Rabu, 06 April 2016

Pesantren dan Multikuturalisme Pendidikan



Sudah menjadi sunnatullah bahwa Indonesia merupakan negara multikultur (banyak budaya) dan bukan monokultur (satu budaya). Beratus juta manusia mendiami wilayah kepulauan kita ini. Hal ini berimplikasi munculnya etnis, suku, ras, agama, dan kepercayaan yang bervariasi. Realitas tersebut di satu sisi memberikan dampak positif bagi negara yang terkenal dengan sebutan Untaian Zamrud Kaltulistiwa ini. Namun di sisi lain, hal-hal negatif juga bermunculan dan tidak bisa terelakkan adanya.
Salah satu dampak positif yang timbul dari multikultur ini adalah budaya, sebagai warisan kekayaan yang tiada duanya menjadi beraneka ragam. Tentunya hal itu menjadi sesuatu yang patut dibanggakan dan perlu diapresiasi, sebab jarang terdapat sebuah bangsa di belahan bumi lain yang mempunyai aneka ragam budaya seperti negeri kita tercinta ini. Akan tetapi, sisi negatif yang ditimbulkannya juga tidak kalah mencengangkan. Adanya konflik antar suku maupun antar agama dan disintegrasi menjadi beberapa contohnya. Misalnya saja terjadinya konflik sampit, poso, sampai isu-isu pembentukan negara Islam yang marak terjadi pada saat-saat sekarang ini menjadi bukti ketidaksadaran akan beragamnya suku, budaya, dan agama di Indonesia.
Jika dilihat secara luas, konflik antar suku bukan hanya terjadi di Indonesia saja. Negara-negara lain yang terdiri atas suku dan agama yang berbeda-beda juga banyak yang mengalami hal serupa. Sebut saja Afrika Selatan yang sempat mengalami pergolakan politik warna kulit (apharteid) antara warga kulit hitam dengan warga kulit putih. Mereka berpandangan bahwa warna kulit menandakan perbedaan strata masyarakat. Kulit putih dianggap sebagai kelas atas, sementara kulit hitam dipandang sebagai kelas bawah. Namun, pendiskreditan semacam ini pun berakhir dengan munculnya sosok Nelson Mandela.
Peristiwa-peristiwa di atas haruslah menjadi sejarah untuk orientasi ke depan dan bukan hanya menjadi sejarah yang terlupakan. Sisi-sisi negatif yang ditimbulkan oleh multikultur itulah yang harus diselesaikan, sehingga tidak menimbulkan penderitaan yang berkepanjangan bagi masyarakat dan negara. Realitas multikultur bukan untuk digugat dan dibasmi, tetapi yang harus dilakukan adalah menciptakan sikap yang proporsional terkait dengan munculnya realitas tersebut. Masyarakat harus disadarkan akan urgennya paham demokrasi, humanisme, dan pluralisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berkaitan dengan ini, pendidikan menjadi menjadi salah satu ladang garapan utama dari paham multikulturalisme, yakni paham kesadaran akan keragaman budaya. Karena tidak dapat disangsikan bahwa pendidikan menempati posisi penting dalam paradigma bermasyarakat. Setiap pendidikan yang ada di negeri ini, dari tingkat SD sampai perguruan tinggi mutlak harus menjalankan pendidikan yang berbasis multikulturalisme. Sehingga dari hal itu, tidak ada lagi dikotomisasi dan eksklusivitas suku, budaya, agama, dan gender. Tidak hanya itu saja, kesatuan dan persatuan bangsa pun juga bisa terbangun dengan kokoh.
Menurut James A. Banks, pendidikan multikultural adalah ide, konsep, atau falsafah sebagai rangkaian sebuah kepercayaan (self of believe) dan penjelasan yang mengakui serta menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan dari individu, kelompok, maupun Negara.
Berdasarkan definisi di atas, kesadaran akan perbedaan menjadi point penting dalam pendidikan multikultural. Pendidikan, sebagai sarana utama pengembangan potensi sumber daya manusia tidak boleh membeda-bedakan satu sama lain. Baik siswa, mahasiwa, guru, maupun dosen haruslah memiliki sikap keberagaman (plurality), kesetaraan (equality), kemanusiaan (humanity), keadilan (justice), dan nilai-nilai demokrasi (democration values). Beberapa aspek itulah yang menjadi prinsip-prinsip yang dipegang dalam mutikulturalisme pendidikan.

Pesantren dan Sistem Pendidikan Berbasis Multikulturalisme
Pondok pesantren merupakan sistem pendidikan Islam tertua di Indonesia. Eksistensinya sudah ada sekitar lima ratus tahun silam. Berbagai macam tingkatan masyarakat berbaur menjadi satu di dalamnya. Dari mulai kaum jelata sampai priyayi menimba ilmu di sana. Mereka berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain dengan tidak membeda-bedakan status sosial. Tidak ada rasa egoisme maupun dikotomisasi yang diakibatkan perbedaan derajat masing-masing individu.
Sistem edukasi di pondok pesantren berorientasi pada pemahaman kitab kuning (turats), sekaligus mencetak kader-kader ulama yang siap melayani umat di masa depan. Dari hal tersebut, diharapkan muncul pemimpin-pemimpin masyarakat yang berkapabilitas untuk membina dan mengarahkan umat ke arah kebaikan. Di samping itu, membangun sisi rohani (tasawuf) juga menempati porsi utama dalam pengajaran pondok pesantren.
Secara teoritis memang multikuturalisme pendidikan berasal dari diskursus keilmuan Barat. Namun, jika ditelaah lebih dalam lagi, maka sebenarnya prinsip-prinsip teori tersebut sudah diaplikasikan oleh pesantren dalam aktivitas pendidikan kesehariannya. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa sistem pendidikan maupun kegiatan pengajaran di pesantren sebagai berikut:
Pertama, Tidak ada dikotomisasi antara si kaya dan si miskin. Dalam tradisi pesantren, baik santri dari kalangan rakyat jelata maupun ningrat tinggal di satu atap yang sama. Mereka berkumpul, belajar, dan tidur dalam ruang kamar yang sudah disediakan sebelumnya. Begitu pula dalam proses belajar-mengajar, semua santri diperlakukan sama tanpa melihat status sosial.
Kedua, Tidak ada eksklusivitas suku dan budaya di Pesantren. Santri yang mondok (baca: belajar) di pesantren bukan hanya berasal dari satu daerah saja. Akan tetapi terkadang berasal dari berbagai wilayah geografis di Indonesia. Sebut saja misalnya pesantren al-Munawwir, Ali Maksum, maupun al-Muhsin di Krapyak Yogyakarta yang memiliki santri dari berbagai macam daerah di Indonesia. Semua santri diperlakukan secara equal (setara). Baik santri yang berasal dari daerah setempat maupun daerah pendatang, sama-sama memiliki kesempatan untuk maju dan mengembangkan kreatifitas serta keilmuan yang dimilikinya.
Ketiga, Mengajarkan paham tasamuh (toleransi), tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), dan i’tidal (tegak lurus). Dalam pendidikan ala pesantren, paham-paham moderasi tersebut selalu didengungkan bagi setiap santri. Sehingga diharapkan dari sini akan muncul kader-kader yang moderat, adil, dan bisa menerima pluralitas dengan lapang dada.
Keempat, Mengajarkan sikap bertoleransi antar umat beragama. Pesantren adalah institusi pendidikan Islam. Oleh karenanya tidak mungkin mempunyai santri dari kalangan non-muslim. Lantas, bagaimanakah cara pesantren bersikap dan berinteraksi dengan golongan non-muslim, terutama dalam konteks keindonesiaan? Menyikapi hal ini, pesantren selalu menyuarakan ayat “Laa ikraaha fi al-Diin” (Tidak ada paksaan dalam hal beragama). Ini menunjukkan adanya kepedulian pesantren terhadap saudara sebangsa dan setanah air dari kalangan selain Islam. Berbeda keyakinan adalah realitas empiris yang tidak bisa ditutupi, tetapi bukan karena hal itu kemudian menyebabkan pendiskreditan dan permusuhan terhadap agama lain. Dalam struktur pemikiran di pesantren, ukhuwah (persaudaraan) terbagi menjadi tiga, yaitu ukhuwah islamiyah (sesama umat Islam), ukhuwah wathaniyah (sesama warga negara), dan ukhuwah basyariyah (sesama keturunan Nabi Adam). Ketiga jenis persaudaraan inilah yang menjadikan pesantren tidak mudah mempermasalahkan perbedaan agama yang ada di Indonesia.
Kelima, Menanamkan rasa cinta tanah air. Mengenai hal ini, dalam studi di pesantren terdapat jargon – dengan tidak mengatakan hadis –  Hubbu al-Wathan min al-Iman” (mencintai tanah air adalah sebagian dari iman). Implikasinya, apabila seseorang tidak mencintai tanah airnya, maka ia tidak dianggap beriman. Tentunya jargon tersebut mempunyai dampak serius bagi pluralitas di Indonesia. Karena dengan adanya pengajaran pesantren seperti itu, maka secara implisit, pesantren menyuarakan untuk selalu menerima kondisi bangsa dan negara kita apa adanya, yang memang terdiri atas beragam suku, budaya dan agama.
Keenam, Pemberian kesempatan pada perempuan untuk mengembangkan daya intelektualitasnya setara dengan laki-laki. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pada era dahulu, perempuan dianggap tidak sebanding dengan laki-laki. Perempuan hanya dianggap memiliki tiga “tempat bekerja”, yaitu sumur, dapur, dan kasur. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, pandangan-pandangan semacam ini pun kian pudar. Sekarang, banyak pesantren yang mulai berbenah dengan problem gender ini. Santri perempuan kini banyak mendapatkan kesempatan-kesempatan sebagaimana yang diperoleh santri laki-laki.
Beberapa sistem pendidikan pesantren di atas itulah yang menjadi landasan bahwa pada hakikatnya pesantren sudah mengaktualisasikan prinsip-prinsip multikulturalisme dalam sistem pendidikannya. Disadari atau tidak, pesantren yang termasuk pendidikan rakyat sebenarnya sudah mengajarkan sikap keberagaman, kesetaraan, kemanusiaan, keadilan, dan nilai-nilai demokrasi.
Sikap seperti ini haruslah lebih ditingkatkan kembali dengan cara mengintegrasikan teori-teori multikulturalisme yang sudah mapan dalam studi di pesantren. Sehingga pendidikan ala pesantren yang sebenarnya sudah menerapkan prinsip-prinsip multikulturalisme tersebut dapat menjadi lebih humanis, plural, dan demokratis lagi. Dari hal tersebut, diharapkan pesantren akan mencetak santri yang bukan hanya berwawasan islami saja, tetapi juga berparadigma multikultural dan global. Proses ini menjadi penting agar dapat memberikan kontribusi yang maksimal untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Wallahu a’lam bi al-Shawab.

Allahumma sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad

NB: Tulisan sangat ringan ini hanyalah re-post dengan sedikit penambahan, sebab tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah Sarung edisi II, Januari 2012 dengan judul “Pesantren dan Pendidikan Multikultural: Sebuah Kontribusi Pendidikan Rakyat Untuk Persatuan Bangsa.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar