Rabu, 30 Maret 2016

Pilih yang Tengah-Tengah saja, Kenapa Tidak?




Orang NU terkadang hanya ikut-ikutan saja tradisi yang ada di dalamnya, tanpa tahu-menahu apa landasan dalil yang digunakan dan juga doktrin-doktrin yang ada di organisasi ini. Sikap seperti ini, apabila disertai dengan keyakinan bahwa tradisi dan doktrin di dalamnya merupakan ijtihad Ulama yang berkompeten dan punya dalil-dalil tersendiri barangkali tidak akan memunculkan masalah. Namun, akan menjadi problem tersendiri jika kita hanya manut tanpa diiringi dengan keyakinan tersebut. Akibatnya, ketika kita berada dalam situasi dan tempat yang berisikan orang-orang yang menghina NU dan juga tradisi-tradisinya lengkap dengan kutipan ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis, maka bisa jadi kita berpaling dari apa yang sudah dijalankan NU dan berbalik menghina ataupun membid'ahkan/menyesatkan apa yang biasa kita lakukan itu.
Saya sadari barangkali itulah yang namanya kehidupan. Perubahan selalu ada. Segala hal yang muncul di dunia ini pasti akan berubah, dan yang tidak bisa berubah hanya satu yakni perubahan itu sendiri. Namun, alangkah lebih baiknya kita yang biasa "acuh tak acuh" atau sekedar "manut" pada tradisi-tradisi yang ada mengenal lebih dalam apa sebenarnya NU itu. Dengan demikian, sebelum masuk pada atmosfer yang "heterogen" atau "panas", kita sudah paham dengan pola pikir dan dalil-dalil yang digunakan. Saya mengamati banyak orang yang tadinya NU, lantas setelah berada di kalangan para penghujat NU kemudian keluar dan menghujat balik organisasi ini biasanya belum paham secara mendetail apa sebenarnya NU itu.
Nahdhotul Ulama dalam berteologi mengikuti dua orang Ulama hebat, yakni Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi; dalam bidang yurisprudensi Islam (fiqih) mengikuti empat madzhab fiqih Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal; dalam bidang tasawuf mengikuti Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazzali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Inilah formulasi pandangan yang ada dalam tubuh NU. Tapi pada tataran realitasnya, NU secara mayoritas menganut Imam Abu Hasan al-Asy'ari dalam teologi, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi'i dalam bidang fiqih, dan Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazzali dalam bidang tasawuf. Ketiga Ulama ini disebut oleh banyak Ulama, salah satunya adalah Ibnu Asakir sebagai Mujaddid (peng-update) agama, sebagaimana sabda Nabi yang menyatakan bahwa dalam penghujung (ra'sun) seratus tahun akan muncul orang yang "meng-update" (man yujaddidu) agamanya. Adapun Mujaddid-Mujaddidnya, pada abad pertama adalah Umar bin Abdul Aziz; abad kedua adalah Imam al-Syafi'i, abad ketiga ialah Imam Abu Hasan al-Asy'ari, abad keempat adalah Imam al-Baqillani, dan abad kelima adalah Imam al-Ghazzali. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa NU mengikuti para mujaddid pada abad kedua, ketiga, dan kelima.
Apa sebagai orang NU sudah tahu bagaimana pemikiran masing-masing Ulama itu? Perlu banyak waktu apabila harus menelaah karya masing-masing Ulama. La wong baca beberapa lembar kitab aja buat mata berkunang-kunang (hehe). Paling banter kita sebagai generasi sekarang hanya mengandalkan KH. Google saja dan enggan membuka satu persatu karya para Ulama hebat tersebut. Mereka mempunyai banyak sekali karya, terutama Imam al-Ghazzali yang terkenal dengan gelar Hujah al-Islam. Meskipun demikian, hal yang paling mudah untuk dilakukan adalah dengan memahami petuah-petuah dan ajaran-ajaran para kyai dan ustadz yang dengan ikhlas mengajari kita yang awam ini di berbagai madrasah dan pondok pesantren. Mereka mengajari kita mulai dari aqidah sifat wajib dan mustahil Allah 20 dan 1 sifat jaiz dalam bidang akidah misalnya, berbagai produk fiqih Syafi'iyyah dalam bidang yurisprudensi Islam misalnya, lahiriyah ibadah oke tapi jangan lupa "isinya" (sah/tidak-diterima/tidak) dalam bidang tasawuf misalnya, dan berbagai ajaran yang lain. Para Kyai dan Ustadz mengajari kita produk pemikiran dan tidak merecoki dengan bagaimana produk pemikiran itu dapat dihasilkan. Mereka hanya ingin supaya kita dapat memahami dengan mudah ajaran-ajaran agama Islam, dan kemudian mengamalkan ajaran-ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari. 
Secara metodologis, cara atau metode yang ditempuh oleh ketiga Ulama itu adalah tawasuth, tawazun, tasamuh, dan i'tidal, yang sudah biasa didengar oleh orang-orang NU. Secara mudahnya, metode yang dianut oleh Imam  Abu Hasan al-Asy'ari, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi'i, dan Imam Abu Hamid al-Ghazzali prinsip moderasi (tengah-tengah). Imam Abu Hasan al-Asy’ari berhasil mempertemukan dan mempersatukan antara akal dan wahyu, antara qadariyah (free will) dan jabariyah (fatalism); Imam al-Syafi’i berhasil mengkolaborasikan antara teks dan rasio dengan wujud qiyas; Imam al-Ghazzali berhasil menggabungkan antara syariat dan hakikat. Jika dipahami, semua berpijak pada prinsip tengah-tengah, tidak ekstrem ke salah satu kubu. Inilah yang dimaksud dengan Ahlu Sunnah Wal Jamaah di kalangan Nahdhotul Ulama.
Menyikapi cara berpikir di atas, maka dalam beragama penting untuk memilih yang tengah-tengah saja, dan ini termanifestasikan dalam organisasi Nahdhotul Ulama. Mengikuti NU berarti mengikuti golongan yang berprinsip tengah-tengah. Pepatah mengatakan “Khoir al-Umuur Ausaathuhaa” (sebaik-baik sesuatu adalah yang tengah-tengah). Hal ini sangat logis karena yang tengah-tengah kan sesuatu yang paling enak (hehe). Oleh sebab itu, pilih yang tengah-tengah saja (NU), kenapa tidak?
Untuk masalah tradisi atau ritual, ya itu kembali pada konsep bid'ah yang saya kira sudah usang sekali dan terlalu menjemukkan kalau dibahas panjang lebar. Secara gampangnya, bid'ah ada dua, bid'ah hasanah dan bid'ah dholalah. Banyak Ulama yang berpendapat seperti ini seperti Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam al-Nawawi, Izzuddin Abdissalam, dan segenap Ulama top lainnya. Realitas yang ada pada masa Nabi dan sahabat menguatkan hal ini dengan munculnya beberapa perilaku bid’ah dan tidak menjadi masalah. Dikuatkan lagi dengan perkataan Umar bin Khattab secara eksplisit "Ni'mah al-Bid'ah hadzihi" (senikmat-nikmat bid’ah ya hal ini) setelah melaksanakan shalat tarawih berjamaah untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam. Ya sudahlah, bosen rasanya bahas bid’ah (hehe).

Allahumma sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar