan hukum Islam yang sesuai dengan konteks budaya kontemporer saat ini. Karenanya, sebagian ahli hukum Islam kontemporer ada yang mengupayakan rekonstruksi terhadap teori tersebut dengan tujuan agar dapat melahirkan hukum yang lebih sesuai lagi dengan tuntutan zaman.

Kata Kunci : Nasikh, Mansukh, Al-Quran

Pendahuluan
Pengertian nasikh manshukh ialah menghapus bisa juga menghilangkan maupun memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain atau pengertian yang lain adalah membatalkan pengamalan satu hukum syar‘i dengan menggunakan dalil yang datang kemudian.
Konsep naskh dalam urusan manusia bisa diterima. Namun, jika dikaitkan dengan hukum Tuhan (al-tasyri’ ilahi) yang diturunkan, ini secara mutlak tidak dapat diterima. Konsep mansukh berkaitan erat dengan pemeliharaan maslahat ummat dan fleksibelitas hukum Islam yang disyari’atkan bagi umat Islam. Apabila tahapan berlakunya suatu hukum menurut kehendak syar’i sudah terpenuhi, maka datang tahapan berikutnya, sehingga kemaslahatan dan ketentraman umat manusia senantiasa terpelihara.
Prinsip tentang nasikhmansukh adalah hukum yang telah ditetapkan Allah adalah karena adanya kebaikan atau kerusakan. Sesuatu yang mengandung kebaikan tidak mungkin beralih menjadi kerusakan, begitu pula sebaliknya.
Tujuan kebaikan dan kemerdekaan bagi ummat, karena nasakh jika memberatkan mengandung makna tambahnya pahlma dan jika meringankan mengandung makna memudahkan.
Manfaatnya menjaga kemaslahatan hamba, berkembangnya penetapan suatu syariatpada tingkat kesempurnaan seiring dengan berkembangnyakeadaan manusia.

B. Pengertian Nasikh Mansukh
            Definisi nasikh secara epistimologi ialah“Izalah”yang memiliki arti menghilangkan[1]. Seperti contoh berikut: نَسَخْتُ المِمْسَحَةِ رَسْماً artinya penghapus menghilangkan tulisan.Ada pula yang berpendapat bahwa Nasikh yaitu memindahkan sesuatu dari suatu tempat ketempat yang lain[2]. Seperti contoh berikut: عَلِي يَنْسَحُ القُرْآنُ عَلَى مَكْتَبِ اِلَى الحِزَانَةِ artinya Ali memindahkan Al-Quran dari atas meja kedalam almari. Nasikh juga dapatdiartikan pula dengan Al-Ibthlm (الاِبْطاَلْ) yang artinya membatalkan[3]. Seperti contoh berikut: اِبْطَلْتُ الدَّيْنُ مَعَكَ artinya Saya membatalkan janji dengan mu(laki-laki). Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa secara etimologi nasikh memiliki beberapa arti diantaranya menghilangkan, memindahkan, membatalkan yang mana tetera didalam Al-Quran. Kata naskh dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 4 kaili dalam surat:
Al-Baqarah ayat 106
مَانَنْسَحْ مِنْ ايَةٍ اَوْنُنْسِهاَ نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَآ اَوْمِثْلِهاَ اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللّهَ عَلى كُلِّ شَئٍ قَدِيْرٌ
Artinya: “Ayat mana saja yang Kami nasakh kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa seseungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?.”
Al-A’raf ayat 154
وَلَمَّاسَكَتَ عَنْ مُّوْسَى الغَضَبُ اَخَذَالوَاحَوَفِيْ نُسْخَتِهاَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِلَّذيْنَ هُمْ لِرَبِّهِمْ يَرْهَبُوْنَ
Artinya: “Sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) al-wah (Taurat) itu dan dalam tulisanya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya.”
Al-Hajj ayat 52
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayatNya. Dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana.”
Al-Jasiyah ayat 29
هَذَا كِتَابُنَا يَنطِقُ عَلَيْكُم بِالْحَقِّ إِنَّا كُنَّا نَسْتَنسِخُ مَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: “(Allah berfirman), “inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan.”[4]
            Secara terminologi definisi nasikh ialah رَفْعُ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ مُتَأَخِّرٍ artinya “menghapus hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian”[5]. Dapat dimengerti dari termonolgi tersebut, bahwasannya apabila suatu ayat yang dinasakh oleh ayat lain, maka  hukum yang ada didalam ayat tersebut telah dihapus dan digantikan oleh hukum yang terdapat dalam ayat yang datang kemudian. Maka hukum pada ayat yang dinasakh tidak lagi digunakan menurut syara’ namun hukum yang datang kemudianlah yang digunakan sebagai ketentuan suatu hukum terbaru.
            Terdapat dua perbedaan mengenai nasakh secara terminologi bagi para ulama mutaqaddimin dan muta’akhirin. Para ulama’ mutaqaddimin lebih luas dalam mengartikan makna nasakh dalam Al-qur’an yang mencakup pembatalan, pengecualian dan penjelasan hukum. Sedangkan para ulama’ muta’akhirin mengartikan makna nasakh lebih sempit yang mana hukum yang datang telah berlaku dan membatalkan hukum terdahulu. Perbedaan ini disebabkan karena bedanya masa hidup para ulama’ mutaqaddimin yang mana hidup pada abad I-III telah memperluas arti karena masa hidupnya masih mengikuti zaman Rosulullah dimana beliau masih menerima wahyu yang diantaranya terdapat nas-nas Al-Quran yang dihapus oleh nas-nas yang datang berikutnya, sehingga terjadilah pembatalan hukum, perluasan hukum secara umum, dan penetapan syarat sesuatu. Sedangkan ulama’ mutaakhirin hanya merangkum dari ulama’ mutaqaddimin bahwasanya hukum yang berlaku adalah hukum dari nas-nas yang datang terakhir.
            Kata mansukh berasal dari kata nasakh yang artinya menghapus, akan tetapi mengikuti wazan isim maf’ul sehingga menunjukkan makna sesuatu yang dikenai pekerjaan. Oleh sebab itu kata mansukh secara bahasa adalah dihapuskan atau yang diangkat. Setiap nasakh pasti ada mansukh, hlm ini dikarenakan keduanya saling berkaitan. Jika ada hukum syara’ yang menghapus, maka pastilah ada hukum syara yang telah dihapuskan. Dari sinilah dapat difahami bahwa masukh adalah ayat yang hukumnya telah dihapus atau digantikan oleh hukum yang datang setelahnya. Maka ayat mawarits (warisan) atau hukum yang terkandung didalamnya, misalnya adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orangtua atau kerabat (mansukh)[6].
            Nasikh mansukh dalam Al-Quran ini mendapat perhatian dari para ulama’. Terdapat dua golongan ulama’ ushul, dimana golongan pertama adalah golongan yang dipelopori oleh Asy-Syafi’i, An-Nas, As-Suyuti, dan Asy-Syaukani. Mereka menyatakan bahwa dalam Al-Quran terdapat nasikh mansukh. Alasan-alasan dari golongan ini berdasarkan dari firman Allah yang tertera dalam QS. Al-Baqarah ayat 106 dan QS. An-Nahl ayat 10. Sedangkan dari golongan kedua yang dipelopori oleh Abu Muslim Isfahan, Al-Fakhrur Razi, Rasyid Ridha, dan Muhammad Abduh. Mereka menyatakan bahwa dalam Al-Quran tidak ada nasikh mansukh alasnya terdapat dalam QS. Al-Kahfi ayat 27 yang mana menurut ayat ini , nyata tidak seorang pun dapat atau berhak mengubah firman-firman Allah. Imam Abu Muslim al-Isfahani seorang ahli tafsir yang bijaksan berkata: “Tidak ada dalam Al-Quran satu ayat pun yang dimansukh kan”. [7]
            Abdullah Ahmad an-An-Naim salah satu tokoh pembaharuan dan guru besar dibidang hukum islam. Teori landasan ini mengangkat nasikh menurut bahasa dipergunakan maupun pembatalan. Kemudai jika diliat secara istilah yang masuk kedalam kaidah yang artinya pembatalan amal dengan hukum syar`i dengan dalil-dalil (syar`i) yang kemudian dari padanya. Dalam mengemukaan pendapat ini beliau bertujuan untuk mencari solusi dalam memecahkan ketegangan antara syariah dengn norma kehidupan modern.[8]
            Syart-syarat nasikh menurut al-qaththan (1973-232) sebagai berikut:
1.            Hukum yang di nasakh adalah hukum syar’i.
2.            Dalil mengenai terhapusnya hukum itu berupa kitab syara’ yang datang sesudah kitab yang di nasakh hukumnya.
3.            Kitab yang dihapuskan hukumnya tidak diterikat dengan waktu tertentu. Jika tidak hukum itu terhenti disebabkan berakhirnya waktu dan ini tidak dianggap sebagai nasakh.
            Adapun menurut Al-Zarqoni (t.th:76) syarat-syarat nasahk adalah :
1.            Hukum yang di nasakh itu adalah hukum syara’.
2.            Dalil penghapusan hukum adalah dalil syara’.
3.            Dalil yang mennghapus datangnya lebih akhir dari pada dalil hukum yangpertama yang tidak mustahil dengan dalil yang menghapus itu, seperti ittishlm-nya qoiyyid dengan muqoyyad dan ta’qit dengan mu’aqqad.
4.            Diantara kedua dalil itu pertentangan hakiki.
            Muhammad abu zara (t.th 190-191) juga turut merumuskan syarat-syarat nasah sebagai berikut:
1.            Hukum yang di nasakh tidak dibarengi ibarat yang menjelaskan bahwasanya hukum yang di nasakh itu hukum yang berlaku abadi seperti jihad.
2.            Hukum yang di nasakh tidak boleh terdiri dari perkara-perkara yang dibenarkan oleh akal dalam hlm kebaikan dan keburukannya, seperti iman kepada Allah, berbua baik kepada orang tua dan berbuat adil.
3.            Nasikh (nash yang menaskh) datangnya sesudah mansukh (nash yang di naskh).
4.            Nash yang belum syarikh (jelas) tidak boleh dikompromikan sekaligus dengan cara ta’wil.[9]
            Disamping itu perlu diketahui bahwa ada nash-nash yang sudah pasti tidak mungkin dibatalkan, yaitu:
1.            Nash yang berisi pokok ajaran baik berupa akidah atau pokok-pokok ibadah dan pokok-pokok akhlak. Seperti contoh: sholat, keadilan, kejujuran, larangan syirik, membunuh, mencuri, dan sebagainya.
2.            Nash yang berisi hukum abadi atau selamanya berdasarkan pernyataan nash itu sendiri.
3.            Nash yang berisi pemberitaan tentang suatu kejadian baik yang sudah lampau atau yang akan datang.
            Untuk mengetahui adanya nasakh baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits dapat diketahui melalui informasi:
1.            Penjelasan Al-Qur’an sendiri yang menunjukkan adanya pembatalan nasakh seperti dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat 65-66 tentang perilaku ahli kitab.
2.            Sabda Nabi yang menjelaskan adanya pembatalan sebagaimana riwayat Aisyah tentang adanya ayat Al-Qur’an tentang sepuluh kali susuan sebagai kadar yang menjadikan hubungan kemahraman kemudian dihapus dengan ketentuan baru sebanyak lima kali susuan.
3.            Perbuatan Nabi yang menghapus sabdanya yaitu hanya merajam dan tidak mendera 100 kali kepada maiz yang melakukan zina.
4.            Ijma’ sahabat tentang suatu hukumm sebagai nasikh dan lainnya sebagai mansukh.
5.            Perlawanan dua dalil yang tidak bisa dikompromikan.[10]
C. Bentuk Bentuk Nasikh Mansukh dalam Al-Quran
         Pembagian nasakh terdapat empat bagian, yaitu:
1.      Nasikh Al-Quran dengan Al-Quran dan ini sudah disepakati tentang adanya nasikh. Seperti contoh ayat tentang hukum iddah selama empat bulan empat puluh hari.
2.      Nasikh Al-Quran dengan As-Sunnah. Disini terdapat dua macam yaitu yang pertama adalah nasikh AL-Quran dengan Hadits Ahad yang mana nasikh ini tidak dibolehkan menurut Jumhur, dan yang kedua adalah Nasikh Al-Quran dengan Hadits mutawatir yang mana nasikh ini dibolehkan menurut Malik, Abu Hanifah dan Ahmad.
3.      Nasakh As-Sunnah dengan Al-Quran.Hlm ini dibolehkan menurut Jumhur seperti contoh sholat menghadap baitul maqdis namun dalil ini tidak ada dalam Al-Quran. Namun nasakh iniditolak oleh Imam Syafi`i. Menurutnya apa saja yang telah ditetapkan sunnah tentu saja didikukung oleh Al-Quran dan apa yang telah ditetapkan Al-Quran tentu saja didukung pula oleh sunnah sehingga keduanya harus senaniasa sejalan dan tidak bertentangan.
4.      Nasakh Sunnah dengan Sunnah. Disini terdapat empat bentuk yang pertama adalah nasakh mutawatir dengan mutawatir. Kedua, nasakh ahad dengan ahad. Ketiga nasakh ahad dengan mutwatir. Dan keempat nasakh mutawtir dengan ahad. Bentuk pertama, kedua, dan ketiga diperbolehkan, sedangkan ke empat terjadi perbedaan pendapat oleh ulama`.[11]
            Sedangkan bentuk-bentuk nasikh mansukh di dalam Al-Quran terdapat tiga macam yaitu:
1.            Nasikh tilawah dan hukum.[12]
            Yang dimaksud disini adalah, tilawah atau bacaan dalam Al-Quran tersbut telah dinasakh beserta hukumnya. Sehingga didalam Al-quran tidak ada kemungkinan menemukan ayat yang telah dinasakh ini. Hlm ini sesuai dengan contoh hadits yang diriwayatkan oleh Anas : “kami pernah membicarakan dimasa Rosulullah SAW. Surat, termasuk surat Taubah. Yang aku hafal itu bukan hanya satu ayat diantaranya ayat yang berbuyi:
وَلَوْلاَإِنَّ لابْنِ ادَمَ وَادِيْنَ مِنْ ذَهَبٍ لاَ يَنْبَغِى إِلَيْهَارَابِعًاوَلاَ يَمْلَأُ جَوْفِ اْبنِ ادَمَ اِلاَّالتُرَابُ اللّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
Artinya: “Kalau tidaklah, bahwa untuk anak Adam ini dua buah lembah emas, maka dia masih meminta yang ke empatnya, Rongga perut anak Adam ini tidak akan penuh kecuali tanah. Bertaubatlah kepada Allah orang-orang yang bertaubat.[13]
            Ibnu mas`ud pernah berkata bahwasnya rosullah pernah membacakan suatu ayat yang kemudian olehnya ia hafal dan ia tulis didalam mushafnya. Namun ketika malam hari didalam mushaf itu tudak ditemuan lagi ayat tersebut. Oleh karena itu keesokan paginya Ibnu Mas`ud medatangi rosullah dan memberitahukanya mengenai hlm ini. Maka rosulullah pun menjawab: “Hai Ibnu Masud, kemarin sudah diangkat(dibuang)”. Maka disini dapat disimpulkan bahwasanya ketika wahyu telah dihapus beserta tilawah dan hukumnya, maka tidak akan lagi ditemukan dalam mushaf kita yakni mushaf usmani. Hanya Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.

2.            Nasikh hukum sedang tilawahnya tetap.[14]
            Yang dimaksud adalah hukum dalam ayat sebut telah digantikan oleh ayat lainya akan tetapi tilawahnya masih ada seperti contohh ayat yang berbunyi:
فا ىنماتولوافئم وحداللّه
Artinya : “ Kemana saja kamu memalingkan muka, maka disana ada wajah Allah.[15]
Menurut ayat tersebut kita dapat mengetahi bahwasnya ketika solat boleh menghadap kemana saja lalu kemudian ada hukum yang menghapus. Hukum yang ada dalam ayat tersebut digantikan dengan ayat yang berikut ini :
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَالمَسْجِدِالحَرَام
Artinya: “ Maka palingkanlah wajah engkau ke pihak masjidil haram”.[16]
            Dengan ditunjukkanya ayat ini maka munculah hukum bahwasnya kiblat ketika sholat adalah masjidil haram. Akan tetapi sebagian ulama’ menetakan bahwasanya ayat yang pertama tetap mengandung hukum hanya kepada seorang musafir yang sedang melakukan sholat didalam kendaran yang ketika itu ia tidak mengetahui arah kiblat.

3.            Nasikh yang tilawahnya sedang hukumnya tetap.[17]
            Yang dimaksud dengan ini adalah bacaannya telah dinasikhkan akan tetapi hukumnya masih tetap ada. Hlm ini sesuai dengan contoh mengenai ayat Al-Quran tentang rajam, yaitu:
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ اِذَا زَنَيَافَارْجُمُوْ هُمَاالبتة نَكَاالاً مِنَ اللّهِ وَاللّهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Artinya : “Orang tua laki-laki dan dan orang tua perempuan apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkassa lagi Maha Bijaksana.”[18]
            Dalam hlm ini para ilmuan maupun ulama` tafsir tidak mengakui adanya nasakh semacam ini. Dikarenakan hanyalah sebatas khabar ahad. Sebagaian berpendapat bawasanya tidak dibenarkan apabila Al-Quran yang dinaskhkan dengan khabar ahad, dalam pejelasan Ibnu Hassar naskh yakni kembali kepada keterangan yang jelas dari rasulullah maupun dari para sahabat. Akan tetapi, ada pula yang berpendapat bahwa khabar ahad yang dirawayatkan oleh perawi yang adil tidak dapat diterima dalam hlm naskh.
            Suatu ayat yang didalamnya mengandung hukum dan kemudian ayat tersebut dinaskh, maka hukum didalamnya terhapus secara otomatis, hlm ini dikarenakan ayat dan hukum merupakan sesuatu yang saling berkaitan.

            Jika dilihat dari nasikh mansukh nya yang ada di dalam Al-Quran, hlm ini dibagi menjadi empat kelompok:
            Pertama, terdapat 43 surat yang didalamnya tidak ada ayat nasikh dan tidak ada mansukh, yaitu:
1.            Al-fatihah
2.            Yusuf
3.            Yaasiin
4.            Al-Hujarat
5.            Ar-Rahman
6.            Al-Hadid
7.            As-Shaf
8.            Al-Jumuah
9.            At-Tahrim
10.        Al-Mulk
11.        Al-Haqqah
12.        Nuh
13.        Al-Jin
14.        Al-Mursalat
15.        An-Naba`
16.        An-Naziat
17.        Al-Infithar
18.        Al-muthaffifin
19.        Al-Insyiqaq
20.        Al-Buruj
21.        Al-Fajr
22.        AL-Balad
23.        As-Syamsu
24.        Al-Lail
25.        Ad-Duha
26.        Alam Nasyrah
27.        Al-Alaq
28.        Al-Qadar
29.        Al-Infithar
30.        Az-Zalzalah
31.        Al-`Adiyat
32.        Al-Qariah
33.        At-Tkatsur
34.        Al-Humazah
35.        Al-fil
36.        Al-Quraisy
37.        Al-Maun
38.        Al-Kautsar
39.        An-Nashr
40.        Al-Lahab
41.        Al-Ikhlas
42.        Al-Falaq
43.        An-Nas

            Kedua, terdapat 6 surat yang didalamnya ada ayat nasikh namun tidak ada mansukh, yaitu:
1.            Al-Fath
2.            Al-Hasyr
3.            Al-Munafiqun
4.            Al-Taghabun
5.            At-Talaq
6.            Al-A`la

            Ketiga, terdapat 40 surat yang didalamnya ada ayat mansukh namun tidak ada nasikh, yaitu:
1.            Al-An`an
2.            Al-A`raf
3.            Yunus
4.            Hud
5.            Ar-Ra`d
6.            Al-Hijr
7.            An-Nahl
8.            Bani Isra`
9.            Al-Kahfi
10.        Thaha
11.        Al-Mu`min
12.        An-Naml
13.        Al-Qashash
14.        Al-`Ankabut
15.        Ar-Rum
16.        Luqman
17.        Al-Mashahib
18.        Al-Malaikah
19.        As-Shaffat
20.        Shad
21.        Az-Zumar
22.        Az-Zukhruf
23.        Ad-Dukhan
24.        Al-Jatsiyah
25.        Al-Ahqaf
26.        Muhammad
27.        Al-Basiqat
28.        An-Najm
29.        Al-Qamar
30.        Al-Imtihan
31.        Al-Qalam
32.        AL-Ma`arij
33.        Al-Muddatsir
34.        Al-Qiyamah
35.        Al-Insan
36.        ‘Abasa
37.        At-Tariq
38.        Al-Ghasyah
39.        At-Tin
40.        Al-Kafirun

            Ke empat, terdapat 25 surat yang didalamnya ada ayat nasikh dan mansukh, yaitu:
1.            Al-Baqarah
2.            Ali Imran
3.            An-Nisa`
4.            Al-Maidah
5.            Al-Anfal
6.            At-Taubah
7.            Ibrahim
8.            Al-Kahfi
9.            Maryam
10.        Al-Anbiya`
11.        Al-Haj
12.        An-Nur
13.        Al-Furqan
14.        As-Sy`ara`
15.        Al-Ahzab
16.        Saba`
17.        Mu`minin
18.        As-Syura
19.        Ad-Dzariyat
20.        At-Thur
21.        Al-Waqiah
22.        Mujaadilah
23.        Al-Muzammil
24.        Al-Kautsar
25.        Al-Ashr[19]

C. Hikmah Adanya Nasikh Mansukh

             Jika dilihat dari fungsinya terlebih dahulu, maka nasikh adalah penahapan dalam tasyri` yang memeberi kemudahan. sedangkan penulisan terhdap nasikh mansukh tidak disansikan karena itu semua sudah berdasakan relita yang ada, jika ada nasikh maka harus ada yang namnya mansukh. Hlm ini telah disadari oleh para ulama` saat menyuruh kaum muslim untuk bersabar saat mendapat maslah dari kaum musyrikin, namun diperintah untuk memerangi kaum musrykiin. Dalam hlm ini perintah untuk bersabar akan dibatalkan ketika dalam perubahan situasi dan apabila situasi sudah kembali dalam keadaan semula maka perintah bersabar kembali berlaku.[20]
            Fungsi lain adalah sebagai perangkat untuk membedah kandungan hukum dalam ayat-ayat Al-Quran yang dianggap bertentangan satu dengan yang lain dan nasikh merupan salah satu bentuk cara yang bersifat menjelaskan.
       
        Hikmah adanya nasikh mansukh:
1.      Memelihara kepentingan hamba.
2.      Perkembangan tasyri` menuju tingkat kesempurnaan sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
Perkembangan zaman yang mempengaruhi perkembangan tingkah laku umat manusia juga akan menimbulkan suatu permasalahan baru yang belum ada hukumnya. Namun dengan adanya nasakh mansukh dapat kita ketahui, hukum yang telah lama dan tidak berlaku lagi telah dapat digantikan kedudukannya oleh ayat yang mengandung hukum baru bagi ummat islam yang keadaannnya sesuai dengan zaman.
3.      Cobaan dan ujian bagi orng mukallafuntuk mengikutinya atau tidak
Bagi orang mukallaf atau orang yang baru masuk islam  pastilah masih awam dengan hukum-hukum yang telah ada di Islam. Sebagian bagi orang mukalllaf yang belum terlalu mendalami agama Islam pasti mempunyai pandangan mengapa hukum di Islam tidak konsisten dengan adanya nasakh mansukh. Hlm ini menjadi suatu cobaan tersediri bagi mereka, karena semakin mereka mendalami Islam semakin banyak pula hukum yang telah dinasakah. Namun apabila mereka masih tetap mempertahankan agama Islam dan mempercayainya serta masih mau mengikutinya, secara perlahan mereka akan menemukan eksistensi dalam hukum Islam.
4.      Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat.
Sebab jika nasikh itu beralih ke hlm yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahlma, dan jika beralih ke hlm yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.[21]

D. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa nasakh dan mansukh saling berkaitan. Dapat disimpulkan nasakh adalah ayat yang mengahapus beserta hukum yang terkandung didalamnya, sedangkan mansukh adalah ayat yang telah dihapuskan beserta hukum yang ada didalam ayat tersebut. Atau dengan kata lain mansukh adalah ayat yang lebih dulu datang namun kemudian hukum yang didalamnya telah dihapuskan dan digantikan  oleh ayat yag baru datang beserta hukum yang didalamnya. Dalam Al-Quran terdapat bentuk-bentuk dari nasakh mansukh yaitu Nasikh tilawah dan hukum, Nasikh hukum sedang tilawahnya tetap, Nasikh yang tilawahnya sedang hukumnya tetap. Sedangkan dalam Al-Quran itu sendiri terdapat 43 surat yang tidak ada nasikh mansukh nya, 6 surat hanya terdapat nasikh, 40 surat hanya terdapat mansukh, dan 25 surat terdapat nasikh mansukh. Sedangkan hikmah dari nasikh mansukh itu adalah : untuk memelihara kepentinagan uamat, Perkembangan tasyri` menuju tingkat kesempurnaan sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia, Cobaan dan ujian bagi orng mukallaf untuk mengikutinya atau tidak, Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat.

Daftar pustaka
Al-Qathan, Syaikh Manna. 2013. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`an,Terj. Aunur Rafiq El-Mazni. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Al-Qatan, Manna Khlmil.2011. Studi Ilmu-Ilmu Quran,Terj.Mudzakir. Bogor: PT. Pustaka Litera AntarNusa
Hermawan , Acep. 2013.‘Ulumul Quran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Shihab , Quraish. 1999.Membumikan Al-Quran. Bandung: Mizan.
Rifa’i, Moh. 1973.Ushul Fiqih. Bandung: PT Alma Ari
Al-Abyadi, Ibrahim.1992. Sejarah Al-Quran, Terj. Ibrahim Al-Abyadi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Abu Zaid, Nasr Hamid.2003. Tekstualitas Al-Quran. Yogyakarta: Lkis.
Fauzan, Noor Rohman. Juli-Desember 2014. Urgensi Nasikh Mansukh Dalam Legislasi Hukum Islam, Jurnal. Vol. 1, No.2.
Subaidi. Juni 2014. Historitas Nasikh Mansukh dan Problrmatika dalam Penafsiran Al-Quran, Jurnal. Vol.8, No.1.
Wimra, Zelveni. Juli-Desember 2012. Pemikiran Andullah Ahmad An-Na`im Tentang Teori Naskh, Jurnal. Vol. XI, No.2.


Catatan:
1.      Penulisan abstrak dan pendahuluan tidak sebagaimana mestinya. Tolong lebih diperbaiki lagi.
2.      Tulisan dalam makalah ini tolong lebih dirapikan agar enak dibaca.
3.      Banyak pengetikan yang salah, tolong dibenahi.
4.      Dua terjemahan pada pada buku yang sama tidak dapat dikatakan sebagai dua referensi. Itu tetap satu. Jadi masih kurang satu referensi lagi.
5.      Tolong nama jurnal disebut dalam referensi.



[1] Syaikh Manna Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`an,Terj. Aunur Rafiq El-Mazni, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2013), hlm. 285; Manna Khlmil al-Qatan, Studi Ilmu-Ilmu Quran,Terj.Mudzakir, (Bogor: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2011), hlm.326.
[2]Ibid.,
[3]Acep Hermawan, ‘Ulumul Quran, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 162.
[4]Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran,(Bandung: Mizan, 1999), hlm. 143.
[5]Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, (Bandung: PT Alma Arif, 1973), hlm. 98-99.
[6]Syaikh Manna Al-Qathan, op.cit.,hlm. 286; Manna Khlmil al-Qatan,op.cit.,hlm.327.
[7]Moh Rifa’i, Ushul Fiqih, (Bandung: PT Al Ma’arif, 1973), hlm. 106-107.
[8]Zelfeni Wimra, Pemikiran Abdullah Ahmad An-Naim Tentang Teori Nasikh, Innovation, Vol XI no 2 , Juli-Desember 2012, hlm 225.
[9]Noor Rahman Fauzan, Urgensi Nasikh Mansuh dalam Legislasi Hukum Islam, Isti’da, Vol 1 no. 2 Juli-Desember 2014,hlm: 207-208.
[10]Subaidi, Historitas Nasikh Mansukhdan Problematikanya dalam penafsiran Al Quran, Hermeunetik, Vol. 8 no. 1 Juni 2014, hlm 61-62.
[11]Syaikh Manna Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`an, Terj. Aunur Rafiq El-Mazni, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2013), hlm. 291-293.
[12]Manna Khlmil al-Qatan, Studi Ilmu-Ilmu Quran,Terj.Mudzakir, (Bogor: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2011), hlm.336.
[13]Ibrahim Al-Abyadi, Sejarah Al-Quran, Terj. Ibrahim Al-Abyadi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), hlm. 109.
[14]Manna Khlmil al-Qatan, op cit., hlm. 337.
[15]Ibrahim Al-Abyadi, op cit., hlm. 111.
[16]Ibid., hlm. 111.
[17]Manna Khlmil al-Qatan, op cit., hlm. 337.
[18]Ibid., hlm. 337.
[19]Acep Hermawan, op cit., hlm. 170-173.
[20]Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Quran, (Yogyakarta: Lkis, 2003), hlm. 149.
[21]Manna Khlmil al-Qattan, op cit., hlm. 339.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar