Selasa, 29 Maret 2016

AADK: Ada Apa Dengan Khilafah?



Poro dulur sekalian, pada suatu pagi yang sangat indah saya mendapatkan “sarapan gratis” dari dua orang mahasiswi (ingat, pake ‘i’ ya hehe) pengikut organisasi yang sangat getol memperjuangkan khilafah. Dalam “sarapan gratis” tersebut tertulis bahwa syariah dan khilafah mewujudkan Islam Rahmatan lil Alamin. Ada juga tulisan mengenai delapan kemaslahatan ketika syariah dan khilafah diterapkan secara kaffah. Pertama, terpeliharanya agama (hifdh ad-din), yakni negara akan menjamin hak beragama tiap rakyatnya dan khususnya menjaga keutuhan aqidah umat Islam dengan menerapkan hukuman yang tegas pada muslim yang murtad dan menistakan agama. Kedua, terpeliharanya jiwa (hifdh an-nasl), yaitu negara menjamin keamanan jiwa setiap warganya, dan jika terjadi pelanggaran maka hukumannya bisa berupa diyat atau qishash. Ketiga, terpeliharanya akal (hifdh al-‘aql), yakni negara menjaga akal setiap warganya dengan mengharamkan, memproduksi, mengkonsumsi, mendistribusikan segala yang merusak akal manusia seperti khamer, narkoba, dan seterusnya. Keempat, terpeliharanya harta (hifdh al-mal), yaitu negara menjaga harta setiap warga negara dan menghukum siapapun yang melanggar hak orang lain dengan hukuman potong tangan dan takzir. Kelima, terpeliharanya keturunan (hifdh an-nasl), yaitu negara menjaga keturunan tiap warganya dengan mengharamkan zina, sodomi, dan homoseksual (lesbian, gay) dan memerintahkan pernikahan. Jika dilanggar, maka sanksinya bisa berupa dicambuk atau dibunuh. Keenam, terpeliharanya kehormatan (hifdh al-karamah), yakni negara menjamin kehormatan tiap warganya agar tidak sembarangan dalam menuduh seseorang berbuat kejahatan, kecuali dengan bukti, jika prinsip ini dilanggar maka sanksinya bisa berupa had atau takzir. Ketujuh, terpeliharanya keamanan (hifdh al-amin), yaitu negara menjamin keamanan individu, masyarakat, dan negara dari segala bentuk teror, intimidasi, dan begal, pelakunya akan dikenai sanksi yang keras. Kedelapan, terpeliharanya negara (hifdh ad-daulah), yakni negara menjaga kedaulatan dan stabilitas keamanan dalam negeri dengan mengharamkan pemberontakan dan upaya untuk memisahkan diri dari wilayah, pelakunya pun akan dikenai sanksi yang keras.
Saudara-saudara yang dirahmati oleh Allah swt. Bagi saya yang notabenenya adalah orang awam ini, kiranya ada beberapa catatan yang harus dicermati terkait dengan fenomena pegiat khilafah:
Pertama, saya banyak melihat aktivis atau pegiat khilafah yang turun di lapangan berasal dari kaum feminis ketimbang kaum maskulin, seperti cerita yang saya uraikan dalam penuturan sebelumnya. Hal ini sangat menarik, sebab seakan-akan wanita menjadi “maskot” dalam kampanye khilafah. Diakui atau tidak, wanita memang mempunyai daya tarik lebih, sehingga eksistensinya lebih bisa dimanfaatkan dalam mengkampanyekan sesuatu. Dalam berbagai iklan di televisi atau pameran mobil misalnya, wanita acapkali menjadi media “pemanis” sekaligus “penarik” customer untuk membeli barang yang ditawarkan. Tanpa adanya wanita, maka barang yang ditawarkan dirasa hambar dan tidak dapat memikat pelanggan. Dalam hal ini, saya tidak mengatakan bahwa para pegiat atau aktivis khilafah dari kalangan wanita sengaja dipasang untuk tujuan itu, sebab takut dinilai merendahkan harkat dan martabat mereka. La wong ketika berkumpul dengan lawan jenis di suatu forum saja harus menjaga jarak, masak meraka dijadikan “penarik” atau “pemanis” khilafah, wah nanti saya dikira melakukan pelecehan dong hehe. Namun yang jelas, fenomena yang tampak oleh mata manusia sedikit mendorong pikiran ke arah itu.
Kedua, slogan yang diambil dari ayat al-Qur’an, yakni Islam Rahmatan lil Alamin sekarang menjadi klaim berbagai golongan. Secara mayoritas, slogan ini acapkali disemboyankan oleh organisasi moderat yang ada di Indonesia (NU dan Muhammadiyah) guna menggaungkan Islam yang menentramkan hati semua umat manusia dan seluruh alam semesta. Bagi mereka, sesuai dengan pengamatan saya, Islam Rahmatan lil Alamin dimanifestasikan dengan menerima NKRI dan menerima perbedaan dengan lapang dada. Tidak seperti apa yang tengah terjadi Timur Tengah, terutama Syiria dan Iraq dengan menunculan ISIS yang juga sebenarnya ingin mewujudkan khilafah dengan khalifahnya yang bernama Abu Bakar al-Baghdadi. Sementara itu, dalam konteks organisasi yang getol menyuarakan khilafah, seperti tergambarkan dalam kampanye sebelumnya, Islam Rahmatan lil Alamin diwujudkan dengan penerapan syariah dan khilafah. Dengan kolaborasi syariah dan khilafah sekaligus diproyeksikan muncul Islam yang menjadi rahmat bagi sekalian alam. Dari sini dipahami bahwa terjadi tarik-menarik slogan Islam Rahmatan lil Alamin antara satu kubu dengan kubu lainnya. Saya cuma berdoa, semoga Islam Rahmatan lil Alamin tetap tegar dan tidak bengkok karena aksi tarik-menarik itu hehe.. Masing-masing pemikiran memiliki karakteristik sendiri-sendiri, misalnya saja pada kemaslahatan pertama mengenai penjaminan hak beragama dan penjagaan terhadap aqidah umat Islam dikatakan bahwa diterapkan hukuman yang tegas pada muslim yang murtad. Mayoritas ulama fiqih menyatakan bahwa orang yang murtad (pindah agama dari Islam ke agama yang lain) harus dibunuh berdasar pada tekstualitas hadis Ibnu Abbas “man baddala dinahu faqtuluhu” (barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah). Sepertinya inilah yang dimaksud dengan “hukuman tegas pada muslim yang murtad” ala organisasi yang menyuarakan khilafah ini meskipun tidak secara eksplisit disebutkan. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam konteks beragama di Indonesia yang multi-agama adalah, jika orang yang pindah agama dari non-Islam ke Islam tidak dibunuh, sedangkan pnidah agama dari Islam ke non-Islam dibunuh, apakah nantinya tidak menyebabkan gerakan pemberontakan dari agama non-Islam? Kemudian di mana letak hak beragama masing-masing individu kalau memang harus seperti itu? Sudah pahamkah kita yang awam ini terhadap kajian fiqih dan berbagai perdebatannya? Atau jangan-jangan kita membaca al-Qur’an saja masih banyak kesalahan? Naudzubillah min dzalik.
Ketiga, saya melihat kampanye khilafah di atas sedikit menarik, sebab menggunakan teori maslahat berupa al-dharuriyat al-khamsah dalam maqhashid al-syari’ah ditambah dengan beberapa tambahan maslahat lainnya. Meskipun ini merupakan pembahasan yang lumrah ada dalam fiqih, tetapi hal ini sangat bagus sebagai penambah pengetahuan tentang khilafah. Namun, alangkah lebih baiknya pengetahuan itu dilengkapi dengan teori maslahat yang berasal dari realitas (waqi), Artinya, kemasalahatan ini tidak semata-mata bersumber pada teks (deduktif), tetapi terinspirasi juga dari realitas (induktif). Untuk melihat apakah yang hendak diterapkan menjadi maslahat apa tidak, perlu dilihat bagaimana kondisi masyarakatnya, sebab agama diturunkan bukan untuk Tuhan, tetapi untuk manusia sebagai hamba Tuhan, jadi manusia harus diperhatikan dalam proses beragama.  
Keempat, Saya rasa para aktivis yang mayoritas adalah mahasiswa terlalu terpana pada teori dan kurang melihat pada praktek atau realitasnya. Dalam kata lain, mereka hanya getol berada pada wilayah idealitas dan tidak dibarengi dengan pengamatan akan realitas yang mumpuni. Ketika berbicara tentang khilafah kita juga harus melihat bagaimana sejarah khilafah itu sendiri dari masa ke masa, sehingga tidak menjadi orang hanya mampu berbicara teori-teori semata, tapi prakteknya nihil. Dulur, kita lihat bagaimana wujud khilafah yang ada pada masa lalu penuh dengan pertikaian yang membuat air mata mengalir deras, misalnya bagaimana munculnya khilafah Umawiyah yang harus (mohon maaf) “mengibuli” Abu Musa al-Asy’ari dalam peristiwa tahkim (arbitrase), melakukan pengkhianatan terhadap perjanjian dengan al-Hasan, membantai al-Husain dengan sadis di tanah Karbala, hilangnya nyawa manusia dalam berbagai perang dengan sia-sia. Belum lagi apabila melihat kemunculan khilafah dinasti Abbasiyah yang membantai habis seluruh keturunan dinasti Umayyah kecuali Abdurrahman al-Dakhil yang lari ke Andalusia. Tipu-menipu dan juga bunuh-membunuh seakan menjadi hal yang lumrah untuk memperoleh kekuasaan yang diidam-idamkan dalam khilafah. Sudahkah kita membaca sejarah itu kawan?   
Kelima, kita sebaiknya jangan menawarkan sesuatu yang belum jelas wujudnya, terlebih lagi hendak mengganti sesuatu yang sudah “paten” dengan yang masih “remang-remang.” Maksud saya, apakah kita mau mengganti konsep pancasila negara kita yang sudah paten ini dengan khilafah yang sebenarnya masih remang-remang itu? Coba lihat misalnya sistem penggantian khalifah yang ada dalam sejarah peradaban Islam yang berbeda-beda. Abu Bakar dipilih dengan cara musyawarah (meskipun Bani Hasyim sedang mengurus pemakaman Nabi); Umar dipilih dengan cara penunjukan  Abu Bakar secara langsung; Usman dipilih berdasarkan voting beberapa orang (perwakilan) yang telah ditunjuk oleh Umar sebelumnya; Ali dipilih dengan musyawarah; Bani Umayyah dan Abbasiyah menganut sistem monarchi. Nah, lantas bagaimana cara yang ditempuh oleh khilafah yang ditawarkan oleh organisasi ini? Negara itu bukan barang mainan yang bisa diubah-ubah seenaknya. Ia tidak bisa dirubah secara sembarangan, terlebih lagi dengan sesuatu yang belum jelas. Jika nekat dilakukan juga, bukan maslahat yang didapatkan, tapi malah madharat atau bahkan kehancuran. Perjelas diri dulu dong, jangan yang abstrak-abstrak terus, kalau perlu diikutkan pemilu biar tahu elektabilitasnya (meski katanya haram karena demokrasi haram hehe). Ikhwah, kita harus ingat perjuangan para pahlawan dulu yang mati-matian dengan jiwa dan raga mereka demi kemerdekaan negara kita dan akhirnya memunculkan konsep NKRI seperti sekarang. Kita ini sudah enak sekali, tidak usah berperang dan tinggal menikmati jerih payah para pendahulu kita itu saja. Masak kita yang tidak ikut berjuang malah berperilaku seperti anak kecil yang ingin mengganti hal yang sudah paten dengan yang masih remang-remang dengan alasan yang juga mirip pemikiran anak kecil bahwa Indonesia milik Allah?  
Keenam, khilafah Islam merupakan ide yang sangat utopis, mustahil bisa terjadi. Sekarang negara-negara Islam telah terpecah-pecah menjadi banyak negara (nation state), yang masing-masing mempunyai idealitas sendiri-sendiri. Masing-masing bangsa telah membangun karakter mereka berdasarkan budaya yang dimilikinya. Pertanyaannya, apakah semua negara itu bisa disatukan dalam satu pemerintahan? Saya rasa itu hanya jadi mimpi di siang bolong, atau dalam istilah ilmu nahwunya adalah ‘tamanni” dan bukan “tarajji.” Satu masalah besar jika itu memang benar-benar terjadi adalah, SIAPA yang berhak menjadi khalifah?? Niscaya darah akan banyak bercucuran untuk itu bahkan lautan darah barangkali akan terbentuk sebagaimana terjadi pada masa lalu. Banyak orang Timur Tengah dan sekelumit orang Indonesia yang tidak bisa berpikir “dewasa” hingga mengakibatkan konflik berkepanjangan seperti terjadi sekarang ini. Apa kita tidak merasa cukup dengan demokrasi yang aman-aman saja seperti sekarang ini dan pancasila yang menyatukan semua perbedaan, tanpa adanya bunuh-membunuh seperti yang terjadi pada masa lalu? Belum lagi bila dikaitkan dengan disintegrasi yang terjadi. Bohong kalau dengan khilafah maka negara bisa menjaga kedaulatan dan stabilitas keamanan dalam negeri (maslahat 8). Semua tergantung cara kepemimpinannya dan bukan khilafahnya itu sendiri. Coba lihat bagaimana khilafah Ottoman (Turki Usmani) tidak bisa menghalau gerakan pemberontakan wahabi pada abad kedepalan belas yang kemudian menjadi negara Saudi Arabia. Dalam hal ini, khilafah tidak mampu melawan pemberontak wahabi dengan bantuan pihak Barat, sampai akhirnya khilafah Ottoman harus menjadi periode khilafah terakhir dalam sejarah peradaban Islam. Wah, kalau diteruskan kok malah jadi HT* versus Salaf* gini ya hehe..
Saya rasa cukup enam poin saja catatan dari saya, karena sudah terasa sangat panjang untuk menjadi obrolan santae sembari menemani minum kopi. Mohon maaf jika uraian saya menyinggung sampeyn-sampeyan yang doyan khilafah. Seharusnya sampayan berterima kasih pada saya karena sudah “mengkiklankan” khilafah dalam paragraf pertama, meskipun harus saya berikan catatan-catatan. Setuju atau tidak setuju dengan khilafah itu merupakan hak masing-masing orang. Namun yang jelas, ketika melihat “sesuatu” janganlah kita hanya berhenti pada tataran “bungkusnya” saja, tanpa melaju pada tahapan yang lebih dalam. Yang kita makan itu bukan bungkus, tapi isinya. Bungkus memang penting tetapi jauh lebih penting dari itu semua adalah isi yang merupakan subtansi dari apa yang ditawarkan oleh “sesuatu” itu.
Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad dalam Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan hakikat syariat lebih diutamakan daripada ilmu yang hanya berhubungan dengan lahiriyahnya saja, maksudnya ilmu fiqih saja tidak cukup dan harus disempurnakan dengan ilmu yang lebih utama, yakni ilmu tasawuf. Begitu pula dalam berpikir, pemikiran akan bungkus itu selayaknya diketahui sebagai pengetahuan awal, tetapi yang lebih penting daripada bungkus itu adalah isinya.Isi tersebut hanya bisa ditelaah dengan pemikiran yang mendalam mengenai “sesuatu” dengan mempertimbangkan berbagai macam hal yang terkait dengan “sesuatu” itu sendiri. Dengan demikian, cara berpikir kita tidak menjadi cara berpikir yang parsial, setengah-setengah, atau tidak komprehensif. Wallahu a’lam.

Allahumma sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar