Rabu, 09 November 2016

Empat Madzhab dalam Fiqih (PAI E Semester III)





TOKOH MADZAB DALAM FIQH
(IMAM ABU HANIFAH, IMAM MALIK BIN ANAS, IMAM AS-SYAFI’I, DAN IMAM AHMAD BIN HANBAL)
Luli Nur Amalia, Ita Nur’aini, dan Nur Laily Al-Adawy
PAI E UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: ????????????????
 
Abstract: Tabi'in period was the golden age for the development of Islamic law. During this period appearImam madhhab that a standard basis in implementing the sharia after the death of sahabat and Rasulullah saw. In this period also appeared four imam madhhab may become a baseline implement the law until today, they are: Imam Abu Hanifa, Malik bin nas imam, Imam Shafi'i and imam Ahmad ibn Hanbal. Imam Abu Hanifa was the founder madhhab Hanafi, imam Malik bin Anas was the originator of madhhab Maliki, while Imam Shafi'i was the founder madhhab Syafi’i, and the last imam Ahmad ibn Hanbal is the originator of the madhhab Hambali. becauseof them, the development of sharia reached the height of glory.
   The existence of a wide variety of fiqh madhhab due to problems of fiqh that is not written in the Qur'an and hadith. So that  problem be solved by using ra'yu.While, each fuqaha has their own ra'yu. It causes moslem divided into several group of madhhab. In addition, each Imam madhhab has their own method. But, the methodology of islamis law was born after Imam Syafi’I write ar-Risalah. But, it is not mean that the others madhhab don’t have a method. They have a method, but that’s not systematic like Imam Syafi’i. Imam Syafi’I write the methodology first than he make a ijtihad. And the others madhhab make a ijtihad first than their students make a methodology.
Keyword          : madhhab, ra’yu, sharia

1.   Pendahuluan
Makna dasar dari madzab adalah pendapat. Madzab dapat diartikan sebagai patokan dalam melaksanakan syari’at. Menurut ushul fiqh, Al-Qur’an dan hadits secara sumber dibagi mnjadi dua, ada yang qath’I dan ada yang zhanni. Sumber yang qath’I merupkan sumber yang sudah jelas dan tidak perlu diperdebatkan. Sedangkan sumber yang zhanni adalah sumber hukum yang belum jelas dan masih menjadi perdebatan.Karena adanya sumber hukum yang qath’I inilah yang menyebabkan adanya perbedaan pendapat diantara fuqaha. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya berbagai macam madzab. Konon, dalam sejarah perkembangan fiqh pernah terdapat 500 madzab. Sebagian besar tidak lagi memiliki pengikut sesuai dengan perkembangan zaman.Hanya sebagian kecil, sekitar tujuh sampai delapan madzab yang masih memiliki pengikut hingga abd ke-21 ini. Berikut ini kami ulas secara singkat Imam Madzab Sunni yaitu, Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
2.   Biografi Empat Imam Madzab
A.      Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah memiliki nama asli Nu’man bin Tsabit bin Inta bin Mah. Beliau dilahirkan pada tahun 702 M atau pada tahun 80 H di Kufah, Iraq.Beliau merupakan pencetus Madzab Hanafi. Beliau merupakan Imam fiqh tertua diantara keempat Imam Madzab. Imam Asy-Syafi’I pernah berkata “Manusia memerlukan Imam Abu Hanifah dalam bidang fiqih.” [1]
Beliau lahir pada masa tabi’in. Bahkan ia masih dapat menyaksikan kehidupan beberapa sahabat hingga masa mudanya. Ketika usianya 20 tahun, Aini, sang penafsir dalam kitab Al-Hidayah berkata bahwa Abu Hanifah bahkan pernah mendengar dan menerima hadits dari sahabat Nabi Muhammad saw. [2]
Pada mulanya, beliau berprofesi sebagai pedagang sutera.Ia dikenal jujur dalam bermuamalah dan tidak mau melakukan pemalsuan. Kemudian beliau beralih kedunia pendidikan.[3]
Imam Abu Hanifah mengawali pendidikannya dengan mendalami filsafat dan dialektika atau disebut juga Ilmu Kalam.Namun, setelah beliau menguasai sejumlah disiplin ilmu tersebut, beliau beralih pada bidang fiqh dan hadits.[4]
Abu Hanifah mengikuti kajian ilmu fiqh yang disampaikan oleh Hammad.Kemudian beliau lanjutkan mempelajari Ilmu Hadits.Diantara guru Abu Hanifah adalah para Tabi’in dari Kufah. Diantara ulama’ tempat Abu Hanifah belajar antara lain : Sya’bi, Salamah bin Kuhail, Manarib bin Ditsar, Abu Isha Sya’bi, Aun bin Abdullah, Amr bin Murrah, A’masy, Adib bin Tsabit Al-Anshari, Sama’ bin Harb, dan masih banyak lagi.
Di Basrah, Abu Hanifah mempelajari hadits dari Qatadah dan Syu’bah, ulama’tabi’in yang termasyhur yang mempelajari hadits dari sahabat Nabi Muhammad saw yaitu Sufyan Al-Tsauri. Syu’bah menyebut beliau sebagai Amir Al-Mu’minin fi Al-Hadits (pemimpin orang-orang beriman di bidang hadits).[5]
Selain berguru pada para ulama’ diatas, Imam Abu Hanifah juga meriwayatkan dari ulama’ lain. Diantara ulama’ yang yang menjadi sumber riwayatdan fiqihnya adalah Zainal Abidin, Abdullah bin Hasan, atau dikenal dengan nama Muhammad An-Nafs Az-Zakiyah. Selain itu, ia juga belajar dari ulama’ dan fuqaha di Mekkah mengenai masalah-masalah fiqih saat ia tinggal di Makkah saat musim haji dan selama ia berdomisili disana sekitar enam tahun ketika berpindah ke Mekkah pada tahun 130 H. [6]
Kemasyhuran Imam Abu Hanifah sebagai seorang ulama’ yang cerdas terdengar sampai kepenjuru negeri.Namun, dalam kemasyhurannya berkembang pula pernyataan bahwa beliau adalah seorang Qayyas, pembuat Qiyas.Hal ini pula terdengar pada telinga Imam Baqir.Pada kunjungannya ke Madinah, Abu Hanifah bertemu dengan Imam Baqir saat diperkenalkan kepadanya. Imam Baqir berkata kepada Imam Abu Hanifah “Rupanya engkau orang yang membantah riwayat kakekku berlandaskan Qiyas?”. Imam Abu Hanifah menjawab “Semoga Allah melindungiku, siapa pula yang berani menentang Hadits?.Mari kita duduk, akan aku jelaskan pendapatku”.percakapan merekapun berlanjut hingga Imam Baqir amat terkesan dengan dialog tersebut. Setelah pertemuan itu, Imam Abu Hanifah sering belajar pada Imam Baqir.[7]
Dalam memberikan pengajaran kepada para muridnya, Imam Abu hanifah menggunakan metode analisis, observasi, illat, dan menelaah dalil.Yaitu dengan pemberian permasalahan-prmasalahan fiqh kepada para muridnya, kemudian para muridnya memberi pendapat.Diskusi ini berlangsung hingga terjadi kesepakatan diantara para murid, selanjutnya Imam Abu Hanifah memberikan kesimpulan dan memerintahkan salah satu muridnya untuk mencatatnya.[8]
Imam besar ini meninggal pada bulan Rajab tahun 150 H di Kota Kufah karena meminum racun yang disediakan oleh Khalifah Al-Mansur, sewaktu bermunajat kepada Allah. Beliau meninggal dengan meninggalkan sejumlah murid sepeninggalan. Abu Mahasin Syafi’I telah membuat daftar nama muridnya sejumlah 918 orang. Namun, murid beliau yang termasyhur ialah: Qadhi AbuYusuf, Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani, dan Imam Zufar.[9]
Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah telah mengarang dua kitab, yaitu Al-Fiqh Al-Akbar sebuah kitab dalam bidang ilmu kalam dan Al-Musnad yang berisi tulisan dalam bidang hadits.[10]
B.      Imam Malik bin Anas
Imam Malik memiliki nama asli Imam Malik bin Anas al-Ashbahi, dinisbatkan pada suku Dzi Ashbah, di Yaman.  Keluarganya adalah bangsawan Arab Humair dari Yaman. Sebenarnya, nama kecilnya adalah Abdullah. Malik merupakan nama ayah beliau. Setelah terkenal sebagai ulama’, orang Madinah lebih suka memanggilnya Imam Dar Al- Hijrah (Imam Negeri Hijrah).Terdapat berbagai pendapat tentang tahun kelahiran Imam Malik. Menurut Imam Khaliqan mencatat bahwa beliau dilahirkan pada tahun 75 H, menurut riwayat Imam Syafi’I, beliau dilahirkan pada tahun 94 H. Namun, kebanyakan berpendapat  bahwa beliau dilahirkan pada tahun 93 H. Beliau menetap di Madinah tanpa pernah meninggalkannya kecuali untuk melaksanakan haji hingga wafat tahun 179 H.[11]
Beliau belajar fiqh, sunnah, serta fatwa sahabat dari beberapa syaikh. Diantaranya Abdurrahman bin Harmaz dan Muhammad bin Muslim bin Syihab Al-Zuhdi. Beliau juga belajar hadits pada Abu Zinad Abdullah bin Dzakwan. Selain itu, beliau juga mempelajari Fiqh Ra’yupada Yahya bin Sa’id dan Rabi’ah bin Abdurrahman atau Rabi’ah Ar-Ra’yi. Dan masih banyak lagi tempat beliau belajar.Namun, yang palin berpengaruh adalah Ibnu Syihab Al-Zuhry dan Rabi’ah Ar-Ra’yi.[12]
Imam Malik sebagai Muhadits, ulama’, dan ahli periwayatan ilmu Hadits. Dia telah meneliti semua macam periwayatan pembicaraan dari uraian Nabi saw tentang Al-Qur’an, Hadits dan kisah-kisah lain berkenaan dengan kebaikan dan riwayat perjalanan hadits tersebut melalui sahabat, penjelasan Al-Qur’an dan Hadits oleh para sahabat , dan jalan hidup mereka. Lalu Imam Malik mengumpulkan dan menyusun sekitar 1000 buah hadits kedalam kitabnya Al-Muwatha’, setelah melalui pertimbangan yang matang.[13]
Dalam mengeluarkan fatwa, Imam Malik sangatlah teguh pendirian, walaupun fatwa yang beliau keluarkan itu menentang khalifah yang berkuasa.Pernah suatu ketika, beliau diminta memberikan fatwa tentang hukum talak secara terpaksa. Ulama’ lain berpendapat bahwa talak secara terpaksa adalah sah. Sedangkan menurut Imam Malik, hal itu hukumnya tidak sah. Akhirnya, Ja’far bin Sulaiman gubernur Madinah saat itu menegurnya untuk tidak memberi fatwa semacam itu. Namun, Imam Malik tetap teguh sehingga beliau harus dihukum cambuk.[14]
Kemasyhurannya sebagai ulama’ menyebabkan beliau didatangi para pelajar dari berbagai negeri Islam. Seperti, Mesir, Syam, Irak, Afrika Utara, dan Andalusia. Setelah berhasil, para muridnya kembali ke daerah masing-masing untuk menyebarkan Ilmu fiqh yang mereka dapatkan. Diantara murid beliau adalah, Abdullah bin Wahb, Abdurrahman bin Qasim Al-Mishri, Yahya bin Yahya Al-Masmudi, Abi Abdullah AbdAl-Rahmanbin Al-Qashim bin Khalid Al-Thasri, dan masih banyak lagi. Hingga selepas kematiannya, Imam Malik masih saja dicari untuk dimintai pendapat dan menimba ilmu kepadanya.Hingga akhirnya terciptalah kitab Al-Mudawwanah yang berisi pendapat-pendapat Imam Malik tentang berbagai permasalahan hukum yang diriwayatkan oleh Imam Sahnun. (Abdul Karim, 209-210)[15]
C.      Imam Asy-Syafi’I
Nama lengkap dari ulama besar pendiri madzhab syafi’i adalah Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah shallallhu ‘alaihi wassalam pada Abdu manaf. Ia dilahirkan di kota kecil di Palestina, Ghazza dikawasan Mediteranian yang lebih dikenal Syam, pada tahun 150 H, dan wafat di Mesir pada tahun 204 H. , kemudian beliau belajar kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, mufti Makkah, hingga diizinkan memberikan fatwa saat Imam Syafi’I berumur lima belas tahun. Kemudian Imam Syafi’i pergi ke Madinah, bertemu dengan Imam Malik, meriwayatkan al-Muwaththa’ darinya, belajar fiqih kepadanya, dan menyertainya (mulazamah dengan beliau) hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H. kemudian Imam Syafi’i pergi ke Yaman. Di sana ia bertemu dengan ‘Umar bin Abu Salamah, pengikut Imam al-Auza’i , dan belajar darinya fiqih syaikhnya, sebagaimana ia bertemu dengan Yahya bin Hasan seorang ulama fiqih Mesir, dan belajar fiqih Imam Besar padanya. Pada tahun 184 H Imam Syafi’i di datangkan ke Baghdad karena di tuduh menentang Daulah Abbasiyyah, namun ia terbebas dari tuduhan. Kedatangannya ke Baghdad menjadi awal pertemuan ia dengan ulama fiqih Irak Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, pengikut Abu Hanifah. Kemudian Imam Syafi’i mulazamah  kepadanya, membaca kitab-kitabnya, meriwayatkan darinya, dan belajar maslah-masalah fiqih darinya. Kemuudian Imam Syafi’I pindah ke Makkah dengan membawa kitab-kitab fiqih ulam Irak, dan tinggal di Makkah selama sembilan tahun untuk mengajar, berfatwa, dan bertemu dengan banyak ulama di musim haji. Setelah itu, beliau pergi ke Baghdad kedua kalinya pada tahun 195 H. dan bermukim disana selama dua tahun Lalu ia kembali lagi ke Makkah. Lalu kembali lagi ke Baghdad pada tahun 198 H dan bermukim disana selama beberapa bulan. Kemudian beliau pergi ke Mesir pada tahun 199 H, atau dikatakan pada tahun 200 H, ia menetap disana, mengajar, berfatwa,mengarang, dan mengajar murid-muridnya hingga wafat pada tahun 204 H.[16]
Imam Abi Muhammad Qadli Husain dalam muqaddimah kitab ta’liqohnya mengatakan bahwa Imam Syafi’i mengarang 113 kitab terdiri dari kitab-kitab fiqih, tafsir, adab dsb.
Diantara karangan-karangan beliau:
a)                  ar-Risalah (usul fiqih) yang pertama di dunia;
b)                  al-Hujjah (fiqih qaul qodim);
c)                  al-’Um (fiqih qoul jadid);
d)                  Muhtashor al-Buwaiti  (dihimpun oleh murid beliau Imam al-Buwaiti);
e)                  Muhtashor ar-Robi’   (dihimpun oleh murid beliau Imam ar-Robi’);
f)                   al-Muhtashor al-Muzani(dihimpun oleh murid beliau Imam Muzani);
g)                  dsb. [17]
Kitab Imam Syafi’I terbagi menjadi dua:
1.                   Qoul Qodim
Ialah kitab atau pendapat yang dikarang oleh beliau dan sahabat-sahabat beliau  berdasarkan atas intruksi beliau ketika berada di Irak Baghdad.
2.                   Qoul Jadid
Ialah kitab atau pendapat yang dikarang oleh beliau dan sahabat-sahabat beliau berdasarkan instruksi beliau, ketika berada di Mesir.
Menurut al-Asnawi pendapat Imam Syafi’i yang tertuang dalam qoul qodim merupakan madzhab diluar madzhab asy-Syafi’i kecuali apabila pendapat tersebut sama dengan qoul jadid, dikarenakan kedudukan qoul qodim sudah dihapus (mansukh) oleh qoul jadid, sebagai bukti bahwa Imam asy-Syafi’i sendiri melarang para muridnya untuk meriwayatkan qoul qodim dan tulisan-tulisan beliau yang terdapat pada kitab al-Hujjah (kitab qoul qodim) yang tidak cocok dengan qoul jadid dihapus dengan menggunakan air.[18]
Murid-murid Imam syafi’i[19]
a)                  Yusuf bin Yahya al-Buwaiti
Wafat tahun 231 H dalam penjara di Baghdad, karena fitnah mengenai pendapat bahwa Al-Qura’an adalah makhluk yang ditimbulkan oleh khalifal al-Ma’mun.Dia telah menghasilkan mukhtasar yang mashur berdasarkan pendapat Imam Syafi’i.
b)                 Abu Ibrahim, Ismail bin Yahya.
Wafat pada tahun 264 H. Dia telah menghasilkan banyak kitab dalam madzhab syafi’i.diantaranya ialah al-Mukhtasar al-Kabir dan al-Mukhtasar ash-Shagir.
c)                  Ar-Rabi’ bin Sulaiman bin Abdul Jabbar al-Muradi.
Wafat pada tahun 270 H. Dia merupakan muadzin di masjid Amr Ibnul Ash.Dia bersama Imam Syafi’i dalam jangka waktu yang lama sehingga banyak riwayat kitab-kitab Imam Syafi’i datang darinya. Melalui dia, kitab ar-Risalah, al-Umm, dan kitab-kitab Imam Syafi’i yang lain sampai kepada kita.
d)                 Harmalah bin Yahya bin Harmalah
Wafat pada tahun 266 H. dia meriwayatkan kitab-kitab Imam syafi’i yang tidak diriwayatkan oleh ar-Rabi’, seperti kitab asy-Syurut (tiga jilid), kitab as-Sunan (10 jilid), kitab an-Nikah, dan kitab Alwan al-bil wal Ghanam wa Shifatihaa wa Asnaaniha.
D.     Imam Ahmad bin Hanbal
Ia adalah Abu Abdullah bin Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin asad asy-Syaibani. Lahir di Baghdad pada tahun 164 H, dan wafat di Baghdad juga pada tahun 241 H. imam hanbali termasuk salah satu di antara ulama-ulama yang terkenal kuat daya hapalnya dan seorang perowi hadis yang terkemuka. Dengan memusatkan pada studi hadis, imam hanbali menggeluti ilmu hadis dan fiqih di bawah bimbingan Imam Abu Yusuf, murid termasyhur Imam Abu Hanifah, Juga kepada Imam Syafi’I. Di samping alim dan mumpuni dalam bidang Sunnah, ia juga seorang faqih yang mendalam hingga Imam Syafi’I berkata pada saat ia pergi ke Mesir : “aku keluar ke Baghdad dan tidak meninggalkan seseorang laki-laki yang lebih mulia. Lebih alim, lebih faqih daripada Ahmad bin Hanbal”. [20]
Imam Ahmad telah menerima banyak cobaan dan ujian.Dia telah di tahan dan dianiaya karna fitnah mengenai pendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk pada zaman Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq.
Imam Ahmad tidak mengarang kitab Fiqih sehingga sahabatnya mengumpulkan pendapat madzhabnya berdasarkan perkataan, perbuatan jawaban-jawaban Imam Ahmad dan sebagainya.Dia telah menghasilkan Al-Musnad dalam hadist, yang mengandung lebih dari 40.000 ribu hadist.Dia mempunyai kekuatan hafalan yang amat kuat. Dia mengamalkan hadist mursal (hadistt yang dalam sanadnya rawi shahbi-nya tidak ada), dan hadist dho’if  yang boleh meningkat ke derajat hadist hasan. Tetapi ia tidak beramal kepada hadis batil dan munkar. Dia lebih mengutamakan hadis dho’if dan mursal daripada qiyas.[21]
Murid-murid Hanbali:
a)   Salih bin Ahmad bin Hambal
Wafat pada tahun 266 H. dia ialah anak Imam Ahmad yang paling tertua; mempelajari ilmu fiqih dan hadist pada ayahnya, dan juga dari para ulama’ lain pada zamannya.
b)   Abdullah bin Ahmad bin Hambal
Wafat pada tahun 290 H. dia mempunyai perhatian yang besar pada periwayatan hadist dari ayahnya.Sedangkan saudaranya Salih memfokuskan kepada bidang fiqih ayahnya dan masalah-masalah yang berhubungan dengannya.
c)    Al-Astram, Abu Bakr, Ahmad bin Muhammad bin Hani’ al-Khurasani, al-Baghdadi.
Wafat pada tahun 273 H. dia telah meriwayatkan masalah-masalah fiqih dan hadist dari Imam Ahmad.Dia menghasilkan kitab as-Sunan fil Fiqh berdasarkan madzhab hanbali.Kitab ini menggunakan hadist sebagai dasarnya.
d)   Abdul Malik bin Abdul Hamid bin Mahran al-Maimuni
Meninggal pada tahun 274 H. dia hidup bersama Imam Ahmad lebih dari 20 tahun.Dia memiliki kedudukan yang tinggi dikalangan sahabat Imam Ahmad.
3.   Karakteristik Pemikiran Empat Imam Madzab
A.      Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah adalah Imam ahli Ar-ra’yu. Beliau menggunakan qiyas dan istihsan secara meluas. Dasar madzab Hanafi adalah Al-qur’an, As-sunnah, ijma’, qiyas, dan istihsan. Menurutnya, adat istiadat juga merupakan sumber yang berarti dalam kehidupan manusia.[22]
Berikut ini penjelasan tentang sumber hukum madzab Hanafi[23]:
1.      Al-Qur’an
Menurut madzab Hanafi, Al-Qur’an merupakan sumber hukum mutlaq yang tidak dapat diganggu gugat. Apabila adasumber lain yang bertentangan dengan Al-Qur’an, hal tersebut dibilang tidak valid.
2.      Sunnah
Dalam menggunakan Hadits sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an, Madzab Hanafi memiliki kualifikasi tertentu.Selain hadits tersebut harus shahih, hadits tersebut juga harus masyhur.
3.      Ijma’ sahabat
Madzab Hanafi mengutamakan Ijma’ sahabat daripada pendapat beliau sendiri dan pendapat para muridnya.Madzab Hanafi juga mengakui ijma’ para ulama disetiap periode sebagai hal yang valid dan mengikat.
4.      Pendapat sahabat
Dalam menggunakan pendapat sahabat sebagai sumber hukum, Madzab Hanafi lebih mengutamakaannya daripada pndapat beliau sendiri.Apabila ada perbedaan pendapat diantara para sahabat, maka Madzab Hanafi menggunakan pendpat yang dirasa paling layak digunakan sebagai hukum.
5.      Qiyas
Saat tidak ada hukum yang terdapat pada sumber yang disebutkan diatas, madzab Hanafi melakukan ijtihad sendiri dengan berdasarkan prinsip qiyas yang beliau bangun bersama murid-muridnya.
6.      Istihsan
Walupun istihsan bersifat lemah daripada sumber lain, istihsan dapat dijadikan pilihan yang lebih spesifik dari hal yang umum.dan dapat menjadi hukum yang lebih tepat daripada qiyas.
7.      ‘urf
Tradisi local diberi bobot hukum yang mengikat dalam wilayah dimana tradisi tersebut berjalan.Tradisi berjalan secara turun temurun dan secara otomatis menjadi sistem hukum yang harus dijalankan oleh masyarakat local.
Saat Imam Abu Hanifah diminta pendapat tentang suatu permasalahan, maka pendapanya mengalir dari lisannya. Beliaulah yang pertama kali mementingkan cara qiyas dalam membentuk undang-undang. Berkata Asaf A.A.Fyzee :
“…the special characteristic of which was reliance on the principles of qiyas or analogical deduction. Many scholar think that he was the founder of qiyas, this is incorrect. He employed qiyas more because the science of hadith had not developed fully by that time, and no recognized collections were available.”
“…karakteristik khusus berdasarkan pada prinsip-prinsip qiyas atau deduksi analogis. Banyak sarjana berpikir bahwa ia adalah pencetus qiyas, ini tidak benar. Beliau cenderung menggunakan qiyas karena ilmu hadits tidak sepenuhnya dikembangkan pada saat itu, dan tidak ada pengumpulan resmi yang tersedia
Dijelaskan pula bahwa Imam Abu Hanifah bersandar pada Al-Qur’an dan hadits bila hadits tersebut benar-benar shahih.Karena pada saat itu terdapatkaum zindikyang membuat-buat hadits.Kemudian beliau juga menetapkan prinsip istihsan.[24]
B.      Imam Malik bin Anas
Imam Malik bin Anas membangun madzabnya berdasarkan dua puluh dasar. Lima dari Al-Qur’an dan lima dari As-Sunnah, yaitu nash al-Kitab, zahirnya yakni umumnya, mafhum Al-Mukhalafah, mafhumnya yakni mafhum Al-Muwaaqah, tanbihnya yakni peringatan Al-Qur’an terhadap illah. Yang lain ialah Al-Ijma’, qiyas, amal ahli Madinah, Qaul As-Sahabi, al-istihsan, sadd adz-dzarai’, menjaga khilaf, istishab, al-mashalih Al-Mursalah, dan Syar’ man qablana.[25]
Berikut ini penjelasan tentang sumber hukum madzab Maliki[26] :
1.      Al-Qur’an
Sebagaimana madzab yang lain, Madzab Maliki menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama.
2.      Sunnah
Sebagaimana Madzab Hanafi, Madzab Maliki juga memiliki kualifikasi tertentu dalam penggunaan hadits sebagai sumber hukum. Madzab Maliki menolak hadits yang bertentangan dengan tradisi masyarakat Madinah dan tidak mengharuskan haits tersebut masyhur.
3.      Praktik masyarakat Madinah
Madzab Maliki berpendapat bahwa tradisi masyarakat Madinah adalah sumber hukum yang valid. Hal ini dikarenakan keturunan para sahabat berada disana dan Rasulullah menghabiskan sepuluh tahun terakhirnya di kota tersebut, maka praktik yang dilakukan masyarakat Madinah merupakan hal yang diperbolehkan atau bahkan dianjurkan oleh Rasulullah.
4.      Ijma’ sahabat
Penggunaan ijma’ sahabat dan ijma’ ulama dijadikan hukum dirasa layak oleh Madzab Hanafi sebagaimana pendapat Madzab Hanafi.
5.      Pendapat Sahabat
Madzab Maliki menjadikan pendapat sahabat sebagai sumber hukum setelah ijma’ sahabat.Bahkan pendapat para sahabat beliau masukkan dalam kitabnya yang berjudul Al-Muwatta’.Beliau juga mengutamakan pendapat sahabat daripada pendapatnya sendiri.
6.      Qiyas
Imam Malik pernah menggunakan qiyas dalam penentuan hukum yang tidak terdapat dalam sumber hukum yang telah disebutkan diatas.Namun, beliau sangat berhati-hati dalam penggunaanya karena qiyas cnderung bersifat subjektif.
7.      Istislah (kemaslahatan)
Sebagaimana Imam Abu Hanifah yang menggunakan istihsan sebagai sumber hukum, Imam Malik menamainya dengan istislah yang berarti kemaslahatan yang intinya mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat walaupun tidak ada  dalam hukum syariat secara khusus.
8.      Urf
Sebagaimana Imam Abu Hanifah yang menggunakan adat istiadat sebagai sumber hukum, Imam Malik juga menggunakannya walaupun hanya berlaku pada masyarakat local.Namun, beliau menolaknya apabila adat istiadat tersebut bertentangan dengan hukum syariah.

C.      Imam Syafi’i
Sumber-sumber Hukum Madzhab Syafi’i[27]:
1)                 Al-Qur’an
Imam syafi’I tidak berbeda dengan para imam pendahulunya dalam memposisikan al-Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama di antara sumber-sumber hukum lainnya.
2)                 Sunnah
Imam syafi’I hanya bersandar pada satu syarat dalam menerima sebuah hadis, yaitu hadis tersebut harus shohih.Ia menolak semua persyaratan lainnya bagaimana diterapkan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik.
3)                 Ijma’
Meskipun Imam Syafi’I memiliki keragu-raguan yang serius mengenai kemungkinan Ijma’ dalam sejumlah kasus, ia mengakui bahwa dalam beberapa kasus di mana ijma’ tidak terelakkan, ia harus dianggap sebagai sumber pokok hukum Islam urutan ketiga.
4)                 Qoul sahabat
Imam Syafi’I menaruh kepercayaan atas pendapat individual para sahabat dengan catatan pendapat tersebut antara satu dengan yang lainnya tidak bervariasi. Jika terdapat pertentangan di dalamnya, sebagaimana Imam Abu Hanifah, ia akan memilih pendapat yang paling dekat dari sumbernya dan membuang pendapat yang lain.
5)                 Qiyas
Menurut Imam Syafi’I, qiyas merupakan metode yang sah dalam merumuskan hukum lebih lanjut dari sumber-sumber hukum sebelumnya. Meski demikian, ia menempatkannya pada posisi terakhir, dengan memandang pendapat pribadinya berada di bawah dalil-dalil yang didasarkan atas pendapat para sahabat.
6)                 Istihab
secara literal berarti mencari suatu keterkaitan, tetapi secara hukum, istihab merujuk pada proses perumusan hukum -hukum fiqih dengan mengaitkan keadaan berikutnya dengan keadaan sebelumnya.
D.     Imam Ahmad bin Hanbal
Sumber-sumber hukum madzhab hanbali [28]:
1.    al-Qur’an
Al-Qur’an diberikan kedudukan paling tinggi mengatasi semua sumber hukum lainya untuk semua keadaan.
2.    Sunnah
Sunnah nabi menempati posisi kedua diantara prinsip-prinsip dasar yang digunakan oleh pendiri madzhab Hanbali dalam proses pengambilan hukum. Satu-satu persyaratan adalah bahwa sunnah atau hadis yang digunakan harus marfu’ yakni diatributkan langsung kepada Nabi SAW.
3.    Ijma’ Sahabat
Imam Hanbali mengakui ijma’ sahabat, namun demikian, ia mengesampingkan ijma’ diluar era para sahabat karena dianggap sebagai ijma’ yang tidak akurat, dengan alasan terlalu banyaknya jumlah para ulama’ dan terpencar-pencarnya mereka sepanjang imperium islam.
4.    pendapat Individu Sahabat
Imam hanbali mempercayai semua pendapat individu para sahabat yang beraneka ragam sebagaimana Imam Malik. Oleh karenanya, sebagai konsekuensinya, dalam madzhabnya berkembang banyak hal mengenai ketetapan hukum yang beragam mengenai kasus-kasus individual.
5.    hadis Dha’if dan Mursal
Untuk ketetapan hukum atas suatu kasus dimana tidak ada satupun dari empat prinsip di atas yang bisa menawarkan solusi, Imam Hanbali cenderung menggunakan hadis dhaif dan mursal daripada menggunakan qiyas.Namun demikian harus dengan syarat dhaifnya hadis bukan karena adanya fakta bahwa salah satu dari para perawinya adalah fasiq atau kadzib.
6.    Qiyas
Sebagai jalan terakhir, yaitu ketika sejumlah prinsip-prinsip di atas tidak bisa diterapkan secara langsung, Imam Hanbali secara enggan menerapkan qiyas dan mengambil solusi dengan bersandar pada satu atau lebih prinsip-prinsip sebelumnya.
4.   Contoh Perbedaan Pendapat diantara Empat Imam Madzab
a)        Doa qunut dalam shalat
Dalam shalat membaca doa qunut hukumnya mandub. Akan tetapi, fuqaha berbeda pendapat mengenai shalat yang ada doa qunutnya. Ulama’ Hanafiyah dan Hanbilah berpendapat bahwa doa Qunut dibaca hanya dalam shalat witir saja. Doa ini dibaca sebelum ruku’ menurut Hanafiyyah, dan sesudah ruku’ menurut Hanabilah.
Menurut Malikiyyah dan Syafi’iyyah bahwa shalat yang ada qunutnya adalah shalat subuh.Dibaca setelah ruku’ menurut syafi’iyyah. Namun menurut Malikiyyah yang afdhal doa dibaca sebelum ruku’.doa ini makruh dibaca pada selain shalat subuh, menurut Malikiyyah. Lebih rincinya sebgai berikut:
a.                        Madzhab Hanafiyyah
Ulama’ Hanafiyyah disunnahkan bagi seseorang untuk membaca doa Qunut dalam shalat witir sebelum ruku’. dan tidak disunnahkan membaca doa qunut selain dalam  shalat Subuh. Hal ini didasarkan pada riwayat yang artinya“Rasulullah saw. Membaca doa Qunut dalam shalat Subuh selama satu bulan dan setelah itu beliau tidak membacanya lagi.”
b.                       Madzhab Malikiyyah
Menurut Malikiyyah disunnahkan membaca doa qunut subuh dengan suara rendah, namun tidak pada shalat witir dan lainnya. Afdhalnya dibaca sebelum ruku’, namun boleh juga membaca doa Qunut setelah ruku’.
c.                        Madzhab Syafi’iyyah
Menurut syafi’iyyah disunnahkan membaca doa Qunut pada posisi I’tidal kedua shalat subuh. Adapun dasar yang digunakan adalah hadist nabi yang artinya: “Rasulullah saw. Selalu membaca doa Qunut dalam shalat subuh sampai beliau meninggal dunia”
Doa Qunut termasuk sunnah Ab’adh, artinya jika tidak dilaksanakan maka harus menggantinya dengan sujud sahwi.
d.                       Madzhab Hanabilah
Pendapat Hanabilah mirip dengan pendapat Hanafiyyah, yaitu disunnahkan membaca Qunut hanya dalam shalat witir pada rakaat tunggal dan dilakukan setelah ruku’ sebagaimana pendapat Imam Syafi’i dalam witir pertengahan akhir bulan Ramadhan.
Menurut Hanabilah tidak disunnahkan membaca doa Qunut dalam shalat subuh ataupun shalat-shalat lainnya selain witir, sebagaimana juga Hanafiyyah. Dalilnya hadist nabi saw. Yang berbunyi ,” Rasulullah saw. Membaca doa Qunut dalam shalat Subuh selama satu bulan dan setelah itu beliau tidak membacanya lagi.”
b)       Pemberitahuan makmum pada imam atas kesalahan bacaan dalam shalat
a.       Pendapat Madzab Hanafi
Jika imam berhenti dan kebingungan dalam bacaan sebelum melanjutkan ayat berikutnya adalah boleh dengan niat membetulkan.Namun, seyogyanya makruh tidak terburu-buru membetulkan bacaan imam karena hukumnya adalah makruh sebagaimana makruhnya ucapan makmum bagi imam.
b.      Pendapat Madzab Maliki
Shalatnya seorang makmum yang membetulkan bacaan makmum lain adalah batal karena msuk dalam kategori berbicara. Tapi membetulkan bacaan imam yang salah dan kebingungan hukumnya boleh bahkan wajib.
c.       Pendapat Madzab Syafi’i
Jika makmum membenarkan bacaan imam yang diam dan kebingungan maka hukumnya boleh, namun jika makmum membenarkan bacaan imam dimana imam masih mencoba mengulang-ulang bacaannya maka hukumnya haram.Menurut riwayat yang lebih shahih, mengingatkan bacaan imam yang salah saat imam dian dan kebingungan adalah boleh.Sedangkan mengingatkan bacaan imam yang mencoba mengulang bacaannya maka dianggap makmum tersebut membatalkan bacaannya dan harus mengulang bacaan makmum dari awal.
d.      Pendapat Madzab Hanafi
Menurut madzab Hanafi membenarkan bacaan imam yang diam dan kebingungan adalah wajib seperti halnya mengingatkan imam yang lupa melakukan sujud.Karena kesempurnaan shalat tergantung pada imam.


5.   Kesimpulan
       Keempat imam madzab lahir pada masa tabi’in.Dari keempat madzab, Imam Abu Hanifahlah yang paling tua. Kemudian disusul dengan Imam Malik bin Anas, Imam  Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
       Dalam menentukan hukum Islam, keempatnya menggunakan Al-Qur’an dan As-Sunnah terlebih dahulu. Mereka tidak akan menggunakan hukum yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka juga tidak akan menggunakan ra’yu mereka sendiri selama hukum tersebut terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan dalam penggunaan hadits, mereka memiliki kualifikasi tersendiri.Bahkan sebagian Imam madzab hanya mengakui hadits yang shahih dan masyhur.
      































DAFTAR PUSTAKA
A. Rahman I.2002. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Islam (Syariah).Jakarta: Raja Grafindo Persada
Ameenah,Abu. 2005. Asal Usul dan Perkembangan Fiqh.Bandung:Nusamedia
Az-Zuhaili, Wahbah.2010.Fiqih Islam 2. Depok : Gema Insani
Khusnan, Yahya .2011. Ulasan Nadhom Qowaid Fiqhiyyah Al-Faroid Al-Bahiyyah.Pustaka Muhibbin
Siddik, Abdullah. 1982. Asas-Asas Hukum Islam. Jakarta: Bumirestu
Zaidan, Abdul Karim .2008.Pengantar Studi Syari’at.Jakarta: Robbani Press

Revisi:
1.      Penulisan footnote tolong diperbaiki, masih banyak kesalahan, terutama pada pengulangan referensi yang telah digunakan sebelumnya.
2.      Lacak ciri khusus yang dimiliki masing-masing imam madzhab.
3.      Contoh perbedaan pendapat tidak ada referensinya.



[1] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam 2,(Depok : Gema Insani, 2010), hlm. 40
[2] A. Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Islam (Syariah), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 121
[3] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’at, (Jakarta: Robbani Press, 2008), hlm. 197
[4] Abu Ameenah, Asal Usul dan Perkembangan Fiqh, (Bandung:Nusamedia, 2005), hlm. 87
[5]A. Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Islam (Syariah), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 121
[6]Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’at, (Jakarta: Robbani Press, 2008), hlm. 198
[7]A. Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Islam (Syariah), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 123-124
[8]Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’at, (Jakarta: Robbani Press, 2008), hlm. 199
[9]A. Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Islam (Syariah), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 126
[10]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam 2,(Depok : Gema Insani, 2010), hlm. 40
[11]A. Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Islam (Syariah), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 128
[12]Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’at, (Jakarta: Robbani Press, 2008), hlm. 205-206
[13]A. Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Islam (Syariah), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 134
[14] Ibid, hlm 135
[15]Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’at, (Jakarta: Robbani Press, 2008), hlm. 209-210
[16]Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’at, (Jakarta: Robbani Press, 2008), hlm. 212
[17]Yahya Khusnan ,Ulasan Nadhom Qowaid Fiqhiyyah Al-Faroid Al-Bahiyyah, (Pustaka Muhibbin.,2011). Hlm,  79

[18]Yahya Khusnan ,Ulasan Nadhom Qowaid Fiqhiyyah Al-Faroid Al-Bahiyyah, (Pustaka Muhibbin.,2011). Hlm,  322
[19]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam 2,(Depok : Gema Insani, 2010), hlm. 46
[20]Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’at, (Jakarta: Robbani Press, 2008), hlm.216
[21]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam 2,(Depok : Gema Insani, 2010), hlm. 47
[22]Ibid, hlm. 40
[23] Abu Ameenah, Asal Usul dan Perkembangan Fiqh, (Bandung:Nusamedia, 2005), hlm. 89-91
[24] Abdullah Siddik, Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta: Bumirestu, 1982), hlm. 238-239
[25]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam 2,(Depok : Gema Insani, 2010), hlm. 42
[26]Abu Ameenah, Asal Usul dan Perkembangan Fiqh, (Bandung:Nusamedia, 2005), hlm. 96-99
[27]Abu Ameenah, Asal Usul dan Perkembangan Fiqh, (Bandung:Nusamedia, 2005), hlm. 110
[28]Ibid, hlm. 115

Tidak ada komentar:

Posting Komentar