Rabu, 23 Maret 2016

Antara Simplifikasi dan Rumitisasi Pemikiran


Dulur, pada saat berbicara mengenai sebuah objek, maka seyogyannya kita sedang mengkomunikasikan kepada orang lain tentang sesuatu dari objek tersebut. Terlebih lagi, ketika orang lain itu bertanya atau bahkan butuh sekali dengan keterangan dari kita, maka komunikasi ini menjadi kunci dalam berinteraksi dengan mereka. Cara yang ditempuh untuk mengkomunikasikan uraian-uraian seputar objek sendiri ada dua metode, yakni metode simplifikasi dan metode rumitisasi. Keduanya merupakan media yang ada guna sampainya “pesan” dari “penyampai pesan” kepada “penerima pesan” (dalam ilmu komunikasi yang pertama disebut komunikator dan yang kedua dinamakan dengan komunikan hehe)
Simplifikasi merupakan sebuah kata yang berasal dari akar kata simple, yang mempunyai arti sederhana, mudah, gampang. Jadi kira-kira maknanya adalah membuat sesuatu menjadi sederhana. Dalam KBBI, kata ini berarti penyederhanaan. Artinya, dengan metode simplifikasi, sesuatu yang rumit bisa disulap menjadi sederhana, sesuatu yang susah diubah menjadi mudah, sesuatu yang dianggap menjadi bahasa langit bisa diturunkan hingga menjadi bahasa bumi.
Sementara di kubu lainnya, rumitisasi adalah lawan kata dari simplifikasi. Kata ini berasal dari kata rumit yang berarti njelimet, sulit, susah. Dari sini, makna kata rumitisasi adalah membuat sesuatu menjadi njelimet atau susah dipahami. Saya menulis kata “rumitisasi” bukan dari kamus bahasa manapun. Saya asal-asalan karena bingung memikirkan lawan kata dari simplifikasi itu apa hehe. Dari berbagai literatur yang saya baca kok belum menemukan lawan kata yang pas dari kata simplifikasi, sehingga mendorong saya memformulasikan kata “rumitisasi” dalam tulisan ini. Barangkali hal ini dikarenakan jarang ada orang yang ingin sesuatu menjadi rumit atau njelimet, dan pasti inginnya yang sederhana atau mudah-mudah saja (Mungkin para ahli bahasa bisa membantu hehe).
Ayyuha al-Ikhwah, pada tataran realitas, rumitisasi acapkali dipraktekkan oleh para intelektual kita. Dengan uraian yang rumit dan berbelok-belok, mereka menjelaskan konsep yang tertanam dalam pikiran mengenai “sesuatu”. Banyak pendapat dari para ahli pun dikutip guna mengukuhkan pandangan yang diuraikan. Seabrek referensi juga menyertai dimanapun dan kemanapun ia berbicara. Mereka tidak mau memberikan informasi atau pengetahuan setengah-setengah atau juga hanya pada tataran “bungkusnya” saja, akan tetapi melaju pada kajian “isi” juga sehingga “sesuatu” itu bisa utuh atau komprehensif.
Adapun simplifikasi biasanya dilaksanakan oleh para kyai atau ulama yang berdakwah di sekitar kita. Dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti, mereka menjelaskan perihal ajaran agama dengan tutur kata yang gampang dipahami oleh logika orang awam. Anekdot-anekdot lucu pun lazimnya menyertai ajaran-ajaran yang mereka sampaikan. Tujuannya cuma satu, yakni audiens dapat memahami dengan mudah dan akhirnya mengamalkan apa yang diutarakan. Inilah barangkali manifestasi sabda Nabi Muhammad saw. yang sudah sedikit saya singgung dalam tulisan saya sebelumnya “Yassiruu wa laa tu’assiruu, basysyiruu wa laa tunaffiruu”, yang kalau bagi saya makna yang paling enak di telinga dan pas di hati ya seperti perkataan Gus Dur “Gitu aja kok repot”  hehe..
Bagi saya, kedua metode ini penting, sebab keduanya menjadi sarana sampainya “pesan” pada audiens. Saat berbicara dalam forum intelektual, media yang digunakan tentunya adalah rumitisasi, sedangkan apabila berada dalam masyarakat awam maka media yang dipakai ya simplifikasi. Seseorang harus melalui dua tahapan ini. Kurang tepat jika cuma mengambil salah satu media dan meninggalkan media yang lain. Artinya, dua tahapan, baik simplifikasi maupun rumitisasi ini harus kita lalui, supaya bisa menenangkan diri sendiri dan juga masyarakat.
 Misalnya saja, apabila kita hanya sampai pada media rumitisasi, maka bisa berakibat “fatwa-fatwa”nya kurang bisa dimengerti oleh masyarakat awam. Mereka hanya bisa bengong bin melongo saat melihat dan mendengarkan pendapat-pendapat yang kita kemukakan. Bahkan barangkali masyarakat awam hanya membuka satu mata seperti gaya “Apaan tu”nya Bung Jaja Miharja sambil garuk-garuk kepala hehe.. Kemudian, ketika yang digunakan hanya simplifikasi saja maka kita bisa kurang dihargai dalam forum-forum intelektual, yang membutuhkan perangkat analisis-analisis ilmiah dan pembacaan terhadap literatur yang kuat. “Siapa sich dia? Ngomongnya cuma hal-hal yang dasar banget, logikanya sederhana, kurang membaca berbagai buku.”
Yang lebih parah lagi, kita yang hanya mau yang simpel-simpel saja dan enggan pada yang rumit-rumit terkadang bisa “kebelinger”. Kok bisa kebelinger?? Coba kita pikir, misalnya bilamana kita hanya ingin yang bungkus-bungkus saja, dan enggan maju pada tahapan selanjutnya yang lebih mendalam bisa berakibat dirinya gampang truth claim, mengklaim diri sebagai orang yang paling benar dan mengindahkan pendapat yang berbeda. Maksud saya di sini misalnya adalah orang yang hanya sampai pada “al-Qur’an” dan enggan masuk pada wilayah “tafsir al-Qur’an,” maka bisa jadi berakibat negatif. Apa yang menjadi “ wujud pembacaannya” pada al-Qur’an dianggap benar, dan yang menyalahi pembacaannya dianggap salah. Dunia layaknya hanya punya dua warna, kalau tidak putih ya hitam. Yang sesuai dengan “wujud pembacaannya” berwarna putih dan yang tidak sesuai berwarna hitam. Wah, kurang asyik kalau cuma dua warna saja dulur, pelangi saja ada banyak sekali warnanya kok hehe.. Makanya dari hal ini penting ya kita sedikit merundukkan kepala guna melihat tafsir al-Qur’an dan tidak melulu al-Qur’annya. Muhammad Husain al-Dzahabi dalam Tafsir wa al-Mufassirun menyebutkan sebuah keyword tafsir yang sangat luar biasa, yakni “biqadri thaaqah al-basyariyah” (sesuai dengan kadar kemampuan manusia).
Poro dulur kabeh, sepertinya tingkah laku yang pas adalah dengan melalui dua media penyampai pesan ini. Pertama, ia bergelut dalam dunia rumitisasi, sehingga ia mengenal berbagai pendapat terkait objek yang dikajinya. Kedua, setelah puas dengan dunia rumitisasi ia beralih pada dunia simplifikasi agar menenangkan hati masyarakat, tapi dengan tidak meninggalkan wacana rumitisasinya. Nah, dengan kolaborasi dua media ini, maka akan didapatkan manusia yang luas dalam hal wacana, mudah dalam menyampaikan pesan pada masyarakat, dan menjadi orang yang tidak suka melakukan truth claim, sebab hanya Allah yang Maha Benar, manusia hanya berijtihad. Dia (orang) sadar akan keterbatasannya. Barangkali inilah yang disebut sebagai intelektual + kyai, atau kyai + intelektual, dan bukan hanya berbicara mengenai aspek religiusitas dan intelektualitas semata.
(Tapi eitz, jangan menganggap saya sudah melalui dua tahapan ini ya, sebab saya bukan intelektual apalagi seorang kyai. Tidak ada yang namanya Kyai Benny, Gus Benny, la wong Ustadz Benny saja membuat telinga jadi gatal barangkali hehe. Saya masih berproses. Saya kira banyak dari sampeyan-sampeyan semua yang berproses sama seperti saya. Mari sama-sama berdoa dan berikhtiar.) 
Ada empat tipe manusia sebagaimana kata Imam Khalil bin Ahmad yang dikutip al-Ghazzali dalam Ihya Ulumiddin “(1) rojulun yadrii wa yadrii annahu yadrii [+++], (2) rojulun  yadrii wa laa yadrii annahu yadrii [+-+], (3) rojulun laa yadrii wa yadrii annahu laa yadrii [-+-], (4) rojulun laa yadrii wa laa yadrii annahu laa yadrii [---]”. Saya kira tidak perlu diterjemahkan dan cukup dikasih rumus saja, karena kata kuncinya cuma satu kata yaitu “yadrii” dan sepertinya semuanya sudah tahu maknanya hehe.. Orang pertama adalah orang yang berilmu, yang harus diikuti; orang kedua merupakan orang yang tertidur dan harus dibangunkan; orang ketiga adalah orang yang perlu diberikan bimbingan dan pengajaran; dan orang keempat ialah orang yang “jahil” yang harus diwaspadai, seperti kata bang Napi “WASPDALAH WASPDALAH” hehe
Semoga kita menjadi orang tipe pertama, jika tidak bisa maka tipe yang kedua juga boleh, tapi jika tidak bisa lagi ya tipe yang ketiga juga tidak masalah, asalkan tidak jadi tipe yang keempat. Tapi supaya lebih “mancep di hati” sepertinya tipe ketiga lebih cocok untuk kita sebagai orang yang faqiir ilallaah ini.

Allahumma sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad


Tidak ada komentar:

Posting Komentar