Sumber Hukum Islam Yang Disepakatai: Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ Dan
Qiyas.
Aziza Tri Rahmania dan Abdul Bar Mursyid
Mahasiswa
Pendidikan Agama Islam “A” 2017 Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail
:trirahmaniaazizah@gmail.com
Abstract
This
article talks about describes the source of Islamic law of the Qur'an,sunah Ijma and Qiyas. The four sources have been
discussed by the scholars.The source of Islamic law is anything that can be
used as a reference or guideline in Islamic sharia. More so in this article
will display the definition of each source and its blasphemy along with the
evidence strengthening of each source of Islamic law. The source of this
Islamic law has a orderly or systematic arrangement where it begins with the
Qur'an if it can not be resolved then it is continued with Sunnah and if it is
not able to complete the use of Ijmaa and Qiyas.
Keywords: Islamic law, Qur'an, sunnah, ijma 'and qiyas.
Abstrak
Artikel ini
menjelaskan tentang sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an,sunah, ijma dan qiyas. Di mana ke empat sumber ini telah
disepakatai oleh para ulama. Sumber hukum islam merupakan segala sesuatu yang
dapat dijadikan acuan atau pedoman dalam syariat Islam. Lebih jauhnya dalam
artikel ini akan akan memaparkan definisi dari masing-masing sumber beserta
kehujahannya dan dalil-dalil yang memperkuat dari masing-masing
sumber hukum Islam tersebut. Sumber hukum Islam ini memiliki susunan yang
teratur atau sistematis di mana diawali dengan al-Qur’an apabila tidak bisa
diselesaikan maka dilanjutkan dengan sunah dan apabila belum bisa menyelesaikan
maka menggunakan ijma dan qiyas.
Kata kunci : Hukum Islam, Al-Qur’am, Sunnah, Ijma’ Dan Qiyas.
A.
Pendahuluan
Sumber Hukum
Islam atau Mashâdir al-Ahkâm merupakan suatu yang dijadikan rujukan
atau dasar yang utama dalam Islam dengan tujuan pengambilan suatu hukum. Sumber hukum Islam juga diartikan sebagai segala sesuatu yang menjadi dasar, penonggak dalam pokok dari
ajaran agama islam. Sumber hukum Islam tersebut bersifat benar, dan mutlak, serta tidak pernah akan hancur.
Sumber hukum Islam yang wajib diikuti
Allah telah menetapkan dan harus diikuti dimana terdapat dalm surah an-Nisa( 4)
59 “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
dalam ayat ini diperintahkan untuk setiap kali ada persoalan agar kembali pada
al-Qur’an dan sunah. Selain al-Qur’an dan sunah para ulama fiqih sependapat
bahwa sumber hukum setelah al-Qur’an dan
sunah adalah ijma dan qiyas. Karena seiring
perkembangan zaman munculah berbagai persoalan yang mana dalam pengambilan
hukum tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan sunah sehingga lahirlah beberapa
sumber hukum yang mana dilakukan oleh mujtahid dalam memecahkan suatu masalah yang
baru. Dalam hal ini dalam memecahkan masalah para mujtahid tetap berlandaskan
pada al-Qur’an. Pada artikel ini akan menjelaskan sumber hukum yang disepakati
ulama yaitu al-Qur’an. Sunah, ijma dan qiyas.
B. Pengertian
Sumber Hukum Islam
Sumber
hukum Islam merupakan hukum Islam yang sudah ditetapkan atau
ditentukan. Sumber hukum Islamdisebut jugaMashâdir
al-Ahkâm merupakan suatu yang dijadikan rujukan atau
dasar yang utama dalam Islam dengan
tujuan pengambilan suatu hukum dengan istilah dalil hukum Islam atau pokok
hukum Islam atau dasar hukum Islam. Kata sumber yang juga dapat diartikan suatu
tempat yang dari tempat itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. Dalam
artian ini kata “sumber” hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan sunah,
karena memang keduanya merupakan tempat yang dapat ditimba hukum syara’
tetapi kata ini tidak mungkin digunakan untuk ‘ijma dan qiyas karena keduanya
bukanlah tempat yang dapat ditimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas keduanya itu
adalah cara dalam menemukan hukum. Kata ‘dalil’dapat digunakan untuk Al-Qur’an
dan sunah, dapat juga digunakan untuk ijma dan qiyas, karena semuanya memang
mengarah kepada penemuan hukum Allah.
1.
Al-Qur’an
a.
Pengertian
Secara etimologis pendapat beberapaulama
menafsirkan kata al-Qur’an merupakan
bentuk masdar berasal dari kata qa-ra-a (قرأ ) yang memiliki arti bacaan atau
apa yang tertulis didalam kitab tersebut. Seperti yang dijelaskan dijelaskan
dalam surah al-Qiyamah. Al-Qur’an
merupakan sumber pokok,dasar aqida, sumber syariat dan petunjuk bagi
orang-orang yang bertakwa. Pengertian al-Qur’an secara terminologi yaitu kalam
Allah yang berbahasa Arab sebagai mukjizat yang ditirunkan kepada Rasulnya
yaitu nabi Muhammad dan melalui perantara malaikat jibril dan di tulis di
lembaran-lembaran periwayatannya dilakukan secara mutawatir serta membacanya
bernilai ibadah.[1]Terdapat
perbedaan pandangan dari para ulama dilihat dari segi istiqaqnya dirumuskan menjadi beberapa definisi
diantaranya sebagai berikut:
1.
Kata al-Qur’an merupakan bentuk
masdar dari kata “qara’a” yang memiliki arti bacaan. Sebagaimana kitab ini
diturunkan Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW .
2.
Pandangan menurut al-Zujaj menjelaskan bahwa
kata sifat dari al-Qur’an sendiri adalah al-Qar’u dimana memiliki arti al-jam’u
(kumpulan). Dari kata-kata sifat ini dijadikan nama
bagi kitab suci yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW yaitu al-Qur’an.. Alasan yang dikemukakan tersebut berdasarkan bahwa al-Quran terdiri dari bermacam-macamkumpulan surah dan ayat, yang didalamnya
terdapatnya hikayat atau cerita , perintah maupun larangan.Dan al-Quran juga mengumpukan inti sari dari
kitab-kitab terdahulu.
3.
Menurut imam Syafi’i Kata
al-Quran merupakan isim alam, nama ini
adasejak dari awal digunakan sebagai nama kitab suci yang diturunkan Allah SWT
kepada nabi Muhammad SAW.
Secara
terminologi sebagian ulama fiqh mendefinisikan al-Qur’an yaitu “ Kalam Allah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya
secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf, dimulai
dari sural al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Nas.” Ulama fiqih
menyimpulkan beberapa ciri khas al-Qur’an dari definisi di atas yaitu:
1.
Al-Qur’an didefinisikan sebagai kitab atau kalam Allah
yang kitab ini diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Apabila
kalam tersebut bukan kalam Allah dan bukan diturunkan kepada nabi Muhammad maka
tidak dinamakan al-Qur’an. Ketiga kitab sebelumnya yaitu Zabur, Taurat, daan
Injil termaksud diantara kalam Allah tetapi kitab tersebut tidak diturunkan
kepada nabi Muhammad SAW sehingga kitab-kitab tersebut tidak bisa disebut sebagai al-Qu’an.
2.
Bahasa yang digunakan dalam
al-Quran merupakan bahasa Quraisy.Seperti yang terdapat dalam beberapa ayat
al-Qur’an antara lain yaitu Asy-Syu’ara
(26) : 192-195, Yusuf (12) : 2, Az-Zumar (39) : 28, dan An-Nahl (16) :103. Para ulama bersepakat bahwa tafsiranmaupun terjemahan dari al-qur’an tidak bisa dinamakan al-Qur’an, dan juga tidak bernilai ibadah saat membacanya
dan tidak sah sholat dengan membaca terjemahan. Meskipun ulama Hanafiyyah
memperbolehkan sholat dengan bahasa Persis tapi kebolehan ini bersifat rukhsah atau keringanan hukum.
3.
Membaca al-Qur’an setiap kata
akan mendapatkan pahala baik dari hafalan maupun baca secara langsung dari
mushaaf al-Qur’an.
4.
Al-Qur’an dimana dimulai dari
surat al-Fatihah dan diakhiri oleh surat an-Nas. Urutan yang telah ada dalam al-Qur’an disusun sesuai petunjuk Allah dan melalui
malaikat Jibril kepada nabi Muhammad SAW dimana al-Qur’an tidak boleh diganti
maupun diubah letaknya.[2]
b.
Kehujjahan
al-Qur’an
Tidak
ada perselisihan yang dipertentangkan oleh kaum muslimin tentang al-Qur’an
sebagai hujjah. Dan kehujjahan al-Qur’an adalah bersifat qath’i Hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an dijadikan
sebagai suatu undang-undang yang harus
diikuti dan dipatuhi oleh manusia. Dan al-Quran diturunkan secara mutawatir kepada manusia dan kebenaran
dalam al-Quran tidak ada sama sakali campur tangan manusia dalam penyusunan kitab tersebut. Pandangan imam Mazhab mengenai
kehujjahan al-Qur’an yaitu :
1.
Imam Abu Hanifah
Menurut pandangan Abu Hanifah bersama
jumhur ulama bahwasannya al-Quran adalah sumber hukum. Tetapi sebagian
besar ulama, antara Abu Hanifah dan Jumhur ulama memiliki
perbedaan pendapat mengenai al-Quran itu mencakup lafadz dan maknanya.Dalil
diantaranya yang menununjukkan
bahwa al-Quran hanya maknanya saja yaitu
imam Abu Hanifah memperbolehkan sholat
dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab.
2.
Imam Maliki
Pandangan imam Maliki yaitu al-Quran
merupakan kalam Allah dimana lafadz dan Maknanya dari Allah SWT. Al-Qur’an
bukan makhluk karena kalam Allah tersebut termaksud sifat Allah.
3.
Imam imam Syafi’i
Imam syafi’i berpandangan bahwa sebagaimana
para ulama lainnya dimana al-Qur’an adalah sumber hukum Islam yang paling
pokok. Maka dari itu imam Syafi’i selalu mencantumkan nash-nash al-Quran setiap
kali mengeluarkan pendapat dan metode yang digunakan imam Syafi’i adalah metode
deduktif. Selain itu imam syafi’i juga berpendapat bahwa al-Qur’an tidak bisa
dipisah kan dari as-Sunnah karena memiliki keterkaitan yang sangat erat. Beda
dengan para ulama lainnnya dimana menganggap sunnah adalah sumber hukum yang
kedua. Sedangkan imam Syafi’i berpendapat bahwa al-Quran dan sunnah merupakan
sumber hukum yang pertama. Sehingga antara al-Qur’an dan sunnah seakaan-akan
berada pada satu martabat.
4.
Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambali
Al-Qur’an
merupakan sumber hukum islam dan juga tiangnya syari’at dimana didalamnya
terdapat kaidah-kaidah yang tidak akan pernah berubah meskipun dengan perubahan
zaman maupun tempat. Ahmad Ibnu Hambal sebagaimana sama dengan para ulama
lainnya berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan sumber pokok Islam setelah itu
diikuti oleh as-Sunnah.Selain itu imam
ahmad berpendapat semesti halnya yang dikatakan imam Syafi’i bahwa as-Sunnah memiliki kedudukan yang kuat di samping
al-Qur’an. Sehingga imam Ahmad Ibnu Hambal menyebutkan bahwa sumber hukukm merupakan nash , tanpa menyebutkan al-Qur’an dahulu
atau pun as-Sunnah. Tetapi yang dimaksud nash menurut imam Ahmad adalah
al-Qur’an dan sunnah.[3]
Terdapat
bukti-bukti sebagai bentuk keyakinan bahwa al-Qur’an datangnya dari Allah yaitu
salah satu contohnya terdapat dalam surah al-Baqarah yang menjelaskan bahwa
tidak ada satu ahli syair di Jazirah Arab yang mampu melawan tantangan
al-Qur’an . Tidak ada satupun manusia yang mampu menyanggupinya. Hal ini
menandakan bahwa kelebihan yang ada pada al-Qur’an dimana tidak bisa dibuat
oleh manusia tetapi al-Qur’an adalah benar-benar wahyu yang datang dari Allah SWT al-Baqarah (2) ayat 23[4]
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي
رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ
وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan
jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada
hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan
ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”[5]
c.
Hukum
Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an
Tidak semua ayat
dalam al-Qur’an mengandung hukum. Meskipun al-Qur’an adalah sumber hukum Islam.
Terdapat dalam al-Qur’an hanya sebagian isi al-Qur’an yang membicarakan tentang
hukum yaitu menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan
berbuat, dan ketentuan yang telah ditetapkan. Dimana hukum-hukum tersebut
mengatur tentang bagaimana kehidupan manusia baik hubungannya dengan Allah SWT,
hubungan manusia dengansesama manusia, dan hubungan dengan alam sekitarnya.[6]
Secara garis besar hukum yang terkandung dalam al-Qur’an dibagi menjadi tiga
macam yaitu :
1.
Hukum-hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan Allah atau biasa disebut hukum i’tiqadiyah merupakan
hukum yang berhubungan dengan keyakinan, sebagai bentuk keyakinan dan larangan
mempersekutukan-Nya.
2.
Hukum khuluqiyah (akhlak) yaitu hukum
yang mengatur bagaimana hubungan pergaulan manusia dan mengenai sifat-sifat baik yang harus dimiliki
maupun sifat-sifat buruk yang harus dihindari atau dijauhi dalam kehidupan
bermasyarakat. Hukum khuluqiyah tersebut dikembangkan lagi menjadi ilmu akhlak.
3.
Hukum amaliah merupakan hukum yang mengatur hubungan hidup
lahiriyah antara hubungan dengan Allah SWT maupun hubungan dengan sesama
manusia. Hukum amaliah ini kemudian dikembangkan dalam ilmu syariah.
Hukum
amaliah sendiri secara garis besar dibagi menjadi dua macam yaitu :
1.
Hukum yang mengatur hubungan dengan
Allah SWT berupa tingkah laku lahiriah manusia diantaranya seperti sholat,
zakat, puasa dan haji. Hukum ini disebut hukum ibadah dalam arti khusus.
Penggunaan arti khusus dikarenakan arti umum dari ibadah sendiri adalah
mencakup segala hubungan manusia dengan makhluk lainnya yang dilakukan dalam
rangka mencari ridha Allah SWT sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT
(az-Zariah: 56)
2.
Hukum yang mengatur hubungan
antara tingkah laku lahiriyah manusia
dalam menjalankan hubungan dengan manusia atau alam sekitanya. Hukum ini biasa
disebut dengan hukum muamalah karena tidak berkaitan dengan ibadah. Misalnya jual beli, kawin, pembunuhan dan lain
sebagainya. Hukum yang mengatur hubungan antara tingkah laku
lahiriyah manusia dalam menjalankan
hubungan dengan manusia atau alam sekitanya. Hukum ini biasa disebut dengan
hukum muamalah karena tidak berkaitan dengan ibadah . Misalnya jual beli,
kawin, pembunuhan dan lain sebagainya. Hukum muamalah ini dibagi ilmu yang berdiri
sendiri antara lain:[7]
1)
Ahkam
al-Ahwal
asy-Syahshiyah merupakan hukum yang menjelaskan tentang hukum perkawinan, hukum
waris dan lain sebaagainya. Hukum ini terdapat dalam al-Quran adalah berjumlah
lebih kurang dari 70 ayat.
2)
Al-Ahkam
al-Madaniyah
(hukum perdata) merupakan hukum yang menjelaskan bagaimana hubungan manusia
dalam proses yang berkaitan dengan transaksi jual beli, gadai,
perburuan,koperasi dan bentuk-bentuk usaha lainnya, jaminan, gadai,
utang-pitang, dan lain sebagainya.
Al-Ahkam al-Madaniyah dijelaskan dalam al-Quran kurang lebih 70 ayat.
3)
Al-Ahkam
al-jinaiyah
( hukum pidana) hukum ini berkaitan dengan pelanggaran dan kejahatan yang
dilakukan oleh manusia. Adanya hukum pidana ini sebagai bentuk untuk melindungi
keselamatan jiwa, harta bendanya, kehormatan, akal, dan agamanya. Al-Ahkam al-jinaiyah dijelaskan dalam
al-Qur’an lebih kurang dari 30 ayat.
4)
Al-Ahkam al-Murafaat ( hukum acara)
merupakan hukum yang berkaitan dengan peradilan, kesaksian, dan sumpah. Adanya
hukum ini sebagai bentuk untuk mengatur prosedur pelaksanaan hukum, tegaknya hukum dan terwujudnya keadilan di
masyarakat. Al-Ahkam al-Murafaat
dijelaskan dalam al-Qur’an jumlahnya lebih kurang 13 ayat.
5)
Al-Ahkam
ad-Dusturiyah
(hukum tata negara) hukum ini berhubungan dengan system pemerintah, asas-asas
maupun prinsipnya. Adanya hukum ini untuk mengatur hubungan pemerintah dengan
rakyatnya, berupa hak dan kewajiban masing-masing baik individu maupun
kelompok. Hukum tata negara ini dijelaskan dalam al-Qur’an kurang lebih jumlahnya 13 ayat.
6)
Al-Ahkam
ad-Dauliyah
(hukum antar bangsa atau hukum internasional) hukum ini berkaitan dengan
mengatur hubungan atau pergaulan Negara Islam dan Negara non Islam dan
pergaulan antara kelompok Muslim dan kelompok non muslim. Adanya hukum ini
bertujuan untuk mengatur perjanjian kerja sama, dalam kondisi atau keadaan
damai, dan perang antara Negara Islam dan Negara non Islam. jumlah ayat ayang
menjelaskan tentang hukum antar bangsa dijelaskan dalam al-Quran lebih dari 25
ayat.
7)
Al-Ahkam
al-Iqtishadiyah wa al-Maliyah (hukum ekonomi dan keuangan) hukum ini
berkaitan dengan pendapat dan pengeluaran negara. Selain itu hukum ini juga
berkaitan dengan hal mendapat bantuan keuangan bagi fakir miskin dan lain
sebagainya. Adanya hukum ini untuk mengatur bagaimana hubungan antara orang
yang kaya dan orang miskin dan antar negara dengan warganya. Penejelaasan hukum
ekonomi dan keuangan ini dijelaskan dalam al-Qur’an jumlah ayat kurang lebih 10
ayat.[8]
d.
Dalalah
(petunjuk) ayat-ayat al-Qur’an
Al-Qur’an
ditinjau dari segi penunjukkan hukumnya terbagi menjadi dua macam yaitu :
1.
Qat’iy al-dilalah berarti nash
yang menunjukkan bahwa arti yang terang dan mudah dipahami. Boleh dikatakan
bahwa Qat’iy al-dilalah menunjukkan makna tertentu atau bukan bermakna ganda.
Contoh dari qat’iy al-dilalah yaitu sebagai mana contoh ayat berikut :
وَلَكُمْ
نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ
لَهُنَّ وَلَدٌ
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak” (QS. an-Nisa (4)12)
Dari ayat di atas sudah jelas bahwa
bagian waris bagi suami yang ditinggal istrinya
apabila mempunyai anak adalah setengah bagian.
2.
Zhanni al-dilalah merupakan nash
yang menunjukkan sesuatu yang bisa dita’wilkan sehingga berubah menjadi makna
yang lain. Sebagaimana contoh dalam firman Allah berikut :
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru”(QS. Al-Baqarah (2)228
Kata quru dalam ayat tersubut dalam
bahasa Arab memiliki makna yang lebih dari satu. Kata quru bias diartikan atau
dita’wil terhadap dua makna yaitu makna suci dan makna haid[9]Al-Quran
ditinjau dari segi penjelasan terhadap hukum ada beberapa cara yang digunakan
al-Qur’an yaitu :
a.
Secara juz’i (terperinci)
maksudnya adalah penjelasan yang yang sudah sangat terperinci, memberikan
penjelasan sangat lengkap sehingga dapat dilaksanakan menurut apa adanya yang
sudah tertera dalam al-Qur’an dan meskipun dalam hal ini tidak dijelaskan oleh nabi dengan sunnah-Nya. Seperti contoh dalam al-Qur’an
ayat-ayat yang berhubungan dengan kewarisan misalnya terdapat dalam surah an-Nisa (4):11 dan 12
yang menjelaskan tentang sangsi yang diterima terhadap
kejahatan zina dan surah al-Nur (24):4. Penjelasan dari kedua ayat di atas
sudah sangat jelas sehingga tidak
perlu penafsiran dan tidak memberikan peluang adanya kemungkinan untuk ada pemahaman lainnya.
b.
Secara kulli atau global
maksudnya adalah penjelasan al-Qur’an terhadap hukum masih berlaku secara garis
besar sehingga dalam hal ini masih memerlukan beberapa penjelasan maupun
penafsiran dan memberi peluang terhadap adanya kemungkinan untuk pemahaman
lain. Yang paling berwenang dalam hal ini
bagaimana memberikan suatu penjelasan kepada ayat-ayat yang masih dalam
garis besar adalah nabi Muhamad dengan
menggunakan
sunnah-Nya.
c.
Secara isyarah maksudnya
adalah al-Qur’an masih memberikan
penjelasan apa yang secara lahir disebutkan di dalamnya secara ibarat. Selain dari itu juga
memberikan isyarat kepada maksud-maksud yang lain.
Maksudnya adalah satu ayat al-Qur’an dapat menjelaskan beberapa maksud ayat tersebut. Misalnya dalam firman Allah surat
al-Isra ayat 23
وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا
”Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia”
Dari
ayat tersebut secara tersurat menjelaskan haram hukumn ya berkata kasar dan
menghardik orang tua. Sedangkan menurut penjelasan secara tersirat dibalik yang
tersurat maksudnya adalah hukum memukul dan menendang orang tua adalah haram
e. Prinsip penerapan hukum dalam al-Qur’an
Ada tiga prinsip
yang melandasi penerapan hukum dalam al-Qur’an yaitu[10] :
1.
عَدَمُ الْحَرَج( tidak memberatkan ) prinsip
ini menjelaskan bahwa dalam menetapkan hukum al-Qur’an selalu mempertimbangkan
kemampuan manusia dalam melaksanakannya selain itu dengan dengan adanya prinsip
ini sebagai bentuk memberikan kemudahan dan kelonggaran kepada manusia. Prinsip
ini secara tegas dijelaskan dalam firman Allah :
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya”(QS. Al-Baqarah (2): 286)
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”(QS. Al-Baqarah (2): 185)
Contoh
dari prinsip ini adalah diperbolehkannya bagi orang yang berpuasa sedang berada
dalam perjalanan atau sakit pada bulan Ramadhan. Selai itu diperbolehkannya
mengqasar dan menjama sholat bagi yang sedang dalam perjalanan dan
diperbolehkan makan makanan yang haram dalam kondisi darurat.
2.تقليل
الحرج(menyedikitkan
beban) maksud dari prinsip ini adalah dalam menetapkan hukum Allah sangat memperhatikan
objek yang akan dikenakan hukumnya dengan cara tidak melakukan penambahan
maupun pengurangan. Apa yang telah diperintahkan Allah SWT adalah beban yang
sedikit dilakukan manusia. Prinsip ini sejalan dengan firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ
تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu” (QS. Al-Maidah (5): 101)
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ
الإنْسَانُ ضَعِيفًا
“Allah
hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah” . (QS. An-Nisa (4): 28)
Contoh penerapan dari hukum prinsip ini adalah Allah mewajibkan haji
kepada umat slam hanya sekali dalam seumur hidup.
Prinsip ini menjelaskan bahwa
bagaimana cara penetapan hukum yang tidak dilakukan secara sekaligus tetapi
penetapan hukum secara berangsur-angsur
dan bertahap dengan mempertimbangkan keadaan secara psikologis dan memperhatikan proses perubahan sosial budaya
yang berkembang di masyarakat. Hukum Islam tidak memberatkan dan memberikan
kelonggaran. Contoh penerapan prinsip ini
adalah proses pengharaman khamar secara berangsur-angsur. Yang pertama adalah ketikaRasulullah SAW ditanya
khamar berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya, Rasulullah menjawab
sebagaimana kutipan ayat berikut ini :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ
نَفْعِهِمَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan
judi.Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar danbeberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya” (QS. Al-Baqarah (2): 219
Yang kedua adalah setelah ayat
ini turun maka turunlah ayat yang mengharamkan khamar teapi sebatas dalam mau
melaksanakan sholat yaitu khamar diharamkan. Sebagaimana dijelaskan dalam
firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا
الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”(QS. An-Nisa (4): 43)
Setelah dua ayat ini secara berturut-turut.
Turunlah ayat yang secara tegas benar-benatr mengharamkan khamar secara mutlah ,
sebagaimana secara tegas dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 90
2.
As-Sunnah
a.
Pengertian
Secara etimologi sunnah mempunyai
arti jalan yang biasa dilalui atau cara yang senantiasa dilakukan. Secara
etimologi juga sunnah ditemukan dalam sabda Rasulullah
barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam Islam, maka ia
menerima pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya (
H.R Muslim). Sedangkan secara terminologi adalah menurut ulama hadis sunnah
merupakan segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW baik perkataan
Rasulullah, perbuatan, ketetapan sifat kemakhlukkan, akhlak atau perjalanan
hidupnya baik ketika Rasulullah masih menjadi Rasul maupun sesudah menjadi
Rasul. Menurut ahli ushul sunnah merupakan segala sesuatu yang diriwayatkan
nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang
berkaitan dengan hukum. Sedangkan sunnah menurut ahli fiqh mengandun g
pengertian bahwa perbuatan yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan
apabila ditinggalkan akan mendapatkan dosa
b.
Kehujjahan sunah
1. Dalil al-Qur’an
Ada beberapa dalil yang yang dijadikan penjelasan
atas kehujjahan sunah sebagai ,sumber hukum yaitu :
a. Bentuk konsekuensi
iman kepada Allah adalah dengan taat kepada-Nya , sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT
surah Ali-Imran ayat 179
فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَإِنْ
تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيم
“Karena itu berimanlah kepada
Allah dan rasul-rasul-Nya; danjika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu
pahala yang besar” (QS. Ali-Imran(3):179)
b.
Pelaksanaan perintah beriman kepada rasul sejalan dengan perintah
perintah beriman kepada Allah SWT
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي
نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ
“Wahai orang-orang yang beriman,
tetaplah beriman kepadaAllah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan
kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya” QS. An-Nisa(4):136
c. Bentuk kewajiban taat kepada Rasul karena menyambut perintah
Allah SWT
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا لِيُطَاعَ
بِإِذْنِ اللَّهِ
“Dan kami tidak mengutus seseorang
rasul, melainkan untukditaati dengan seizin Allah” (QS. An-Nisa(4):64)
d.
Perintah untuk taat kepada rasul secara khusus
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا
نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia. Danapa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al-Hasyr(59):7)
Dari ayat diatas dapat
disimpulkan bahwadiperintahkan untuk
taat kepada Allah dan Rasunya merupakan suatu bentuk keharusan sebagai bentuk dari perwujudan imam
kepada Allah SWT dan ayat ini juga menjelaskan bagaimana kedudukan kedudukan sunnah mempunyai posisi yang sangat penting sebagai dasar hukum keduaa dalam islam.
2. Dalil hadist
Hadis yang dapat dijadikan dalil kehujjahan sunah diantaranya
sebagaimana hadis nabi “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara,
kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepada keduannya yaitu kitab
Allah dan sunnah Nabi-Nya” (HR. Al-Hakim dan Malik) dan hadis nabi “sesungguhnya pada saya telah diturunkan
al-Qur’an dan yang semisalnya”. (H.R. Bukhari dan Musim ) perkataan semisal
tersebut menurut jumhur ulama adalah sunnah
Rasulullah SAW.
c.
Macam-Macam
Sunnah
Terdapat tiga macam sunnah yang
menjadi sumber kedua hukum Islam yaitu :
1. Sunnah fi’liyyah merupakan sunnah yang dilakukan atau dilaksanakan oleh nabi
Muhammad SAW yang dilihat, diketahui dan
hal tersebut disampaikan para sahabat kepada orang lain. Contoh dari sunnah
fi’iliyah adalah bagaimana pelaksanaan tata cara sholat yang dilakukan atau
dikerjakan oleh Rasulullah SAW, kemudian hal tersebut disampaikan para sahabat yang melihat atau mengetahui kepada
orang lain.
2. Sunnah Qouliyyah merupakan sunnah yang beral dari ucapan nabi Muhammad SAW sebagaimana yang
didengar dan disampaikan kepada seoarang atau beberapa orang. Contoh bentuk
dari sunnah qauliyyah adalah dalam sabda Rasulullah
SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah “
Tidak sah sholat seseorang yang
tidak membaca surat al-Fatihah” (H.R. al-Bukhari dan Muslim)
3.
Sunah
taqririyyah yaitu suatu perbuatan atau ucapan
yang dilakukan sahabat dihadapan nabi atau sepengetahuan nabi dimana pada sat itu nabi Muhammad hanya diam dan tidak
mencegahnya. Dari sikap ini sebagai bentuk penunjukkan persetujuan nabi
Muhammad SAW. Misalnya dalam riwayat Ahmad ibnu Hambal dan al-Baihaqi yaitu
terjadi pada kasus Amr bin Ash dimana dalam keadaan junub pada suatu malam yang cuacanya buruk (sangat
dingin). Amar bin Ash tidak sanggup mandi sehingga Amr bin Ash ketika itu
bertayammum. Lalu Amr bin Ash menyampaikan kepada Rasulullah. Rasulullahpun
bertanya kepada Amr bin Ash “engkau melaksanakan sholat bersama teman-teman
engkau sedang engkau masih dalam keadaan junub?” Amr bin Ash kemudian menjawab
“saya mengingat firman Allah yang mengatakan jangan kamu membunuh diri kamu,
sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Lalu saya bertayamum
kemudian melaksanakan sholat. Mendengan jawaban dari Amr bin Ash tersebut
Rasulullah tertawa dan tidak berkomentar apapun.[12]
d.
fungsi
sunnah terhadap al-Quran
Fungsi sunnah sebagai penjelas terhadap al-Quran dapat
dilihat ada tiga bentuk yaitu :
1. Memerincikan hukum dalam al-Quran yang masih global.
Seperti yang tertera dalam al-Qur’an mengenai perintah untuk melaksanakan
sholat. Tetapi tidak dijelaskan secara lengakap bagaimana tata cara
pelaksanaan, berapa kali dan lain sebagainya. Sehingga tugas Rasulullah adalah menjelaskanya sebagaimana
dalam sabda nabi “sholatlah kamu
sebagaimana kamu melihat saya melakukan sholat ( H.R. al-Bukhari dan
Muslim)
2. Menjelaskan hukum yang sudah mutlak yang ada dalam
al-Qur’an seperti perintah Allah yang menjelaskan tentang pemotongan tangan
bagi orang yang melakukan tindakan pencurian. Dari perintah Allah ini tidak
menjelaskan lebih jelas mengenai ukuran yang dipotong dan nisab harta yang
dicuri yang dikenakan hukuman potong tangan. Maka dari itu tugas Rasulullah
adalah memperjelas hukum yang mutlak tersebut bahwa tangan yang dipotong itu
sampai pergelangan tangan dan nisab barang yang dicuri itu seperempat dinar (
H.R. al-Bukhari dan Muslim)
3. Mengkhususkan hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya dalam
pembagian harta yang dijelaskan dalam firman Allah SWT surat al-Nisa 4:11
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ
الأنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا
تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا
“Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta”
Kalimat anak-anak dalam ayat
tersebut masih bersifat umum yaitu seluruh anak. Apakah seorang anak yang
membunuh ayahnya berhak mendapatkkan warisan? Oleh karena itu Rasulullah
menjelaskan bahwa “ pembunuh tidak
mendapat pembagian warisan (H.R. Muslim).
3.
Ijma
a.
Pengertian ijma dan kehujahannya
Ijma merupakan bentuk kesepakatan oleh seluruh
mujtahid dari kaum muslimin setelah wafat Rasulullah SAW. Secara istilah ulama ushul berpendapat mengenai ijma
ijma yaitu kesepakatan para mujtahidin
dari kalangan umat nabi Muhammad SAW setelah Rasulullah SAW wafat pada suatu
zaman tertentu dan dan pada saat itu terdapat sebuah permasalahan hukum syar’i.Para
ulama ushul fiqh sepakat bahwa ijma
dijadikan sebagai suatu landasan hukum
yang dari ini merupakan hujjah yang qot’i
dengan berbagai argumentasi-argumentasi sebagaiman dijelaskan dalam firman Allah surat an-Nisa
ayat 115
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ
مَصِيرً
“Dan
barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”
Dijelaskan dalam
ayat ini bahwa Allah mengancam orang yang yang berjalan selain jalan kaum
muslimin yaitu sesuatu jalan yang sudah
disepakati oleh para imam melalui lidah para mujtahid karena para mujtahid
memiliki kapasitas atau kemampuan untuk menjelaskan hukum syariat tersebut.[13]Dan
hadis Rasulullah “ Dari Ibnu Umar,
Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku
atau beliau bersabda: umat Muhammad SAW di atas kesesatan, dan tangan Allah
bersama jamah. Dan barang siapa yang menyempal maka dia menyempal menuju neraka.”
(HR. Imam At-Tirmidzi)
b. Rukun dan syarat ijma
Yang menjadi rukun ijma adalah
hanya satu yaitu kesepakatan para ulama. Sedangkan syarat menurut Wahbah
Zuhaili ada enam yaitu :
1)
Orang yang
melakukan ijma harus dilakukan dalam jumlah banyak. Tidak dikatakan ijma
apabila hanya dilakukan oleh satu orang ulama. Akan tetapi apabila pada saat
terjadinya peristiwa hanya ada satu orang ulama ataupun tidak ada sama sekali
tidak bisa dimasukkan sebagai ijma yang
dibenarkan oleh syara
2)
Seluruh
mujtahid menyetujui hukum syara yang telah diputuskan bersama dengan tidak memandang dari negara, kebangsaan, maupun golongan mereka sendiri.
3)
Dalam
melaksanakan kesepakatan para mujtahid harus dari berbagai daerah Islam. Ijma
tidak bias dilakukan hanya satu daerah tertentu saja misalnya ulama Iraq atau
ualam Mesir saja.
4)
Masing-masing
dari para ulama harus melahirkan kesepakatan terhadap peristiwa itu baik perkataan maupun
perbuatan.
5)
Kesepakatan
para mujtahid hendaknya bersifat adil menjauhi segala sesuatu yang bersifat
bid’ah karena nash-nash tentang ijma mensyaratkan hal tersebut.
6)
Dalam
melakukan Ijma hendaknya bersandar pada sandaran hukum yang disyariatkan baik
dari nash maupun qiyas.[14]
Sedangkan syarat-syarat ijma’ diantaranya :
1.
Adanya
kesepakatan para mujtahidin, walaupun mereka berjumlah kecil, asalkan tidak ada
dari salah satu dari mereka yang memberikan pendapat atau komentar terhadap
suatu persoalan itu.
2.
Berwujud
kesepakatan seluruh mujtahidin, bahwa apabila telah disetuji oleh orang banyak
maka itu bisa disebut sebagai ijma’
3.
Yang disepakati
atau yang di ijma’i adalah perkara yang masuk hukum syar’i yang dapat
diwujudkan oleh ijtihad. Seperti hal-hal yang bersangkut paut dengan halal,
haram, sah dan batal. Contoh hukum jual beli adalah halal dan hukum riba adalah
haram.
c.
Tingkatan Ijma
1. Dilihat dari bagaimana segi dari cara terjadinya kesepakatan. Dan para ulama membagikan hal ini menjadi dua bentuk :
a. Ijma sharih
atau lafzy merupakan suatu betuk dari kesepakatan para
mujtahid yang dilakukan baik. Dalam hal itu baik suatu pendapat maupun suatu perbuatan terhadap hukum masalah tertentu.
Kesepakatan yang dikemukakan para mujtahid dalam pertemuan tersebut dari masing
masing para mujtahid mengemukakan pandangan terhadap suatu masalah yang dibahas. Dalam hal ini ijma menurut pandangan jumhur alama adalah bisa
dijadikan hujjah atau landasan hukum. contoh dari ijma sharih merupakan dimana zaman Rasulullah pada saat itu terjadi
kekosongan kekuasaan disebabkan nabi meninggal maka dari itu para sahabat nabi
melakukan perundingan (ijma) pengganti nabi untuk memimpin Islam.
b. Ijma Sukuti
atau ijma i’tibary adalah yaitu pendapat beberapa mujtahid pada suatu waktu terjadi permasalahan. Sedangkan sebagaian mujtahid
lainnya hanya diam atau tidak menyatakan bantahan. Terdapat perbedaan pendapat
para ulama tenyang ijma sukuti bisa dijadikan hujjah. Jumhur ulama berpendapat
ijma sukuti bukanlah ijma melainkan dapat dijadikan hujjah (landasan hukum).[16]contoh
dari ijma sukuti adalah adzan dua kali dan iqomat untuk sholat jumadyang
dipelopori oleh sahabat Usman bin Affan pada dan sahabat yang lainya tidak ada yang menolak
ijma tersebut. Dan diamnya para sahabat menandakan menerima atas prakarsa
tersebut.
2. Ijma dipandang dari segi dalalah atau petunjuk kepada hukum terdapat dua macam yaitu :
a. Ijma qat’i dalalah atas hukum yang mana merupakan hukum yang ditunjuk sudah pasti kebenarannya
sehingga dalam hal ini tidak perlu
dipersoalkan atau diijtihadkan.
b. Dzanni dalalah terhadap hukumnya yaitu
hukum ditinjukkan masih kebenarnya masih diduga. Zanni dalalah ini
permasalhannya masih terbuka dan tidak menutupi untuk para mujtahid untuk
mengkajinya.
d.
Contoh Ijma
Beberapa contoh berikut merupakan hasil yang didasarkan pada proses ijma:
1.
seperti halnya pada keabsahan kontrak dalam pemebelian
barang yang A’dul Istitsna ( diolah) berdasarkan pada ijma’
2.
Biasanya pada
hukum jual beli yang barangnya yang belum ada adalah tidak sah kerena barang
tersebut belum pasti. Dan para ulama menyepakati untuk memperbolehkan hal
tersebut karena bertujuan utuk memperoleh jalan keluar yang mudah.
3.
Dalam aspek
warisan, juga sudah disepakati jika seseorang ditinggal mati oleh ayahnya, maka kakeknya juga memperoleh hak
warisan bersamaan dengan anak laki-laki yang bagianya itu diambil dari bagian
dari ayahnya.
4. serta dalam masalah hukum keluarga juga sudah
disepakati bahwa dilarangannya menikah dengan nenek dan cucu perempuan (
sekalipun jaraknya jauh) , dikarenakan dalam Al-qur’an menjelaskan tentang
larangan menikah dengan ibu dan anak perempuan, kerana hukum pelarangan
tersebut diberlakukan sama.[17]
3.
Qiyas
1. Pengertian dan
kehujjahanya
Qiyas secara bahasa mempunyai arti mengira-ngira atau menyamakan. Sedangkan
menurut istilah qiyas biasanya
dirumuskan salah satu kiat untuk menetapkan hukum yang mana kasus itu tidak terdapat dalam nash
dan cara menyamakan dengan kasus atau masalah yang terdapat dalam nash
disebabkan oleh persamaan illat hukum.[18]
Qiyas juga merupakan sesuatu yang sudah diketahui (ashl) atas sesuatu
yang telah diketahui (far) karena adanya suatu persamaan dalam ilatnya
menurut para mujtahid. Mayoritas ulama Syafi’iyyah mendefinisiskan qiyas dengan
“ membawa hukum yang belum diketahui
kepada hukum yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya atau
meniadakan hukum bagi keduanya disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya baik
hukum maupun sifat” qiyas merupakan salah satu metode istimbat yang dapat
dipertanggungjawabkan karena qiyas melalui sebuah penalaran dimana disandarkan
kepada nas. Dari definisi tersebut dapat
diambil tiga poin penting yaitu :
1) Qiyas berfungsi sebagai penjelas dari suatu kasus dimana
belum ada kejelasan hukum baik dari nash maupun ijma.
2) Illat merupakan suatu pedomanyang dijadikan dasar untuk
menetapkan hukum.
3) Pekerjaan yang dilakukan mujtahid yaitu menjelaskan hukum
di dalam far (secara literal memiliki arti cabang ) dengan sebab adanya
suatu persamaan ilat dianta keduanya yaitu far dan ashl.
Ayat al-Qur’an yang menjadi landasan atau dasar
berlakunya qiyas antara lain an-Nisa (4)
59) ayat ini menjelaskan maksud dari ”kembali kepada Allah dan Rasul” (dalam
masalah khilafiah) tidak lain sebagai upaya dalam menyelidiki tanda-tanda suatu
kecendrungan atau apa yang sesungguhnya
yang dikehendaki oleh Allah dan Rasulnya. Hal ini dapat
diperoleh dengan melalui pencarianillat hukum yang merupakan tahap dalam
melaksanakan qiyas.Dalam hal penerimaan qiyas sebagai dalil syara
terdapat tiga kelompok menurut Muhammad Abu Zahra yaitu :
1) Kelompok jumhur ulama menjadikan qiyas sebagai dalil
syara dimana penggunaan qiyas ini dilakukan dalam hal-hal yang tidak terdapat di
dalam nash atau sunnah dan dalam ijma para ulama. Penggunaan qiyas yang
dilakukan jumhur ulama tidak melampaui suatu batas kewajaran.
2) Kelompok ulama Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah merupakan
kelompok ulama yang menolak penggunaan qiyas secara mutlak. Dan ulama
Zhahiriyah juga menolak penemuan suatu illat yang menganggap bahwa tidak
perlu mengetahui tujuan ditetapkan suatu hukum syara.
3) Kelompok ulama
yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Ulama pada kelompok ini
berusaha menggabungkan sesuatu yang kesamaan yang tidak terlihat baik kesamaan
illat diantara keduanya.
Dalil yang digunakan jumhur ulama dalam menerima qiyas
sebagai dalil syara yaitu :
1. Dalil al-Qur’an
Allah memberikan petunjuk
penggunaan qiyas dalam menyamakan dua hal sebagaimana Terdapat dalam firman
Allah
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي
الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ
قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ
خَلْقٍ عَلِيمٌ
“Dan
dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata:
"Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur
luluh?"Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya
kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk”Yasin
(36) 78-79.
Dalam
ayat ini menjelaskan bawa Allah SWT menyamakan kemampuannya yaitu dalam hal menghidupkan suatu tulang belulang yang
berserakan dikemudian hari dengan kemampuan-Nya dalam menciptakan akan tulang belulang pertama kali. Hal ini
merupakan bahwa Allah menyamakan antara menghidupkan tulang tersebut kepada penciptaan perta kali.
Firman Allah dalam surat an-Nisa (4) ayat 59
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
Penjelasan
dari ayat ini bagaimana bentuk perintah
pentaatan kepada Allah dan juga berarti harus mengikuti hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan perintah
untuk mengikuti Rasul dan juga melaksanakan
hukum yang terdapat dalam sunah-sunah dan mengikuti ulil amri bahwasannya harus
mengikuti hukum ijma ulama. Pada ayat
terakhir surah ini yang memiliki arti “jika
kamu berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul”
bahwasannya ayat ini adalah menjelaskan suatu perintah untuk mengikuti qiyas dalam hal-hal yang memiliki
perbedaan.
2. Dalil sunah
Sebagai pendukung dari argumentasi
dalil al-qur’an alah satu hadis yang dijadikan pijakan sebagai argumentasi dalam penggunaan qiyas adalah yang terdapat pada
hadissalah satunya adalah mengenai
percakapan Nabi dengan Muaz ibn Jabal dimana saat itu Muaz ibn Jabal diutus ke
Yaman sebagai penguasa di sana. Kemudian nabi bertanya dengan cara apakah
engkau menetapkan hukum apabila seandainya diajukan kepadamu sebuah perkara?
Muaz ibn Jabalpun menjawab sata menetapkan hukum tersebut berdasarkan kitab
Allah SWT. Nabi kemudian bertanya lagi “ bila engkau tidak menemukan hukum
dalam kitab Allah? Muaz menjawab “dengan sunah Rasul”. Nabi bertanya lagi
apabila dalam sunah enagkau tidak menemukannya? Muaz ibn Jabalpun menjawab saya
menggunakan ijtihad dengan nalar (ra’yu) saya. Nabi bersabda “segala puji bagi
Allah sebagaimana telah memberikan taufik kepada utusan Rasul Allah dengan apa
yang diridhoi Rasul Allah.[19]
2.
Rukun dan syarat-syarat qiyas
Qiyas harus memenuhi empat rukun [20]:
1. Al-Ashl merupakan sesuatu yang telah diketahui hukumnya atau objek yang telah
ditetapkan hukumnya oleh Al-Qur’an, hadis nabi maupun Ijma.Contoh dari rukum yang pertama ini adalah
pengharaman wisky dengan mengqiyaskan kepada khamar. Maka yang dimaksud ashl adalah khamar dimana hal ini telah
ditetapkan hukumnya melalui nash. Menurut imam Ghazali dan Saifuddin al-Amidi
(ahli ushul fiqh Syafi’iyyah) syarat-syarat ashl yaitu :
1) Hukum ashl merupakan hukum diaman ketetapan dari hukum
ini tidak mengandung kemungkinan di naskhan (dibatalkan).
2) Hukum tersebut ditetapkan berdasarkan syara
3) Ashl bukanlah merupakan far’u dari ashl lainya
4) Menetapkan ilat tersebut pada ashl adalah dalil khusus bukan sesuatu yang bersifat umum.
5) Ashl tidak boleh berubah apabila melakukan qiyas
6) Hukum ashl itu tidak keluar sebagaimana dari
kaidah-kaidah qiyas.
2. Al-Far’
Secara etimologi far’
merupakan cabang. Sedangkan pegertian far’dalam konteks qiyas adalah
diartikan sebagai kasus yang ingin diserupakan kepada ashl dikarenakan tidak
ada nash yang jelas menyebut hukum tersebut. Maka dari itu secara
substansial belum ada kejelasan dari far’tersebut
atas status hukumnya itu disinyalir memiliki kesamaan-kesamaan dengan ashl.
Maka dari itu titik temu dari
keduanya yakniashl dan far’ adalah illat. Terdapat
beberapa syarat Far’yang harus dipenuhi yaitu :
1.
Far’ belum dapat ditetapkan hukumnya berdasarkan nas maupun
ijma. Hal ini disebabkan karena qiyas tidak berlakunnya bagi pada
hukum-hukumnya yang sudah jelas nasnya. Karena prinsip qiyas ialah bagaimana mempertemukan hukum baru yang belum ada nasnya
kepada hukum yang sudah ada nasnya.
2.
Ditemukan ‘illat asl pada far’kadar kesamaaan ‘illatiniharusnyalah sempurna. Diantara keduanya harus sama-sama
baik. Baik dilihat dari segi substansinya maupun jenisnya.
3.
Kadar ‘illat yang terdapat pada far’ tidak boleh kurang dari kadar ‘illatyang terdapat pada asl yakni sekiranya‘illatyang terdapat pada far’ sama
dengan ‘illat pada asl dengan
tiada selisih pada kekurangannya. Sedangkan selisih dalam hal ini adalah lebih tidak berpengaruh. Sebab
terkadang hukum yang ada pada far’lebih
utama dari pada hukum yang terkandung pada ashl.
4.
Dalam Far’tidak
ditemukan adanya sesuatu yang lebih kuat atau seimbang yang menentang atau
menghalang-halangi untuk disamakan dengan hukum asl.
3. Hukum asl
Dua kata
yang digabung menjadi satu susunan ini memiliki pengertian hukum syara’ yang
ada pada asl berdasakan pada legitimasi nas. Hukum aslinilah akan pada
berdampak pada far’ yang belum memiliki sama sekali legalitas hukum dari syara’ karena tidak adanya nas.
Dampak dari ini adalah kesamaan hukum, ketika
hukum yang sama-sama melekat pada keduanya dikarenakan kesamaan pada illat.Ketika proses pengqiyasan, kemudian ditemukanlah hukum bagi far’.
Maka hukum far’ ini tidaklah salah satu rukun dari rukun-rukun qiyas. Hukum
far’ merupakan suatu buah dari hasil proses qiyas. Namunmenurut
imam al asnawiHukum far tersebut juga merupakan
rukun qiyas. Yang
dimaksud dengan buah dari suatu qiyas adalah pengertian dari hukum far’
tersebut. Hukum asl memiliki beberapa syarat
diantaranya:
1) Berupa hukum syara’ yang telah ditetapkan oleh nas ataupun ijma. Mengenai
ketetapan hukum ini dimana yang
berasal dari nas. Para ulama tidak ada pendapat mengenai ini. Sedangkan bagi hukum-hukum yang
ditetapkan ijma. Para ulama masih berselisih pendapat.
2) Diharuskan untuk berupa hukum yang ma’qul al-ma’na atau
hukum yang mampu dicerna
oleh akal. Maksud dari hukum rasional adalah sebab dan alasan penetapannya
mudah ditangkap, atau tidak mengandung isyarat sebab-sebab itu. Begitu juga
dengan hukum yang tidak mampu ditangkap oleh akal misalnya seperti hukum
tentang tayamum dan jumlah rakaat sholat, maka dari ini tidak berlaku hukum
qiyas.
4. Al-Illat
Al-illat atau biasa sering disebut
illat merupakan hal terpenting diantara rukun-rukun lainnya. Karena dari
penjeasan di atas illat adalah sebagai titik temu antara asl dan far
yang mana akan menetukan kasus hukum far sendiri. Secara bahasa illat artinya
hujah atau alasan. Secara terminologis illat merupakan sifat yang menjadi
landasan dari hukum asl. Dalam illat harus mempunyai sifat yang jelas dan dapat
dibatasi., sebab konsekuensi dari illat sendiri dalam penetapan hukum harus
jelas dan dapat dimengerti dan diketahui batasan-batasannya. Mengenai illat
terdapat perbedaan pendapat para ulama tentang apakah dalam setiap nas
al-Qur’an maupun hadis selalu terdapat illat didalamnya atau tidak. Kontroversi
ulama mengenai keterkaitan nash dan illat adalah :
1. Golongan pertama yaitu golongan yang berpendapat bahwa
setiap nash hukum didalamnya pasti mempunyai illat. Oleh sebab itu hukum ashl
ada berdasarkan illlat. Sebab illatlah yang menentukan suatu perkara.
Pendapat ini diikuti oleh para jumhur ulama
2. Golongan kedua berpendapat bahwa setiap nash hukum tidak
terdapat illat . terkecuali ada dalil yang menunjukkan hal itu.
3. Golongan ketiga dikemukakan oleh ulama-ulama yang menolak
legaitas qiyas sehingga mereka berpandangan bahwa di dalam nash tidak terdapat
illat.
3.
Pembagian
Qiyas dan contoh-contohnya[22]
Ulama ushul fiqh membagi qiyas
menjadi beberapa bagian yaitu :
1. Dilihat dari segi kekuatan illat dan yang terdapat pada furu
dibandingakan dengan yang terdapat dalam hukum ashl. Qiyas dibagi menjadi tiga
bentuk yaitu :
a. Qiyas al-Aulawi merupakan qiyas dimana hukum pada
furu lebih kuat dari hukum ashl. Hal ini memnyebabkan illat yang terdapat dalam furu itu lebih kuat
dari yang ada pada aashl. Contohnya adalah terdapat dalam mengqiyaskan dalam firman Allah dalam
surah al-Isra tentang memukul kepada ucapan “ah’. Dari ayat ini ulama ushul fiqh berpendapat bahwa bahwa illat dari larangan ini adalah menyakiti
orang tua. Keharaman memukul orang tua lebih kuat dari pada sekedar mengatakan
kata ah. Karena pukulan lebih kuat darai pada ucapan ah.
b. Qiyas al-Musawi merupakan qiyas yang dimana memiliki
kesamaan dari segi kualitas antara hukum yang ada
pada ashl dan yang ada pada illat. Contoh dari qiyas al-Musawi terdapat dalam
firman Allah al-Nisa, 2:2
وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ
بِالطَّيِّبِ وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ
“Dan
berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu
menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama
hartamu”[23]
Dalam ayat ini menjelaskan bahwa dilarang memakan harta anak yatim secara
tidak wajar. Dari sini para ulama ushul fiqh mengqiyaskan dengan membakar harta
anak yatim kepada para pemakan harta secara tidak wajar sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam ayat.Di mana dari kedua sikap tersebut sama-sama menghabiskan
harta anak yatim secara zalim.
c. Qiyas al-Adna merupakan illat yang ada pada furu
lebih lemah dibandingkan dengan ilat yang terdapat pada ashl. Biasanya diartikan bahwa ikatan ilat pada furu sangat
lemah dibandingan dengan ikatan illat yang ada pada ashl. Contohnya adalah
dalam mengqiyaskan buah apel dan gandum dalam hal berlakunya hukum riba fadhl
karena antar apel dan gandum memiliki illat yang sama yakni sama-sama jenis
makanan. Terdapat dalam hadis Rasulullah SAW mengatakan bahwa benda sejenis
apabila ditukarkan dengan berbeda kuantitas maka perbedaan tersebut menjadi
riba fadhl. Dalam hadis tersebut di antaranya adalah gandum ( H.R. Bukhari dan
Muslim). Maka dari itu imam Syafi’i mengatakan jual beli apael bias berlaku
riba fadhl. Akan tetapi hukum riba yang diberlakukan apel tersebut lebih lemah dibandingkan
dengan yang berlaku pada gandum.
2. Dilihat dari segi kejelasan illat terdapat pada hukum
dibagi menjadi dua yaitu :
a. Qiyas al-Jaliy merupakan qiyas illatnya ditetapkan
nash dan hukum ashl secara bersamaan dengan hukum al-ashl atau nash tidak menetapkan
illatnya. Tetapi dipastikan bahwa tidak terdapat pengaruh perbedaan antara ashl
dengan furu. Contoh illat yang yang ditetapkan nash bersamaan dengan ashl
adalah mengqiyaskan memukul orang tua spade ucapan ah yang terdapat dalam
firman Allah surah al-Isra yang telah dijelaskan dimana yang illatnya tersebut
sama-sama menyakiti orang tua. Contoh illat yang tidak disebutkan nash dan
bersamaan dengan hukum ashl seperti mengqiyaskan budak perempuan kepada budak
laki-laki dalam permasalahan memerdekakan mereka. Dari sini terdapat perbedaan
diantara keduanya terletak pada perbedaan jenis kelamin. Akan tetapi perbedaan tersebut dapat dipastikan bahwa
tidak dipengaruhi dalam hukum memerdekakan budak. Maka dari itu apabila
seseorang memerdekakan budak maka pernyataan itu berlaku sama baik budak
laki-laki maupun budak perempuan.
b. Qiyas al-Khafiy meripakan qiyas yang illatnya tidak
disebutkan dalam nash. Contohnya adalah pengqiyasan terhadap pembunuhan dengan
benda berat terhadap pembunuhan dengan menggunakan benda tajam dalam
memberlakukan hukum qishas. Karena diantara keduanya memiliki illat yang sama
yaitu sama-sama membunuh dengan sengaja dengan unsur permusuhan. Pada kasus ini
pembunuhan dengan benda tajam dilihat dari illat hukum ashl lebih kuat dibandingakan
dengan illat yang terdapat pada furu yaitu pembunuhan dengan benda keras.
3. Dilihat dari keserasian illat dengan hukum qiyas dibagi
menjadi dua yaitu :
a. Qiyas al-Mu’atstsir merupakan qiyas sebagai penghubung
antara ashl dan furu yang ditetapkan terhadap nash nash seperti
ijma atau qiyas yang ain sifat itu sendiri menghubungkan antara ashl dan furu
berpengaruh pada hukum itu sendiri. Contoh dari qiyas al-Mu’atssir adalah
dilihat dari yang ditetapkan ijma adalah mengqiyaskan hak perwalian dalam hal
menikahkan anak dibawa umur kepada hak perwalian atas hartanya disebabkan anak
tersebut belum dewasa. Contoh berikutnya adalah dilihat dari ain sifat
sebagaimana hal tersebut berpengaruh terhadap ain hukum adalah bagaimana
mengqiyaskan minuman keras yang dibuat dari selain anggur tetapi sama-sama
memabukkan. Illat mabuk tersebut pada kedua jenis benda ini berpengaruh pada
hukum keharaman meminumnya.
b. Qiyas al-Mula’immerupakan qiyas yang illat hukum
ashlnya memiliki hubungan yang serasi.
Contoh qiyas al-mula’im adalah pembunjuhan dengan benda berat dengan benda
tajam yang telah dijelaskan diatas. Dari
keduanya memiliki hubungan yang serasi.
4.
Dilihat dari
segi dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas tersebut,qiyas dapat dibagi
kepada tiga bentuk, yaitu:
a. Qiyas al-ma’na atau qiyas pada makna ashl yaitu
qiyas yang di dalamnya tidak dijelaskan ‘illatnya tetapi antar ashl
dengan furu’ tidak dapat dibedakan,sehingga furu’ seakan-akan ashl. Misalnya
mengqiyaskan membakar harta anak yatim pada memakannya, yaitu illatnya
sama-sama menghabiskan harta anak yatim itu secara zalim.
b. Qiyas al-Illat yaitu qiyas yang dijelaskan illatnya dan illat itu sendiri
merupakan motivasi bagi hukum ashl. Umpamanya, mengqiyashkan nabidz (minuman
keras yang terbuat dari perasan anggur) kepada khamar, karena kedua minuman
tersebut sama-sama memiliki rangsangan yang kuat, baik pada shl, maupun pada
furu’.
c. Qiyas Al-Dalalah yaitu qiyas yang illatnya bukan
pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, tetapi illat itu sendiri, tetapi
illat itu merupakan keharusan yang memberi petunjuk adanya illat. Misalnya
dalam kasus mengqiyaskan al-nabidz kepada khamar dengan alasan bau menyengat
yang menjadi akibat langsung dari sifat memabukkan.[24]
E.
Penutup
Dari
hasil Pemaparan materi
diatas maka dapat diambil
kesimpulan bahwasannya dalam ushul fiqh bertemakan sumber hukum islam yang disepakati para
ulama yaitu Al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’, dan Qiyas. Dimana keempat sumbermerupakansumber hukum islam itu sendiri digunakan dalam mencari
hukum didalam suatu permasalahan yang ada. Al-Qur’an sendiri yaitu Kalamullah yang diturunkannya kepada Nabi Muhammad,
dengan secara tertulis dalam mushhaf berbahasa Arab, yang sampai kepada kita
dengan jalan mutawatir.
Di dalam al-Qur’an sendiri terdapat banyak pembahasan
diantaranya yaitu penjelasan
Al-Qur’an terhadap hukum, hukum yang
terkandung dalam Al-Qur’an, dan penerapan
hukum dalam al-Qur’an. Sedangkan Sunnah yaitu sesutau perkataan, perbuatan dan
pengakuan Rasulullah saw. yang berposisi sebagai petunjuk dan tasyri’. Oleh sebab itu, sunnah terhadap Al-Qur’an sendiri adalah
memberi penjelasan atau menguatkan hukum
yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an.
Ijma’ merupakanpandangan
para sahabat Nabi dan pencapaian persetujuan dalam berbagai keputusan dan
dilakukan oleh para ulama.Di dalam ijma juga terdapat perbedaan pendapat berkaitan dengan adanya mengenai pembatasan dan persyaratan, baik dari batasan
dalam pendefinisiannya dan lain sebagainnya. Dan yang terakhir
qiyas yang mana memiliki arti menyamakan
suatu masalah baru yang tidak memiliki ketentuan hukumnya dalam Al-qur’an dan Sunnah Nabi dengan
masalah yang memang sudah ada hukumnya didalam Al-qur’an dan Sunnah yang
berdasarkan dengan adanya persamaan illat hukumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Djamil,
Faturrahman .Filsafat Hukum IslamJakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997.
Fakhruddin.Intellectual Network : Sejarah dan Pemikiran Empat Imam
Mazhab Fiqh . Malang : UIN-Malang
Press,2009.
Habibi, Muhammad Teungku.Pengantar Ilmu Fiqih.Semarang: PT.
Pusta Rizki Putra, 1997.
Haroen ,Nasrun. Ushul Fiqh I
.Jakarta :Logos Wacana Ilmu, 1997.
Hasan Khalil, Hasan Rasyad.Tarikh
Tasyri : Sejarah Legislasi Hukum Islam .Jakarta:Amzah, 2009.
Hayatuddin,Amrullah.Ushul Fiqh
: Jalan Tengah Memahami Hukum Islam .Jakarta : Amzah, 2019
Masfuful FuadMasfuful Ahmad,(2016) .Qiyas Sebagai Salah Satu Metode
Istinbat Al- Hukm,Pemikiran Hukum Islam. Vol.XV.No.1
Pokja Forum Karya Ilmiah, Kilas
Balik Teoritis Fiqh Islam , Kediri: Purna Siwa Aliyyah Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien PP Lirboyo, 1980
Rahman ,Abdur .Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam.Jakarta: Rineka Cipta 1993.
Sudirman, Fiqh Kontemporer.Yogyakarta :Deepublish, 2018
Suyatno,Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Yogyakarta :Ar-Ruzz Media,2011.
Syafi’I, Rahmat Ilmu Ushul Fiqh .Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010
Zuhdi,Masjfuk, Pengantar Hukum Syariah, Jakarta : CV Haji Masagung, 1987.
Sudah bagus
[1]Pokja Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Fiqh
Islam (Kediri: Purna Siwa Aliyyah Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien PP
Lirboyo, 2004) hlm 9
[2]Rahmat, Syafi’i
Ilmu Ushul Fiqh (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010) hlm. 49-50
[3]Sudirman, Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta
:Deepublish, 2018) hlm. 227-228
[4]Suyatno,Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh,
(Yogyakarta :Ar-Ruzz Media,2011) hlm. 86
[5]Al-Qur’an dan Terjemahan
[7]Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah,
(Jakarta : CV Haji Masagung, 1987)hlm. 53-54
[9]Amrullah Hayatuddin, Ushul Fiqh : Jalan Tengah
Memahami Hukum Islam (Jakarta : Amzah, 2019) hlm. 40-41
[12]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I (Jakarta :Logos
Wacana Ilmu, 1997)hlm. 39
[13]Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri : Sejarah
Legislasi Hukum Islam (Jakarta:Amzah, 2009) hlm.157
[14]Amrullah
Hayatudin,op.,cit. hlm.55-56
[15]Teungku
Muhammad Habibi, Pengantar Ilmu Fiqih, (Semarang: PT. Pusta Rizki Putra,
1997), hal. 183
[16]Fakhruddin, Intellectual Network : Sejarah dan
Pemikiran Empat Imam Mazhab Fiqh, (Malang : UIN-Malang Press,2009) hlm.48
[17]Abdur Rahman , Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam,
(Jakarta: Rineka Cipta 1993),hlm 101-102
[18]Faturrahman Djamil , Filsafat Hukum Islam ,
(Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm. 135
[19]Nasrun Harun,op.,cit. hlm. 70-71
[20]Ahmad Masfuful Fuad,”Qiyas Sebagai Salah Satu
Metode Istinbat Al-Hukm”,Pemikiran Hukum Islam. Vol.XV.No.1 (Juni 2016)
hlm. 45
[21]Ibid., hlm. 45-48
[22]Nasrun Harun,op.,cit. hlm. 95-96
[23]Al-Qur’an Terjemah
[24]Nasrun Harun,op.,cit. hlm. 97-98
Your Affiliate Profit Machine is ready -
BalasHapusPlus, making money online using it is as simple as 1-2-3!
Here is how it all works...
STEP 1. Choose which affiliate products you want to promote
STEP 2. Add some push button traffic (this LITERALLY takes 2 minutes)
STEP 3. Watch the system grow your list and sell your affiliate products all by itself!
Are you ready to make money ONLINE?
Check it out here