Rabu, 01 Maret 2017

Nasikh dan Mansukh dalam al-Qur'an (P-IPS D Semester Genap 2016/2017)




Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an

Kamalia dan Muhamad Rizal Hidayatulloh
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial kelas D angkatan 2015
Universitas Islam Negara Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract.
This article will review a central theme in the study of the Ulumul Qur’an is Nasikh and Mansukh. Nasikh and Mansukh study of the Qur'an is very important to be studied and understood correctly as it will be bad when one of the understood in the present context. As some say that the verses of Nasikh is not necessary to its existence in the Qur'an as the legal aspect is not used anymore. It is a wrong understanding of this understanding. Abrogation only happen on command (amr) and prohibition (nahi), both expressed firmly and clearly and disclosed by the sentence news which means the order or prohibition for not dealing with faith, oh God and the nature of God, the Books of Allah , the apostles and are not related to ethics or morals or the tree-worship and the recitation.

Abstrak.
            Artikel ini hendak mengulas sebuah tema pokok dalama kajian Ulumul Qur’an yaitu nasikh dan Mansukh. Kajian tentang Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an sangat penting untuk dikaji dan dipahami secara benar karena akan berakibat fatal apabila salah dalam memahaminya dalam konteks kekinian. Sampai ada yang mengatakan bahwa ayat-ayat mansukh itu tidak perlu keberadaannya dalam Al-Qur’an karena pada aspek hukum tidak dipakai lagi. Itu adalah pemahaman yang kliru terhadap pemahaman ini. Nasakh hanya terjadi pada perintah (amr) dan larangan (nahi), baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapan dengan kalimat berita yang bermaksud perintah atau larangan selama tidak berhubungan dengan akidah, dzat Allah dan sifat-sifat Allah, kitab-kitab Allah, para rasul dan juga tidak terkait dengan etika atau akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalat.

Keyword: Nasikh, Mansukh, Al-Qur’an

A.  Pendahuluan.
            Tujuan diturunkannya syari’at samawiyah oleh Allah kepada para rasulNya adalah untuk memperbaiki umat dibidang akidah, ibadah dan Mu’amalah. Akidah semua ajaran samawa itu satu dan tidak mengalami perubahan, karena ditegakkan atas dasar tauhid uluhiyah dan rububiyah, maka dakwah atau seruan para rosul kepada akidah yang satu itu pun semuanya sama. Walaupun demikian, tuntutan  kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok pada untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang selanjutnya.
            Disamping itu, perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyi’(pemberlakuan hukum) pada  suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyi’ pada periode yang lain. Tetapi tidak diragukan lagi bahwa pembuat syari’at yaitu Allah SWT rahmat san ilmu-Nya meliputi segala sesuatu dan otoritas memerintah dan melarang pun hanya milik-Nya.
            Al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhammad sebagai risalah Allah untuk seluruh umat manusia. Al-Qur’an juga memenuhi segala tuntutan kemanusiaan yang berdasar prinsip utama agama-agama samawi. Dalam setiap ayat Al-Qur’an terdapat perintah dan karangan tertentu yang kaidah hukumnya telah berganti atau dipindahkan ke ayat lainnya yang notabene merupakan kesimpulan hukum dari perintah atau larangan tersebut. Maka, diakhiri berlakunya hukum tersebut dan hukum-hukum itu tidak dipergunakan lagi. Ayat yang terdahulu itu disebut mansukh (yang dihapus), sedangkan ayat yang turun kemudian disebut nasikh (yang menghapus).
            Nasikh-Mansukh merupakan Ulumul Qur’an yang menerangkan tentang adanya proses pengahapusan hukum pada suatu ayat oleh ayat lain yang turun sesudahnya. Namun, banyak kalangan umat islam yang belum memiliki pemahaman yang jelas tentang adanya Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu penulis berupaya menjabarkan dan menjelaskan tentang seputar Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an.

B.       Pengertian Nasikh dan Mansukh.
Al-Qur’an dan Nasikh-Mansukh
     Orang pertama yang memulai membahas nasakh adalah Imam Syafi'i. Dia melihatnya sebagai penjelas hukum-hukum, dan bukannya sebagai penghapusan nash-nash (Abu Zahrah, t.th: 185). Hal ini juga menjadi penanda bahwa pembahasan nasikh -mansukh dalam Al-Qur'an telah mendapat perhatian serius di antara ulama muhaqqiqin sekitar permulaan abad ketiga Hijriyyah. Sesudah itu, pembahasan nasikh akhirnya mendapatkan porsi tersendiri di antara ulama 'Ulumul Qur'an. Dengan demikian, pengetahuan nasikh dan mansukh mendapatkan kedudukan yang begitu penting, bahkan sebagai syarat, dalam kajian hukum Islam.[1]
     Nasakh (penghapusan ayat) yang biasa kita perbincangkan hakikatnya adalah penetapan suatu hukum untuk suatu kemaslahatan dan untuk di amalkan dan kemudian tampak kekeliruan dalam hal itu, lantas dibuatlah baru untuk menggantikan kedudukannya. Namun tidak boleh menisbatkan nasakh seperti ini, yang menunjukkan kebodohan atau kesalahan kepada Allah Ta’ala, dzat yang maha succi dari segala kebodohan dan kesalahan itu. Dan nasakh seperti ini tidak terdapat didalam ayat-ayat suci Al-Qur’an yang tidak ada satu kontradiksi pun di dalamnya.[2]
Tetapi arti nasakh dalam Al-Qur’an itu ialah berakhirnya waktu berlakunya hukum yang di nasakh (mansukh) itu. Maksudnya, hukum yang pertama itu memiliki suatu kemaslahatan dan pengaruh sementara yang terbatas, yang diberitahukan oleh ayat menasakh-kannya bahwa waktu dan pengaruh yang terbatas itu telah berakhir. Mengingat Al-Qur’an itu diturunkan sacara bertahap dalam berbagai situasi selama 23tahun, maka dengan mudah dapat di gambarkan, mengapa Al-Qur’an sampai mengandung hukum-hukum seperti itu. Sesungguhnya menetapkan hukum sementara sebelum ada tuntutan-tuntutan untuk menetapkan hukum yang abadi dan mengganti hukum yang sementara itu merupakan sesuatu yang bisa di terima dan tidak mengandung kemusyrikan. [3]
            Nasikh-Mansukh adalah cabang studi kesejarahan a1Qur’an atau ulumul Qur’an yang menerangkan tentang adanya proses penghapusan hukum pada suatu ayat oleh ayat lain yang turun sesudahnya. Pengertian Nasikh-Mansukh ini akan lebih kita pahamii dengan memahami terlebih dahulu terma ini secara detail. [4]
1.    Pengertian Secara Etimologi (bahasa)
Para ulama telah panjang dan lebar bertukar pikiran tentang takrif nasakh menurut istilah; karena lafadz nasakh mengandung beberapa makna dari segi bahasa.
a)    Nasakh, dapat bermakna 'izalah (menghilangkan), seperti firman Allah: Fayansakhullahu ma yulqisy syaithanu tsumma yuhkimullahu  (maka Allah menghilangkan apa yang setan nampakkan kemudian Allah menjelaskan ayat-ayatNya.)"(QS. 22, Al Hajj: 52).
b)   Nasakh dapat bermakna tabdil (mengganti/menukar) seperti pada firman Allah: "Wa idza baddalna ayatan makana ayatin (dan apabila Kami mengganti atau menukar sesuatu ayat di tempat suatu ayat yang lain)". (Q8. 16, An Nahl: 101).
Kalangan ulama yang menganggap bahwa nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an berpegang pada keterangan ayat Makiyyah dan Madaniyyah. Konteks teks tersebut adalah membaca Al-Qur’an dan mengawalinya dengan meminta perlindungan dari setan kemudian terhadap tuduhan mengada-ngada dan penjelasan bahwa al-Quran berasal dari sisi Allah yang dibawa turun oleh ar-Ruh al-amin, dan juga sanggahan terhadap orang-orang kafir mekkah bahwa sebenarnya ada orang yang mendektikan al-Quran kepada Muhammad. Dalam konteks ini, “penggantian” ayat dengan ayat yang lain berarti perubahan hukum yang ada pada satu teks dengan teks lain dengan tetap mempertahankan kedua teks tersebut. Oleh karena itu, struktur ayat mengikuti pola kondisional (syarat), sementara isi kalimat (jawab syarat), berupa tuduhan orang-orang mekkah terhadap muhammad sebagai kebohongan. Arti dari tuduhan ini adalah bahwa mereka menganggap di di dalam teks ada kontradiksi.[5]
c)    Nasakh dapat bermakna tahwil (memalingkan), seperti memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain.
d)   Nasakh dapat bermakna menukilkan dari suatu tempat ke tempat yang lain seperti pada perkataan: Nasakhtul kitaba (saya menukilkan isi kitab), yaitu apabila kita nukilkan apa yang di dalam kitab itu meniru lafal dan tulisannya.[6]
Secara etimologi, Nasikh berasal dari lafadz  نَسَخَ- يَنْسَخُ- نَسْخًا: إِزَلّةً [7]yang berarti penghapusan, pernbatalan, pemindahan atau penggantian. Makna-makna Nasakh ini terinspirasikan dalam banyak ayat al-Qur’an. Misalnya QS. al-Baqarah 106, QS. al-Hajj: 52, al-Jatsiah: 29 an-Nakhl: 101 dan seterusnya. Kata nasikh (yang menghapus) maksudnya adalah Allah (Yang menghapus hukum itu) seperti firman-Nya: [8]
                                      
Ø                                           اِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
“Sesungguhnya Kami menghapuskan pahala apa yang dulu kalian kerjakan.” (al-Jatsiah: 29).”
Maksudnya, Kami (Allah) memindahkan amal perbuatan ke dalam lembaran-lembaran catatan amal.[9]

Ø              مَا نَنْسَخْ مِن ءَايَةٍ أَوْنُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَآ أَوْمِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ 
“Ayat yang Kami naskh (hapus) atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?” (QS. al-Baqarah 106).[10]
          Para pendukung Teori Naskh menyatakan bahwa makna “ayat” dalam ayat tersebut diatas adalah “ayat Al-Qur’an” itu sendiri. Artinya tidak ada satu ayatpun yang pun turun untuk menakut-nakuti seseorang untuk mengakui adanya nask. Karena nash di ayat ini tegasnya bukan “pergantian” hukum-hukum satu syari’at secara parsial, melainkan pengubahan dalil-dalil yang ada dalam satu agama, untuk difokusan di dalam jiwa. [11]

2.    Pengertian Secara Terminologi (Istilah)
Secara terminologi; Nasikh adalah penghapusan suatu hukum syara' dan penggantiannya dengan hukum syara’ lain yang turun sesudahnya. Ayat yang menghapus ini kemudian diistilahkan dengan nama Nasikh, sedang ayat yang terhapus diistilahkan sebagai Mansukh. [12]
Mansukh adalah hukum yang diangkat atau yang dihapuskan. Maka ayat mawarits (warisan) atau hukum yang terkandung di (dalamnya misalnya, adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat, sebagaimana akan dijelaskan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam nasakh diperlukan syarat-syarat berikut.
a)      Hukum yang mansukh adalah hukum syara.
b)      Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khithab syar’i yang datang lebih kemudian dari khithab yang hukumnya dimansukh.
c)      Khithab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian makahukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.
Definisi diatas apabila dijelaskan lagi, dapat kita tarik beberapa butiran-butiran makna yang tersirat, yakni:
1.      Dipastikan terjadi naskh apabila ada dua hal, yaitu nasikh dan mansukh.
2.      Nasikh harus turun belakangan dari mansukh
3.      Menilai suatu ayat sebagai pe-naskh dan yang lain dinaskh-kan, apabila ayat-ayat yang kontradiktif itu tidak dapat dikompromikan dan diamalkan secara bersama. Sedangkan syarat kontradiksi; adanya persamaan subjek, objek, waktu, syarat, dan lain-lain.
4.       Al Nasikh pada hakikatnya adalah Allah, kadang-kadang dimaksud juga dengan ayat yang me-naskh-kan ayat mansukh, sedang mansukh adalah hukum yang diangkat atau yang dihapus.
Nasakh hanya terjadi pada perintah (amr) dan larangan (nahy), baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita yang bermaksud perintah atau larangan (khabar bi ma’na al amr aw al nahy),selama tidak berhubungan dengan akidah, zat Allah dan sifat-sifat Allah, kitab-kitab Allah, para Rasul, hari kiamat, dan juga tidak terkait dengan etika atau akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalat. Lantas mengapa yang berkaitan dengan akidah, dasar-dasar akhlak dan etika, pokok-pokok ibadah dan muamalat dan berita mahdhah tidak mengalami naskh?. Karna syari’at ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Dalam prinsip ini semua syari’at sama, yaitu tidak mengalami naskh. 11 Jelaslah dari keterangan diatas bahwa yang mengalami naskh itu hanya pada hal-hal yang bersifat furu’ ibadah dan furu’ muamalat saja. Adapun masalah akidah, dasar-dasar akhlak, pokok ibadah dan berita-berita al Qur’an tidak mengalami naskh . Al Qur’an menjelaskan bahwa syari’at ilahi dalam prinsip akidah, dasar-dasar akhlak, pokok-pokok ibadah dan berita-berita mahdhah adalah sama.[13]
C.      Bentuk-bentuk Nasakh-Mansukh
Nasakh Al-Qur’an ini mempunyai tiga bentuk, yaitu sebagai berikut :
1.    Ayat yang di nasakh-kan bacaan dan hukumnya, sehingga ayat tersebut tidak tertulis lagi didalam Al-Qur’an.
     Demikian pula hukumnya ia tidak diamalkan lagi. Contohnya ayat mengenai frekuensi menyusui bagi anak yang membuat dia haram menikah dengan ibu yang menyusuinya, yaitu sepuluh kali kemudian di nasakh-kan oleh lima kali menyusu sehingga yang diharamkan adalah lima kali menyusui.[14]
     Aisyah ra. Berkata :
كَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتِ يُحَرِمْنَ ثُمَّ نُسٍخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُوْمَاتِ فَنُوْ فِى رَسُوْلُ اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيْمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرءآنِ
     “ pernah diturunkan (kepada Nabi) sepuluh kali menyusu yang dimaklumi yang ( menyebabkan ) haram ( menikahi ), kemudian di nasakhkan dengan lima kali yang dimaklumi. Selanjutnya Rosul wafat, ayat-ayat itu dibaca sebagai bagian dari Al-Qur’an.[15]
    
2.    Ayat yang telah di nasakh-kan bacaannya,tetapi hukumnya masih diamalkan.
Hal ini banyak terdapat didalam Al-Qur’an, diantaranya : [16]
a)   Aisyah berkata: “dahulunya dijaman Nabi, Surah Al-Ahzab dibaca sebanyak 200 ayat. Tatkala Usman menulis mushaf, ia hanya tinggal 73 ayat saja seperti yang terlihat sekarang. Diantara ayat yang tidak tertulis karena telah di nasakh-kan adalah ayat mengenai hukum rajam, yaitu :
اِنَّ زَناَ الشَّيْخُ وَ الشَّيْخَةُ فَارْ جُمُوْ هُمَا الْبَتَّة نكَالا مِنَ اللَّهِ وَا للَّهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمُ
     “apabila orangtua laki-laki dan orangtua perempuan berzina, maka rajamlah keduanya, (hal ini) sebagai pelajaran dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa Lagi Maha Mengetahui. “
b)   Abu Musa Asy-Asy’ari juga mengatakan: “pernah turun suatu ayat yang termuat dalam Surah At-Taubah(9), kemudian ayat itu diangkat”. Abu Musa telah menghafal ayat itu, ayat tersebut adalah sebagai berikut :
انَّ اللَّه سَيُؤَيِّدُ هَذَا الَّذِيْنَ بِأَقْوَامِ لأَخْلاَقِهِمْ ولَوْ اَنَّ لإِبْنِ آدَمُ وَا دِيْنَ مِنْ مَالِ لَتَمَنِّ وَاديًا ثَالِثًا وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَم إِلاَّ التَّرَابُ وَيَتُوْبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
     “sesungguhnya Allah menguatkan agama ini dengan bangsa-bangsa disebabkan karena akhlak mereka. Dan seandainya manusia itu memiliki dua buah lembah harta, maka dia berkiinginan mendapat lembah ketiga. Rongga manusia tidak ada yang dapat memenuhinya kecuali tanah. Allah menerima tobat orang-orang yang bertobat kepada-Nya.”[17]
3.    Ayat-ayat yang di nasakh-kan hukum, tetapi bacaannya masih ada.
Hal itu seperti firman Allah :
وَالَّتِى يَأْتِيْنَ الْفَحِشَةَ مِنْ نِّسَآئِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوْا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مَّنْكُمْ فَأِنْ شَهِدُوْا فَأَمْسِكُوْ هُنَّ فِى الْبُيُوْتِ حَتَّى يَتَوَفَّهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيْلاً
     “Dan (terhadap) wanita-wanita yang mengerjakan perbuatan keji hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka (wanita-wanita) itu dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya. (QS. An-Nisa’(4); (15).”
            Ketentuan hukuman bagi pezina, yaitu ditahan dirumah sampai meninggal, yang terdapat dalam ayat ini telah dinasakh-kan. Akan tetapi, teksnya masih ada. Ayat yang me-nasakh-kannya adalah sebagai berikut :
     الْزَانِيَةُ وَالزَّانِى فَجْلِدُوْا كُلَّ وَحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَجَلْدَةٍ وَلاَتَأْخُذْكُمْ بِهِمَا بِاللَّهِوَالْيَوْمِالأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَا بَهُمَا طَائِفَةُمِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
     Perempuan dan laki-laki yang berzina maka deralah setiap orang dari keduanya seratus kali dera. Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk ( menjalankan ) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. (QS. An-Nur(24): 2).”
     Jadi hukumnya bagi pezina berubah dari kurungan menjadi cambuk seratus kali.[18]

Selain bentuk macam-macamnya, nasikh mansukh memiliki empat jenis bagian:
1.      Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya nasakh. Misalnya, ayat iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat 228. [19]
2.      Nasakh Al-Qur’an dengan As-Sunnah yang terdiri dari dua macam:
a)      Nasakh Al-Qur’an dengan hadits ahad.
Jumhur berpendapat, Al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab Al-Qur’an adalah mutawattir dan menunjukkan keyakinan, sedang hadits ahad itu zhanni yang bersifat dugaan. Di samping tidak sah pula menhapuskan sesuatu yang ma’lum ( jelas diketahui) dengan yang ma’zun (di duga).
b)      Nasakh Al-Qur’an dengan hadits mutawattir.
Nasakh semacam ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad dalam satu riwayat. Sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Dan nasakh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan. Adapun pada itu Asy-Syafi’I, Zhahiriyah, dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak nasakh karena hadits tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Al-Qur’an.
3.      Nasakh As-sunnah dengan Al-Qur’an.
Hal ini diperbolehkan oleh Jamhur (ulama yang ahli dalam pengetahuan agama). Sebagai contoh ialah masalah menghadap Baitul Maqdis  yang ditetapkan dengan As-Sunnah dan didalam Al-Qur’an tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan ini dinasakhkan oleh Al-Qur’an dengan firmanNya:
“ maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (Al-Baqarah:144)
Tetapi nasakh versi ini pun ditolak oleh imam Syafii dalam satu riwayat. Menurutnya, apa saja yang yang ditetapkan Sunnah tentu didukung oleh Al-Qur’an, dan apa saja yang ditentukan Al-Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal ini karena antara Al-Qur’an dan Sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.[20]
4.      Nasakh Sunnah dengan Sunnah.
Dalam kategori ini tedapat empat bentuk:
a)      Nasakh Mutawattir dengan Mutawattir
b)      Nasakh Ahaddengan Ahad
c)      Nasakh Ahad dengan Mutawattir
d)     Nasakh Mutawattir dengan Ahad
Tiga bentuk pertama diperbolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya nasakh Al-Qur’an sengan hadits Ahad yang tidak diperbolehkan Jumhur.[21]
Allah menghapus hukum suatu ayat tanpa penggantinya, itu sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya dalam memelihara kepentingan hamba-hamba-Nya, ketiadaan suatu hukum lebih baik daripada eksistensi hukum yang dihapus tersebut dari segi manfaatnya bagi manusia, karna Ia lebih mengetahuinya.[22]
            Menurut ulama’ Abu al-Qasim dalam hubungannya dengan nasikh-mansukh, surah-surah Al-Qur’an dibagi menjadi empat kelompok, antara lain sebagai berikut :[23]
a)        Surah yang didalamnya tidak terdapat ayat-ayat nasikh dan tidak terdapat ayat mansukh. Jumlahnya sebanyak 43 surah. Masing-masing adalah surah :[24]

1.      Al-Fatihah
2.      Al-Syamsu wa Dhuhaha
3.      Yusuf
4.      Al-Lail
5.      Yaasin
6.      Al-Dluha
7.      Al-Hujarat
8.      Alam Nasyrah
9.      Al-Hadid
10.  Al-‘Alaq
11.  Al-Shaf
12.  Al-Qadr
13.  Al-Jumu’ah
14.  Al-Infiqaq
15.  Al-Tahrim
16.  Al-Zalzalah
17.  Al-Mulk
18.  Al-‘Adiyat
19.  Al-Haqqah
20.  Al-Qori’ah
21.  Nuh
22.  At-Takatsur
23.  Al-Jin
24.  Al-Humazah
25.  Al-Nursalat
26.  Al-Fiil
27.  Al-Naba’
28.  Al-Quraisy
29.  Al-Nazi’at
30.  Araayta
31.  Al-Infithar
32.  Al-Kautsar
33.  Al-Muthafifin
34.  Al-Nashr
35.  Al-Insyiqaq
36.  At-Tabbat
37.  Al-Buruj
38.  Al-Ikhlash
39.  Al-Fajr
40.  Al-Falaq
41.  Al-Balad
42.  An-Nas
43.  Ar-Rahman[25]








Beberapa surah diatas merupakan surah yang bebas nasikh-mansukh, dan surah-surah diatas berspesifikasi antara lain :
1)   Tidak terdapat di dalamnya amar dan nahi
2)   Hanya terdapat nahi tanpa amar
3)   Hanya terdapat amr tanpa nahi[26]
b)        Surah yang didalamnya terdapat nasikh tetapi tidak terdapat mansukh. Jumlahnya hanya ada enam surah, antara lain :
1)   Al-Fath
2)   Al-Hasyr
3)   Al-Munafiqun
4)   Al-Thalaq
5)   Al-A’la
c)        Surah yang didalamnya terdapat ayat-ayat mansukh, tetapi tidak terdapat padanya nasikh. Jumlahnya ada empat puluh surah, antara lain sebagai berikut :[27]
1.      Al-An’am
2.      Az-Zumar
3.      Al-A’raf
4.      Al-Zukhruf
5.      Yunus
6.      Al-Dukhan
7.      Hud
8.      Al-Jatsiyah
9.      Al-Ra’d
10.  Al-Ahqaf
11.  Al-Hijr
12.  Muhammad
13.  An-Nahl
14.  Al-Basiqat
15.  Bani Israil
16.  Al-Najm
17.  Al-Kahfi
18.  Al-Qomar
19.  Thaha
20.  Al-Imtihan
21.  Al-Mu’min
22.  Nun
23.  Al-Naml
24.  Al-Ma’arij
25.  Al-Qashash
26.  Al-Muddatstsir
27.  Al-‘Ankabut
28.  Al-Qiyamah
29.  Ar-Rum
30.  Al-Insan
31.  Luqman
32.  ‘Abasa
33.  Al-Mashabih
34.  Al-Thariq
35.  Al-Malaikah
36.  Al-Ghasiyah
37.  Al-Shaffat
38.  Al-Tin
39.  Shad
40.  Al-Kafirun[28]
d)       Surah yang kemasukan nasikh dan mansukh. Jumlahnya ada 20 surah, antara lain sebagai berikut :
1.      Al-Baqarah
2.      Al-Nur
3.      Ali ‘Imran
4.      Al-Waqiah
5.      An-Nisa’
6.      Al-Furon
7.      Al-Maidah
8.      Al-Syu’ara’
9.      Al-Anfal
10.  Al-Ahzab
11.  At-Taubah
12.  Saba’
13.  Al-Kahfi
14.  Mu’minin
15.  Maryam
16.  Al-Syura
17.  Al-Anbiya’
18.  Al-Dzariyat
19.  Al-Haj
20.  Al-Thur
21.  Al-Waqi’ah
22.  Al-Kautsar
23.  Mujaadilah
24.  Al-Ashr
25.  Al-Muzammil[29]


            Imam as-Syuyuthi telah menyebutkan bahwa dari keseluruhan 114 ayat surat dalam Al-Qur’an, terdapat 43 surat yang bebas dari nasakh mansukh, 25 surat yang mengandung nasikh mansukh, 6 surat hanya terdapat ayat-ayat nasikhah saja, serta 40 surat yang hanya mengandung ayat-ayat mansukhah.
            Pembagian imam as-Suyuthi ini berdasarkan pemaknaan nasakh secara luas termasuk makna dari yang makna luas (Taqyiidul Mutlaq), pengkhususan dari yang umum (Takhsisus’Am) dan seterusnya. Namun, Nasakh dalam arti sempit yakni pergantian suatu hukum dengan hukum lain yang datang kemudian. Imam as-Suyuthi menerangkan bahwa hana ada sekitar 22 ayat saja dalam Al-Qur’ann yang mengalami proses Nasakh Mansukh. [30]


D.  Hikmah Nasakh
1.      Memelihara kemashlatan hamba.
2.      Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan kondisi umat manusia.
3.      Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf apakah mengikutinya atau tidak.
4.      Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.[31]

E.  Penutup
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan dalam beberapa hal berikut. Nasakh (penghapusan ayat) yang hakikatnya adalah penetapan suatu hukum untuk suatu kemaslahatan dan untuk di amalkan dan kemudian tampak kekeliruan dalam hal itu, lantas dibuatlah baru untuk menggantikan kedudukannya dari ayat sebelumnya (mansukh). Nasikh dan mansukh juga terdiri dari berbagai macam bentuk-bentuk diantaranya: Ayat yang di nasakh-kan bacaan dan hukumnya, sehingga ayat tersebut tidak tertulis lagi didalam Al-Qur’an, Ayat yang telah di nasakh-kan bacaannya tetapi hukumnya masih diamalkan, dan Ayat-ayat yang di nasakh-kan hukum tetapi bacaannya masih ada. Dan juga berbagai jenis nasakh dalam Al-Qur’an yaitu: Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Nasakh Al-Qur’an dengan As-Sunnah, Nasakh As-sunnah dengan Al-Qur’an, Nasakh Sunnah dengan Sunnah.
Dan didalam Al-Qur’an telah disebutkan dari keseluruhan 114 surat dalam Al-Qur’an, terdapat Surah yang didalamnya tidak terdapat ayat-ayat nasikh dan tidak terdapat ayat mansukh yang jumlahnya sebanyak 43 surah, Surah yang didalamnya terdapat nasikh tetapi tidak terdapat mansukh. Jumlahnya hanya ada enam surah, Surah yang didalamnya terdapat ayat-ayat mansukh, tetapi tidak terdapat padanya nasikh yang jumlahnya ada empat puluh surah, dan Surah yang kemasukan nasikh dan mansukh yang jumlahnya ada dua puluh surah.
Hikmah nasikh mansukh Menjaga ke maslahatan hamba, perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi manusia, cobaan dan ujian bagi mukallaf, apakah ia mengikutinya atau tidak, dan menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasikh itu beralih kepada yang lebih berat maka terdapat tambahan pahala, jika beralih ke yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan bagi hambanya.




Daftar Pustaka

Thabathaba’I, Sayyid Muhamad Husain, Memahami Esensi Al-Qur’an,2000,Jakarta: Lentera
Ahmad Shams Madyan, Peta Pembelajaran al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Yokyakarta, 2008
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Semarang, 2002
Ahmad Syadili dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an 1, CV Pustaka Setia, Bandung, 2000
Kadar Muhammad Yusuf, Studi Al-Qur’an, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2009
Jalaluddin Rahmat, ‘Ulum Al-Qur’an, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994
Abdul Haris, “ Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an”, Jurnal Ilmiah TAJDID (Januari-Juni 2014)
Noor Rohma Fauzan,”Urgensi Nasikh Mansukh dalam Legislasi Hukum Islam” Jurnal Studi Hukum Islam.2014
Qosim Nurseha Dzulhadi, Kontroversi Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an, Jurnal
Abd. Sukkur Rahman ,Relevansi Ayat-Ayat Mansukh Pada Masa Kini, Jurnal Proporsal Disertasi.

Catatan:
1.       Cara penulisan footnote masih salah.
2.       Hikmah adanya nasikh-mansukh perlu dieksplorasi.



[1] Noor Rohma Fauzan,”Urgensi Nasikh Mansukh dalam Legislasi Hukum Islam” Jurnal Studi Hukum Islam.2014
[2] Thabathaba’I, Sayyid Muhamad Husain, Memahami Esensi Al-Qur’an,2000,Jakarta: Lentera.hlm 60
[3]Ibid,hlm.61
[4]Ahmad Shams Madyan, Peta Pembelajaran al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Yokyakarta, 2008, hlm. 193.
[5] Abd. Sukkur Rahman ,Relevansi Ayat-Ayat Mansukh Pada Masa Kini, Jurnal Proporsal Disertasi.
[6]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Semarang, 2002, hlm. 150.
[7] Ahmad Syadili dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an 1, CV Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm.157
[8]Ahmad Shams Madyan,Op.cit,hlm. 193.
[9]Ahmad Syadili dan Ahmad Rofi’i, Op.cit, hlm. 158.
[10]Ibid, hlm. 165.
[11]Qosim Nurseha Dzulhadi, Kontroversi Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an, Jurnal.
[12]Ahmad Shams Madyan,op.cit,hlm. 193.
[13] Abdul Haris, “ Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an”, Jurnal Ilmiah TAJDID (Januari-Juni 2014)

[14]Kadar Muhammad Yusuf, Studi Al-Qur’an, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2009, hlm. 118
[15]Ibid,hlm. 119
[16]Ibid.hlm.120
[17]Ibid, hlm. 120.
[18]Ibid, hlm. 119.
[19] Thabathaba’I, Sayyid Muhamad Husain, op.cit, hlm.291
[20] Ibid,hlm.292
[21] Ibid,hlm.293
[22] Abdul Haris, “ Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an”, Jurnal Ilmiah TAJDID (Januari-Juni 2014)
[23]Jalaluddin Rahmat, ‘Ulum Al-Qur’an, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, hlm. 142.
[24]Ibid, hlm. 143.
[25]Kadar Muhammad Yusuf, Studi Al-Qur’an, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2009, hlm. 143.
[26]Ibid,hlm. 144.
[27]Ibid,hlm. 144.
[28]Jalaluddin Rahmat, ‘Ulum Al-Qur’an, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994,hlm. 145.
[29]Ibid,hlm. 146.
[30] Ahmad Shams Madyan,op.cit,hlm.200
[31] Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2008,hlm.296

Tidak ada komentar:

Posting Komentar