Senin, 07 November 2016

Klasifikasi Hadis dari Aspek Kuantitas Periwayat (PAI D Semester III)




KLASIFIKASI HADIS DARI ASPEK KUANTITAS PERIWAYAT
Muhammad Falach dan Dana Rosyidal Aqli
PAI D Semester III
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang

Abstrak:  Hadith is a good history of prophet Muhammad words, deeds, statues. Hadits is the second source of islamic law after al Quran. There are number of hadiths were obtained from the companions, tabiin, tabiut tabiin, but there is also a hadith that comes from a friend and the friend had a disciple and the hadith convey to student. Therefore, according to the clasification of hadith narrators or aspects of quantity is very important for us to know.
   Clasification hadith of quantity aspects, according to the muftiof hadith division in terms of quantity or amount narrator becomes a source related. Among them there are grouping into three parts, namely the hadith mutawatir, masyhur and ahad, and there is also a dividing it into two, namely mutawatir and ahad hadith.
   Ulama first class, which makes the masyhur hadith stands alone, excluding part of ahad hadith, fiqh embraced by some mufti, such as Abu Bakr al – Jasashah.
   As for the second grup followed by most mufti of fiqh and kalam mufti. According to them, a famous hadith is not a tradition that standsalone, but is part of the hadith ahad, therefore, they split into two parts hadith, hadith mutawatir and ahad hadith.
Keywords : Mutawatir Hadith, Ahad Hadith

Pendahuluan
            Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadis ditinjau dari segi kuantitasnya atu jumlah rawi yang menjadi sumber berkaitan. Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadis mutawatir, masyhur, dan ahad, dan ada juga yang membaginya menjadi dua, yakni hadis mutawatir dan ahad.
            Ulama golongan pertama, yang menjadikan hadis masyhur berdiri sendiri, tidak termasuk bagian dari hadis ahad, dianut oleh sebagian ulama ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al-Jasashah (305-370 H).
            Adapun golongan kedua, diikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam. Menurut mereka, hadis masyhur bukan merupakan hadis yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari hadis ahad, oleh karena itu mereka membagi hadis menjadi dua bagian yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.
Hadis Mutawatir
  1. Pengertian Hadis Mutawatir
لغة : هو اسم فاعل مشتق من التواتر اى التتابع
                        Secara bahasa, kata “mutawatir” berbentuk isim fa’il musytaq dari kata “tawatur” yang bermakna “berturut-turut atau berurutan”.[1] Selain itu, mutawatir berarti mutatabi’, yakni sesuatu yang datang berikutnya dengan kita atau yang beringin-ingin antara satu dengan dengan lainnya tanpa ada jaraknya.[2]
واصطلاحا : الحديث المتواتر هو الذى رواه جمع كثير يؤمن واطنهم على الكذب عن مثلهم الى انتهاء السند وكان مستندهم الحسِّ
                        Sedangkan secara istilah, hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad, dan sanadnya mereka adalah pancaindra.[3]
هو خير عن مخسوس رواه عدد جّم يجب في العادة احالة اجتماعهم وتواطئهم على الكذب
“Sesuatu hasil hadis tanggapan pancaindra, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan beesepakat untuk berdust”.[4]
Manna’ al-Qaththan, memberikan definisi hadis mutawatir sebagai hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menurut adat kebiasaan mustahil sepakat untuk berdusta, dari awal sanad hingga akhir sanad (pada seluruh generasi) dan hadis yang diriwayatkan tersebut bersifat mahsh us.[5]

2.     Syarat-syarat Hadis Mutawatir
a.       Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
Hadis mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak bersepakat untuk berdusta. Mengenai berapa jumlah dimaksud, para ulama berbeda pendapat :
a)   Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b)   Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c)    Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang. Q.S, Al-Anfal : 65
يا ايها النبي حرّض المؤمنين على القتال . ان يكن منكم عشرون صابرون يغلبوا مائتين
 “Hai Nabi, korbankanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh”.
d)   Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah :
يأيها النبي حسبك الله ومن اتّبعك من المؤمنين
            “Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu. (Q.S. al-Anfal:64). Hal ini sesuai dengan hadis riwayat Ath-Thabrani dari Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Telah masuk Islam bersama Rasulallah saw. Sebanyak 33 laki-laki dan 6 orang perempuan. Kemudian Umar masuk Islam, maka jadilah 40 orang Islam.[6]
b.      Adanya keseimbangan antar perawi pada thabaqat (lapisan) pertama dengan thabaqat berikutnya
Jumlah perawi dalam hadis mutawatir, antara thabaqat dengan thabaqat yang lainnyaharus seimbang. Dengan demikian, bila suatu dahabat hadis diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat, kemudian diterima oleh sepuluh tabiin dapat digolongkan sebagai hadis mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak seimbang antara thabaqat pertama dengan thabaqat seterusnya.
c.       Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan oleh perawi tersebut harus berdasarkan tanggapan pancaindra. Artinya, berita yang mereka sampaikan itu harus benar-benar merupakan hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.[7]
3.     Faedah Hadis Mutawatir
Hadis mutawatir memberikan faedah ilmu dharuri , yakni suatu keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai yang diberitakan oleh hadis mutawatir tersebut, hingga membawa kepada keyakinan yang qath’i (pasti).[8] Dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadis mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadis mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadis mutawatir seperti tersebut diatas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadis mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindra).[9]

4.     Pembagian Hadis Mutawatir
Para ulama membagi hadis mutawatir menjadi tiga macam :
1)       Hadis Mutawatir Lafdzi
مااتفقت الفاظ الرّواة فيه ولو حكما
“Suatu (hadis)yang sama (mufakat) bunyi lafadz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya”.
Contoh :
حدّثنا عمر بن عون أخبرنا خالد وحدّثنا مسدّد حدّثنا خالد – المعنى – البيان بن بشر قال مسدّد ابو بشرعن وبرة بن عبد الرحمن عن عامر بن عبد الله بن الزبير عن ابيه قال قلت للزبير ما يمنعك ان تحدّث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم كما يحدث عنه اصحابه فقال اما والله لقد كان لى منه وجه ومنزلة ولكنى سمعته يقول رسول الله صلى الله عليه وسلم : من كذّب عليّ متعمّدا فايتبوّأ مقعده من النّار
“Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka”.
2)       Hadis Mutawatir Maknawi
مااختلفوا في لفظه ومعناه مع رجوعه لمعنى كلي
“Hadis yang berlainan bunyi lafadz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang sama”.
Contoh :
حدثنا محمد بن بشار حدثنا يحيى وابن ابى عدي عن سعيد عن قتادة عن انس بن مالك قال كان النّبي صلى الله عليه وسلم لا يرفع يديه في شيئ من دعائه الاّ في الإستقاء وإنه يرفع حتى يرى بياض إبطيه
“Rasulallah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam do’a shalat istisqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya”.(HR. Bukhari Muslim)
3)       Hadis Mutawatir Amali
ماعلم من الدين بالضّرورة وتواتر بين المسلمين انّ النّبي صلى الله عليه وسلم فعله او امربه او غيرذلك
“Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir diantara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu”.
Contoh :
Kita melihat dimana saja shalat Dhuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaatdan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.[10]

Hadis Ahad
1.      Pengertian Hadis Ahad
Terdapat definisi etimologis dan terminologis tentang hadis ahad ini, baik secara bahasa ataupun istilah. pengertian hadis ahad menurut bahasa dan istilah sebagai berikut :
لغة : الأحد جمع احد بمعنى الوحد وخبر الوحد هو ما يرويه شخص واحد .واصتلاحا : هو مالم يجمع شروط المتواتر
Secara bahasa, kata “ahad” bermakna satu, sedangkan khabar “ahad” adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Adapun pengertian hadis ahad menurut istilah adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir.[11]
مالم تبلغ نقلته في الكثيرة مبلغ الخير المتواتر سواء كان المخبرواحدا او إثنين او ثلاثا او اربعا او خمسة او غير ذلك من الأعداد الّتى لا تسعر بأن الخبر دخل بها في خبر المتواتر
“Khabar yang jumlah perawinya tidak sebanyak jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya yang memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir”.[12]
2.      Faedah Hadis Ahad
Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qath’i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan dzanni. Oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau ternyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir.[13]
3.      Pembagian Hadis Ahad
Para ulama membagi hadis ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi menjadi dua, yaitu aziz dan gharib.
a.       Hadis Masyhur
Pengertian Hadis Masyhur
Masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar wa az-zuyu’ (sesuatu yang sudah tersebar dan populer). Adapun menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara lain :
مارواه الثلاثة ولم يصل درجة التّواتر
“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang lebih, tetapi bilangannya tidak mencapai ukuran bilangan mutawatir”.
ماله طرق محصورة بأكتر من إثنين ولم يبلخ حدّالتّواتر
“Hadis yang mempunyai jalan terbatas, tetapi lebih dari dua jalan dan tidak sampai kepada batas hadis mutawatir”.
        Hadis ini dinamakan masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Ada ulama yang memasukkan seluruh hadis yang telah populer dalam masyarakat, sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali, baik berstatus sahih, dhaif  kedalam hadis masyhur.  Hadis masyhur ini ada yang berstatus sahih, hasan, dan dhaif, baik pada sanad maupun matannya.[14]
Macam-macam Hadis Masyhur
        Hadis masyhur dapat digolongkan dalam beberapa bagian :
1)     Hadis masyhur dikalangan muhadditsun
Contoh :
اخبرنا احمد بن يونس قال حدّثنا زائدة عن التّيميّ عن ابى مجلز عن انس قال قنت النبى صلى الله عليه وسلم شهرا يدعو على رعل وذكوان
“Anas r.a, berkata, Rasulallah SAW, berqunut selama sebulan berdo’a untuk kehancuran Ri’l dan Dzakwan”.
2)     Hadis masyhur dikalangan muhadditsun dan ulama lain
Contoh :
انبأنا ابو عاصم عن ابن جريج انه سمع ابا الزبير يقول سمعت جابرا يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
“Rasulallah SAW, bersabda, orang muslim adalah orang yang menyelamatkan orang muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya”.
3)     Hadis masyhur dikalangan fuqaha’
Contoh :
حدثنا كثير بن عبيد حدثنا محمّد بن خالد عن معرّف بن واصل عن محارب بن دثار عن ابن عمر عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ابغض الحلال الى الله تعالى الطّلاق
“Rasulullah SAW, bersabda, sesungguhnya perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah Talak”.
4)     Hadis masyhur dikalangan ahli ushul fiqh
Contoh :
حدثنا عبد الله بن يزيد حدثنا حيوة حدثنى يزيد بن عبد الله بن الهاد عن محمّد عن ابراهيم بن الحارث عن بسر بن سعيد عن ابى قيس مولى عمر وبن العاص انه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول اذا حكم الحاكم فاجتهد ثم اصاب فله اجران ، واذا حكم فاجتهد ثم اخطأ فله اجر
“Rasulullah SAW, bersabda, jika seorang hakim berijtihad kemudian ijtihadnya benar maka ia mendapatkan dua pahala namun jika ijtihadnya keliru maka ia mendapatkan satu pahala”.
5)     Hadis masyhur dikalangan  ahli bahasa arab
Contoh :
عن عمر قال : نعم العبد صهيب لو لم يخف الله لم يعصه
“Dari Umar, r.a, dia berkata, sebaik-baik hamba Allah adalah suhaib. Bila ia tidak takut kepada Allah, ia tidak berbuat dosa.”
6)     Hadis masyhur dikalangan ahli pendidikan
Contoh :
ادبنى ربى فأحسن تأديبى
“Tuhanku telah mendidikku maka ia menjadikan pendidikanku menjadi baik.”
7)     Hadis masyhur dikalangan umum
Contoh :
وعن سهل بن سعد رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم العجلة من اشّيطان
“Rasulallah SAW, bersabda, ketergesa-gesaan berasal dari syetan.”[15]
b.      Hadis Ghoiru Masyhur
1.      Hadis ‘Aziz
لغة : هو صفة مشبهة من " عز يعز " واصتلاحا : ان لا يقل رواته عن اثنين جميع طبقات السند
Secara bahasa kata ‘aziz merupakan sifat musyabbahah dari kata “ ’azza ya’izzu”, sedangkan menurut istilah hadis ‘aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua perawi pada seluruh tingkatan atau generasi.
Contoh :
Hadis yang diriwayatkan dari Anas Ibn Malik dari Rasulallah SAW, tentang etika sosial sebagai parameterkualitas keimanan seseorang,
حدثنا محمّد بن المثنّى وابن بشّار قال حدثنا محمّد بن جعفرحدثنا شعبة قال سمعت قتادة يحدّث عن انس بن مالك قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يؤمن احدكم حتى اكون احبّ اليه من ولده ووالده والنّاس اجمعين
“Rasulallah SAW, bersabda, tidaklah sempurna iman seseorang sampai ia mencintaiku melebihi kecintaannya kepada anaknya, orang tuanya serta seluruh manusia”.
2.      Hadis Gharib
Dalam pengertian bahasa dan istilah, hadis gharib didefinisikan sebagai berikut :
الغريب لغة : هو صفة مشبهة بمعنى المنفرد او البعيد من اقاربه . واصتلاحا : هو ما ينفرد بروايته راو واحد
Secara bahasa, kata “gharib” merupakan sifat musyabbahah yang bermakna menyendiri. Sedangkan secara istilah hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan seorang perawi dimanapun hal itu terjadi. Artinya bahwa hadis gharib ini tidak disyaratkan harus satu orang perawi pada setiap tingkatan atau generasi, akan tetapi cukup pada satu tingkatan sanad dengan satu orang perawi. Diantara contohnya adalah hadis yang diriwayatkan dari ‘umar ibn Khattab dari Rasulallah SAW tentang pentingnya niat sebagai berikut :
حدثناعبد الله بن مسلمة بن قعنب حدثنا مالك عن يحيى بن سعيد عن محمّد بن ابراهيم عن علقمة بن وقّاص عن عمر بن الخطّاب قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : انما الأعمال بالنّيّة وانما لامرئ ما نوى فمن كانت هجرته الى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها او امرأة يتزوّجها فهجرته الى ما هاجر اليه

“Rasulallah SAW bersabda : sesungguhnya perbuatan itu tergantung (ditentukan) oleh niat, sesungguhnya nilai setiap perbuatan itu (sesuai dengan) apa yang diniatkan. Barang siapa yang hijrahnya karena (dimotivasi) dunia atau karena perempuan yang akan dinikahinya maka demikianlah (nilai) hijrahnya”.
H. Muhammad Ahmad   
            Berdasarkan letak terjadinya ke-gharib-an, dapat dipilah menjadi tiga kelompok, yaitu :
1)     Gharib matnan wa isnadan (gharib dari segi matan dan sanadnya) artinya bahwa hadis tersebut tidak diriwayatkan melainkan melalui satu sanad.
2)     Gharib isnadan la matnan (gharib dari segi sanadnya dan tidak matannya). Artinya hadis tersebut merupakan hadis yang masyhur kedatangannya melalui beberapa jalur dari seorang rawi atau seorang sahabat atau dari sejumlah perawi, lalu ada seorang rawi meriwayatkan dari jalur lain yang tidak masyhur. Hadis gharib dalam bentuk ini dinamakan hadis gharib mutlak disebabkan diriwayatkan oleh seorang perawi saja, melalui jalur yang tidak masyhur.
3)     Gharib matnan la isnadan, yaitu hadis yang pada mula sanadnya tunggal, akan tetapi pada tahap selanjutnya masyhur. Sebenarnya hadis gharib dalam bentuk ini, jika dicermati, dapat dikelompokkan pada kelompok pertama.[16]
Jika ditinjau dari segi ke-ghariban sanadnya, ada sejumlah ulama yang membaginya pada dua kelompok, yaitu :
1)     Hadis gharib mutlak, yaitu hadis yang ke-gharib-an sanadnya terjadi pada asal sanadnya. Contohnya :
الولاء لحمة كلحمة النّسب لا يباع ولا يوهب
Kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan nasab, tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan.
Hadis gharib tersebut diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar, dan dari Ibnu Umar hanya Abdullah bin Dinar saja yang meriwayatkannya. Abdullah bin Dinar adalah seorang tabiin yang hafidz, kuat ingatannya, dan dapay dipercaya.
2)     Hadis gharib nisbi, yaitu hadis yang ke-gharib-an sanadnya terjadi pada tengah sanad, bukan pada asal sanad sebagaimana hadis gharib mutlak. Contohnya :
كان صلى الله عليه وسلم يقرأ فى الأضحى والفطر ب (ق) وقتربت السّعد وانشقّ القمر
Dikabarkan bahwa Rasulallah SAW. Pada hari raya Qurban dan hari raya Fitri membaca surat Qaf dan surat Al-qamar (H.R Muslim dan Daruqutni).
Hadis tersebut diriwayatkan melalui dua jalur, yakni jalur Muslim dan jalur Ad-Daruqutni. Melalui jalur muslim, terdapat rentetan sanad Muslim, Malik Dumrah bin Said, Ubaidillah, dan Abu Waqid Al-Laisi yang menerima langsung dari Rasulallah SAW. Adapun melalui jalur Daruqutni, terdapat rentetan sanad Daruqutni, Ibnu Lahiah, Khalid bin Yazid Urwah, dan Aisyah yang langsung menerima dari Nabi.
Pada rentetan sanad yang pertama, Dumrah bin said Al-Muzani disifati sebagai seorang muslim yang tsiqah. Tidak seorang mpun dari perawi-perawi tsiqah yang meriwayatkan hadis tersebut selain dia sendiri. Ia sendiri yang meriwayatkann hadis tersebut dari Ubaidillah dari Abu Waqid Al-Laisi. Ia disifatkan menyendiri tentang ke tsiqah-annya. Sementara itu, melalui jalur kedua, Ibnu Lahiah yang meriwayatkan hadis tersebut dari Khalid bin Yazid dari Urwah dari Aisyah. Ibnu Lahiah disifati sebagai seorang rawi yang lemah.[17]

Kesimpulan
            Hadis dari aspek kuantitas atau jumlah perawi dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad, dan sanadnya mereka adalah pancaindra. Hadis dapat dikatakan sebagai hadis mutawatir jika memenuhi syarat yang telah dipaparkan. Hadis mutawatir juga dibagi menjadi tiga, yaitu hadis mutawatir lafdzi, hadis mutawatir maknawi, dan hadis mutawatir amali.
            Sedangkan hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang, artinya jumlah perawinya tidak sebanyak jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya yang memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir. Adapun hadis ahad juga dibagi menjadi tiga, yaitu hadis masyhur, hadis aziz, dan hadis gharib.

Daftar Rujukan
Sumbulah, Umi,dkk. 2014. Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang : UIN-Maliki Press.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia.
Kholis, Nur. 2008. Pengantar Studi Al-Qur’an dan Hadits. Yogyakarta : TERAS.
Suparta, Munzier. 1993. Ilmu Hadits. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Mudasir, H. 1993. Ilmu Hadits. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Revisi:
  1. Tidak ada indikasi copy-paste.
  2. Abstrak satu paragraf.
  3. Pendahuluan kurang tepat, seharusnya diisi dengan pengantar untuk memahami materi yang hendak disampaikan.
  4.  Tolong penulisan footnote lebih diteliti lagi, masih banyak kesalahan.
  5. Gambar struktur sanad dari contoh hadis masyhur, aziz, dan gharib agar lebih bisa dipahami.
           


[1] Umi Sumbulah, dkk. Studi Al-Qur’an dan Hadis. Cet I (Malang : UIN-Maliki Press, 2014). Hlm.187
[2] Sohari Sahrani. Ulumul Hadits. Cet I (Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia, 2010). Hlm. 83
[3] Ibid, 84
[4] Nur Kholis. Pengantar Studi Al-Qur’an dan Hadits. Cet I (Yogyakarta : TERAS, 2008). Hlm. 268
[5] Umi Sumbulah, dkk. Studi Al-Qur’an dan Hadis. Cet I (Malang : UIN-Maliki Press, 2014). Hlm.188
[6] Op.cit, 270
[7] Sohari Sahrani. Ulumul Hadits. Cet I (Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia, 2010). Hlm. 87
[8] Ibid, 90
[9] Nur Kholis. Pengantar Studi Al-Qur’an dan Hadits. Cet I (Yogyakarta : TERAS, 2008). Hlm. 272
[10] Ibid, 274
[11] Umi Sumbulah, dkk. Studi Al-Qur’an dan Hadis. Cet I (Malang : UIN-Maliki Press, 2014). Hlm.191
[12] Munzier Suparta. Ilmu Hadis. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993). Hlm. 107
[13] Nur Kholis. Pengantar Studi Al-Qur’an dan Hadits. Cet I (Yogyakarta : TERAS, 2008). Hlm. 276
[14] Sohari Sahrani. Ulumul Hadits. Cet I (Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia, 2010). Hlm. 94
[15] Umi Sumbulah, dkk. Studi Al-Qur’an dan Hadis. Cet I (Malang : UIN-Maliki Press, 2014). Hlm.195
[16] Ibid, 198
[17] H. Mudasir. Ilmu Hadis. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993). Hlm. 136

Tidak ada komentar:

Posting Komentar