Jumat, 24 Februari 2017

Nasikh dan Mansukh dalam al-Qur'an (P-IPS E Semester Genap 2016/2017)



  
 NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR’AN
                                                            
Isna Asyaroh Makiyah Kartika Sari, Eni’matul Masruroh
Mahasiswa jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial kelas E
Angkatan 2015
Fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
E-mail: isnamecca@gmail.com

Abstrak
Al qur’an merupakan firman allah yag diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril sebagai pedoman hidup bagi manusia di dunia dan di akhirat. Di dalam al-qur’an terkandung tata cara, atau hukum hukum yang mengatur kehidupan manusia, akan tetapi karena kehidupan berjalan dinamis dan kondisi manusia selalu berubah, maka diperlukan adanya perubahan dan pembaharuan hukum yang relevan dengan kondisi manusia. Maka disinilah terlihat hikmah dari adanya nasikh dan mansukh, yang pada hakekatnya ditetapkan oleh Allah SWT untuk memudahkan hidup manusia.
Abstract
      Al Qur'an is the word of Allah that revealed to prophet Muhammad SAW through the angel Gabriel as guidelines For human life in the world and hereafter. In the quran contained system, or the laws that set the human Life, but because life goes dynamic and human condition always change, it is necessary to change and reform the laws that are relevant to the human condition. So this is where seen the wisdom of their nasikh and mansukh, which is essentially determined by Allah SWT to facilitate human life.
               Keyword: alqur’an, nasikh, mansukh

Pendahuluan
Pembahasan nasikh dan mansukh merupakan salah satu pembahasan penting dalam ilmu tafsir, karena sebagaimana kita ketahui bahwa ayat ayat al-qur’an memiliki keterkaitan antara satu ayat dengan lainya, yang mana tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan adanya kontradiksi. Begitu pula kondisi kehidupan yang berubah seiring berkembangnya zaman, menimbulkan adanya perubahan-perubahan dalam hukum hukum syari’at yang mana tujuanya untuk mempermudah hidup manusia. Ilmu nasikh dan mansukh dibutuhkan dalam memahami ilmu alqur’an, karena nasikh dan mansukh juga berkaitan dengan pembahasan lainya seperti takhsis, asbabun nuzul, Dsb.
Tulisan ini memuat tentang nasikh dan mansukh, termasuk di dalamnya adalah pengertian nasikh dan mansukh baik dari segi Bahasa atau istilah, bentuk-bentuk nasikh dan mansukh, hikmah adanya nasikh dan mansukh, dan beberapa hal lain yang berkaitan dengan nasikh dan mansukh. Yang diharapkan mampu membantu pembaca dalam memahami ilmu nasakh dan mansukh.

Pengertian Nasikh dan mansukh
Secara etimologi (bahasa): Nasakh dapat berarti izalah yang artinya menghilangkan atau meniadakan.Dalam al-Qur’an dinyatakan:
فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم
”Kemudian Allah meniadakan atau menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan,lalu Allah memperkuat ayat-ayat-Nya.Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.”(QS.Al-Hajj:52).
Dalam ungkapan orang Arab juga dikatakan: nasakhat asy-syamsu azh-zhilla (matahari menghilangkan bayang-bayang itu).[1]
Kata nasakh juga berarti التحويل (pengalihan).Seperti pengalihan harta warisan (تناسح الموارس).Maksudnya perpindahan harta warisan dari seseorang kepada orang lain.
Kata nasakh juga berarti التبديل (mengganti atau menukar sesuatu dengan yang lain) ini dapat kita lihat pada ayat yang berbunyi:
وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ
Dan jika Kami gantikan sebuah ayat dengan ayat yang lain (QS.An-Nahl: 101).
Kata nasakh juga berarti النقلartinya menyalin,memindahkan atau mengutip apa yang ada didalam buku,sebagai contoh:
نسحت الكتاب                                                              
Aku memindahkan atau mengutip isi buku persis menurut kata dan penulisannya.Dalam al-Quran juga dijelaskan:
إِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُون
“sesungguhnya Kami menyuruh untuk menasakh apa dahulu kalian kerjakan.’’(Al-Jatsiyah:29).Maksudnya,Kami(Allah) memindahkan amal perbuatan ke dalam lembaran-lembaran catatan amal.[2]
Secara terminologi (istilah):Nasakh adalah pengahapusan suatu hukum syara’ dan pengantiannya dengan hukum syara’ lain yang turun sesudahnya.Ayat yang mengahapus ini kemudian diistilahkan dengan nama Nasikh,sedang ayat yang terhapus diistilahkan sebagai Mansukh.[3]
Nasakh secara istilah juga dapat dikategorikan pada dua kategori,yaitu kategori menurut ulama Mutaqaddimin (abad I hingga abad III) dan ulama Mutaakhirin. Para ulama mutaqaddimin memperluas arti naskh sehingga mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yangbelum bersyarat.
Bahkan ada diantara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah manjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode mekkah disaat kamu muslim, dianggap telah di naskh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-islam merupakan bagian dari pengertian naskh.
Pengertian yang demikian luas tersebut lalu dipersempit oleh para ulama’ mutaakhirin. Menurut mereka naskh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.[4]
Sedangkan Mansukh adalah hukum yang diangkat (الحكم المرتفع  ) atau yang dihapuskan.Misalnya pada ayat yang menjelaskan tentang warisan (mawarits),yang mengahapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat,sebagaimana yang dijelaskan pada ayat ini.
“Allah mewasiatkan kepada kamu tentangpembagian pusaka untuk anak kamu,bahwa bagi anak laki-laki mendapat harta pusaka dua kali lipat anak perempuan….’’(QS.An-Nisa :11).
Ayat ini menasikhan hukum wasiat dari ibu dan bapak kepada anak mereka.
“Diwajibkan atasmu (umat Islam),’’Bila kematian telah dekat kepada salah seorang kamu,bila dia meninggalkan harta,ialah agar berwasiat bagi ibu bapa dan para karibnya dengan baik.Itu suatu kewajiban atas orang-orang yang bertakwa’’.(QS.Al-Baqarah: 180).[5]
Bentuk-bentuk nasikh dan mansukh dalam alqur’an
Naskh dalam alqur’an ada tiga macam:
Pertama, naskh tilawah (bacaan) dan hukumnya. Misalnya apa yang di riwayatkan oleh muslim dan yang lain, dari aisyah, ia berkata:
كان فيما أنزل عشر رضعات معلومات يحرّمن فنسخن بخمس معلومات. فتوفّي رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (وهنّ ممّا يقرأ من القرآن)
“diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ‘sepuluh susuan yang maklum itu menyebabkan muhrim’, kemudian (ketentuan) ini dinaskh oleh “lima susuan yang maklum’. Maka ketika rasulullah wafat ‘lima susuan’ ini termasuk ayat qur’an yang dibaca.”
Kata-kata aisyah, “lima susuan ini termasuk ayat al-qur’an yang dibaca,” pada lahirnya menunjukan bahwa tilawahnya masih tetap. Tetapi tidak demikian halnya, karena ia terdapat dalam mushaf utsmani. Kesimpulan demikian dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan aisyah tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat.
Yang jelas ialah bahwa tilawahnya itu telah dinasakh (dihapuskan) tetapi penghapusan ini tidak sampai kepada semua orang kecuali sesudah rasulullah wafat. Oleh karena itu ketika beliau wafat, sebagian orang masih tetap membacanya.
Kedua, nasakh hukumnya saja, sedang tilawahnya tetap. Contoh dari naskh ini adalah ayat iddah, sedangkan tilawahnya tetap. Mengenai naskh macam ini banyak kitab-kitab karangan yang mana di dalamnya terdapat bermacam-macam ayat, yang mana ayat-ayat tersebut setelah diteliti ternyata sedikit jumlahnya, seperti yang dijelaskan oleh qadi abu bakr ibnul-arabi.
Dalam hal naskh ini mungkin timbul pertanyaan, apakah hikmah penghapusan hukum sedang tilawahnya tetap?
Jawabanya ada dua segi:
1.      Qur’an, disamping disamping dibaca untuk diketahui dan diamalkan hukumnya, juga dibaca karena ia adalah kalamullah yang membacanya mendapatkan pahala. Maka ditetapkanlah tilawah karena hikmah ini.
2.      Pada umumnya naskh itu untuk meringankan. Maka ditetapkan tilawah untuk mengingatkan akan nikmat dihapuskanya kesulitan (masyaqqoh).
Ketiga, naskh tilawah, sedang hukumnya tetap. Seperti contoh ayat yang menerangkan tentang rajam
الشيخ و الشيخة اذا زنيا فارجموهما البتّة نكالا من الله والله عزيز حكيم
“orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari allah. Dan allah maha perkasa lagi maha bijaksana”.
Sementara itu sebagian ahli ilmu tidak mengakui naskh semacam ini, sebab khabarnya adalah khabar ahad. Padahal tidak dibenarkan memastikan turunya al-qur’an dan naskhnya dengan khabar ahad. Ibnul hassar menjelaskan, naskh itu sebenarnya kembali ke nukilan (kutipan keterangan) yang jelas dari rasulullah , atau dari sahabat, seperti perkataan “ayat ini menasakh ayat anu.” Naskh, jelasnya lebih lanjut , dapat ditetapkan pula ketika terdapat pertentangan pasti (tidak dapat dipertemukan) serta diketahui sejarahnya, untuk mengetahui mana yang terdahulu dan mana pula yang datang kemudian. Disamping itu, naskh tidak dapat didasarkan pada pendapat para mufassir yang awam. Bahkan tidak pula pada ijtihad para mujtahid, tanpa ada nukilan yang benar dan tanpa ada pertentangan pasti. Sebab naskh mengandung arti penghapusan dan penetapan suatu hukum yang telah tetap pada masa nabi. Jadi, yang menjadi pegangan dalam hal ini hanyalah nukilan dan sejarah, bukan ra’y dan ijtihad. Lebih lanjut ia menjelaskan, manusia dalam hal ini berada diantara dua sisi yang saling bertentangan. Ada yang berpendapat bahwa khabar ahad yang di riwayatkan perawi adil tidak dapat diterima dalam hal naskh. Dan ada pula yang menganggap enteng sehingga mencukupkan dengan pendapat seorang mufassir atau mujtahid. Dan yang benar ialah kebalikan dari kedua pendapat ini.
Mungkin akan dikatakan, sesungguhnya ayat dan hukum yang ditunjukanya adalah dua hal yang saling berkaitan, sebab ayat merupakan dalil bagi hukum. Dengan demikian, jika ayat dinasakh maka secara otomatis hukumnya pun dinasakh pula. Jika tidak demikian, hal tersebut akan menimbulkan kekaburan.
Pendapat demikian dijawab, bahwa keterikatan antara ayat dengan hukum tersebut dapat diterima jika syari’ (allah, rasul) tidak menegakkan dalil atas naskh tilawat dan ketetapan hukumnya, tetapi jika syari’ telah menegakkan dalil bahwa suatu tilawah telah dihapuskan sedang hukumnya tetap berlaku, maka keterkaitan itu pun batil. Dan kekaburan pun akan sirna dengan dalil syar’i yang menunjukan naskh tilawah sedang hukumnya tetap.[6]

Pembagian naskh
Naskh ada empat bagian:
Pertama, naskh qur’an dengan qur’an. Naskh ini disepakati kebolehanya serta diyakini oleh mereka yang mempercayai adanya naskh. Misalnya, ayat yang menjelaskan tentang idah empat bulan sepuluh hari.
Kedua, naskh qur’an dengan Sunnah. Naskh ini ada dua macam:
A.    Naskh qur’an dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad adalah dzanni (bersifat dugaan), disamping itu, tidak sah pula menghapus sesuatu yang ma’lum (sudah diketahui) dengan sesuatu yang madznun (di duga).
B.     Naskh qur’an dengan hadits mutawatir. Naskh demikian dibolehkan oleh malik, abu hanifah dan ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman:
وما ينطق عن الهوى. ان هو الّا وحي يوحى
“dan tidaklah yang diucapkanya itu (qur’an) menurut keinginanya. Tidak lain (qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). “ (an-najm/53:4-5), dan firmanya pula:
وانزلنا اليك الذكرى لتبيّن للنّاس ما نزّل اليهم و لعلّهم
“……dan kami turunkan az-zikr (qur’an ) kepadamu, agar engkau menerangkan kepaada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka……” (an-nahl/16:44). Dan naskh itu sendiri merupakan suatu penjelasan.
Dalam hal ini asy-syafi’I, ahli zahir dan ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak bentuk naskh ini, berdasarkan firman allah:
ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها......
“ayat yang kami batalkan atau kami hilangkan dari ingatan, pasti kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding denganya…..” (al-baqoroh/2:106). Sedangkan dalam hal ini, hadits tidak lebih baik dari qur’an atau sebanding dengan qur’an menurut mereka.
Ketiga, naskh Sunnah dengan qur’an. Hal ini diperbolehkan oleh jumhur ulama. Sebagai contoh adalah masalah menghadap baitul maqdis yang ditetapkan dalam Sunnah dan di dalam al-qur’an tidak ada dalil yang menunjukkanya. Kemudian ketetapan itu dinasakh oleh qur’an dalam firman allah ta’ala
فولّ وجهك شطر المسجد الحرام
“….maka hadapkanlah wajahmu ke arah masjidil haram….” (al-baqarah/2:144)
Tetapi naskh ini juga ditentang oleh syafi’I dalam salah satu riwayat. Menurutnya, apa saja yang ditetapkan Sunnah tentu didukung oleh qur’an, dan apa saja yang ditetapkan oleh qur’an tentu didukung oleh Sunnah. Hal ini karena antara kitab (qur’an ) dengan Sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak boleh bertentangan.
Keempat, naskh Sunnah dengan Sunnah. Dalam kategori naskh ini terdapat empat bentuk: 1) naskh mutawatir dengan mutawatir, 2) naskh ahad dengan ahad, 3) naskh ahad dengan mutawatir, dan 4) naskh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama diperbolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya naskh al-qur’an dengan hadis ahad, yang tidak diperbolehkan oleh para jumhur.
Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ ataupun qiyas dengan qiyas, atau menasakh dengan keduanya, maka menurut pendapat yang shahih maka hukumnya tidak diperbolehkan.[7]
Abd wahhab khallaf menjelaskan bahwa tidak semua nash dalam al-qur’an atau hadits pada masa rasulullah dapat di nasakh-kan. Berikut ini adalah ciri-ciri yang tidak dapat dinasakh:
1.      Nash-nash yang berisi hukum hukum pokok yang tidak berubah oleh perubahan keadaan manusia, baik atau buruk, atau dalam situasi apapun. Misalnya kewajiban percaya kepada allah, rasul, kitab sucinya, hari akhirat dan yang menyangkut dengan pokok pokok akidah dan ibadah lainya. Demikian juga nash-nash yang menentukan pokok-pokok keutamaan, seperti: menghormati orang tua, jujur, adil, menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan sebagainya. Demikian pula nash-nash yang menunjukkan kepada pokok-pokok keburukan, seperti: syirik, membunuh orang tanpa hak, durhaka kepada orang tua, dusta, aniaya, dan seterusnya.
2.      Nash-nash yang mencakup hukum-hukum dalam bentuk yang dikuatkan atau ditentukan berlaku selamanya. Misalnya tidak diterimanya persaksian penuduh zina (kasus li’an) untuk selamanya. ولا تقبل لهم شهادة ابدا
3.      Nash-nash yang menunjukan kejadian atau berita yang telah terjadi pada masa lampau. Misalnya berita bangsa tsamud, ‘Ad. Menasakh-kan yang demikian berarti mendustakan berita tersebut.
Muhammad abu zahrat memberikan syarat-syarat nash-nash yang dapat dinasikh yaitu:
1.      Hukum yang di nasikh-kan tidak menunjukan berlaku abadi, sebagaimana telah disebukan diatas.
2.      Hukum yang dinasikh-kan bukan suatu hukum yang disepakati oleh akal sehat tentang baiknya atau buruknya. Misalnya kejujuran (baik), aniaya (buruk) dan lain lain.
3.      Haruslah ayat nasikhat datang setelah ayat mansukhat.
4.      Keadaan kedua nash tersebut saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan satu sama lain.[8]
Syaikh manna’ Khalil al qattan dalam bukunya juga menyebutkan beberapa syarat dalam nasikh mansukh, diantaranya adalah:
1.      Hukum yang dihapus adalah hukum syara;
2.      Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian.
3.      Khitab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) denagn waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian makahukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.[9]
Dari sini dapat kita ketahui betapa pentingnya pengetahuan mengenai nasakh mansukh, terutama bagi para fuqaha’, mufassir, ahli usul, dan lainya. Maka, bagaimana kita dapat mengetahui nasikh dan mansukh, disini ada beberapa cara untuk mengetahui naskh dan mansukh, melalui beberapa cara berikut;
1)      Nasakh yang shorih dari rasulullah SAW
2)      Keterangan para sahabat
3)      Perlawanan yang tidak dapat dikompromikan, serta mengetahui tarikh turunya ayat ayat itu.[10]

Hikmah adanya Nasakh Mansukh
Al-Maraghi menyatakan bahwa nasakh dan mansukh itu ada hikmah-hikmahnya, beliau menegaskan bahwa;
Hukum-hukum tidak akan diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat sehingga apabila ada hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak kemudian kebutuhan berakhir,maka hal itu merupakan suatu tindakan bijaksana apabila hukum yang diundangkan tersebut di nasakh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu tersebut,sehingga dengan demikian hukum itu akan jadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari aspek manfaatnya untuk hamba-hamba Allah.
Adapun hikmah adanya Nasakh Mansukh yaitu:
1.      Memelihara kemaslahatan hamba.
2.      Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3.      Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf apakah mengikutinya atau tidak.
4.      Menghendaki kebaikan dan kemudaahan bagi umat.Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala,dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.[11]
5.      Agar pengetahuan hukum tidak menjadi kacau dan kabur,sebagaimana perkataan Ali r.a kepada seorang hakim:
التعرف الناسخ والمنسوح قال:لا,قال:هلكت و اهلكت
Diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati seseorang hakim lalu bertanya: Apakah kamu mengetahui Nasakh dan Mansukh?,’’tidak’’ jawab hakim itu,maka kata Ali ‘’celakalah kamu, dan kamu akan mencelakakan orang lain’’.[12]
Dari uraian diatas, telah dapat disimpulkan apa sebenarnya yang dimaksud nasikh dan mansukh termasuk di dalamnya syarat-syarat, pembagian nasikh mansukh, begitu juga hikmah yang terkandung dengan adanya nasikh mansukh. Kemudian di bagian akhir ini terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan nasikh mansukh yang juga seyogyanya kita ketahui, untuk memperkaya khazanah keilmuan. Berikut ini adalah beberapa hal yang masuk dalam pembahasan nasakh mansukh:
1.      Contoh-contoh  Nasakh Mansukh
As suyuti menyebutkan dalam Al-Itqan sebanyak dua puluh satu ayat yang dipandang sebagai ayat-ayat mansukh. Inilah beberapa contohnya:
1.Firman Allah:’’Dan kepunyaan Allah lah yang dari timur dan barat,maka kemana kamu pun menghadap disitulah wajah Allah.’’(Al-Baqarah 2:115) dinasakh oleh ayat:’’Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.’’(Al-Baqarah:44).Ada yang berpendapat inilah yang benar,bahwa ayat pertama tidak dinasakh sebab ia berkenaan dengan sholat sunnah dalam perjalanan yang dilakukan di atas kendaraan,juga dalam keadaan takut dan darurat.Dengan demikian,hukum ayat ini tetap berlaku,sebagaimana yang dijelaskan dalam Ash-shahihain.Sedang ayat kedua berkenaan dengan sholat fardhu lima waktu.Dan yang benar,ayat kedua ini menasakh perintah menghadap baitul maqdis.
2.Firman Allah:’’Diwajibkan atas kamu,apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda kem-atian),jika ia meninggalkan harta,berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya…’’(Al-Baqarah 180).Dikatakan ayat ini  mansukh oleh ayat tentang kewarisan dan oleh hadist:
’Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan haknya,maka tidak ada wasiat bagi orang waris’’.(HR.Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
3.Firman Allah:’’Dan wajib bagi mereka yang kuat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah…’’(Al-Baqarah:184).Ayat ini dinasakh oleh:
’Maka barangsiapa yang menyaksikan bulan Ramadhan,hendaklah ia berpuasa….’’(Al-Baqarah:185).Hal ini berdasarkan keterangan dalam Ash-Shahihain,berasal dari Salamah bin Al-Akwa’,’’ketika turun ayat ini,maka orang yang ingin tidak berpuasa ia membayar fidyah,sehingga turun ayat sesudahnya yang menasakhnya.’’
4.Firman Allah:’’Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantara kamu dan meninggalkan istri,hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya,(yaitu)di beri nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh keluar (dari rumahnya)…(Al-Baqarah:240).Ayat ini dinasakh oleh:
’Dan orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.’’(Al-Baqarah:234).
5.Firman Allah:’’Jika kamu melahirkan apa yang ada didalam hatimu atau kamu menyembunyikannya,niscaya Allah akan membuat perhitungan,dengan kamu tentang perbuatan itu…(Al-Baqarah:284).Ayat ini dinasakh oleh firman-Nya,’’Allah tidak membebani seorang yang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.(Al-Baqarah:286).[13]
2.      Ruang lingkup nasakh
Ruang lingkup nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas, maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus kepada zat allah, sifat-sifatnya, kitab-kitabnya, para rasulnya dan hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah. Hal ini karena semua syari’at ilahi tiak lepas dari pokok-pokok tersebut. dan naskh juga tidak terdapat dalam kalimat khabar yang tidak bermakna thalab (tuntutan:perintah/larangan), seperti janji (al-wa’d) dan ancaman (al-wa’id). Lantas mengapa yang berkaitan dengan akidah, dasar-dasar akhlak dan etika, pokok-pokok ibadah dan muamalat dan berita makhdoh tidak mengalami nasakh? Karena syari’at ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut dalam prinsip ini semua syari’at sama yaitu tidak mengalami nasakh. Jelaslah dari keterangan diatas bahwa yang mengalami nasakh itu hanya pada hal-hal yang bersifat furu’ ibadah dan furu’ mu’amalah saja.[14]

3.      Surat dalam al-qur’an ditinjau dari nasikh dan mansukh
a.      Surat yang di dalamnya tidak terdapat nasikh dan mansukh, termasuk dalam golongan ini ada 43 surat, yaitu: alfatihah, yusuf, yaasin, hujuraat, ar-rohman, al hadid, as shof, al jum’ah, at tahrim, al mulk, al haqqoh, nuh, al jinn, al mursalat, an naba’, an nazi’at, al infithor dan 3 surat sesudahnya, al fajr dan surat sesudahnya sampai terakhir kecuali at tin, al asr, dan al kafirun.
b.      Surat yang di dalamnya terdapat nasikh dan mansukh, termasuk dalam golongan ini ada 25 surat, yaitu: al baqarah, dan 3 surat sesudahnya, al hajj, an nur, al ahzab, saba’, al mu’minun, as syuaro, ad dzariyat, at thuur, al waqiah, al mujadalah, al muzammil, al mudatsir, alkautsar, dan al asr.
c.       Surat yang di dalamnya hanya terdapat nasikh, termasuk dalam golongan ini ada 6 surat, yaitu: al fath, al hasyr, al munafiqun, at taghobun, at tholaq, dan al a’la
d.      Surat yang di dalamnya hanya terdapat mansukh, termasuk dalam golongan ini adalah 40 surat yang tidak tercantum dalam ketiga kategori diatas.[15]

4.      Pendapat-pendapat mengenai nasakh mansukh
Dalam masalah nasakh, para ulama membagike dalam empat golongan, yaitu:
1.      Golongan orang yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurutnya, dalam nasakh mengandung konsep bada’ (arab), yakni tampak jelas setelah kabur. Yang dimaksud adalah, nasakh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi allah. Dan adakalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak Nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang di dahului oleh ketidak jelasan. Dan hal ini juga mustahil bagi allah.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah nasikh dan mansukh telah diketahui allah lebih dahulu. Jadi pengetahuanya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba hambanya dari satu hukum ke hukum yang lain adalah karena suatu maslahat yang telah diketahuinya jauh sebelum itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap segala miliknya.
2.      Orang syi’ah rafidah. Mereka sangat berlebihan dalam menetpkan nasakh dan meluaskanya. Mereka memandang konsep al-bada’ merupakan sesuatu yang mungkin terjadi bagi allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu, mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali R. A secara dusta dan palsu. Juga dengan firman allah;
يمحو الله ما يشاَء و يثبت......................
“allah menghapus dan menetapkan apa yang dia kehendaki…..” (ar-ra’d/13:39), dengan pengertian bahwa allah siap untuk menghapuskan dan menetapkan.
Paham demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan terhadap al-qur’an. Sebab makna ayat tersebut adalah: allah menghapuskan sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapanya mengandung maslahat. Disamping itu, penghapusan dan penetapan terjadi dalam banyak hal, misalnya menghapuskan keburukan dengan kebaikan.
3.      Abu muslim al-asfahani. Menurutnya, secara logika nasakh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi nasakh dalam alqur’an berdasarkan fieman allah surat fussilat/41:42, dengan pengertian bahwa hukum-hukum qur’an tidak akan dibatalkan untuk selamanya, dan mengenai ayat ayat tentang nasakh semuanya ia takhsiskan.
Adapun pendapat abu muslim ini tidak dapat diterima, karena makna ayat tersebut ialah, bahwa qur’an tidak didahului oleh kitab-kitab yang membatalkanya dan tidak datang pula sesudahny sesuatu yang membatalkanya.
4.      Jumhur ulama’. Mereka berpendapat bahwa naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
a.       Perbuatan-perbuatan alah tidak bergantung pada alasan dan tujuan, ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hambanya.
b.      Nash-nash kitab dan Sunnah menunjukkan kebolehan naskh dan terjadinya nasakh, seperti firman allah
وإذا بدّلنا آية مكان آية.........................
“dan apabila kami mengganti suatu ayat dengan ayat yang lain……”

ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها......
“ayat yang kami batalkan atau kami hilangkan dari ingatan, pasti kami ganti dengan yang lebih bik atau yang sebanding denganya…..”(al-baqarah/2: 106).[16]
















KESIMPULAN
Pertama,demi mempermudah kemaslahatan hambanya allah telah menghapus sebagian hukum dalam alqur’an yang mana hukum yang dihapus disebut dengan mansukh, dan hukum yang menghapus disebut nasikh.
Kedua, pada umumnya para ulama’ membagi nasakh mansukh menjadi empat bagian, yaitu; 1) nasakh qur’an dengan qur’an, 2) nasakh Sunnah dengan Sunnah, 3) nasakh qur’an dengan Sunnah, dan yang ke 4) nasakh Sunnah dengan qur’an. Adapun nasakh ijma’ dengan ijma’ atau qiyas dengan qiya maka tidak diperbolehkan.
Ketiga, hikmah naskah secara umum diantaranya adalah;1. Memelihara kemaslahatan hamba, 2. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia, 3. Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf apakah mengikutinya atau tidak, 4. Menghendaki kebaikan dan kemudaahan bagi umat.Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala,dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan, 5. Agar pengetahuan hukum tidak menjadi kacau dan kabur.
Keempat, dalam nasikh mansukh, terdapat beberapa syarat diantaranya;
1.      Hukum yang dihapus adalah hukum syara;
2.      Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian.
3.      Khitab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu.
Selain itu, ruang lingkup nasikh mansukh hanya terdapat pada ayat ayat yang menjelaskan tentang hukum syari’at yang berkenaan dengan amar (perintah), nahy (larangan) serta kalimat yang mengandung makna tholab (perintah), dan hanya terjadi pada hukum furu’, bukan hukum asal.
Kelima, dalam alqur’an ditinjau dari adanya nasikh mansukh, maka surat di dalam alqur’an terbagi menjadi empat bagian; 1) surat yang didalamnya terdapat nasikh dan mansukh, 2) surat yang di dalamnya tidak terdapat nasikh dan mansukh, 3) surat yang di dalamnya hanya terdapat nasikh, dan 4) surat yang di dalamnya hanya terdapat mansukh.






DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Fauzan, “paradigma nasikh dan mansukh dalam penafsiran al-qur’an”, Jurnal ilmu Bahasa arab dan studi islam, Vol:2, No:1 (Jawa Tengah, Juni 2014) 57
Ahmad Haris, “nasakh dan mansukh dalam alqur’an”,TAJDID Vol. XIII (jambi, Januari-Juni 2014) 208
Anwar, Abu. 2005. Ulumul qur’an sebuah pengantar. Jakarta:amza
Baidan, Nashruddin. 2005. Wawasan baru ilmu tafsir. Jakarta:pustaka pelajar
Madyan, Ahmad Syams, 2008, Peta pembelajaran alqur’an, Jakarta:pustaka pelajar
Muhammad, 1986, zubdatul itqon fi ulumil qur’an, Jeddah:daar syuruq
Qattan, Manna’ Khalil, 2008, studi ilmu ilmu qur’an, Jakarta:pustaka pelajar
Qattan, Manna’, 2008, pengantar studi ilmu qur’an, edisi ke 2, diterjemahkan oleh aunur rofiq el mazni, Jakarta:pustaka al kautsar
Shihab, Quraisy, 1992, membumikan alqur’an, Bandung:mizan
Syadali, Ahmad dan Rofi’I, 2000, ulumul qur’an I, Bandung:CV. Pustaka setia

Catatan:
1.      Abstrak masih belum sesuai dengan kriteria penulisan abstrak.
2.      Tolong pendahuluan lebih diperbaiki, sebab masih belum bisa mengantarkan pada materi pembahasan Anda.
3.      Perujukan masih belum maksimal.
4.      Penulisan footnote masih salah.
5.      Makalah ini belum sesuai dengan artikel yang menjadi rujukan, dan terlihat tidak rapi.
6.      Tolong dipahami masalah kapan suatu kata ditulisa kapital atau tidak, misalnya judul buku ditulis kapital di awal huruf, kecuali beberapa kata tertentu.
7.      Tolong makalah Anda dibuat sistematis, sebab belum sistematis. Ingat, menulis itu bukan hanya pindah data, tetapi bagaimana membuat pembaca enak membaca dan paham apa yang kita tuliskan.






[1] Abu Anwar,Ulumul Quran Sebuah Pengantar  (Jakarta:Amzah,2005) Hlm.49
[2] Manna’ Al Qhathan. Pengantar studi ilmu al-qur’an, terj Aunur Rofiq El Mazni (Jakarta:pustaka al-kautar, 2008) Hlm. 285
[3] Ahmad Shams Madyan,Peta Pembelajaran al-Qur’an (Jakarta:Pustaka Pelajar,2008),hlm.193.
[4] Quraish Syihab. Membumikan al-qur’an (Bandung:Mizan, 1992) Hal:144
[5] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’I,Ulumul Qur’an I, ( Bandung:CV.Pustaka Setia,2000) Hlm. 158-159
[6] Manna’ Khalil Qattan. Studi ilmu-ilmu qur’an. Hal:337
[7] Manna’ Khalil Qattan. studi ilmu-ilmu qur’an.  hal:335
[8] Nashruddin Baidan. wawasan baru ilmu tafsir (Yogyakarta: Pustaka pelajar,2005)  Hal: 174-175             
[9] Manna’ Khalil Qattan. studi ilmu-ilmu qur’an.  hal:328
[10] Ahmad Fauzan, “paradigma nasikh dan mansukh dalam penafsiran al-qur’an”, Jurnal ilmu Bahasa arab dan studi islam, Vol:2, No:1 (Jawa Tengah, Juni 2014) 57
[11] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,terj.Aunur Rafiq El-Mazni.(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2008),hlm. 296.
[12] Abu Anwar,Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar,hlm.52
[13] Syaikh Manna’ Al-Qathathan,Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,hlm.300-302
[14] Ahmad Haris, “nasakh dan mansukh dalam alqur’an”,TAJDID Vol. XIII (jambi, Januari-Juni 2014) 208
[15]جدة:دار الشروق,1986) ص:100-101محمّد بن علوي المالكي الحسني. زبدة الإتقان في علوم القرآن (
[16] Manna’ Khalil Qattan. Studi ilmu-ilmu qur’an. Hal: 331-334

Tidak ada komentar:

Posting Komentar