Kamis, 31 Maret 2016

(Sebelum) Shalat Pake “Usholli”? Siapa Takut


Terdapat sebagian kalangan dari masyarakat kita yang menolak untuk melakukan verbalisasi (pelafadzan) niat dalam shalat yang terkenal dengan sebutan “Usholli.” Bagi mereka, niat itu berada dalam hati dan bukan dalam bentuk perkataan lisan. Jadi, niat shalat – dan ibadah-ibadah yang lainnya juga - seyogyanya tidak perlu diverbalkan, dan hanya cukup berada dalam hati manusia semata. Jika masih nekat diverbalkan, maka malah menjadi sesuatu yang bid’ah, tidak ada contohnya dari Nabi Muhammad saw.  
Jamak diketahui bahwa verbalisasi niat sendiri merupakan tradisi yang terbiasa dilakukan oleh kaum nahdhiyyin. Lazimnya sebelum shalat dimulai, warga NU – termasuk saya hehe - mengucapkan “Usholli” terlebih dahulu dengan mengikuti berbagai wujud shalat yang hendak dilaksanakan. Apakah itu shalat wajib atau sunnah, ditentukan di sini. Apabila shalat wajib, maka shalat apa yang hendak dilakukan pun ditentukan di sini pula, dan seterusnya. Meskipun demikian, warga NU tidaklah melupakan niat dalam hati ketika takbiratul ihram, sebab pada saat itulah (takbiratul ihram) sebenarnya yang merupakan kewajiban, sedangkan verbalisasi niat sebelum shalat hanya memiliki kandungan hukum sunnah.
Terkait dengan verbalisasi niat ini, saya jadi teringat dengan guyonan lama yang boleh jadi sangat populer. Dikatakan bahwa mengucapkan Usholli ketika shalat itu membatalkan shalat, “Shalat kok moco Usholli?” (loe?, tenang dulu ya). Ketika sedang shalat kita tidak boleh mengucapkan “Usholli” karena bacaan tersebut tidak ada dalam bacaan shalat kita. Yang namanya shalat itu membaca takbiratul ihram sebagai pembuka, doa iftitah, al-Fatihah, surat-surat pendek, dan bacaan-bacaan lain sampai akhirnya ditutup dengan bacaan salam. Tidak ada kata-kata Usolli di dalamnya. Namun, kalau membaca Usholli sebelum shalat, ya itu beda lagi kasusnya, “Kalau sebelum shalat membaca Usholli itu baru boleh.” Hal ini dapat dianalogikan seperti memakai kaos Golkar ketika shalat bisa membatalkan shalat, “Shalat kok nggawe kaos Golkar?” Kalau memakai kaos Golkar sebelum shalat dan kemudian baru melaksanakan shalat itu baru boleh (hehe).
Saya sadari bahwa niat dalam hati itu sangat penting karena memang  di situlah ia bersemayam. Bahkan dalam kajian fiqih disebutkan bahwa apabila terdapat seseorang yang hendak melakukan shalat asar, yang kemudian ia berniat dalam hati melakukan ibadah shalat asar, tetapi ternyata lisan mengucapkan shalat dzuhur, maka shalatnya tetap dianggap sah. Inilah salah satu keistimewaan hati. Dalam hadis riwayat al-Baihaqi dari sahabat Anas bin Malik ra. Disebutkan salah satu sabda Nabi “laa ‘amala liman laa niyyata lahu” (tidak ada amal ibadah bagi orang yang tidak menyertainya dengan niat). Namun, jangan juga meremehkan eksistensi lisan. Salah satu indera manusia ini juga punya keistimewaan sebagaimana hati. Misalnya saja dalam kasus talak atau perceraian. Disebutkan dalam kajian fiqih, ketika seseorang mengatakan pada isterinya “Anti Thooliq” (kamu saya cerai) meskipun niatnya cuma bergurau saja, tetap menjadi talak satu. Artinya, dalam konteks talak shorih (jelas), niat dalam hati dapat diluluhlantakkan oleh lisan yang secara eksplisit menyebutkan adanya perceraian. Dengan demikian, sebenarnya kedua media ini, baik hati ataupun lisan seyogyanya penting bagi manusia.       
Terdapat sebuah hadis sentral yang berbicara mengenai niat, yang berasal dari sahabat Umar bin Khattab ra. Salah satu hadisnya berbunyi:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Hadis di atas perlu dinalar lebih jauh maknanya agar bisa menjadi lebih bermanfaat bagi manusia. Hadis menjadi salah satu petunjuk Allah swt. yang harus digali makna-makna yang terkandung di dalamnya, baik makna yang eksplisit maupun implisit. Begitu pula hadis mengenai niat yang dianggap oleh banyak ulama sebagai sepertiga atau seperempat dari agama Islam ini. Berikut salah satu alternatif pembongkaran maknanya dengan cara pertautan antara teks hadis dengan realitas yang dialami manusia:
Untaian kata “Innamaa al-A‘maalu bi al-Niyyah” sebagai pembuka hadis tersebut menjadi patokan utama. Pembuka hadis ini lalu diinterpretasikan dengan kata-kata “setiap ibadah harus disertai dengan niat”. Penalaran ini didapatkan karena kata al-a’maalu bermakna perbuatan ibadah jika merujuk pada keterangan Ibnu Hajar dalam Kitab Fath al-Bari, dan ditambah dengan redaksi tersebut mempunyai faidah li al-hashr (pembatasan). Oleh sebab itu, setiap ibadah yang dilaksanakan oleh orang Islam diharuskan memiliki niat sebelumnya. Penalaran berupa “setiap ibadah harus disertai dengan niat” dinalar lagi sehingga memunculkan “Niat tidak kuat bila belum diverbalkan”. Penalaran tersebut terbentuk pasca menapaki realitas yang menimpa diri manusia ketika melaksanakan ibadah yang penuh dengan gangguan, sehingga konsentrasi pada Allah swt. pun berkurang. Setelah menyadari kelemahan ini, muncullah interpretasi bahwa niat pada dasarnya belumlah kuat bila hanya diwujudkan dengan media hati, tetapi ia juga harus diverbalkan. Setelah itu, penalaran baru yang muncul adalah “niat ibadah harus divebalkan”. Hal ini dipahami dari konsekuensi dari ibadah harus disertai niat dan niat belum kuat bila belum diverbalkan.


Secara lebih jelas lihat alur berpikir sebagai berikut: “Innamaa al-A‘maalu bi al-Niyyah” > “Setiap ibadah harus disertai dengan niat” > “Niat tidak kuat bila belum diverbalkan” > “Niat ibadah harus diverbalkan.”

Dari alur pemikiran di atas dapat dipahami bahwa verbalisasi niat bisa memberikan sumbangsih bagi realitas manusia, baik di masa lalu maupun masa sekarang. Hal ini karena kedudukan ujaran verbal dari niat yang dapat memperkokoh perkataan niat dalam hati. Setiap ibadah yang dilakukan umat Islam, sebagai realitas yang harus dijalaninya sehari-hari membutuhkan sesuatu yang mengukuhkan kehendak yang terbesit dalam hati, dan hal itu adalah verbalisasi dari niat itu sendiri. Sehingga dari sini, realitas yang dijalani dapat berjalan baik dan tidak tergoyahkan oleh godaan yang ada. Disadari memang, niat pada hakikatnya diutarakan lewat media hati, tetapi alangkah lebih baiknya jika media oral juga ikut berpartisipasi, karena ia menjadi semacam penguat kehendak. Definisi iman pun tak ubahnya seperti itu, ia bukan hanya diwujudkan dengan pengakuan dalam hati, tetapi ia juga harus disertai dengan pengakuan secara lisan, selain juga diaktualisasikan dalam perbuatan. Ini menunjukkan urgensitas media verbal yang bisa menyempurnakan perkataan dalam hati sanubari seseorang.
Keterangan di atas dapat menjadi salah satu opsi pemaknaan hadis mengenai niat yang kemudian berakhir dengan adanya verbalisasi dari niat itu sendiri. Hadis harus dinalar dan dikaitkan dengan realitas kehidupan yang dijalani manusia, sehingga ia menjadi seperti oase dalam gurun pasir yang memiliki panas yang menyengat. Ia sangat menyejukkan hati manusia yang mencoba untuk memahaminya. Walaupun demikian, saya juga tidak mau menyalahkan orang yang tidak mau membaca “Usholli” sebelum shalat, sebab ini hanya masalah khilafiyah, yang kalau diperdebatkan tidak akan selesai hingga hari kiamat kelak. Yang mau pake Usholli silahkan, yang tidak mau memakai Usholli juga silahkan, tapi yang jelas saya memakainya (hehe).
Dalam kerangka berpikir pada ahli fikih dalam Islam sendiri, pendapat mengenai verbalisasi dalam niat ini terbagi atas madzhab-madzhab yang ada. Pertama, kalangan Syafi’iyyah menyukai (istahabba) verbalisasi niat, sebab ia dapat menolong hati. Kedua, kalangan Hanafiyah berbeda-beda pendapatnya, sebagian dari mereka menyukai verbalisasi niat dan menganggapnya sunnah, sedangkan sebagian yang lain memakruhkannya. Ketiga, kalangan Malikiyah berpendapat bahwa verbalisasi niat itu boleh, tetapi yang lebih utama adalah meninggalkannya. Sebagian dari mereka memandang bahwa pengucapan niat merupakan sesuatu yang makruh dan bid’ah, kecuali bagi orang yang was was. Keempat, kalangan Hanabilah menganggap verbalisasi niat adalah perbuatan bid’ah (lihat Muhammd Shidqi, al-Wajiz fii idhaahi qawaa’id al-Fiqh al-Kulliyah, hlm. 142-143).
Nah, sekarang sudah tahu kan bagaimana sebenarnya verbalisasi dari niat atau yang lazim dinamakan “Usholli”? Terdapat beberapa kalangan ulama yang menyerukan tindakan tersebut terutama kalangan Syafi’iyyah, yang kalau merujuk pada wacana Islam keindonesiaan terepresentasikan dalam pikiran orang-orang NU. Selain itu, hal lain yang dapat dipetik adalah jelas verbalisasi niat bisa memperkuat niat yang tertanam dalam hati dari godaan-godaan yang siap membayangi hati manusia ketika shalat. Penalaran dari hadis niat sebagaimana telah diuraikan sebelumnya menunjukkan arah ke situ. Jangan terburu-buru mengatakan bid’ah juga, sebab verbalisasi niat berasal dari pemahaman akan pentingnya kekhusyukan niat dalam ibadah. Kalaupun dikatakan bid’ah, maka ia masuk kategori bid’ah hasanah dan bukan bid’ah dholalah. Maka dari sini tidak salah bila saya katakan: (sebelum) shalat pake “Usholli”? Siapa Takut (hehe).

Allahumma sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar