Rabu, 23 Maret 2016

Menolak Kebenaran adalah Kesombongan?


Terdapat sebagian orang menyatakan logika seperti ini: “Kamu ini sudah saya beritahukan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi kok masih mengelak saja! Jangan kamu pakai pola pikir b*d’ah, l*beral, s*sat, dan sy*ah itu! Orang Islam patokannya cuma al-Qur’an dan Hadis shahih saja, bukan yang lain. Ulama tidak bisa diikuti jika bertentangan dengan ayat suci al-Qur’an dan Hadis shahih. Ulama itu hanya manusia yang bisa salah dan menuruti hawa nafsunya. Ingat ya, dalam sebuah hadis shahih, Rasulullah melarang kita berlaku sombong dan salah satu perilaku sombong adalah dengan menolak kebenaran (bathor al-haqq). Dalam hadis ini juga dikatakan oleh Nabi bahwa orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan meskipun sangat kecil sekali, maka tidak bisa masuk surga. Sementara kamu sekarang telah menolak kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya yang berarti sombong. Apakah kamu tidak takut, tidak bisa masuk surga? Maka kembalilah pada cuma kepada Allah dan Rasul-Nya ”
 Sejenak menyimak logika seperti ini, orang akan hanyut dalam perkataan orang yang menyatakannya. Sepertinya tidak ada yang salah dengan kata-kata ini. Sumber umat Islam ya cuma al-Qur’an dan Hadis shahih saja, bukan yang lain. Ini memang ada benarnya. Kalau ada yang melanggar ketentuan dari ayat al-Qur’an maupun Hadis Nabi ya tidak usah diikuti, dan apabila masih “ngeyel” untuk mengikuti hal tersebut maka kita telah menolak kebenaran. Ini juga barangkali betul. Nah, Apabila kita menolak kebenaran, maka kita termasuk orang yang sombong. Lantas, ketika kita termasuk orang yang sombong, maka kita tidak bisa mencicipi keindahan surga. Ini juga boleh jadi betul. (Logika ini mengikuti pola pikir sebagian orang lo ya, yang sebenarnya masing-masing masih perlu diperinci lagi sebab ada kajianya tersendiri dan tidak mesti pemahamannya harus seperti itu).
Hadis yang berbicara tentang menolak kebenaran merupakan bagian dari kesombongan salah satunya ada dalam shahih Muslim. Berikut redaksi hadisnya:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Deskripsi secara singkat mengenai hadis ini adalah, dijelaskan oleh Nabi bahwa yang namanya sombong adalah orang yang “menolak kebenaran” (bathar al-haqq) dan “menghinakan/meremehkan manusia” (ghomth al-nas). Penjelasan langsung dari Nabi ini muncul setelah terdapat kasus orang yang memakai pakaian dan sandal yang bagus dan barangkali dirasa termasuk kategori kesombongan. Namun, ternyata hal itu tidaklah mengapa dan bukan termasuk kategori sombong, karena sabda Nabi “Innallaaha jamiil yuhibbu al-jamaal.” Di awal hadis sendiri dinyatakan bahwa tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan, meskipun hanya kecil sekali (laa yadkhul al-jannah man kaana fii qolbihi mitsqaala dzarratin min kibrin).
Kalimat “Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan sekecil apapun” memang memantik kontroversi dan membuat banyak pikiran bertanya-tanya, bagaimana bisa rasa kesombongan meskipun hanya kecil sekali, bisa membuat orang tidak dapat masuk surga? Siapa sich orang yang tidak pernah merasa sombong di hatinya? Belum lagi apabila melihat hadis-hadis lainnya yang berbicara seputar bagaimana cara yang ditempuh supaya masuk surga dan menghindari neraka. Salah seorang ulama, al-Khattabi pun sampai menyebutkan dua alternatif “takwil” untuk mengatasi permasalahan yang mendera matan hadis ini. Belum lagi melihat pemahaman ulama klasik lainnya, seperti Qadhi Iyad dan banyak ulama lainnya untuk mengatasi problem interpretasi dalam hadis mengenai kesombongan ini, sebagaimana dilansir oleh Imam al-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim.
Meskipun demikian, ngobrol santai sambil ngopi ini tidak untuk membahas problematika itu, tetapi lebih difokuskan pada frase yang bergaris bawah, yaitu “Bathor al-Haqq”, menolak atau tidak menerima kebenaran. Penjelaskan ini penting agar tidak terjadi “fitnah” di masyarakat terkait dengan kebenaran itu sendiri. Jangan sampai kata “kebenaran” disalahgunakan hingga membuat ia merana dan kebingungan hendak mau kemana hehe.. Menurut pengamatan sekilas saya, kata ini acapkali dipakai sebagai “senjata” dalam “menghabisi” lawan-lawan keagamaannya, sebagaimana ditunjukkan dalam paragraf pertama.
Poro dulur, yang perlu dipahami adalah bahwa Islam memang satu, tetapi wujud pemahamannya sangat beragam di kalangan umat Islam. Jangan coba-coba kita mempelajari Islam apabila tidak paham dan meyakini adanya hal tersebut. Sebab, bisa jadi kita akan tersesat dengan kepercayaan diri sebagai golongan yang paling Islam dan masuk surga sendirian, yang lain tidak. Jelas ini kurang tepat, karena surga itu luas, masak lahan surga yang luas itu nganggur dan tidak digunakan? Hehe Untuk berbagai wujud pemahaman yang ada dalam khazanah keislaman, saya kira tidak perlu diurutkan satu persatu, terlalu menyita waktu. Langsung saja pada apa yang terjadi di masyarakat.
 Saya ambil contoh mengenai qunut pada waktu shalat subuh. Bagi sebagian orang, yang namanya qunut pada waktu shalat subuh itu tidak ada, sebab tidak ditemukan hadis shahih yang berbicara mengenai eksistensi qunut subuh. Jika ingin mengikuti Imam Syafi’i, seharusnya ikutilah perkataannya “idzaa shahha al-hadiitsu fahuwa madzhabii” (tatkala hadis itu shahih maka itulah madzhab saya), dan bukan dengan qunut pada waktu shalat subuh sebab sudah jelas hadisnya dhoif. Masak kita mau mengikuti hadis dhaif??? Yang dapat jadi pegangan ya qunut nazilah (ketika ada musibah atau bencana), sebab hadisnya terbukti shahih (Ini bukan berarti menafikan kajian mengenai qunut-qunut yang lain lo, seperti qunut pada witir bulan ramadhan misalnya, tapi hanya sekedar mengkonfrontasikan qunut subuh dengan qunut nazilah saja).
 Bagi saya yang awam ini, tidak ada masalah dengan pendapat itu, sebab itulah ijtihad. Para Imam madzhab saja sudah berbeda pendapat, Imam Hanafi dan Imam Hanbali tidak mengenal qunut pada waktu subuh, sementara Imam Maliki dan Imam Syafi’i meyakini ada qunut pada shalat subuh, bedanya kalau Imam Maliki sebelum ruku tapi Imam Syafi’i setelah ruku/i’tidal. Namun barangkali yang membuat telinga gatal, atau mata menjadi berkunang-kunang adalah tatkala konsep kesombongan dikait-kaitkan dengan pendapat ini dengan menolak kebenaran sebagaimana kata hadis yang tertera dalam Shahih Muslim. Wah, susah kalau seperti itu.
Bagi Imam Syafi’i sebagai Ulama yang hidup berdekatan dengan masa Nabi hadis qunut subuh itu shahih, buktinya jadi sandaran pendapat beliau mengenai adanya qunut subuh. Perkataan Imam Syafi’i jangan dikutip sebagai landasan pendapat larangan qunut subuh, sebab maksudnya adalah hadis-hadis yang digunakan oleh Imam Syafi’i adalah hadis-hadis yang shahih saja, yang dhoif tidak dipakai. Lagipula hadis tersebut ada dalam Mustadrak ‘ala al-Shahihain karya Imam al-Hakim al-Naysaburi, yang menyaring hadis-hadis yang sesuai dengan kualifikasi yang dicanangkan oleh al-Bukhari maupun Muslim tetapi tidak dihimpun oleh mereka. Imam Syafi’i lebih hebat, sebab memakai ushul fiqih juga hingga sampai pada kesimpulan adanya qunut subuh. Huft, saya kira sudah cukup di sini saja, sebab malah jadi kajian fiqih yang memeras pikiran dan tenaga hehe..
 Contoh lain yang sangat aktual sampai barangkali kita bosan untuk mendengarkannya kembali, lo?? (maksudnya sangat aktual hingga banyak dijadikan contoh dan akibatnya orang bosan untuk mendengarkan hehe), yakni masalah isbal (memanjangkan sarung atau celana melebihi mata kaki). Bagi sebagian orang, larangan isbal dalam Islam harus dilakukan dengan memotong celana di atas mata kaki. Ini demi mematuhi banyak hadis Nabi yang melarang adanya isbal. Jika celana tidak dipotong maka kita sudah tidak melanggar perintah Nabi. Praktik ini berdasar hadis-hadis Nabi yang shahih tentang larangan isbal. Menurut saya, memotong celana adalah tindakan bagus dan memberikan manfaat untuk orang lain, sebab paling tidak akan menguntungkan tukang jahit karena bisa dapat menambah penghasilan mereka hehe..
Sama seperti masalah qunut dulur. Monggo kalau ingin memotong celananya sehingga tidak sampai menjulur melebihi mata kaki. Tidak ada masalah (no problemo). Style penampilan kan seseorang terserah bagaimana orang yang bersangkutan, mau dibuat seperti apapun adalah menjadi haknya. Namun sekali lagi, yang menjadikan telinga gatal, atau mata menjadi berkunang-kunang adalah ketika konsep kesombongan dengan menolak kebenaran perintah-perintah Nabi Muhammad saw. dikait-kaitkan dengan masalah ini, dan pada akhirnya tidak bisa masuk surga. Wah,,,, susah-susah.
Masalah isbal itu masalah khilafiyah, yang terdapat beberapa pendapat atasnya. Kita tidak bisa menyingkirkan begitu saja adanya pendapat bahwa isbal diperbolehkan asalkan tidak “sombong” (Nah, sombong lagi hehe). Hadis-hadis yang dijadikan sandaran oleh pendapat ini pun secara jelas menunjukkan illatnya adalah kesombongan. Bahkan, Rasulullah tidak mempermasalahkan perilaku Abu Bakar yang menjulurkan sarungnya melebihi mata kaki, sebab ia tidak termasuk orang yang sombong dan terbiasa memakai tipe pakaian seperti itu. Apabila memang demikian, ketika kita berada dalam situasi dan kondisi seperti sekarang yang orang menjulurkan celana atau sarung melebihi mata kaki dengan tidak ada kesombongan ya tidak apa-apa dong? Jangan-jangan malah orang yang memotong celana ada niat “kesombongan” di hatinya sebagai orang yang paling benar, paling suci, paling nyunnah, dan paling-paling yang lain.
 Dulur, inti dari pembahasan-pembahasan di atas adalah, kata “kebenaran” janganlah ditarik-tarik, sebab ia mempunyai tempat sendiri. Jika masih dipaksa juga, maka nanti ia bisa sobek atau juga patah (hehe). Biarkan kebenaran berada di tempatnya sendiri ketika persoalan yang diangkat adalah masalah khilafiyah, yang masing-masing orang memiliki rancangan pendapat sendiri-sendiri. Hal seperti ini membutuhkan sedikit penurunan dari gaya berpikir “al-Qur’an dan Hadis” pada gaya berpikir “Tafsir al-Qur’an dan Syarah Hadis.” Kalau kita tidak mau turun-turun dan masih ngotot pada gaya pemikiran “al-Qur’an dan Hadis”, maka bisa jadi mengakibatkan kita seakan berada di tempat yang tinggi terus sehingga memandang orang lain yang tidak seperti keyakinan atau pemahaman kita itu rendah dan akhirnya mereka salah, b*d’ah, s*sat, l*beral, sy*ah, dan segenap hardikan-hardikan yang kurang etis lainnya.
Kata “kebenaran” barangkali akan lebih bijaksana jika digunakan dalam konteks suatu ajaran yang sudah menjadi ijma (konsensus), yang tidak ada perdebatan lagi. Bisa juga diterapkan dalam masalah akhlak (moralitas), yang sebenarnya lebih universal, misalnya saja seperti larangan berbohong, larangan melakukan fitnah, larangan mengadu domba, dan perintah berbuat baik pada orang lain. Itu saya kira lebih enak dan pas dipakai sebagai tempat “mangkal” kebenaran daripada ditarik-tarik pada persoalan khilafiyah yang tidak ada ujungnya. Janganlah karena sensitifitas atau truth claim akan pendapat diri sendiri, sehingga menghalalkan untuk memfitnah orang lain dengan fitnah yang sangat keji dan tidak pantas. Demi membela “kebenaran semu”, seseorang kemudian menerobos rambu-rambu dari “kebenaran hakiki.” Na’udzu billahi min dzaalik. Wallahu a’lam.

Allahumma sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad

NB: Tulisan santai sambil ngopi ini hanya “tafsiran” atas fenomena yang terjadi di lingkungan kita sekarang ini, sehingga beberapa bagian merupakan penafsiran individu penulis atas beberapa kejadian tertentu.  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar