Jumat, 01 April 2016

Memahami “Wayang” dan “Dalang” dalam Dunia Ketidakjelasan



Istilah “wayang” dan “dalang” merupakan dua entitas dalam salah satu kesenian yang berasal dari tradisi Jawa. Wayang merupakan sebuah benda seni yang bercerita tentang kisah yang dikehendaki oleh dalang. Dalangnya sendiri mempunyai andil besar dalam menentukan bagaimana kisah yang dimainkan oleh wayang. Dalang menggerakkan dan menyurakan apa yang dilakukan dan dikatakan oleh wayang. Jika dalang diam saja, maka wayang pun ikut diam. Apabila dalang beraksi, maka wayang pun ikut beraksi. Semua tergantung dari kreasi dari sang dalang. Dialah aktor utama sebagai penggerak dalam terwujudnya sebuah pertunjukkan pewayangan.
Dalam hal ini, penonton biasanya tidak fokus melihat pada dalang, tetapi pada aksi panggung wayang yang dipertontonkan. Suguhan yang disantap bukan gerakan-gerakan dalang, tetapi gerakan-gerakan yang diperagakan sang wayang. Dari apa yang tergambarkan oleh wayanglah cerita yang dihadirkan dapat diserap oleh penonton yang menikmati pertunjukkan itu. Dahsyatnya pertarungan, konflik yang terjadi, proses leraian yang ada dalam sebuah kisah semuanya tergambarkan secara jelas dari sosok wayang.
Membicarakan mengenai wayang, saya jadi teringat sebuah aliran dalam diskursus teologi Islam. Terdapat sebuah paham bernama Jabariyah (fatalism) yang menyatakan bahwa manusia tidak berdaya apa-apa, ia hanya digerakkan oleh Sang Maha Pencipta. Perbuatan dan segala macam tindak laku manusia diciptakan oleh Tuhan dan bukan manusia itu sendiri. Manusia tidak mempunyai potensi apapun untuk berkreasi sesuka hatinya. Mereka hanya melakukan apa yang dikehendaki dan ditakdirkan oleh Tuhan. Eksistensi manusia dan Tuhan laksana keberadaan wayang dan dalang dalam dunia pertunjukkan. Wayang (manusia) secara bebas digerakkan oleh dalang (Tuhan).
Meskipun demikian saya tidak ingin membahas mengenai perdebatan yang sangat abstrak dalam ranah ilmu teologi Islam itu, tetapi pada sesuatu yang real atau nyata, pada sesuatu yang terlihat secara jelas dalam dunia ini, pada hal yang semua mata bisa menyaksikan fenomena ini. Dalam konteks ini, banyak orang yang tertipu dengan eksistensi wayang dan kurang memberikan perhatian pada tokoh dalang. Yach, saya sadari memang wayanglah yang terlihat sehingga kalau ada hujatan atau pujian maka hal itu akan dialamatkan pada wayang dan bukan dalangnya. Padahal yang mengkreasi wayang adalah sang dalang. Dialah sosok yang mempunyai andil besar dalam akting-akting yang diperagakan wayang.
Masih hangat dalam ingatan mengenai keberadaan sosok artis yang mendadak menjadi seorang ustadz karena membawakan salah satu berita islami, yang membahas persoalan khilafiyah dalam tayangan-tayangan yang dipandunya. Parahnya, tidak ada analisis secara mendalam perihal dalil yang ada dan diarahkan pada salah satu pendapat yang bertentangan dengan mainstream yang berkembang di masyarakat. Pendapat lainnya yang dianut oleh masyarakat pada umumnya tidak dicantumkan, dan terkesan menganggap pendapatnya sendiri sebagai pendapat yang paling benar.
Tentu saja hujatan yang bermunculan pun mengarah pada sosok artis tersebut. Tanpa ampun berbagai media informasi, khususnya media dalam dunia maya ramai-ramai berhujat si artis karena “fatwa”nya yang aneh itu. Tamparan dalam wujud dalil dan berbagai pendapat ulama dialamatkan pada sosok yang disebut-sebut sebagai ustadz itu, sampai akhirnya si artis pun meminta maaf atas apa yang telah dikatakannya dalam tayangan yang disiarkan oleh salah satu televisi nasional yang cukup populer.
Namun apakah kita sadar, bahwa yang kita saksikan dan hujat bersama itu hanyalah sebuah wayang? Apakah kita sadar bahwa yang menggerakkan aksi wayang adalah sang dalang? Apakah kita sebagai penonton sadar bahwa wayang tidak bisa melakukan apa-apa tanpa adanya aksi dari sang dalang?
Memang saya sadari bahwa pada dasarnya si artis adalah manusia, yang tentu saja berbeda dengan wayang. Wayang tidak mempunyai akal pikiran, ia hanya benda mati yang digerakkan oleh benda hidup. Namun manusia bukanlah benda mati, melainkan makhluk hidup yang diberikan potensi akal oleh Allah untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan akal, manusia mampu menguasai dunia dan menjadi khalifah di bumi ini.
Walaupun demikian, jika akal yang dimiliki sudah didoktrin sedemikian rupa maka saya kira juga tidak akan bisa bergerak lagi. Benda hidup pun akan mengikuti apa yang dikehendaki oleh sang dalang. Terlebih lagi, barangkali apabila tidak ada “pegangan” yang dimilikinya, maka proses doktrinisasi akan mudah merasuk dalam pikirannya. “Wayang hidup” tidak mampu menyelisihi apa yang diarahkan oleh dalang yang menginginkan sebuah peristiwa terjadi. Dari hal ini, dalam tayangan yang kita saksikan, memang yang nampak itu bukan wayang sebagai benda mati tetapi “wayang yang hidup.”
Melihat aspek tersebut, maka penting bagi kita menyadari untuk tidak terlalu fokus pada keberadaan wayang, melainkan pada eksistensi sang dalang. Dalanglah yang memberikan arahan, instruksi, dan apa yang harus diujarkan oleh sang wayang. Untuk itu, kurang etis saya kira apabila hujatan (atau kritikan lebih tepatnya) diarahkan pada sang wayang, dan malah melupakan sosok dalang yang seharusnya bertanggungjawab atas aksi sang wayang. Kritikan boleh saja (bahkan harus) asalkan masih dalam koridor sopan dan membangun.
Sebenarnya para ulama kita sebelumnya sudah sangat cerdas dengan tidak mudah mengumbar masalah khilafiyah dalam forum-forum umum, terlebih lagi dalam dunia pertelevisian. Makanya kita melihat dalam khutbah-khutbah maupun dakwah dalam televisi yang ada hampir tidak pernah (atau jarang) muncul pembahasan-pembahasan mengenai persoalan khilafiyah. Kalaupun hal tersebut muncul, maka biasanya masing-masing pendapat dijabarkan secara proporsional, dan tidak tidak terkesan main hakim sendiri terhadap pendapatnya sendiri. Sajian yang dibawakan bisanya mengenai perbaikan moral masyarakat yang sudah rusak. Ini merupakan cerminan pemikiran secara cerdas dari para ulama kita, tetapi akankah sesuatu yang cerdas itu harus dimusnahkan oleh kemunculan segelintir sosok dalang yang berpikiran (mohon maaf) agak sempit, yang tentu saja memanfaatkan popularitas wayang yang digerakkannya dan kemudian membuat kita terlena oleh aksi sang wayang? Marilah kita pikirkan bersama-sama. Oleh sebab itu, kritikan yang kita layangkan seyogyanya lebih diarahkan pada sosok sang dalang dan bukan pada sang wayang itu sendiri dalam dunia yang penuh dengan ketidakjelasan ini. Wallahu a’lam.
     
Allahumma sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar