Kamis, 07 April 2016

Meninjau Perdebatan Dahulu Kala Seputar Rokok



Problem rokok sempat menggurita beberapa tahun yang lalu. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai organisasi yang menaungi ulama-ulama di seluruh tanah air mengeluarkan fatwa mengenai haramnya rokok. Hal yang sama dilakukan oleh Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, melalui Majelis Tarjih dan Tajdidnya memformulasikan fatwa tentang keharaman rokok. Fatwa ini sempat mengundang pro dan kontra mengingat rokok menjadi konsumsi “wajib” bagi sebagian orang, bahkan keberadaannya pun sangat penting dalam kehidupan mereka terlebih saat usai menyantap makanan (nggak ada rokok jadi garing katanya hehe).
Sebagian dari masyarakat kita terbiasa menghisap rokok dan menikmati setiap kepulan asap yang dikeluarkan. Tanpa adanya rokok, hidup mereka terasa hampa dan kurang memiliki gairah. Terkadang pula bagi sebagian masyarakat kita ini, hanya rokok dengan merek tertentulah yang mengikat di hati. Bila disuguhi dengan rokok dengan merek yang lain terasa kurang “ngeh”, di lidah terasa hambar (hehe). Lantas yang menjadi pertanyaan besar adalah, mengapa mereka bisa begitu enaknya menikmati rokok? Apakah mereka tidak mengindahkan fatwa MUI dan Muhammadiyah? Apakah mereka memiliki pendapat sendiri bahwa rokok itu tidak menjadi masalah dari sisi hukum? Kira-kira apa hujjah yang digunakan oleh mereka dalam aktivitas merokoknya?
Memang disadari bahwa sejak dahulu kala, rokok (al-dukhaan) - sebagaimana kopi (al-qahwah) - mengundang perdebatan sengit di antara para ulama. Mereka tidak berada dalam satu paham terkait dengan status hukum rokok. Terdapat sebagian ulama yang menyatakan keharaman rokok, sedangkan sebagian yang lain tidak mempermasalahkannya. Secara simplisistis, argumentasi yang dikemukakan oleh ulama-ulama yang mengharamkan rokok adalah karena rokok mengandung bahaya (madharat) bagi kesehatan tubuh manusia, dan banyak ayat al-Qur’an maupun hadis Nabi yang secara eksplisit menyatakan pelarangan hal-hal yang membahayakan tubuh (saya kira tidak perlu dicantumkan karena sudah menjadi aksioma, cari sendirilah hehe). Bahkan, muncul sebuah kata-kata yang sangat keras mengecam eksistensi para perokok dari Sayyid al-Husain bin Abi Bakr, salah seorang sufi “Barangsiapa yang tidak mau bertaubat dari merokok dalam waktu empat puluh hari sebelum matinya, dikhawatirkan dia akan mati dalam keadaan su’ul khotimah.” (Wah, luar biasa kan bahayanya dulur? Selain timbul bahaya di dunia, bahaya di akhirat pun ada)
Secara lebih luasnya, ada beberapa tinjauan dari ulama-ulama yang kontra rokok, sehingga ia lebih layak dihukumi haram. Pertama, rokok dapat membahayakan kesehatan, dan sesuatu yang membahayakan kesehatan dihukumi haram. Hal ini disepakai oleh seluruh ulama. Kedua, rokok termasuk barang yang bisa memabukkan atau melemahkan badan, dan secara syar’i tidak diperbolehkan. Ketiga, bau rokok sangat tidak disenangi (bau), sehingga bisa menyakitkan hati orang yang tidak merokok. Keempat, merokok adalah suatu pemborosan dan cerminan sikap berlebih-lebihan. Kira-kira inilah beberapa tinjauan dari ulama-ulama yang mengharamkan rokok, yang kemudian berimplikasi pada keharamannya.
Meskipun demikian, terdapat pula beberapa ulama yang mengkritisi status haramnya rokok yang disematkan oleh sebagian ulama. Bagi ulama-ulama ini, rokok tidak pantas dihukumi sebagai barang haram. Menurut pendapat kedua ini, dinyatakan bahwa rokok sejatinya merupakan barang yang halal atau mubah. Namun yang membuat rokok menjadi haram, bukan karena rokoknya itu sendiri, tetapi karena ada faktor luar yang mempengaruhi atau merubah hukum halal atau mubah itu. Faktor luar yang dimaksud di sini adalah bahaya yang ditimbulkan dari rokok (kembali ke bahaya lagi hehe). Pendapat ini lebih jeli dengan tidak gegabah menyematkan bahaya pada rokok secara langsung tetapi dengan membuat dikotomi antara “rokok” dan “bahaya.” Secara subtansial, “rokok” sebagai sebuah entitas berlainan dengan “bahaya” sebagai entitas lainnya. Dengan demikian, hukum rokok pun menjadi relatif, tergantung pada orang yang menghisapnya. Ketika dengan merokok bisa menyebabkan bahaya bagi dirinya maka dihukumi haram, tetapi apabila tidak berbahaya maka dihukumi mubah.
Adanya pendapat bahwa merokok menimbulkan rasa mabuk sebenarnya hanya sangkaan belaka. Disadari bahwa orang yang pertama kali belajar merokok terutama apabila nyedotnya keras memang merasakan pusing, tetapi hal itu tidak dapat dianggap menghilangkan kesadaran. Jikalau perasaan pusing dipandang menghilangkan akal dan kesadaran, maka hal itu tidak dapat dipahami sebagai memabukkan, sebab rokok tidak menyebabkan perasaan bergairah dan gembira (bahasa kerennya fly) sebagaimana mengkonsumsi narkoba misalnya. Bahkan, rokok ternyata menyimpan beberapa manfaat seperti mengobati beberapa macam penyakit (misalnya menghilangkan serak), membantu memperoleh kefasihan lidah, dan membangkitkan semangat dari kelesuhan.
Sebenarnya terdapat beberapa hadis yang mengharamkan rokok dan dipakai oleh orang yang kontra rokok, seperti hadis “Sahabat Hudzaifah berkata: Aku pernah keluar bersama Rasulullah saw. Ketika kami melihat sebuah tumbuhan, tiba-tiba Rasulullah menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku pun bertanya, mengapa engkau menggeleng-gelengkan kepalamu wahai Rasul? Beliau menjawab: pada akhir zaman nanti, akan ada orang yang menghisap daun-daun tumbuhan ini. Lalu mereka shalat setelahnya dalam keadaan mabuk. Orang-orang seperti mereka berlepas dari diriku dan Allah pun berlepas diri dari mereka”; Diriwayatkan dari Sahabat Ali bin Abi Thalib “Nabi bersabda: Barangsiapa menghisap daun-daun tersebut, maka ia akan masuk neraka selama-lamanya dan iblis akan menjadi temannya. Oleh karena itu, janganlah engkau berangkulan dengan penghisap rokok, jangan engkau bersalaman dengannya, dan jangan pula engkau mengucapkan salam untuknya, sebab dia bukan lagi umatku”; Ada pula riwayat “Mereka adalah golongan kiri (ashhaab al-Syimaal), yakni golongan para penghisap pohon tercela (pohon al-Asqiya).”
Hadis-hadis di atas merupakan hadis yang bathil, tidak sah di mata para ulama dunia. Hadis-hadis itu tidak memiliki sandaran yang jelas. Syaikh Ali al-Ajhuri pun sampai berkata “klaim bahwa hadis-hadis tentang rokok ini datang dari Rasulullah adalah sebuah dusta yang mengada-ada.” Ada pula al-Rabi’ bin Husyaim berkata “Hadis selalu terang sebagaimana benderangnya siang, sementara selain hadis akan tampak kelam seperti gelapnya malam.” Dengan demikian, hadis-hadis yang berbicara mengenai keharaman rokok seperti disebutkan sebelumnya tidak dapat dipakai sebagai dalil pijakan pengharaman rokok. Artinya, memang tidak ditemukan dalil yang jelas, baik dari al-Qur’an maupun hadis Nabi yang berbicara mengenai rokok.
Dari pemaparan pendapat kedua di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua prasyarat pengharaman rokok, yaitu adanya madharat dan kehilangan kesadaran. Jika merokok tidak menimbulkan dua efek tersebut, maka merokok tidaklah haram. Syaikh al-Ajhuri berkata “Menghisap rokok hukumnya halal. Dengan syarat, rokok tersebut tidak tidak membuat si perokok kehilangan kesadaran dan tidak pula membuat tubuhnya tertimpa suatu madharat tertentu.” (sekarang jadi mubah kan? hehe)
Di samping dua pendapat di atas, muncul pula pendapat ketiga yang berusaha menengahi dua kubu yang bertolak belakang, Menurut pendapat ketiga ini, hukum rokok tidaklah haram dan tidak pula mubah, tetapi makruh. Pendapat ini dipandang mu’tamad (layak menjadi pegangan) oleh Syaikh Ihsan Jampes. Banyak ulama yang berpendapat seperti ini. Imam al-Bajuri berkata “Pendapat ini (bahwa rokok hukumnya haram) adalah pendapat yang lemah. Demikian pula pendapat yang menyatakan bahwa merokok hukumnya mubah (boleh). Pendapat yang mu’tamad adalah makruh. Namun demikian, hukum rokok dapat berubah menjadi wajib, misalnya ketika seseorang mengetahui bahwa jika ia meninggalkan rokok dia akan mendapatkan madharat. Terkadang pula hukum makruh itu dapat berubah menjadi haram, misalnya ketika seseorang membeli rokok dengan uang yang seharusnya dia gunakan untuk menafkahi keluarganya dan dia tahu bahwa dengan menggunakan uang itu untuk membeli rokok, keadaan keluarganya dalam bahaya.”
Dari seluruh pemikiran yang diuraikan dalam banyak paragraf di atas, secara mudahnya diketahui bahwa ada tiga pendapat terkait dengan hukum rokok, yaitu pendapat yang mengatakan rokok itu haram, pendapat yang menyatakan rokok itu mubah, dan pendapat yang berpandangan bahwa rokok itu makruh. Dalam konteks ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan beberapa organisasi yang berafiliasi pada gerakan Salafi memilih pendapat yang pertama (hukum rokok haram).
Sementara itu, Nahdhotul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia terlihat masih memperinci hukumnya menjadi tiga sebagaimana yang terjadi dalam pendebatan fiqih. Pertama; hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa madharat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan. Kedua; hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa madharat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram. Ketiga; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak madharat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya (www.nu.org.id)   
Sekarang tinggal pendapat mana yang Anda pilih? Apakah pendapat pertama (haram), pendapat kedua (mubah), atau pendapat ketiga (makruh)? Ya itu terserah keyakinan Anda mau pilih yang mana (saya sendiri bukanlah ahli hisab hehe). Dalam masalah rokok, sebelum berpendapat, seyogyanya seseorang lebih baiknya menengok bagaimana perdebatan fiqhiyyah perihal rokok yang terjadi di masa lampau biar tidak ramai sendiri, dan merasa diri sebagai orang yang paling benar. Saya pada dasarnya memang orang yang berpandangan bahwa rokok sebaiknya dijauhi, sehingga hukumnya makruh saja. Namun, saya tidak meniscayakan adanya beberapa pendapat lainnya terkait status hukum rokok. Masing-masing pendapat jika dipahami mempunyai argumentasi sendiri-sendiri dan tidak perlu mengolok-olok karena berbeda pandangan. Hal yang penting adalah, antara satu dengan yang hidup rukun dan tidak saling bertikai kan sudah terlihat manis (hehe). Bagi yang merokok sadar diri kapan dan dimana Anda tidak menyalakan rokok, patuhilah peraturan yang ada dan lihat orang di sekeliling Anda. Sedangkan bagi yang tidak merokok diharapkan tidak mengganggu para perokok, dengan menampar wajah misalnya hingga rokok yang menyala kena mulutnya (haha). Wallahu a’lam.  
     
Allahumma sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad

NB: Tulisan ini terinspirasi oleh buku Kitab Kopi dan Rokok (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010) yang merupakan terjemahan dari kitab Irsyaad al-Ikhwaan fii Bayaan al-Hukm al-Qahwah wa al-Dukhaan karangan Syaikh Ihsan Jampes, seorang Ulama Nusantara yang lahir pada 1901 dan wafat pada tahun 1952. Beberapa data dalam tulisan ringan ini pun merujuk pada buku ini tanpa mencantumkan referensi secara jelas. Semoga Syaikh Ihsan Jampes diberikan balasan pahala jariyah atas ilmu yang diberikan pada kita semua. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar