SUMBER HUKUM YANG DISEPAKATI
(AL-QUR’AN, AL-SUNNAH, IJMA’, QIYAS)
MUHAMMAD ALWI FUADI (17110078)
Mahasiswa PAI, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang
e-mail: muhammadalwifuadi11@gmail.com
Abstract
This material talks about the sources of law
agreed upon by the ulama or mujtahid in determining a law or case in the daily
life of a Muslim. Furthermore these sources explain about the laws in terms of
jurisprudence, be it about fiqh of worship or fiqh mu’amalah. The approved
legal sources are divided into four parts, namely al-Qur'an, al-Sunnah, Ijma ’,
Qiyas. The four sources of law are our basis in determining law in a case. When
we find a case that we do not know the law, then we look in the Qur'an first if
we still do not understand or find the law then we look for in the sunnah of
the Prophet Muhammad. if you still don't understand or find the law, then we
look for the Ijma 'of friends or tabi'in or from the agreement of the mujtahid
but the scope is still not extensive, if we still don't understand or find the
law of the case then we can point to Qiyas . This Qiyas has a broad scope of
the three sources mentioned earlier.
Abstrak
Materi ini berbicara mengenai tentang sumber-sumber hukum yang
disepakati oleh para ulama atau mujtahid dalam menentukan sebuah hukum atau
perkara dalam kehidupan sehari-sehari seorang muslim. Lebih lanjutnya
sumber-sumber ini menjalaskan tentang hukum-hukum dalam hal fiqih, baik itu
tentang fiqih ibadah atau fiqih mu’amalah. Sumber-sumber hukum yang disetujui
terbagi dalam empat bagian, yakni al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, Qiyas. Keempat
sumber hukum tersebut adalah dasar kita dalam menentukan hukum dalam sebuah
perkara. Ketika kita menemukan perkara yang kita belum kita tahu hukumnya, maka
kita cari didalam al-Qur’an terlebih dahulu jika masih belum memahami atau
menemukan hukumnya maka kita cari didalam sunnah Nabi Muhammad SAW. jika masih
belum memahami atau menemukan hukumnya, maka kita cari didalam Ijma’ para
sahabat atau tabi’in atau dari kesepakatan para mujtahid akan tetapi cakupanya
masih belum luas, jika masih belum juga kita memahami atau menemukan hukum dari
perkara tersebut maka kita bisa mngarah kepada Qiyas. Qiyas ini memiliki
cakupan luas dari pada ketiga sumber yang telah di sebutkan tadi.
Keywords: Sumber
Hukum, Al-Qur’an, Al-Sunnah, Ijma’, Qiyas
A.
Pendahuluan
Dalam penentuan hukum, terutama dalam bidang fiqih, diperlukan
dalil-dali atau dasar hukum. Dalil ini nantinya yang akan dijadikan sebagai
bukti dari sudut pandang yang benar atas hukum syara’mengenai perbuatan
manusia secara pasti atau dugaan.[1]
Dalil-dalil hukum dan sumber-sumber hukum merupakan pengistilahan yang sama.
Sumber dalam penentuan hukum dalam fiqih kurang lebih memiliki arti yang sama
yakni menjadi dasar dan menjadi bukti dalam pemutusan hukum dalam fiqih.
Sumber-sumber atau dalil-dalil ini dibagi menjadi dua golongan yang
pertama adalah sumber hukum yang di sepakati, yang kedua adalah sumber hukum
yang tidak disepakati. Sumber-sumber yang disepakati antara lain meliputi:
1.
Al-Qur’an
2.
Hadist atau Sunnah
3.
Ijma’
4.
Qiyas
Sedangkan sumber-sumber yang tidak
disepakati antara lain:[2]
1.
Istihsan
2.
Maslahah al-mursalahah
3.
‘Urf
4.
Mazhab Sahabi
5.
Istishab
6.
Sadd ad dzari’ah
7.
Syar’u man Qoblana
Akan tetapi yang akan menjadi fokus dalam mater ini adalah
sumber-sumber hukum yang disepakati yakni al-Qur’an, Hadist atau Sunnah, Ijma’
Qiyas. Keempat sumber inilah yang menjadi dasar penentuan hukum dalam Islam,
keempat sumber ini dibagi dua golongan yakni sumber naqli (al-Qur’an dan
Sunnah) dan juga sumber aqli (Ijma’ dan Qiyas). Sumber naqli bisa
dikatakan sebagai sumber yang berasal dari atau sudah dijelaskan didalam nash
al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan sumber aqli merupakan sumber yang
belum dijelaskan dalam nash,yang mana dikembangkan dengan Ijma’ dan
Qiyas.
B.
Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas
Guna memperdalam memahami keempat sumber hukum ini, diperlukan
pemaparan lebih lanjut tentang sumber-sumber hukum tersebut, oleh sebab itu
penulis memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai sumber hukum al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’, Qiyas.
1.
Al-Qur’an
Menurut para pakar ushul fiqih dan bahasa Arab, al-Qur’an adalah
kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang lafazd-lafazdnya
mengandung mu’jizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, yang secara mutawatir,
dan yang ditulis pada mushaf, mulai dari awal Surah Al-Fatihah sampai akhir
Surah An-Nas.[3]Al-Aqur’an
merupkan suber utama dalam penentuan hukum sebelum sunnah, ijma’, dan qiyas.
Ada pula yang mendefinisikan al-Qur’an dengan artian sebagai
berikut, kalam Allah dengan lafazd berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW. untuk direnungkan, diingat, dan berdasarkan riwayat mutawatir.[4]
Al-Qur’an tidak mengalami perubahan sama sekali, dari segi lafazd, isi, susunan
redaksi maupun isi kandungan hukum yang ada didalamnya. Sebagaimana telah di
firmankan oleh Allah SWT, yang berbunyi:
إِنَّانَحْنُنَزَّلْنَاالذِّكْرَوَإِنَّالَهُلَحَافِظُونَ
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan
Al-Dzikr (Al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami selalu menjaganya”.(Q.S,
Al-Hajr (15): 9)
Allah SWT. telah menjelaskan kepada kita bahwa
sanya al-Qur’an merupakan mu’jizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW.
sebagai penguat risalahnya.[5]Allah
SWT. memberi perintah kepada Nabi Muhammad SAW, dengan firmanya yang berbunyi
أَمْيَقُولُونَافْتَرَاهُ ۖ قُلْفَأْتُوابِعَشْرِسُوَرٍمِثْلِهِمُفْتَرَيَاتٍوَادْعُوامَنِاسْتَطَعْتُمْمِنْدُونِاللَّهِإِنْكُنْتُمْصَادِقِينَ
Artinya: “Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat
al-Qur’an itu”. Katakanlah:”(kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh
surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang
kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang
benar”. (QS. Al-Hud: 13).
Dari ayat diatas dapat kita simpulakan bahwasannya tidak ada satu pun orang
atau mahkluk yang ada di alam semesta ini yang bisa membuat sesuatu yang
menyamai al-Qur’an kecuali Allh SWT. dan kita juga harus bersyukur bahwa
kitalah orang yang paling fasih bahasanya dan paling variatif retoriktanya.
Kemudian Allah memperkuat argumentasi dan memberi penjelasan yang lebih jelas
dengan berfirman kepada mereka.[6]
قُلْلَئِنِاجْتَمَعَتِالْإِنْسُوَالْجِنُّعَلَىٰأَنْيَأْتُوابِمِثْلِهَٰذَاالْقُرْآنِلَايَأْتُونَبِمِثْلِهِوَلَوْكَانَبَعْضُهُمْلِبَعْضٍظَهِيرًا
Artinya: “Katakanlah:”Sesungguhnya jika manusia
dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak
akan membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu
bagi sebagian yang lain.(QS. Al-Isra’(17):88)
Salah satu contoh dalil atau sumber hukum dari
al-Qur’an, salah satunya adalah melakukan dera / cambukan pada seseorang digantungkan pada
terwujudnya zina pada seorang tesebut. Sehingga cambukan harus diulang-ulang
sebanyak pengulangan zina yang dilakukan orang tersebut .[7]
dalilnya sebagai berikut:
الزَّانِيَةُوَالزَّانِيفَاجْلِدُواكُلَّوَاحِدٍمِنْهُمَامِائَةَجَلْدَةٍ
Artinya:”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah
setiap seorang dari keduanya seratus kali dera”.(QS. An-Nur:2)
2. Sunnah
Kedudukan Sunnah Nabi Muhammad SAW. sebagaimana
kedudukan al-Qur’an, yang mana sebagai sumber hukum atau ushul syar’iy dan
juga sebagai dalil hukum syara’. Kedudukan sebagai sumber syara’ atau ushul
syar’iy adalah karena Sunnah Nabi itu mengandung norma hukum yang kepadanya
didasarkan hukum syara’ dan digali, ditemukan dan dirumuskan hukum syara’.[8]
Secara
etimologis kata Sunnah memiliki arti cara yang biasa dilakukan., apakah
cara itu sesuatu yang baik, atau buruk. Penggunaan kata Sunnah dalam arti yang terlihat
dalam sabda Nabi Muhammad yang berbunyi:[9]
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ اَجْرُهَا
وَاَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةٍ فَعَليْهِ وِزْرُهَا
وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artiinya: Siapa yang membuat sunah yang baik
maka baginya pahala serta pahala orang yang mengerjakanya dan siapa yang
membuat sunah yang buruk, maka baginya siksaan serta siksaan orang yang
mengerjakanya sampai hari kiamat.
Di dalam al-Qur’an juga menyebutkan kata Sunnah
didalam 16 tempat yang tersebar dalam beberapa suarah dengan arti “kebiasaan
yang berlaku” dan juga “jalan yang diikuti”.[10]
Salah satunya dalam firman Allah SWT. yang berbunyi, sebagai berikut:
سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ
رُسُلِنَا ۖ وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلًا
Artinya: (Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan Kami itu.(QS. Al-Isra’:77)
Artinya: (Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan Kami itu.(QS. Al-Isra’:77)
Adapun hubungan
Sunnah dan al-Qur’an dilihat dari sisi materinya hukum yang terkandung
didalamnya sebagai berikut:[11]
a. Muaqqi
Yaitu menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan
didalam al-Qur’an dikuatkan dan dipertegas lagi oleh Sunnah, misalnya tentang sholat,
zakat terdapat dalam al-Qur’an dan dikuatkan oleh Sunah.
b. Bayan
Yaitu Sunnah menjelaskan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
belum jelas, dalam hal ini ada empat hal:
1) Memberikan perincian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal,
misalnya peintah shalat dalam al-Qur’an yang mujmal, diperjelas dengan Sunnah.
Demikian juga tentang zakat, haji dan puasa. Dalam shalat misalnya.
2) Membatasi kemutlakan (taqyid al-muthlaq). Misalnya al-Qur’an
memerintahkan untuk berwasiat, dengan tidak dibatasi berapa jumlahnya. Kemudian
Sunnah membatasinya.
3) Mentakhshishkan keumuman. Misalnya: al-Qur’an mengharamkan tentang
bangkai, darah, dan daging babi, kemudian Sunnah mengkhususkan dengan
memberikan pengecualian kepada bangkai ikan laut, belalang, hati dan limpa.
4) Menciptakan hukum baru. Rosulullah melarang untuk binatang buas dan yang
bertaring kuat, dimana hal ini tidak disebutkan dalam al-Qur’an.
Sunnah juga memiliki beberapa macam, dalam hal ini
ada tiga macam, yaitu:[12]
a) Sunnah qauliyah
Yaitu ucapan Nabi Muhaamad yang didengar oleh para sahabat
beliau dan disampaikannya kepada orang lain. Contohnya sahabat menyampaikan
bahwa ia mendengar Nabi Muhammad, bersabda: “Siapa yang tidak sholat karena
tertidur atau karena ia lupa, hendaklah ia mengerjakan shalat itu ketika ia
telah ingat”.
b) Sunnah fi’liyah
Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh NAbi Muhammad SAW. yang
dilihat atau diketahui oleh sahabat,
kemudian disampaikan kepada orang lain dengan ucapanya. Contohya, sahabat
berkata, “Saya melihat Nabi Muhammad SAW. melakukan shalat sunat dua raka’at
sesudah shalat zduhurz.”
c) Sunnah taqririyah
Yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapanya yang dilakukan
dihadapan atau sepengetahuan Nabi Muhammad, tetapi tidak ditanggapi atau
dicegah oleh Nabi. Diamnya Nabi itu disampaikan oleh sahabat yang menyaksikan
kepada orag lain dengan ucapanya. Sebagai contohnya, seoarang sahabat memakan
daging dhab di depan Nabi. Nabi mengetahui apa yang dimakan oleh sahabat
tersebut, tetapi Nabi tidak melarang atau menyatakan keberatan atas perbuatan itu.
Kisah itu disampaikan oleh sahabat yang mengetahuinya dengan ucapanya, “Saya
melihat seorang sahabat memakan daging dhab di dekat Nabi. Nabi mengetahui,
tetapi Nabi tidak melarang perbuatan itu.”
3. Ijma’
Ijma’ merupakan salah
satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentative setingkat
dibawah dalil-dalil nash (al-Quran dan Hadist). Ijma’ merupakan dalil pertama
setelah al-Quran dan Hadist, yang dapat dijadikan pedoman dalam mengggali
hukum-hukum syara’.[13]
Dari beberapa pendapat terdapat definisi sebagai berikut
a. Ijma’ dapat terjadi dengan atau jika
para ulama atau para mujtahid bersepakat
b. Adanya permasalahan yang tidak terdapat
dalam Nash.
c. Terjadi di masa tertentu atau juga di
masa lampau
Ijma’ ini juga tidak
sah jika:
a. Ada yang
tidak menyetujui
b. Hanya ada satu orang mujtahid
c. Tidak ada kebulayan yang nyata
d. Sudah jelas atau sudah ada di dalam
Nash.
Didalam pemutusan ijma’
haruslah ada para ulama atau orang-orang yang berhak mengesahkan ijma’,
orang-orang ini atau ulama’ ini di sebut dengan mujtahid, merekalah yg berhak
memutuskan di sahkan atau tidaknya ijma’ tersebut. Ijma’ sendiri sudah
dilakukan pada masa para sahabat Nab Muhammad SAW. ketika mereka menemukan
suatu permasalahan, yang mana masalah tersebut tidak dijelaskan atau tidak diketemukan
didalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, lalu merka melakukan ijtihad kuntuk
menentukan hukum dari permasalahan tersebut.
Pada masa Nabi Muhammad
SAW. masih hidup, umat Islam dapat menyaka semua permasalahan yang dihadapi
terkait hukum syar’i secara langsung kepada Nabi Muhammad SAW. kemudian
Rosulullah kemudian menjawabnya berdasakan wahyu yang diturunkan. Kemudian
ketika Rosulullah wafat, muncul permasalahan-permasalahan baru yang tidak
didapatkan pada masa Rosulullah, sehingga untuk memutuskan hukumnya mutlak
diperlukan Ijtihad dan Ijma’ salah satu metode untuuk menyelesaikan
permasalahan tersebut. Salah satunya mengenai masalah kodifikasi al-Qur’an,
atau masalah penetapan status tanah daerah taklukan yang semakin luas, pada
masa itu Khalifah bersama para sahabat melakukan musyawarah untuk
bersama-bersama memecahkan masalah yang dihadapi.[14]
4. Qiyas
Secara etimologis qiyas merupakan bentuk masdar dari qasa-yaqisu
yang berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu.[15]
Secara terminologis ada beberapa pendapat atau definisi yang diemukakan oleh
para ulama di antaranya adalah pendpat dari Imam Al-Ghozali, beliau
mendifinisikan qiyas sebagai berikut:
“Menggunakan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang yang
diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari
keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama
diantara keduanya, dalam menetapkan hukum atau peniadaan hukum.”
Selain dari pada itu Ibnu Sabhi dalam bukunya Jam’ul
Jawami’, beliau mendefinisikan qiyas sebagai berikut:
“Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang
diketahui karena kesamaan dalam ‘ilat hukumnya menurut pihak yang
menghubungkannya (mujtahid.”[16]
Selain dari dua definisi yang dikemukakan oleh dua ulama’
ini, sebenarnya masih banyak lagi definisi yang laian dari para ulama lainya,
akan tetapi pada intinya definisi-definisi tersebut sama yaitu, menetapkan
suatu hukum dari suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya
dengan cara membandingkannya kepada seuatu kejadian atau peristiwa lain yang
telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘ialat diantara
keduanya. Proses dalam penatapan hukum dengan qiyas tidaklah menetapkan hukum
dari awal, akan tetapi hanya menyingkap dan menjelaskan hukum pada suatu
perkara yang belum jelas hukumnya. Penetapanya dilakukan dengan teliti terhadap
‘ilat dari suatu kasus yang dihadapi. Apabila diantara ‘ilat dari
suatu perkara ini sama dengan ‘ilat hukum yang sudah ada atau sudah dijelaskan
atau disebutkan didalam nash, maka hukum tersebut adalah sama dengan hukum yang
telah ditentukan didalam nash tersebut.
Ada empat unsur pokok (rukun) qiyas, yakni:[17]
a. Ashl (pokok), adalah suatau peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan
tempat mengqiyaskan atau bisa disebut miqas ‘alaih. Menurut para ahli
ushul fiqh, ashl adalah nash yang menetukan hukum, karena nash inilah
yang dijadikan patokan dalam menentukan hukum far’u. syarat ashl diantara lain:
1) Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok. Kalau
tidak ada, seperti jika sudah dihapusakan (mansukh) pada masa Rosululah,
maka tidak mungkin terdapat pemindahan hukum.
2) Hukum yang terdapat pada ashl itu hendaklah hukum syara’
3) Hukum ashl bukan merupakan hukum pengecualian seperti sahnya puasa
orang lupa, meskipun makan dan minum.
b. Far’u (cabang) yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya. Far’u itulah uang
dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Ia disebut juga dengan
maqis, yang dianalogikan. Para ulama ushul fiqh mengemukakan empat
syarat yang harus dipenuhi:
1) Ilatnya sama dengan ‘ilat yang ada pada nash,baik pada zatnya maupun pada
jenisnya. Sebagai contoh yakni mengqiayaskan wisky pada khamr, karena keduanya
sama-sama memabukkan dan yang memabukkan itu sedikit atau banyak, apabila
diminum hukumnya haram. ‘ilat yang ada pada wisky sama zat atau
materinya dengan ‘ilat yang ada pada khamr.
2) Hukum ashl tidak berubah setelah diqiyaskan
3) Hukum far’u tidak mendahului hukum ashl , artinya hukum far’u
itu harus dating dikemudian dari hukum ashl.
4) Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u, artinya
tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u dan hukum itu
bertentangan dengan qiyas, karena jika demikian maka status qiyas
ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau ijma’.
c. Hukum ashl yaitu hukum syar’i yang diterapkan oleh nash.
Syarat-syarat hukum ashl antara lian sebagai berikut:
1) Hukum ashl hendaknya hukum syara’ yang berhubungan dengan amal
perbuatan, karena yang menjadi kajian usuhl fiqh adalah hukum yang menyangkut
amal perbuatan
2) Hukum ashl dapat ditelusuri ‘ilat hukumnya, seperti hukum
haramnya khamar dapat ditelusuri mengapa khamar itu diharamkan, yaitu karena
memabukkan. Bukan hukum-hukum yang tidak dapat diketahui ‘ilat hukumnya,
seperti masalah bilangan makna.
3) Hukum ashl itu lebih dahulu disyari’atkan dari far’u, dalam
hal ini tidak boleh mengqiyaskan wudlu dengan tayamum, sekalipun ‘ilat-nya
sama, karena syari’at wudlu terlebih dahulu turun dari pada tayamum.
d. ‘Ilat adalah suatu sifat yang terdapat pada ashl, dengan adanya sifat
itulah ashl mempunyai suatu hukum dan dengan itulah terdapat banyak
cabang sehingga hukum cabang itu disamakan dengan ashl.
Hal-hal yang telah di jelaskan diatas merupakan rukun atau
pokok-pokok dalam menjalani qiyas, dan dengan pokok-pokok diatas penatapan
hukum qiyas akan diterima dan di sahkan, meskipun masih banyak pro dan kontra
didalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fikih: Kaidah
Hukum Islam, Terj. Faiz el Muttaqin.
Jakarta:Purtaka Amani,2003.
Hayatuddin, Amrullah.Ushul Fiqih:Jalan Tengah
Memahami Hukum Islam. Jakarta: Amzah, 2019.
Yasin, Achmad. Buku Perkuliahan Ilmu Usul
Fiqih: Dasar-Dasar Istinbat Hukum Islam. Surabaya:UINSA Press, 2013.
Al-Jurjawi, Ali Ahmad.Hikmatut Tasyri’:
Menyingkap Hikmah Di Balik Perintah Ibadah. Terj. Toyib Arifin. Yogyakarta:
Qudsi Media 2015.
Afandi, Kholid dan Nailul Huda. Dari Teori
Ushul Menuju Fiqih: Ala Tashil Ath-Thuruqat. Kediri: Santri Salaf press
2013.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih JIlid 1. Jakarta:
Kencana, 2008.
Sulistiana, LS.(2018).Perbandingan Sumber Hukum
Isalam.Jurnal peradaban dan hukum Islam, 1.
Syafe’i, Z. (1997). Ijma’ Sebagai Sumber Hukum
Islam, Al-Qolam.8.
Tohari, C. (2019). Konsep Ijma’ Dalam Ushul
Fiqh Dan Klaim Gerakan Islam 121. Jurnal Aqlam-Journal of Islam and
Plurality. 4
Catatan:
Pembahasan kurang mendalam
[1] Abdul wahab khlaf, Ilmu Ushul Fikih: Kaidah Hukum Islam,
Terj. Faiz el Muttaqin, (Jakarta:Purtaka Amani,2003), hlm. 13
[2]Amrullah Hayatudin, Ushul Fiqih:Jalan Tengah Memahami Hukum Islam
(Jakarta: Amzah, 2019), hal. 36
[3] Ibid. hlm. 37
[4] Achmad Yasin, Buku Perkuliahan Ilmu Usul Fiqih: Dasar-Dasar
Istinbat Hukum Islam(Surabaya:UINSA Press, 2013), hlm. 32
[5] Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmatut
Tasyri’: Menyingkap Hikmah Di Balik Perintah Ibadah. Terj. Toyib
Arifin(Yogyakarta: Qudsi Media 2015), hlm. 30
[6] Ibid, Hlm. 31
[7]Kholid Afandi, Nailul Huda,Dari Teori Ushul Menuju Fiqih: Ala
Tashil Ath-Thuruqat,(Kediri: Santri Salaf press 2013), hlm. 109
[8]Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih JIlid 1,(Jakarta: Kencana,
2008), hlm. 226
[9] Ibid.
[10] Ibid, hlm. 227
[11]Siska Lis Sulitiani, “Perbandingan Sumber Hukum Isalam”, Jurnal
peradaban dan hukum Islam. Vol.1 No. 1 Maret, 2018, hlm. 106
[12] Amir syarifuddin, op., cit. hlm. 229
[13] Zakaria Syafe’I, “Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam”Al-Qolam.Vol
8 No. 67, Tahun 1997, hal. 29
[14] Chamim Tohari, “Konsep Ijma’ Dalam Ushul Fiqh Dan Klaim Gerakan
Islam 121”, Jurnal Aqlam-Journal of Islam and Plurality, Vol. 4 No. 2,
Desember 2019, hlm. 152
[15] Arifana nur kholiq,”Relevansi Qiyas dalam Istinbath Hukum
Kotemporer”.Jurnal hukum Islam, Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014, hal. 172
[16] Ibid.-
[17] Ibid, hal. 173
Tidak ada komentar:
Posting Komentar