Senin, 04 April 2016

Belajar Tasawuf, Mengapa Tidak?



Dalam sebuah hadis Nabi yang cukup populer, disebutkan sebuah definisi kata ihsan yang memiliki makna yang sangat dalam. Dikatakan oleh Nabi Muhammad saw. bahwa ihsan ialah “an ta’budallaaha kaannaka taraahu fain lam takun taraahu fainnahu yaraaka” (engkau menyembah Allah seolah-olah engkau sedang melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihatnya maka sesungguhnya ia sedang melihatmu). Definisi singkat tapi sarat makna ini mengisyaratkan apabila tatkala sedang beribadah pada-Nya maka seseorang harus menyadari bahwa seakan-akan Allah sedang berada di hadapannya, dan bila tidak bisa maka ia harus sadar bahwa Allah melihat sepenuhnya yang sedang ia dikerjakan.
Ucapan Nabi di atas itulah yang dianggap oleh banyak orang sebagai embrio dari tasawuf dan didukung oleh perilaku sebagian sahabat Nabi yang zuhud terutama ahlu suffah (orang yang bertempat tinggal di serambi masjid Madinah). Tasawuf berhubungan langsung dengan hati (qalb), dan hati inilah yang merupakan aspek terpenting di kalangan sufi. Sehingga jika hati tersebut rusak maka rusaklah semua tubuh manusia, tetapi sebaliknya apabila hati itu baik maka tubuh manusia pun menjadi baik pula. Hati sendiri merupakan salah satu organ esoteris dalam diri manusia, yang mendorong dirinya untuk menyadari bahwa Allah sedang berada di hadapannya ketika sedang menjalani ibadah dan Dia menyaksikan langsung wujud ibadah yang dilakukan.
Ayyuhal ikhwah, disadari bahwa masalah lahiriyah ibadah seperti tata cara, rukun, syarat sah, kesunatan, hal-hal yang membatalkan, dan lain sebagainya yang biasa disajikan dalam kajian fiqih memang penting untuk diketahui oleh manusia. Namun, ada hal yang lebih penting daripada itu semua, yakni ilmu tasawuf. Apabila fiqih hanya fokus pada aspek sah atau tidak sahnya sebuah ibadah, maka tasawuf lebih berhubungan dengan diterima atau tidaknya sebuah ibadah. Bisa jadi ibadah yang dilakukan sah dari kacamata fiqih, akan tetapi ternyata tidak diterima oleh Allah karena tidak mempunyai “bobot” sama sekali. Hujjah al-Islam Abu Hamid al-Ghazzali dalam master piece-nya Ihya Ulumuddin pun sampai membuat semacam gradasi ilmu antara ilmu yang berbicara mengenai hakikat syariat (tasawuf) dan ilmu yang hanya sekedar berhubungan dengan dzahiriyah hukum (fiqih). Menurut beliau yang pernah menggeluti dunia rasionalitas dan juga dunia sufistik ini, ilmu tasawuf lebih utama daripada ilmu fiqih.
Imam al-Gazzali juga menyontohkan beberapa ulama yang mampu mengombinasikan antara ilmu fiqih, ilmu hakikat, dan juga pengamalannya sekaligus. Mereka adalah Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, Imam Ahmad bin Hanbal, dan juga Imam Sufyan al-Tsauri. Kelima ulama yang masyhur dalam dunia madzhab fiqih tersebut merupakan ulama yang abid (orang yang beribadah), zahid (orang yang zuhud), dan alim (orang yang berilmu) dalam bidang ilmu akhirat (tasawuf) sebagaimana alim dalam bidang ilmu fiqih. Ulama-ulama klasik tersebut sangat luar biasa dalam berperilaku, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i umpamanya, beliau membagi waktu malamnya menjadi tiga bagian, sepertiganya untuk mengkaji ilmu, sepertiganya lagi untuk shalat, dan sepertiganya lagi untuk tidur.
Saudaraku sekalian, pada abad pertengahan, umat Islam sempat menguasai dunia dengan ilmu pengetahuannya yang sangat luar biasa. Di dunia Barat (Andalusia) ada dinasti Umayyah II, dan di dunia Timur (Baghdad) ada dinasti Abbasiyah. Kedua dinasti ini sangat memperhatikan aspek ilmu pengetahuan dalam dunianya masing-masing. Secara general, baik ilmu agama maupun ilmu umum sama-sama berkembang pada masa kedua dinasti ini. Mayoritas ilmu pengetahuan yang ada “diimpor” dari khazanah keilmuan Yunani klasik dan kemudian dikembangkan dalam semangat ilmiah yang menggebu-gebu. Sarjana-sarjana yang ahli di berbagai bidang ilmu pengetahuan umum pun bermunculan pada saat itu, sebut Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Khawarizmi, dan Aljabar. Boleh dikatakan bahwa masa ini adalah puncak peradaban yang pernah dialami oleh umat Islam.
Sebuah masa pasti mengalami pasang surut atau bisa dikatakan tidak selamanya sebuah hal selalu berada di atas tapi terkadang berada di bawah. Begitu pula apa yang menimpa umat Islam dahulu. Umat Islam yang sebelumnya merasakan puncak peradaban keilmuan akhirnya pada masa-masa setelahnya harus merasakan pil pahit dengan berbagai kemunduran yang terjadi. Setelah peradaban Baghdad dibumihanguskan dengan cara yang sangat biadab oleh Hulagu Khan dari Mongol dan saat umat Islam di Andalusia sepenuhnya diusir oleh orang-orang Kristen Eropa, maka umat Islam pun mulai merasakan masa-masa kegelapan (dark age), dan setelah itu pun mereka harus mengalami masa-masa dilematis dengan berbagai bentuk penjajahan dari bangsa-bangsa Barat setelah Eropa mengalami masa renaissance dan aufklarung.
Dari adanya pil pahit yang harus dirasakan umat Islam tersebut, beberapa kalangan mulai mengkambinghitamkan tasawuf sebagai penyebab kemunduran yang dialami umat Islam, terutama dengan maraknya tarekat-tarekat yang banyak berkembang. Ia dianggap memalingkan manusia dari “bagian” keduniaanya dan lebih memilih akhirat. Terkadang keterpalingan ini dikaitkan dengan wacana serangan Abu Hamid al-Ghazzali terhadap filsafat, yang tidak mampu diredam oleh Ibnu Rusyd.  Bahkan yang lebih ironis lagi, oleh sebagian kalangan, tasawuf dianggap sebagai sesuatu yang penuh bid’ah, tahayul, khurafat, dan kesyirikan tanpa tahu-menahu secara mendetail apa itu sebenarnya tasawuf. Dengan cara gebyah uyah dan tidak mau berpikir secara lebih rumit, penilaian-penilaian negatif pun disematkan pada tasawuf. Sampai pada akhirnya, para sufi dikejar-kejar dan dibunuh sebagaimana yang terjadi pada saat awal gerakan wahabi yang muncul di Saudi Arabia dan gerakan teroris ISIS yang  menggeliat di Syiria dan Iraq.
Namun apakah kita sadar bahwa sebenarnya tasawuf merupakan solusi atas jeratan ekstrimisme dalam beragama seperti yang ditunjukkan oleh masa sekarang ini? Pada saat sekarang, situasi umat Islam sedang dirundung kesedihan yang mendalam, terutama di wilayah Timur Tengah yang sedang kacau balau. Perang saudara di dalam sebuah negara dan antar negara pun muncul, dan acapkali dikaitkan dengan perseteruan antara golongan Sunni dan Syiah. Arab Saudi berperang melawan negara tetangganya, Yaman. Arab Saudi juga bersitegang dengan musuh globalnya, Republik Islam Iran. Semua yang saling bersitegang, saling berperang, dan saling bunuh-membunuh adalah sama-sama beragama Islam. Kemudian, melihat juga situasi di Iraq dan Syiria yang mencekam dan penuh dengan perbudakan, pemerkosaan, pembunuhan, dan penghancuran oleh ekstrimis ISIS. Astaghfirullah, apakah itu sebenarnya yang dikehendaki Islam? Apakah agama Islam yang kita anut selama ini menghendaki adanya permusuhan, penghancuran, pemerkosaan, perbudakan, dan pembunuhan?
Tasawuf menggunakan media hati yang merupakan tempat adanya rasa, dazuq, intuisi dalam kerangka epistemologi irfani (ini sudah saya bahas dalam tulisan ringan saya sebelumnya yang mencoba menghubungkan antara epistemologi irfani dengan NU). Dengan hati, manusia lebih bijaksana dalam mengambil keputusan. Dengan hati, manusia tidak mudah menyalahkan orang lain yang berbeda. Dengan hati pula, harkat martabat manusia lainnya dijunjung tinggi, terlebih lagi apabila sama-sama muslim. Hati menuntun manusia ke jalan ilahi yang penuh dengan ketenangan dan ketentraman. Tidak ada peperangan dan pembunuhan, sebab hati menyadari arti penting sebuah kehidupan. Maka dari hal inilah barangkali hampir tidak ditemukan seorang sufi yang membunuh orang lain, dan bahkan mereka sendirilah yang dikejar-kejar dan hendak dibunuh.
Saya secara pribadi melihat seorang sufi penuh dengan ketawadhuan, tidak sombong, selalu ingat pada Allah, mengutamakan orang lain, tidak mudah menyalahkan orang lain, selalu menghendaki adanya perdamaian, dan beberapa sikap positif lainnya. Sepertinya jika dunia menganut paham sufistik sebagaimana tampak dalam akhlak kaum sufi itu, niscaya kedamaian akan selalu terpancar dalam negara-negara yang menganut agama Islam. Tidak ada peperangan dan permusuhan yang terjadi, karena mereka menggunakan hati dan bukan nafsu. NU dengan Islam Nusantaranya juga agaknya mengambil poin-poin penting dalam aspek sufistik ini, sebab Islam di nusantara sendiri memang bukan disebarkan dengan cara kekerasan (pedang) tetapi dengan cara kultural dan damai, yang dihiasi dengan aspek sufistik yang kental. Makanya tidak mengherankan bila pesantren sebagai tempat pengajaran agama Islam tertua di Indonesia mengajarkan perilaku sufistik sekaligus juga mengkaji kitab-kitab yang berkonten tasawuf seperti Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazzali atau juga al-Hikam karya Ibnu Athalillah as-Sakandari.
Melihat berbagai hal di atas, rasanya sangat penting untuk mempelajari ilmu tasawuf agar kita tidak salah persepsi. Hal ini bisa dianalogikan dengan orang tidak berhak mengatakan jeruk itu pahit, kecuali setelah merasakan berbagai macam jeruk. Hasil akhir tidak menjadi masalah, yang penting ia pernah merasakan jeruk-jeruk yang ada. Jika tidak demikian yang dilakukan, maka jadinya malah fitnah kan? (hehe) Dengan belajar tasawuf sendiri, kita sedikit banyak dapat berkontribusi untuk perdamaian dunia dengan konsep Islam yang damai dan toleran. Tanpa tasawuf, dunia akan dipenuhi dengan angkara murka dan kesombongan akan kebenaran pendapat pribadi. Akibatnya, sikap saling menyalahkan dan perseteruan pun terjadi yang acapkali harus berakhir dengan adanya peperangan. Oleh sebab itu, mari kita belajar tasawuf, mengapa tidak? (hehe)
     
Allahumma sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar