Senin, 27 Februari 2017

al-Qur'an dan Sunnah dalam Ushul Fiqih (PAI C Semester Genap 2016/2017)




AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH

Hanif Faisal Abda’i, Nur Elvi Zuhriyatil Wahidah, Wahyu Nur Rohmah
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Kelas C Angkatan 2014
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
The Qur'an is the only holy book of Islam, which for thousands of years from the time of the Prophet until now had never experienced revised or renewal. Thus guaranteed the authenticity of the original truth of its contents will continue until the end of time. In addition, because the Koran comes directly from God as a holy book last and falsifies the books before. The Qur'an was revealed to Prophet Muhammad. mutawaatir reduced or gradually through the intermediary of the angel Gabriel. Qur'an indirectly should be a referral or information centers and as a way of life for humans, especially regarding Islamic laws. In understanding the contents of the content of the Qur'an can not all be interpreted easily, sometimes also need an explanation through the Hadith of the Prophet Muhammad. Hadith or Sunnah is all the deeds and sayings of the Prophet Muhammad statutes. So that the position of Hadith is the second source of law after the Koran. If there is a case that is not found in the Koran, then must for look for it in the hadith. This paper will discuss the Qur'an and the Hadith is as a guide to sources of Islamic law.

Abstrak
Al-Qur’an merupakan satu-satunya kitab suci agama Islam yang selama ribuan tahun dari masa Rasulullah hingga sekarang tidak pernah mengalami refisi ataupun pembaharuan. Sehingga dijamin mengenai keotentikan kebenaran isinya akan terus asli bahkan hingga akhir zaman. Selain itu juga karena al-Qur’an bersumber langsung dari Allah SWT sebagai kitab suci terakhir dan penyempurna kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. secara mutawatir atau berangsur-angsur melalui perantara malaikat Jibril. Al-Qur’an secara tidak langsung harus menjadi sebuah rujukan atau pusat-pusat informasi dan sebagai pedoman hidup bagi manusia terutama mengenai hukum-hukum Islam. Dalam memahami isi kandungan al-Qur’an tidak semua dapat tertafsirkan dengan mudah, terkadang juga perlu penjelasan melaui Hadits Nabi Muhammad SAW. Hadits ataupun as-Sunnah merupakan semua perkataan perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Sehingga kedudukan Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Apabila ada suatu perkara yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an maka hendaklah mencarinya dalam Hadits. Dalam makalah ini akan membahas mengenai al-Qur’an dan Hadits adalah sebagai pedoman sumber hukum Islam.
Keyword: Sources of law, al-Qur'an, al-Sunnah.


A.  Pendahuluan
Agama Islam mempunyai rukun-rukun yang harus diimani dan diamalkan oleh setiap muslim. Bahkan bisa dikatakan kurang sempurna Islamnya jika salah satu darinya tidak mempercayai atau mengamalkannya. Rukun-rukun tersebut salah satunya adalah mempercayai bahwa Allah SWT telah menurunkan kitab-kitab kepada para Nabi-Nya. Kitab al-Qur’an adalah kitab yang paling sempurna, dan hingga kini masih terjaga keasliannya. Kitab tersebut diturunkan melalui Nabi akhirul zaman (tidak ada lagi Nabi setelahnya) yaitu Nabi Muhammad SAW.
Al-Qur’an dan al-Hadits adalah rujukan yang paling utama bagi seluruh umat muslim di dunia. Kitab yang tidak memiliki kecacatan sedikitpun dan ajarannya adalah untuk umat sepanjang masa hingga hari kiamat. Bahkan seorang muslim jika membaca al-Qur’an maka dinilai ibadah dan diberikan pahala oleh Allah.
Al-Qur’an dan as-Sunnah sudah melewati berbagai masa ataupun zaman. Mulai dari masa syi’ir atau ketika masa Nabi, masa keilmuan, hingga pada zaman sekarang ini pada masa berkembangnya teknologi. Di mana semua kegiatan dipermudah dengan adanya teknologi. Al-Qur’an dan as-Sunnahpun tidak luput memberikan kontribusi informasi mengenai masa-masa tersebut. Bahkan Dr Zakir Naik mengatakan dalam pidatonya tidak ada satu ayatpun dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi yang tidak terbukti atau tidak sesuai secara ilmiah. Hal ini membuktikkan bahwa al-Qur’an memang benar adanya dan bukan karangan manusia.
Al-Qur’an menjadi sumber informasi pedoman hidup yang diyakini oleh penganutnya dapat memecahkan berbagai permasalahan dan persoalan baik individu maupun sosial seperti, permasalahan hukum, politik, berbudaya, dan lain sebagainya.  Selain sebagai pedoman hidup, al-Qur’an juga mengandung ajaran-ajaran pengetahuan seperti mengenai tata cara berpenampilan, berbicara, berperilaku maupun lainnya. Semua aturan-aturan tersebut tidak lain adalah dengan tujuan agar manusia hidup di dunia tidak mengalami kekacauan, sehinga semua teratur dengan baik.

B.  Pengertian Al-Qur’an
1.      Definisi Secara Etimologi (Bahasa-Harfiah)
Secara etimologis, al-Qur’an adalah mashdar dari kata qa-ra-a (ق- ر- أ), setimbangan dengan kata fu’lan (فعلان). Ada dua pengertian al-Qur’an dalam bahasa Arab, yaitu qur’an (قران) berarti “bacaan” dan “apa yang tertulis padanya,” Maqru’ (مقروء), ismu al-fail (subjek) dari qara’a(قرأ).[1] Dalam rujukan lain, juga terdapat definisi al-Qur’an secara etimologi/bahasa  yang sama-sama dari mashdar qara’a akan tetapi persamaanya seperti lafal Al-Ghufran yang diambil dari kata gafara (غفر). Dikatakan: qara’a, yaqra’u, qira’atan, dan qur’anan (قرأ- يقرأ- قرأة- قرانا). Definisi-definisi diatas adalah ditemukan dari al-Qur’an surat al-Qiyamah/75: 16-18:

لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18)

"Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya.Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu." (QS. Al-Qiyamah/75:16-18)[2]

Al-Qur’an merupakan nama kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Dalam kajian ushul fiqh, al-Qur’an juga disebut dengan al-Kitab (الكتاب), sebagaimana terdapat dalam surat al-Baqarah/ 2:2:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
"Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa."[3]

2.      Definisi Secara Terminologi (Istilah-Syara')
Secara terminologi yakni yang dikemukakan oleh para ulama ushul fiqh adalah berasal dari satu pengertian yaitu:

كَلَام اللهِ تَعَالَى المُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلام بِالَّلفْظِ العَرَبِيّ المَنْقُوْلِ اِلَيْنَا بِالتَّوَاتُرِ, المَكْتُوْبُ بِالمَصَاحِفِ, المُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ, المَبْدُوْءُ بِالفَاتِحَةِ وَالمَخْتُوْمُ بِسُوْرَةِ النَّاسِ.

“Kalam Allah, mengandung mu’jizat dan diturunkan kepada Rasulullah, Muhammad saw, dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, terdapat dalam mushaf, dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Nas”.

Dari pengertian diatas, maka dilahirkanlah beberapa pengertian al-Quran atau bisa disebut juga ciri-ciri khas al-Quran yang cetuskan para ulama’ ushul fiqh yaitu:
a.       Al-qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw. Apabila tidak demikian, maka bukanlah dinamakan al-Qur’an. Seperti contoh adalah Zabur, Taurat, Injil merupakan kitab dan juga kalam Allah tetapi tidak ditunkan kepada Nabi Muhammad.
b.      Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab Quraisy. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa ayat al-Qur'an, seperti dalam surat: al-Syu'ara'/26:192-195; Yusuf/12:2; al-Zumar/39:28; al-Nahl/16:103; dan Ibrahim/14:4. Oleh sebab itu, penafsiran dan terjemahan al-Qur'an tidak dinamakan al-Qur'an dan tidak bernilai ibadah membacanya seperti nilai membaca al-Qur'an. 
c.       Jika diibaratkan dengan hadist, al-Qur’an adalah mutawatir (dituturkan oleh orang banyak, disampaikan pula kepada orang banyak dan mereka tidak mungkin berdusta). Berbeda dengan kitab-kitab samawi (yang datang dari Allah) yang ditujukan kepada para rasul sebelum Muhammad yang sifatnya tidak mutawatir dan tidak dijamin keasliannya. Maka al-Qur’an adalah terpelihara kemurniannya dengan landasan dari al-Qur’an surat al-Hijr/ 15:9:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya."
d.      Membaca setiap kata dalam al-Qur’an itu mendapat pahala dari Allah, baik secara hafalan atau langsung dari mushaf al-Qur’an.[4] Hal ini dilandasi oleh sabda Nabi saw:
مَنْ قَرَأَحَرْفًا مِن كِتَابِ اللهِ فله به حسنةٌ والحسنةُ بِعَشْرِ اَمْثَاِلهَا لا اَقُوْلُ "الم" حَرفٌ ولكن الفٌ حرفٌ ولامٌ حرفٌوميمٌ حرفٌ

“siapa yang membaca satu huruf dari al-Qur’an, maka ia mendapat satu kebaikan, satu kebaikan bernilai sepuluh kali. Saya tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf”.(HR. al-Tirmidzi dan al-Hakim dari ‘Abdullah ibn Mas’ud).[5]
e.       Al-Qur’an dimulai dari dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas, tidak boleh diubah/diganti letaknya karena sudah disusun sesuai dengan petunjuk Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad.[6]

Dalam versi lain yakni terminologi ushul, al-Qur’an diartikan sebagai lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai mu’jizat dan ada nilai ibadah didalam membacanya. Hal ini terdapat mustasnayat (pengecualian) yakni (1) hadist nabawi: wahyu ilahi tetapi yang diturunkan hanya maknanya sedangkan redaksinya dari Nabi (2) ayat ter-naskh bacaannya, karena membacanya sudah tidak bernilai ibadah (3) kitab samawi yang sudah dijelaskan diatas.
Jika dianalogikan, semua makhluk hidup mempunyai masalah akan tetapi Allah swt menurunkan al-Qur’an sebagai landasan atau rujukan utama untuk menyelesaikan masalah tanpa masalah karena al-Quran merupakan sumber dari segala sumber hukum. Oleh karena itu al-Qur’an disebut juga sebagai mu’jizat yakni dari segi lafalnya yang ilmiah maupun dari segi peristiwa-peristiwa yang sudah maupun belum terjadi, semuanya telah tercantum dalam al-Qur’an.[7]

C.  Kehujjahan Al-Qur'an
Dalam pembahasan ini ulama' ushul fiqh telah sepakat bahwasanya al-Qur'an merupakan sumber pertama dan utama yang dipakai dalam permasalahanhukum islam, para mujtahid juga dilarang menggunakan dalil atau rujukan lain selama belum meneliti ayat al-qur'an. Akan tetapi apabila tidak ditemukan dalam al-Qur'an maka diperbolehkan menggunakan dalil lain seperti as-Sunnah dan lain sebagainya.[8]
Karena al-Qur'an merupakan sumber utama dan hukum-hukumnya juga wajib dipatuhi maka argumentasi/alasan yang menunjukkan bahwa al-Qur'an adalah hujjah (bukti) bagi umat manusia adalah bahwa al-Qur'an diturunkan dari Allah dengan jalan qath'i yang kebenarannya tidak dapat diragukan. Kemudian alasan yang menunjukkan bahwasanya al-Qur'an datang atau diturunkan dari Allah adalah mukjizat al-Qur'an (tidak mungkin manusia mampu membuat atau meniru dengan redaksi/gaya penyusunan seperti al-Qur'an atau pemberitaan gaib yang dipaparkan dalam al-qur'an dan juga isyarat-isyarat ilmiah yang dikandung dalam al-Qur'an) dan lain sebagainya.[9]
            Telah dijelaskan sebelumnya bahwa al-qur'an merupakan sumber utama dalam masalah penetapan hukum islam, akan tetapi disini terdapat perbedaan pandangan menurut imam madzhab tentang kehujjahan al-Qur'an yaitu:
·         Pandangan Imam Abu Hanifah
Beliau juga sependapat dengan jumhur ulama' bahwasanya al-Qur'an adalah sumber hukum islam. Tetapi sebagian ulama' juga ada yang mengatakan bahwa Abu Hanifah berbeda dengan jumhur ulama' yakni mengenai al-Qur'an itu mencakup lafadaz dan maknanya saja.
Bukti yang menunjukkan pendapat beliau tersebut adalah diperbolehkannya membaca al-Qur'an didalam sholat dalam bahasa selain Arab. Contohnya sholat dengan memakai bahasa Persia, padahal kalau menurut Imam Syafi'i sekalipun orang tersebut bodoh tetap tidak boleh sholat dengan bahasa selain Arab. Dalam hal ini bukan berarti Imam Abu Hanifah mengatakan bahwasanya "terjemahan adalah al-Qur'an dan hukum-hukum al-Qur'an tidak berlaku terhadap beliau". Akan tetapi, sesungguhnya Abu Hanifah memperbolehkan sholat dalam bahasa Persia hanyalah bagi orang yang tidak mengetahui bahasa Arab dan tidak dapat membacanya maka dari itu kewajiban membaca al-Qur'an adalah gugur baginya.
·         Pandangan Imam Malik
Menurut Imam Malik, al-Qur'an merupakan kalam Allah yang lafadz dan maknanya dari Allah. Al-Qur'an bukanlah makhluk, karena kalam Allah termasuk sifat Allah. Dengan pandangan yang seperti itu jika ada seseorang berkata bahwasanya "al-Qur'an itu makhluk" maka menurut beliau, orang tersebut adalah kafir zindik.
·         Pandangan Imam Syafii
Seperti para ulama' lainnya, Imam Syafi'i menetapkan bahwasanya al-Qur'an adalah sumber hukum islam yang paling pokok. Bahkan beliau berpendapat, "Tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjuknya terdapat dalam al-Qur'an. Namun beliau mengatakan bahwasanya al-Qur'an tidak bisa dilepaskan dari sunnah karena keduanya sangat berkaitan, dalam hal ini seakan-akan al-Qur'an dan as-Sunnah berada dalam satu martabat. Akan tetapi pengertiannya tidaklah seperti itu, yang sesungguhnya adalah bahwa kedudukan as-Sunnah berada setelah al-Qur'an.
Imam Syafii juga berpendapat bahwasanya al-Qur'an adalah seluruhnya berbahasa Arab, dan beliau menentang dengan adanya anggapan bahwa dalam al-Qur'an terdapat bahasa 'Ajam (luar Arab), pendapat beliau didasarkan dengan firman Allah SWT:
وَكَذَلِكَ أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا
"Dan begitulah kami turunkan al-Qur'an berbahasa Arab". (QS.Thoha/20:113)
Dengan pendapat beliau yang seperti itu, tak heran jika Imam Syafii tidak memperbolehkan sholat dengan bahasa selain Arab. Dan beliaupun mengharuskan penguasaan bahasa Arab bagi mereka yang ingin memahami dan meng-istinbath/menciptakan hukum dari al-Qur'an.
·         Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal
Tidak berbeda dengan yang lainnya, Imam Ahmad pun berpendapat bahwasanya al-Qur'an merupakan sumber pokok islam, yang kemudian disusul oleh as-Sunnah yakni sama seperti halnya pendapat Imam Syafii. Dalam penafsiran terhadap al-Qur'an, Imam Ahmad betul-betul mementingkan penafsiran yang datangnya dari as-Sunnah, dan sikapnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga:
a.    Sesungguhnya dzohir al-Qur'an tidak mendahulukan as-Sunnah
b.    Tidak ada seseorangpun yang berhak menafsirkan al-Qur'an, karena yang boleh menafsirkan al-Qur'an hanyalah Nabi Muhammad saw yakni sunnah sudahlah cukup menafsirkannya
c.    Apabila tidak menemukan penafsiran yang asalnya dari Nabi Muhammad maka yang dipakai adalah penafsiran dari para sahabat, karena yang mengetahui turunnya al-Qur'an dan mendengarkan takwil adalah para sahabat.[10]
D.  Macam-Macam Hukum Al-Qur'an
Hukum-hukum yang dikandung dalam al-Qur'an, secara garis besarnya terdapat tiga bagian yaitu:
1.      Hukum I'tiqadiyah: hukum yang berkenaan dengan keyakinan, yakni segala sesuatu yang wajib diyakini oleh mukallaf terhadap Allah, Malaikat-Nya, kitab- kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir.
2.      Hukum Khuluqiyah: hukum yang berhubungan dengan akhlak, yaitu kewajiban mukallaf untuk selalu berbudi luhur, meningkatkan moral, dan menjauhkan diri dari sifat yang tercela.
3.      Hukum 'Amaliyah: hukum ini berkaitan dengan tindakan/perbuatan/praktik, yaitu tindakan yang dilakukan dengan sesama manusia atau manusia dengan penciptanya.[11]
Untuk hukum yang ketiga tersebut, yakni hukum 'amaliyah didalam al-Qur'an terdiri dari 2 macam:
a.       Hukum Ibadah, seperti: sholat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah, dan hukum-hukum yang lainnya. Yang pada intinya hukum ini adalah hukum yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya.
b.      Hukum Muamalat, seperti: akad, perbelanjaan, hukuman, pidana dan lain-lain, yaitu secara ringkasnya adalah hukum yang bersangkutan dengan hubungan manusia dengan manusia yang lain.[12]
Seiring berkembangnya zaman, hukum muamalat ini pun bercabang-cabang, yaitu diantaranya:
·         Hukum Ahwalul Syahsyiah (hukum keluarga), maksudnya adalah mengatur hubungan antara suami-istri dan kerabat antara satu dengan yang lainnya. Dalam al-Qur'an, jumlah ayat yang menjelaskan permasalahan ini sekitar 70 ayat.
·         Hukum Madniyah (hukum perdata), yaitu berhubungan dengan muamalah antar individu atau kelompok, misalnya masalah jual-beli, pinjam-meminjam, pegadaian. Dalam pembahasan ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan sesama manusia dan juga berkaitan dengan memelihara kekayaan dan hak masing-masing. Di dalam al-Qur'an terdapat sekitar 70 ayat yang membahas tentang hukum ini.
·         Hukum Jinayat (hukum pidana), yaitu hukum yang berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang sebagai sangsi pidananya. Hal ini dimaksudkan demi memelihara kehidupan manusia didalam agamanya, dirinya, akalnya, harta, dan kehormatannya. Hal yang membahas permasalahan ini di al-Qur'an kira-kira 30 ayat.
·         Hukum Murafa'at (hukum acara), adalah hukum yang berkenaan dengan lembaga pengadilan seperti gugat, saksi, hakim dan lain-lain. Hukum ini dimaksudkan dengan kesanggupan menerapkan prinsip keadilan antar sesama manusia.[13]
·         Hukum Dusturiyah (hukum perundang-undangan), merupakan hukum yang berkenaan dengan aturan undang-undang dan dasar-dasarnya. Hukum ini bertujuan sebagai pembatas antara hubungan pemerintah dengan pemerintah dan warga negara atau hubungan antara hakim dan terdakwa, serta penetapan hak pribadi dengan hak masyarakat. Di al-Qur'an terdapat sekitar 10 ayat yang membahas hukum ini.
·         Hukum dauliyah (hukum kenegaraan), yaitu berkenaan dengan hubungan antar negara-negara islam dan negara-negara non islam sekaligus peraturan tentang pergaulan antara non-muslim didalam negara islam. Terdapat sekitar 25 ayat didalam al-Qur'an yang membahas tentang hukum ini.
·         Hukum Iqtishadiyah wa maliayah (hukum ekonomi dan harta benda), adalah membahas tentang hak-hak fakir miskin yang meminta-minta dan fakir miskin yang tidak mendapat hak bagiannya dari orang kaya. Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur keuangan antara pihak kaya dan yang miskin. Di dalam al-Qur'an terdapat sekitar 10 ayat yang membahs tentang hukum ini.[14]

E.  Dalalah Ayat-Ayat Qath'i dan Dzanni dalam Al-Qur'an
Dalalah dalam konteks makna adalah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan dan dapat mengantarkan kepada pengertian yang dikehendaki. Untuk memahami nash al-Qur'an yakni apakah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz tersebut "jelas" (pasti/langsung dapat difahami) atau "belum jelas" (tidak pasti/masih penjelasan secara global). Dalam permasalahan yang seperti ini, para ulama' ushul fiqh menggunakan pendekatan dengan istilah qath'i dan dzanni.[15]
v  Dalalah qath'i merupakan dalil yang menunjukkan arti yang dapat difahami secara jelas. Tidak mengandung takwil (tidak perlu ditafsirkan/tidak mengandung makna tersirat). Misalnya seperti ayat-ayat hudud, waris, dan kafarat. Contoh firman Allah swt:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta".(QS.Annisa'/4:11)

Contoh lain adalah surat an-Nur/24:2:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera".

v  Dalalah dzanni merupakandalil yang menunjukkan makna yang masih tersirat/penjelasnnya masih secara global, jadi dalam dalalah dzanni masih perlu takwil (masih perlu penafsiran karena bisa jadi lafadz nya mengandung makna ganda atau mengandung pengertian lebih dari satu). Sebagai contoh firman Allah swt:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan". (QS. al-Maidah/5:38)

Kata tangan dalam ayat tersebut adalah ada dua kemungkinan yaitu bisa jadi tangan kanan atau tangan kiri, disamping itu juga mengandung kemungkinan tangan yang dipotong tersebut hanya sampai pergelangan tangan atau sampai siku-siku masih belum jelas maksudnya. Inilah yang disebut dengan dalalah dzanni.[16]
Contoh diatas menjelaskan dalil yang mengandung penjelasan yang masih global/umum. Terdapat contoh lain, yaitu dalil yang mengandung makna musytarak (mempunyai makna ganda) seperti firman Allah swt:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru". (QS. al-Baqarah/2:228)

            Dari ayat tersebut, lafal "Qur'i" dalam bahasa Arab merupakan lafadz yang mempunyai dua makna yaitu ada yang mengartikan "Suci" dan ada juga yang mengartikan "haid". Jadi dalam pengertian tersebut para mujtahid berbeda pendapat mengenai masa iddah wanita yang ditalak yaitu ada yang mengatakan 3 kali haid dan ada pula yang berpendapat 3 kali suci.[17]

F.   Pengertian As-Sunnah
1.      Definisi Secara Etimologi (Bahasa-Harfiah)
Lafal as-Sunnah, menurut bahasa adalah jalan atau kosa kata kuno yang telah dikenal dalam bahasa Arab yang bermakna jalan yang menjadi kebiasaan, baik atau buruk. Di antaranya firman Allah swt:
وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّه تَبْدِيلا
"... dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah." (QS. Al-Ahzab/33:62)[18]

As-Sunnah bukan hanya digunakan untuk makna yang terpuji saja, akan tetapi juga digunakan untuk sesuatu yang tercela. Sebagaimana disebutkan dalam hadist:

 مَن سَنَّ سنةً حسنةً كان له اجرُه ومِثلُ اَجْرِ مَن عَمِلَ بها مِن غيرِ اَن يَنْقُصَ مَن اُجُورِهم شيءٌ ومَن سَنَّ سنةٌ سَيِئَةٌ كان عليه وِزْرُهُ ومثلُ وِزْرِمَن عَمِلَ بها مِن غيرِ اَن يَنْقُصَ مِن اَوْزَارِهم شيءٌ (رواه الدارمي)

"Barang siapa yang berbuat baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa yang melakukan perbuatan buruk, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun." (HR. Al-Darami.[19]

2.      Definisi Secara Terminologi (Istilah-Syara')
Dalam pengertian secara terminologi ada berbagai kategori dalam mengartikannya yaitu: pertama, oleh para ulama-ulama islam yaitu kosakata yang direduksi dari  pengertiannya sebagaimana dalam al-Qur'an dan bahasa Arab, dan dipergunakan dalam pengertian yang lebih khusus. Yaitu suatu gambaran amal perbuatan yang sesuai dengan teladan Nabi dan para sahabatnya. Sebagaimana hadist Nabi:
 عليكم بِسُنَّتِيْ وسنةِ الخُلَفَاءِ الراشدين مِن بَعْدِيْ (رواه احمد وابو داود والترمذي وابن ما جه وابن حبان والحاكم)

"Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafa' al-Rasyidin (para pengganti Rasul yang mendapatkan petunjuk) sepeninggalku." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Turmudzi, Ibn Majah, Ibn Hibban dan Al-hakim).[20]
Kedua,dipandang sesuai dengan perkembangan disiplin ilmu keislaman yaitu dari sudut ilmu fiqh, hadist dan ushul fiqh. (a) menurut ulama’ fiqh yaitu perbuatan yang apabila di kerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa (b) menurut ulama’ ushul fiqh yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan atau timbul dari Nabi yang mencakup perbuatan, perkataan dan ketetapan (taqrir) yang dapat dijadikan landasan hukum syariat (c) menurut ulama’ hadist ialah segala sesuatu yang disandarkan atau yang berhubungan dengan Nabi Muhammad saw, baik itu berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan, sifatnya sebagai manusia biasa dan juga akhlaknya baik itu setelah atau sebelum diutus menjadi rosul atau yang telah ditetapkan dalam hukum syara’ atau belum.
Dalam pembahasan diatas, terdapat perbedaan pengertian sunnah antara ulama fiqih dan ulama ushul fiqih, yakni jika menurut ulama fiqih sunnah dipandang sebagai salah satu sumber atau dalil hukum akan tetapi jika menurut ulama ushul fiqh sunnah diartikan sebagai salah satu hukum taqlifi.[21]

G.      Kehujjahan Sunnah
Umat islam sepakat bahwasanya segala sesuatu yang datang dari rasulullah baik itu ucapan, perbuatan atau taqrir merupakan suatu hukum atau tuntutan yang disampaikan kepada kita dengan sanad sahih (dapat dipercaya). Maka dari itu, kebenaran tersebut merupakan hujjah bagi umat islam dan sebagai sumber pembentukan hukum yang diambil setelah al-Qur'an.[22] Dibawah ini akan diterangkan lebih jelas mengenai bukti dari kehujjahan as-Sunnah:
§  Nash al-Quran
Dalam surat an-Nisa' ayat 59 dijelaskan bahwasanya Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk mentaati Allah, Rasul, dan ulil amri. Maksud mentaati Rasul di sini ialah (ia) juga berarti mentaati Allah. Karena barangsiapa yang mengikuti Rasul, maka sesungguhnya dia telah mengikuti Allah. Dalam surat yang sama (an-Nisa' ayat 59), Allah juga memerintahkankepada kaum muslimin apabila terjadi pertengkaran atau pertentangan dalam suatu masalah untuk mengembalikan masalah itu kepada Allah dan Rasul, maksudnya al-Quran dan as-Sunnah. Dalam surat yang lain yaitu al-Hashr ayat 7, Allah berfirman “ Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah.” Jadi bukti mengikuti perintah Rasul dalam al-Quran dapat dilihat dalam surat an-Nisa' ayat 59 dan al-Hashr ayat 7.
§  Ijma’ Sahabat
Bagi umat Islam wajib untuk mengikuti sunnah Rasul, baik ketika beliau masih hidup maupun telah wafat. Ketika Rasulullah masih hidup, umat Islam tidak perlu bingung atau khawatir dalam menjalankan hukum-hukum Islam sehingga tidak terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin dalam menjalankan hukum-hukum yang bersumber dari al-Quran maupun dari Rasul sendiri. Mereka menjalankan hukum-hukum yang diperintahkan Rasulullah dan meninggalkan yang dilarang beliau.Sedangkan setelah Rasulullah wafat, berdasarkan hadits Mu'az bin Jabal “Jika hukum yang akan aku jalankan itu tidak terdapat dalam al-Quran, maka akan aku cari dalam sunnah Rasulullah.”
Abu Bakar pula, jika ia tidak ingat dengan sunnah Rasul mengenai suatu masalah, maka ia pergi bertanya kepada orang banyak. Siapakah diantara mereka yang masih ingat dengan sunnah Rasul mengenai masalah ini? Demikian pula dengan para sahabat lainnya. Jadi, barangsiapa yang datang minta fatwa atau hukum kepada sahabat, maka hendaklah ia mengikuti apa yang difatwakannya itu. Sebab orang yang berfatwa itu tidak berbeda dengan apa yang didengarnya dari Rasul.

§  Dalam al-Qur'an
Di dalam al-Qur'an terdapat banyak hal yang wajib dijalankan oleh manusia. Tetapi al-Quran tidak menjelaskannya secara terperinci tentang hukum-hukum dan bagaimana caranya.Seperti perintah untuk mendirikan solat, membayar zakat, berpuasa, haji. Al-Quran tidak menjelaskan bagaimana cara melakukan keempat perintah tersebut. Oleh karena itu, Rasul lah yang menjelaskan bagaimana cara mengerjakannya dengan sunnah qauliyyah dan sunnah fi'liyyah. Karena Allah telah memberikan kuasa kepada Rasul untuk menerangkan sejelas-jelasnya kepada orang lain. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 44 : “Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran agar engkau menerangkannya kepada umat manusia apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka.” Jadi, sunnah merupakan penjelas atau penegas terhadap al-Quran.[23]

H.      Macam-Macam as-Sunnah
1.      Macam-Macam as-Sunnah Dilihat dari Segi Bentuknya
Pertama, sunnah fi’liyyah merupakan segala perbuatan atau perilaku Nabi yang diketahui oleh sahabat dan disampaikan kepada sahabat yang lain. Contohnya yaitu tata cara solat 5 waktu yang dicontohkan oleh Nabi.
Kedua, sunnah qauliyyah merupakan segala perkataan atau ucapan Nabi yang didengan oleh sahabat dan disampaikan kepada sahabat yang lain. Contohnya sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah “Tidak sah solat seseorang yang tidak membaca surat al-fatihah” (HR. al-Bukhari dan Muslim) atau contoh lain yakni “Segala amal perbuatan harus disertai dengan niat” (HR. Bukhari)
Ketiga, sunnah taqririyyah merupakan segala perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan di hadapan Nabi atau tidak dilakukan di hadapan Nabi akan tetapi beliau mengetahuinya dan beliau diam (tidak mencegahnya atau hal itu boleh dilakukan karena tidak bertentangan dengan syariat). Contoh kasus ‘Amr ibn al-‘Ash yang berada dalam keadaan junub, suatu hari cuaca sangat dingin sehingga beliau tidak sanggup mandi karena dikhawatirkan akan sakit dan ketika itu ‘Amr ibn al’-Ash hanya bertayamum. Setelah itu ‘Amr menyampaikannya kepada Rasulullah, kemudian Nabi bertanya “Apakah kamu melaksanakan solat bersama teman-temanmu? Sedangkan kamu dalam keadaan junub.” Kemudian ‘Amr menjawab “Saya ingat firman Allah ta’ala yang mengatakan “Janganlah kamu membunuh diri kamu, sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” kemudian saya bertayamum dan langsung solat. Mendengar jawaban tersebut Rasulullah tertawa dan tidak berkomentar apapun. (HR. ibn Hanbal dan al-Baihaqi). Perilaku Rasulullah tersebut (tertawa dan tidak berkomentar) adalah tanda bahwasanya perbuatan tersebut tidak dilarang atau diperbolehkan karena Rasulullah tidak mungkin membiarkan seseorang melakukan hal-hal yang dilarang oleh syariat.[24]

2.      Macam-Macam as-Sunnah Dilihat dari Segi Kuantitas Rawinya
·         Sunnah mutawatir
Secara bahasa, mutawatir berarti berurutan. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mukminun ayat 44 :
ثُمَّ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا تَتْرَا
“Kemudian Kami mengutus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul Kami berurut-urut.”(QS. al-Mu'minun/23:44)

Sedangkan menurut istilah, mutawatir yaitu setiap kabar yang diriwayatkan banyak orang yang secara akal tidak mungkin mereka sepakat untuk berbohong. Jadi, sunnah mutawatiroh yaitu sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh sekelompok orang yang secara akal tidak mungkin sekelompok orang itu berbohong terhadap sunnah tersebut. Oleh karena itu, ulama' sepakat bahwa sunnah mutawatiroh dipastikan keberadaannya (qath'i) datang dari Rasulullah.[25] Contoh sunnah mutawatiroh yaitu perintah tentang mengerjakan sholat, puasa, haji, adzan, dan lain-lain.
·         Sunnah Masyhur
Yaitu sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh beberapa orang saja yang belum mencapai derajat tawatur (perawi sunnah mutawatir), kemudian para perawi yang telah mencapai jumlah tawatur meriwayatkannya.[26] Dari definisi sunnah mutawatiroh dan sunnah masyhur dapat disimpulkan perbedaannya bahwa sunnah mutawatiroh adalah sunnah yang sejak awal kemunculannya diriwayatkan oleh banyak orang atau orang-orang yang mencapai derajat tawatur, sedangkan sunnah masyhur adalah sunnah yang awalnya diriwayatkan oleh beberapa orang yang belum mencapai derajat tawatur kemudian pada masa-masa berikutnya diriwayatkan secara massal atau oleh orang-orang yang sudah mencapai derajat tawatur.[27]
·         Sunnah Ahad
Yaitu sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh beberapa orang tetapi tidak mencapai derajat tawatur atau tidak mencapai jumlah kemutawatiran.[28]

I.         Dalalah Ayat-Ayat Qath'i dan Dzanni dalam as-Sunnah
Bukan hanya dalam al-Qur'an saja, dalam sunnah pun ada pembahasan tentang dalil yang qath'i dan dzanni. Dalam segi pengertiannya pun tidak berbeda yaitu lafadz tersebut "jelas" (pasti/langsung dapat difahami "qath'i") atau "belum jelas" (tidak pasti/masih penjelasan secara global "dzanni").
v  Dalalah qath'i yakni sunnah-sunnah yang pengertiannya mengandung makna yang sudah pasti atau jelas. Sebagai contoh yaitu cara Rasulullah berwudhu.[29]

وَعَنْ حُمْرَانَ أَنَّ عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ : رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
"Dari Humran bahwa Utsman meminta air wudlu. Ia membasuh kedua telapak tangannya tiga kali lalu berkumur dan menghisap air dengan hidung dan menghembuskannya keluar kemudian membasuh wajahnya tiga kali. Lalu membasuh tangan kanannya hingga siku-siku tiga kali dan tangan kirinya pun begitu pula. Kemudian mengusap kepalanya lalu membasuh kaki kanannya hingga kedua mata kaki tiga kali dan kaki kirinya pun begitu pula. Kemudian ia berkata: Saya melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berwudlu seperti wudlu-ku ini. Muttafaq Alaih".[30]

Dari contoh sunnah di atas, yakni dengan membasuh anggota wudhu masing-masing tiga kali kecuali mengusap kepala. Dalam lafadz tersebut ada kata-kata (ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ) ialah menunjukkan pengertian qath'i yaitu maknanya sudah jelas tidak butuh penafsiran lagi.
v  Dalalah dzanni yaitu sunnah-sunnah yang maknanya belum menunjukkan pengertian yang jelas atau masih butuh penafsiran lagi. Sebagai contoh sunnah  tentang bacaan surat al-Fatihah dalam solat :
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
"Tidak sah solat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah"

Dari contoh di atas ada perbedaan pendapat mengenai "membaca surat al-Fatihah" yakni yang pertama menurut jumhur fuqoha berpendapat bahwasanya tidak sah solatnya bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah. Berbeda dengan kalangan Hanafiyah, mereka berpendapat bahwasanya ayat tersebut adalah musytarok (bermakna ganda) yaitu bukannya tidak sah akan tetapi tidak sempurna. Dengan kata lain, jika seseorang solat dengan tanpa membaca surat al-Fatihah maka solatnya tidak sempurna bukan berarti tidak sah.[31]

J.    Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat Para Fuqoha dalam Memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah
Para Fuqoha ada beberapa hal yang menjadi sebab terjadinya perbedaan dalam memahami atau memaknai al-Qur’an dan as-Sunnah. Diantara yaitu sebagai berikut:
1.      Hal-Hal yang Berkaitan dengan Lafaz
Dari kedua sumber hukum al-Qur’an dan as-Sunnah semuanya menggunakan bahasa Arab, sedangkan di daerah penurun wahyu dan Sunnah memiliki beberapa suku yang setiap sukunya memiliki pemaknaan terhadap suatu kata yang berbeda-beda. Sehingga hal ini memunculkan beberapa pendapat yang berbeda satu sama lain dalam mentafsirkan kalimat. sebagai contohnya yaitu pada surat an-Nisa’ ayat 22 :

وَلاَتَنكِحُواْمَانَكَحَآبَاؤُكُممِّنَالنِّسَاء  ﴿٢٢﴾
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu,.”(QS.an-Nisa'/4:22)

Dalam hal ini pemaknaan nikah memiliki persepsi makna yang berbeda-beda. Ulama’ Hanafiyah mengartikan makna nikah adalah persetubuhan antara lawan jenis baik melalui akad ataupun tidak, sehingga tafsir ayat tersebut memiliki maksud melarang seseorang kawin dengan wanita yang sudah disetubuhi oleh ayahnya baik secara sah ataupun tidak.
            Kedua, ulama’ Syafi’iyah mengartikan lafaz nikah dengan akad. Sehingga memperbolehkan seseorang kawin dengan wanita yang telah disetubuhi oleh ayahnya secara tidak sah. Dan menganggap haram apabila menikah seorang wanita yang sudah disetubuhi oleh ayahnya secara sah.[32]

2.      Hal-Hal yang Berkaitan dengan Ta’arudh
            Menurut bahasa, tarudh berarti taqabul dan tamanu’ atau bertentanan dan sulitnya pertemuan. Ulama’ Ushul fiqh mengartikan ta’arudh ini sebagai dua dalil yang masing-masing menafikan apa yang ditunjuk oleh dalil lain.[33]Salah satu contohnya adalah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 240 dengan surat al-Baqarah ayat 234.

وَالَّذِينَيُتَوَفَّوْنَمِنكُمْوَيَذَرُونَأَزْوَاجاًوَصِيَّةًلِّأَزْوَاجِهِممَّتَاعاًإِلَىالْحَوْلِغَيْرَإِخْرَاجٍفَإِنْخَرَجْنَفَلاَجُنَاحَعَلَيْكُمْفِيمَافَعَلْنَفِيَأَنفُسِهِنَّمِنمَّعْرُوفٍوَاللّهُعَزِيزٌحَكِيمٌ ﴿٢٤٠

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma`ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Ayat ini menjelaskan mengenai iddah wanita yang ditinggal mati suaminya yaitu selama satu tahun. Sedangkan ayat lain yang berselisih adalah sebagai berikut:

وَالَّذِينَيُتَوَفَّوْنَمِنكُمْوَيَذَرُونَأَزْوَاجاًيَتَرَبَّصْنَبِأَنفُسِهِنَّأَرْبَعَةَأَشْهُرٍوَعَشْراًفَإِذَابَلَغْنَأَجَلَهُنَّفَلاَجُنَاحَعَلَيْكُمْفِيمَافَعَلْنَفِيأَنفُسِهِنَّبِالْمَعْرُوفِوَاللّهُبِمَاتَعْمَلُونَخَبِيرٌ ﴿٢٣٤﴾

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
            Sedangkan pada ayat tersebut memiliki makna bahwa seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya masa iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari.
            Pada hakikatya dalil yang sama derajatnya tidaklah mungkin mengalami pertentangan, sehingga pada dasarnya yang mengalami pertentangan adalah pemberian makna pada suatu dalil. Ta’arudh disini hanyalah terjadi pada para mujtahid. Sehingga atas dasar ini ta’arudh terjadi hanay secara zahir.
            Dalam menghadapi dalil yang bertentangan secara zahir tersebut perlu adanya penyelesaian sehingga dapat menghilangkan pertentangan tersebut. Dalam hal ini para ulama’ menggunakan dua metode yaitu metode Hanafiyah dan metode Syafi’iyah.
a.    Ulama’ Hanafiyah mengemukakan beberapa langkah untuk ditempuh salah satunya adalah Nasikh. Dalam metode Nasikh perlu mengetahui mana nash yang lebih dahulu turun. Dalam contoh pada ayat di atas maka dapat disumpulkan bahwa QS. Al-Baqarah 2:234 yang menyatakan iddah wanita yang cerai karena meninggal dunia empat bulan sepuluh hari dan didahului turun ayat QS al-Baqarah 2:240 yang menyatakan iddah wanita yang dicerai suami karena meninggal dunia yaitu satu tahun. Jadi yang diambil pertentangan kedua ayat tersebut adalah iddah wanita yang cerai ditinggal mati suami empat bulan sepuluh hari.
b.    Ulama’ Syafi’iyah dalam menyelesaikan dalil menggunakan beberapa metode salah satunya yaitu al-Jam’u wa al-Taufiq, hal ini sependapat dengan ulama’ Milikiyyah dan Zahiriyyah bahwa metode yang harus digunakan dalam menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan adalah dengan menghimpun dan mengkompromikannya. Mereka beralasan pada prinsipnya dalil itu harus diamalkan bukan diabaikan. Untuk melakukannya dapat juga hukum kedua dalil tersebut dapat dibagi, maka boleh dilakukan pembagian. Seperti pada contohnya yaitu dua orang yang memiliki pengakuan terhadap barang yang sama, kedua sama-sama mengininkan barang tersebut menjadi miliknya. Tidaklah mungkin jika meniadakan salah satu diantara mereka. Sehingga diambil jalan pintas dengan membaginya menjadi dua bagian.

K. Kesimpulan
       Menurut bahasa al-Qur’an berarti bacaan. Sedangkan menurut terminologi al-Qur’an diartikan sebagai lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai mu’jizat dan ada nilai ibadah didalam membacanya. Para ulama' ushul fiqh telah sepakat bahwasanyaal-Qur'an merupakan sumber pertama dan utama yang dipakai dalam permasalahanhukum islam, para mujtahid juga dilarang menggunakan dalil atau rujukan lain selama belum meneliti ayat al-qur'an. Akan tetapi apabila tidak ditemukan dalam al-Qur'an maka diperbolehkan menggunakan dalil lain seperti as-Sunnah dan lain sebagainya. Dalm al-Qur’an terdapat beberapa jenis hukum yaitu: hukum I'tiqadiyah, hukum Khuluqiyah (hukum yang berhubungan dengan akhlak, yaitu kewajiban mukallaf untuk selalu berbudi luhur, meningkatkan moral, dan menjauhkan diri dari sifat yang tercela), hukum 'Amaliyah (hukum ini berkaitan dengan tindakan/perbuatan/praktik)
       Lafal as-Sunnah, menurut bahasa adalah jalan atau kosa kata kuno yang telah dikenal dalam bahasa Arab yang bermakna jalan yang menjadi kebiasaan, baik atau buruk. Menurut ulama’ fiqh yaitu perbuatan yang apabila di kerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa. Sedangkan menurut ulama’ ushul fiqh yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan atau timbul dari Nabi yang mencakup perbuatan, perkataan dan ketetapan (taqrir) yang dapat dijadikan landasan hukum syariat. Dari kedua sumber hukum Islam tersebut sangatlah wajib hukumnya bagi para mujtahid untuk menggunakan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber dasar berijtihad. Al-Qur’an dan as-Sunnah diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab sedangkan bahasa manusia di dunia ini adalah sangat banyak. Sehingga perlu diadakannya penafsiran-penafsiran al-Qur’an dan as-Sunnah tersebut agar semua umat dapat mengetahui arti ataupun maksud yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Tetapi dalam penakmanaan kedua sumber hukum tersebut tidaklah mudah.  Terdapat banyak sekali tafsir-tafsir yang berbeda-beda dikarenakan kadar ij’tihad yang juga berbeda. Sehingga jika ditemukan makna yang berbeda dalam al-Qur’an itu berarti bukan al-Qur’annya yang terdapat kesalahan namun pada para mu’tahidlah yang memiliki pendapat yang berbeda.






































DAFTAR PUSTAKA

Al-Anshari, al-Islam Zakaria. Pengantar Memahami Lubbul Ushul. Diterjemahkan oleh: Saiful Muhid. Kediri: Lirboyo Press, 2015.
Djazuli, dan Aen, Nurol. Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000.
Forum Karya Ilmiah. Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam. Kediri: Purna Siwa Aliyyah, 2004.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Al-Hafidz. Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam. Diterjemahkan oleh: Dani Hidayat (offline). Tasikmalaya: Pustaka al-Hidayah, 2008
Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Diterjemahkan oleh: Moch. Tolchah Mansoer, dkk. Bandung: Risalah, 1985.
Khallaf. Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fikih. Diterjemahkan oleh: Halimuddin. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Diterjemahkan oleh: Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib. Semarang: Dina Utama, 2014.
Koto, Alaidin. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Romli. Studi Perbandingan Ushul Fiqh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.
Syafe'i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia, 2015.

Catatan:
1.      Setiap yang merujuk pada data harus diberikan referensinya, termasuk pidato Zakir Naik, harus diberikan keterangan lengkap.
2.      Dalam pendahuluan, berikan sedikit kata-kata mengenai apa yang hendak Anda bahas dalam makalah.
3.      Buku terjemahan Abdul Wahab Khalaf saya anggap satu buku, jadi tambahi tulisan Anda ini minimal satu referensi lagi.

Secara umum, saya lihat makalah ini sudah cukup bagus. Selamat!!!!!!













[1]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 19-20
[2]Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh. Zuhri. (Semarang: Dina Utama Semarang, 2014), hal.23
[3]Op, Chit., Nasrun Haroen, hal. 20
[4]Rachmad Syafe'i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), hal. 49-50
[5]Op, Chit., Nasrun Haroen, hal. 22-23
[6]Op, Chit., Rachmad Syafe'i, hal. 51
[7]al-Islam Zakaria al-Anshari, Pengantar Memahami Lubbul Ushul, terj. Saiful Muhit. (Kediri: Lirboyo Press, 2015), hal. 40
[8]Op, Chit., Nasrun Haroen, hal. 27
[9]Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, terj. Moch. Tolchah Mansoer, dkk. (Bandung: Risalah, 1985), hal. 23
[10]Op, Chit., Rahmat Syafe'I, hal. 51-54
[11]Op, Chit., Moch. Tolchah Mansoer, hal. 38.
[12]Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 82.
[13]Ibid, hal. 83.
[14]Op, Chit., Moch. Tolchah Mansoer, hal. 40
[15]Romli, Studi Perbandingan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2014), hal. 83
[16]Op, Chit., Nasrun Haroen, hal. 32-33
[17]Op, Chit., Moh. Zuhri, hal. 46
[18]Ibid, hal. 48.
[19]Pokja Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri: Purna Siwa Aliyyah, 2008),
[20]Op, Chit., Forum Karya Ilmiah, hal. 32
[21]Op, Chit., Nasrun Haroen, hal. 38-39
[22]Op, Chit., Moch. Tolchah Mansoer, hal. 47
[23]Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, terj. Halimuddin. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hal. 38-41
[24]Op, Chit., Forum Karya Ilmiah, hal. 33-34
[25]Ibid, hal. 52
[26]Op, Chit., Moh. Zuhri, hal. 59
[27]Op, Chit., Forum Karya Ilmiah, hal. 53
[28]Op, Chit., Moh. Zuhri, Hal. 60
[29]Op, Chit., Romli, hal. 103
[30]Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, terj (offline). Dani Hidayat. (Tasikmalaya: Pustaka al-Hidayah, 2008)
[31]Op, Chit., Romli, hal. 103-104
[32]Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (sebuah Pengantar), (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2004), hlm. 139
[33]Ibid, hlm. 141

Tidak ada komentar:

Posting Komentar