TAQLID, TALFIQ, DAN ITTIBA’ DALAM USHUL FIQH
Najdatin Jayyidah
(17110005)
Agus Ashadi
(17110187)
Abstract
This
paper discusses a main theme in Usul Fiqh which is Taqlid, Talfiq, and
Ittiba '. This taqlid discussion is an important discussion in a person to
follow one's opinion or speech without the evidence. While the discussion of
talfiq is about the merging of opinions from several opinions of schools in
conducting a worship. And the discussion of ittiba 'is the antonym of the
meaning of taqlid above, that is, following a statement or opinion from someone
but knowing their arguments. All of these things are aimed at determining the
pros and cons of performing legal sharia in one's daily life.
Keywords:Taqlid, Talfiq, Ittiba’
Abstrak
Makalah
ini membahas tentang suatu tema pokok dalam Ushul Fiqh ialahTaqlid, Talfiq,
dan Ittiba’. Pembahasan taqlid ini adalah pembahasan yang penting
dalam diri seseorang untuk mengikuti pendapat atau ucapan seseorang tanpa
hujjah. Sedangkan pembahasan talfiq yaitu mengenai penggabungan pendapat
dari beberapa pendapat madzhab dalam melakukan suatu ibadah. Dan pembahasan ittiba’
ialah antonim dari makna taqlid di atas yaitu mengikuti suatu ucapan
atau pendapat dari seseorang akan tetapi mengetahui dalil-dalilnya. Semua hal
tersebut bertujuan dalam menentukan baik buruknya dalam melakukan syari’at
hukum dalam keseharian hidup seseorang.
Kata kunci:Taqlid, Talfiq, Ittiba’
A.
Pendahuluan
Sumber hukum dalam
Islam, ada yang sudah disepakati para ulama’ disebut muttafaq dan ada yang
masih diperselisihkan disebut mukhtalaf. Sumber hukum Islam yang telah
disepakati oleh jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Serta
para ulama setuju dengan urutan pengambilan keputusan tersebut sesuai dengan
urutan yaitu Al-Qu’an, Hadits, Ijma;, dan Qiyas.
Sedangkan sumber hukum
Islam yang sekarang masih diperselisihkan di kalangan para ulama’ selain sumber-sumber
hukum yang empat di atas antara lain istihsân, maslahah mursalah, istishâb,
‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana.
Oleh karena itu,
sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat yang pertama sumber hukum yang telah
disepakati dan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan.
Sebagian ulama mengemukakan
enam sumber hukum yang masih diperselisihkan tersebut sebagai dalil hukum bukan
sumber hukum, namun ulama yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.
B.
TAQLID
1.
Taqlid
Istilah taqlid (تقليد) merupakan asal kata dari fi’il madhi (kata
dasar) تقلد
dan قلد
yang secara bahasa berarti “mengalungkan” atau “menjadikan kalung”. Jika dikatakan:
قلد عامة مصر الشفعي, masyarakat awam di Mesir telah mengikuti pendapat Imam
Syafi’i. Hal tersebut mengandung arti untuk menjadikan pendapat dari Imam
al-Syafi’i sebagai kalung.[1]
Istilah taqlid mempunyai kaitan dengan kata qaladah (قلادة) yang
memiliki makna kalung. Berdasarkan awal mulanya, قلادة(kalung) tersebut dipakai suatu hal yang
diikatkan membelit leher seekor hewan, dan seekor hewan yang telah dikalungi
tersebut mengikuti sepenuhnya ke arah mana seseorang itu menarik kalung yang membelitnya. Jika suatu
“kalung” tersebut adalah suatu “pendapat” ataupun “perkataan” seseorang, maka
orang itu berpendapat dan seseorang yang dikalungi tersebut mengikuti
“pendapat” orang tersebut tanpa menanyakan lagi kenapa “pendapat” itu demikian.
Dari penjelasan di atas, maka sudah pasti secara bahasa tersebut
apabila diuraikan, “Si fulan ber-taqlid terhadap si A”, yakni si fulan
mengikuti pendapat si A tersebut dengan setia tanpa harus mengetahui
mengapa si A berpendapat seperti itu.
Dilihat dari taqlid secara bahasa ada juga beberapa paparan
secara istilah hukum yang keterkaitannya tidak jauh berbeda dari hakikatnya.
Diantara pengertian taqlid secara istilah, yaitu ;
1.
Al-Ghazali
mendefinisikan:
قبول قول بلا حجة
“Menerima
ucapan tanpa hujah.”
2.
Dalam kitab Nihayat
al-Ushul Al-Asnawi mendefinisikan:
التقليد هو الأخذ بقول غيره من غير دليل
“Mengambil
perkataan orang lain tanpa dalil.”
3.
Dalam kitab Jam’ul
Jawami’ Ibn Subki mendefiisikan:
التقليد أخذ القول من غير معرفة دليل
“Taqlid ialah
mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil.”[2]
Dan masih banyak pemaparan makna taqlid yang tidak jauh
berbeda dari tiga definisi di atas.
Dari tiga pengertian secara istilah tentang taqlid di atas,
Imam Al-Ghazali mengemukakan pengertian tersebut secara ringkas dan sederhana.
Akan tetapi definisi tersebut jika ditelaah secara sederhana belum memiliki
pengertian yang lengkap maka masih menimbulkan pertanyaan yang harus
dijelaskan.
Pemaparan definisi taqlid menurut Al-Asnawi banyak menjawab
kesamaran yang ada di dalam pemaparan definisi menurut Imam Al-Ghazali
tersebut. Dalam pengertian yang dikemukakan itu beliau menggunakan kata
“mengambil” sebagai pengganti dari kata “menerima” tapi dua kata tersebut tetap
memiliki maksud yang sama. Kata “orang lain” mengandung maksud kata atau
pendapat orang lain, bukan pendapat atau kata dari dirinya sendiri. Sedangkan
kata “tanpa dalil” tersebut memperjelas atau menejelaskan kata “tanpa hujah”
yang telah dipaparkan dari Imam AL-Ghazali.
Akan tetapi kesamaran kembali timbul dari kata “tanpa dalil” itu,
maksud kata tanpa dalil tersebut bukan berarti pendapat yang diambil itu tidak
berdalil atau tidak memliki dalil, akan tetapi orang yang menerima pendapat
tersebut tidak mengetahui dalil-dalil yang terkandung dalam suatu pendapat itu
yang telah dikemukakan oleh orang lain.
Al-Mahalli yang mensyarah kitab Jam’u al-Jawami’
mengemukakan bahwa apabila menerima atau mengambil selain ucapan, baik dalam
bentuk suatu perbuatan ataupun suatu pengakuan maka hal tersebut tidak
dinamakan taqlid.
Mengenai tiga definisi di atas hanya mengemukakan pasal tiga kata
yakni “tanpa hujah” atau “tanpa dalil” atau “tanpa mengetahui dalil” orang yang
mempunyai pendapat. Pada bagian ini memberikan penjelasan ketika seorang
penerima atau pengambil pendapat tersebut ada hujahnya atau mengetahui
dalilnya, maka cara tersebut bukan dinamakan taqlid, akan tetapi
termasuk suatu karya ijtihad yang secara kebetulan hasilnya bersamaan dengan
yang telah diikutinya.
Untuk menjawab kesamaran yang terdapat di tiga paparan definisi di
atas Ibn al-Hummam (dari kalangan ulama Hanafiyah) mengemukakan definisi lebih
lengkap yang mampu menjelaskan kesamaran tersebut, yakni:
التقليد
هو العمل بقول من ليس قوله إحد الحجج بلا
حجة منها
“Taqlid ialah beramal dengan pendapat sesorang yang pendapatnya itu
bukan merupakan hujah, tanpa mengetahui hujahnya.”[3]
Berhubungan dengan definisi tersebut, maka apabila menerima
pendapat dari Nabi yang bernilai hujah dengan sendirinya, dan juga ketika menerima
pendapat yang dilahirkan dari kesepakatan Ijma’, maka hal tersebut bukan
taqlid, walaupun pada saat penerimaan pendapat tersebut tanpa hujah atau
tidak mengetahui dalilnya. Begitu pula sebaliknya, pendapat seorang mujtahid
secara perseorangan itu bukan dinamakan hujah, maka bila seseorang telah
mengikuti pendapat seorang mujtahid tersebut tanpa mengetahui suatu dalilnya,
maka hal tersebut dinamakan taqlid.
Maka dari beberapa paparan serta analisis diatas dapat disimpulkan
hakikat dari taqlid, yakni:
a.
Taqlid itu
ialah melakukan sesuatu dengan mengikuti ucapan atau pendapat dari orang lain.
b.
Ucapan atau
pendapat orang lain tersebut tidak bernilai sebagai hujjah.
c.
Seseorang yang
mengikuti ucapan atau pendapat orang lain tersebut tidak mengetahui sepenuhnya
mengenai sebab-sebab atau dalil-dalil dan hujjah dari ucapan atau pendapat yang
telah diikutinya itu.[4]
Berdasarkan uraian hakikat taqlid yang
telah dipaparkan di atas serta dihubungkan dengan antara ijtihad dan mujtahid,
bisa kita lihat terdapat tiga tingkatan umat Islam berdasarkan pelaksanaan
suatu hukum Islam atau syara', yakni :
1.
Mujtahid, yaitu orang yang memiliki pendapat yang telah dihasilkan
melalui ijtihadnya sendiri, melaksanakan
perbuatan sesuai dengan hasil ijtihadnya sendiri serta tidak mengikuti hasil
ijtihad yang lainnya. Hal tersebut Dinamakan mujtahid mutlaq.
2.
Muttabi', yakni seseorang yang
telah mampu menghasilkan suatu pendapat,
dengan proses mengikuti suatu pendapat serta cara-cara yang sudah
dihasilkan oleh ulama sebelumnya.
3.
Muqallid, yakni seseorang yang telah mampu menghasilkan pendapatnya
sendiri, dan iya mengikuti pendapat dari
orang lain dengan tidak mengetahui kekuatan dan dalil dari suatu pendapat yang
telah diikuti tersebut.
2.
Hukum
Taqlid
Di
dalam Al-Qu’ran hukum bertaqlid itu ada yang mengisyaratkan untuk bertaqlid dan
ada pula yang melarang melakukan bertaqlid. Sebagaimana Qur’an surat Luqman
ayat 21:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا
بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang
diturunkan Allah". Mereka menjawab: “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti
apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”.”
Dan dalil hukum bertaqlid yang di anjurkan, yaidalam Qur’an
surat at-Taubah ayat 122:
فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ
لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا
“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya.”[5]
C.
TALFIQ
1.
Talfiq
Secara bahasa, kata “ talfiq
“ (تلفيق)
bermakna adh-dhammu (الضم)
dan al-jam’u (الجمع).
Dalam bahasa Indonesia keduanya dimaknai menggabungkan.Dalam penggunaan bahasa Arab, ketika menyebut kata lafqu at-tsaubi(لقف الثوب), bermakna
menggabungkan dua ujung kain dengan kain yang lainya dengan jahitan. Kata at-tilfaq (التلفاق) bermakna dua pakaian yang digabungkan menjadi satu.
Dan ungkapan talafuq al-qaum (تلافق القوم) bermakna bertemunya kaum.
Sehigga istilah talfiq antar mazhab dapat kita pahami secara
etimologis yaitu menggabungkan beberapa pendapat madzhab dalam melakukan ibadah
tertentu.[6]
Namun secara
terminologis, kata talfiq kita tidak menemukan pada zaman ulama klasik. Bahkan
kitab-kitab ushul fiqih klasik ternyata tidak mecantumkan pembahasan tentang
talfiq ini. Jika kita analisa pembahasan tentang talfiq ini tidak di bahas di
kita-kitab ushul fiqih ulama klasik karena fenomena talfiq ini belum terjadi.
Setelah kita
teliti fenomena talfiq ini baru kita temukan di era ulama kontemporer, dan
itupun ternyata para ulama saling berbeda pendapat tentang definisi dari
at-talfiq baina al-mazahib ini.
Maka dari itu kita
akan membahas tentang definisi talfiq dari
dari para ulama:
Syaikh Muhammad Said Al-Albani menulis dalam kitabya Umdatu At-Tahqiq fi At-Taqlid mendefinisikan
talfiq yaitu:
الإتيان بكيفية
لا يقول بها مجتهد
Mendatangkansuatu
metode yang tidak pernah dikatakan oleh para mujtahid.
Sebagian ulama lainnya mendefinisikan talfiq tatabbu’ ar-rukhas:
تتبع الرخص عن
الهوي
Mencari
keringanan karena hawa nafsu.
Yang dimaksud dengan mencari kesenangan adalah mencari keringanan
hukum atau fatwa dari pendapat para ulama dari sekian banyak pendapat. Namun,
Ibnu Subkhi menukilkan pendapat Abu Ishaq Al-Mawarzi membolehkan, kemudian
pengertinya diluruskan oleh mahalli yang mengatakan orang yang melakukan talfiq
adalah fasik, sementara Ibnu Abu Hurairah menyatakan pelakunya tidak fasik.
Al-Razi dalam kitab al-mahshul dan syarahnya yang mengutip persayaratan yang
dikemukakann oleh Al-Rayani dan pendapat Ibn Abad Al-Salam mengatakan, boleh
tidaknya melakukan talfiq tergantung pada motivasi atau niat dalam melakukan
talfiq, apabila motivasinya untuk mencari kemudahan atau mempermainkan hukum
agama maka jelas tidak diperbolehkan, hal tersebut tentunya akan merusak tatan
ibadah itu sendiri. Contohnya dalam hal wudhu,seorang laki-laki berwudhu dengan
menggunakan madzhab syafi’i akan tetapi dalam hal yang membatalkan menggunakan
mazhab maliki. Praktek seperti ini jelas mempermainkan hukum syara.
Namun, apabila melakukan talfiq dengan tujuan kemaslahatan yaitu
menghindari kesulitan dalam melakukan amaliah, hal itu tentu boleh-boleh saja
jika tidak memungkinkan untuk konsisten menggunakan satu madzhab sebab hal itu
akan menyulitkan. Hal seperti inilah yang dimaksud dengan Al-Razi dengan
ucapan, “terbuka hatinya waktu mengikuti mazhab yang lain itu” dalam memahami
arti yang harus ditinggalkan dalam melakukan talfiq.[7]
Imam As-Suyuthi mengatakan jumlah sahabat Nabi berjumlah 124.000 akan
tetapi yang mempunyai kapasitas sebagai seorang mujtahid hanya berjumlah130
saja, itupun masih di bagi dalam tiga
tingkatan. Sehingga jika sahabat yang bukan seorang mujtahid sering
berpindah-pidah dalam meminta fatwa dan tidak konsisten kepada satu sahabat
saja.
Contoh
Talfiq
untuk
memahami perbuatan talfiq antar mazhab secara jelas, berikut contoh-contoh
perbuatan talfiq keseharian dalam menjalankan ibadah.
1.
Masalah wudhu’
Menurut mazhab
Syafi’i dalam bab wudhu’ ketika mengusap kepala asalkan kulit kepala sebagian
sudah terusap dan beberapa helai rambut minimal satu helai dengan menggunakan
minimal satu jari hal itu sudah dianggap sah dalam mengusap kepala,[8]
Sedangkan dalam mazhab Hanafi dalam mengusap seperempat bagian kepala sedangkan
menurut mazhab maliki harus mengusap kepala secara keseluruhan.
Sementara dalam
urusan menyentuh wanita, dalam mazhab Syafi’i jika seorang laki-laki yang
mempunyai wudhu’ menyentuh kulit perempuan ajnabiyah
(bukan mahram) itu membatalkan wudhu’ kecuali tibatasi dengan kain meskipun
tipis.[9]
Sedangkan dalam mazhab Hanbali menyentuh kulit perempuan yang bukan mahram itu
tidak membatalkan wudhu, menurut imam hanbali batalnya wudhu itu jika
terjadinya jima’ (hubungan suami istri). Sementara mazhab maliki berpendapat
batalnya wudhu jika bersentuhan dengan wanita jika disertai dengan syahwat.
Bentuk talfiq
dalam hal ini adalah ketika seseorang berwudhu mengambil sebagian mazhab
Syafi’i dan sebagian lainya mengambil mazhab Hanbali. Misal dia mengatakan
mengusap kepala cukup satu helai rambut dan menggunakan satu jari sudah sah
(dalam mazhab Syafi’i), namun di sisi lain ia mengatakan bersentuhan antara
kulit laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram itu tidak membatalkan wudhu
(menurut mazhab hanafi).[10]
Perbuatan talfiq dalam wudhu tersebut jika di
lihat dari pendapat mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali tentunya tidak sah karena
mazhab Syafi’I mengatakan wudhunya tidak sah atau batal karena laki-laki
tersebut bersentuhan dengan wanita yang bukan mahram tanpa pembatas yang
menghalagi. Sementara dalam praktek mengusap kepala, mazhab Hanbali mengatakan
tidak sah karena ia tidak mengusap seperempat bagian kepala. Begitu juga dengan pendapat mazhab
Maliki mengatakan wudhunya tidak sah karena ia tidak mengusap kepalanya secara
keseluruhan. Jadi kesimpulanya, wudhu yang dilakukan orang tersebut tidak sah
dari masing-masing dua sudut pandang mazhab, dan inilah prilaku talfiq yang tidak diperbolehkan.
Rukun
Nikah
Menurut mazhab Hanbali, sebuah pernikahan tidak mensyaratkan harus
ada wali, khususnya bagi wanita yang sudah pernah menikah sebelumnya.
Menurut mazhab
Maliki, pernikahan sudah di anggap sah meskipun tidak dan saksi-saksi.
Sementara dalam
pandangan mazhab Syafi’i jika istri ridha tidak diberi mahar, hukum
pernikahannya sudah di anggap sah.
Jika ketiga
pendapat di atas di talfiq dalam satu
pernikahan maka pernikahanya di anggap pernikahan model baru alias tidak sah.
Dan sudah dipastikan ketiga mazhab tersebut mengatakan tidak sah dan menolak
pernikahan yang demikian, karena dari masing-masing sudut pandang mazhab
pernikahan itu tidak sah.
Hal-hal
yang membatalkan Shalat
Apabila seseorang
yang melakukan shalat bertaqlid kepada Imam Malik yang mengatakan tertawa
terbahak-bahak dalam shalat tidak membatalkan wudhu, tetapi disisi lain orang
tersebut juga bertaklid kepada Imam Abu Hanifah yang mengatakan jika menyentuh
zakar itu tidak membatalkan wudhu’ seseorang. Maka, orang tersebut telah
melakukan talfiq sehingga praktek wudhu dan shalat orang tersebut tidak di
anggap sah oleh kedua mazhab.[11]
Masalah
Mabit di Muzdalifah
Menurut
mazhab As-Syafi’iyah, jamaah haji wajib hukumnya bermalah di muzdalifah, dalam
arti turun dari unta atau kendaraan, hingga terbit fajar, sama halnya seperti
wukuf di arafah kedua ibadah ini hukumnya wajib dalam ibadah haji akan tetapi
bukan rukun. Sehingga jika ada jamaah haji yang meninggalkan bermalam di
muzdalifah, maka ia harus membayar denda (dam),
yaitu menyembelih seekor kambing.
Sedangkan
menurut mazhab Al-Hanabilah, mabit di
muzdalifah itu hukumnya sunnah, buka wajib apalagi rukun.
Ibadah di atas
ketika di talfiq ketika ia
melaksanakan mabit di muzdalifah menggunakan mazhab Syafi’i yang mengatakan
wajib, akan tetapi ia sendiri tidak melakukan mabit di muzdalifah kemudian
ketika di perintah untuk membayar denda ia mengatakan bahwa dirinya bermazhab
Hanbali agar tidak dikenai denda. Talfik semacam
ini tentunya tidak diperbolehkan. [12]
Tatabbu’
Ar-Rukhash
Secara bahasa, istilah rukhash(رخصة) adalah bentuk jama’ dari kata rukhshah, yang memiliki makna “keringanan” atau “kemudahan”. Sedangkan secara istilah, definisi menurut Ibnu Subkhi
adalah:
Hukum syar’I yang berubah menjadi
lebih mudah karena adanya suatu udzur, dengan menegakkan sebab pada hukum yang
asli.
Rukhshah atau keringanan sendiri memiliki hukum yang berbeda-beda. Ada yang
wajib di ikuti, ada juga yang mandubah da
nada juga yang mubah.
Jika seseorang sedang melakukan tawaf, dalam mazhab syafi’i
bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dapat membatalkan
wudhu’ baik disengaja maupun tidak bersyahwat atau tidak, semua itu dapat
membatalkan wudhu’. Jika kita konsisten menggunakan mazhab syafi’i pada saat
tawaf maka kita akan kesulitan mempertahankan wudhu’ yang kita miliki karena
pada saat tawaf terdapat berjuta-juta orang mengelilingi ka’bah baik laki-laki
maupun perempuan yang mungkin saja terjadi sentuhan yang sulit dihindari dengan
wanita yang bukan mahram. Maka dalam kondisi darurat ini kita boleh berpindah
mazhab untuk mempermudah kita saat melakukan tawaf.
Kemudian dalam mengusap jabirah (perban) misalnya: jika ada
seseorang memiliki luka yang diperban di bagian tangan, ketika wudhu dalam
mazhab syafi’i jika ada luka yg di perban di bagian yang wajib di basuh ketika
wudhu’ caranya adalah basuhlah bagian tangan yang bisa di basuh kemudian
sisakan (tidak dikenai air) bagian yang
di perban, kemudian bagian yang di perban caranya di tayamuni seperti tayamum
biasanya yaitu mengusap wajah dan tangan dengan niat membasuh bagian yang
diperban dengan debu yang suci maka, basuhan tangan telah sempurna. Jika orang
tersebut merasa keberatan dalam menggunakan mazhab Syafi’i ia boleh menggunakan
mazhab maliki dan hanafi dengan tidak menggunakan tayamum, dan ia dibolehkan
mengusap perban dengan air. Talfiq yang
seperti ini diperbolehkan dengan alasan keringanan bagi orang yang sakit.[13]
Sedangkan yang
hukumnya mandubah (sunnah) misalnya
keringanan untuk meng qashar shalat bagi orang yang dalam keadaan perjalanan.
Tetapi secara hukum, lepas dari apakah menjalankan atau mengikuti keringanan
itu wajib, mandub atau mubah, Allah SWT suka bila keringanan yang diberikannya
itu dimanfaatkan oleh hamba-Nya. Disebutkan dalam satu hadits:
Sesungguhnya
Allah suka bila keringananya dilakukan, sebagimana Dia benci bila maksiat
kepada-Nya dilakukan. (HR. Ahmad).
Hukum
Talfiq Antar Mazhab
Setelah kita
membahas tentang pengertian talfiq secara luas kita akan membahas tentang hukum
talfiq dari masing-masing ulama dan ternyata masing-masing ulama sendiri
memiliki perbedaan tentang hukum talfiq antar mazhab, diantaranya ada yang
mengharamkan dengan menggunakan argumenya sendiri, kemudian ada yang
berpendapat membolehkan talfiq dengan memenuhi kriteria tertentu dan aja juga
yang mengatakan wajib . Mari kita bahas satu-persatu.
1.Haram
Umumnya para ulama ulama mengharamkan talfiq secara tegas dengan
alasan kebenaran hanya satu. Diantara nama-nama yaitu:
a.
Abdul
Ghani An-Nabulsi
Abdul Ghani An-Nabulsi menulis dalam kitabnya yang berjudul Khulashatu At-Tahqiq fi Bayani Hukmi
At-Taqlid wa At-Talfiq. Di dalam kitabnya, beliau melarang kebolehan
melakukan talfiq.
b.
As-Saffarani
As-Saffarani menulis dalam kitabnya At-Tahqiq fi Buthlan At-talfiq, dalam kitabnya ia juga melarang
kebolehan melakukan talfiq antar mazhab. Beliau memiliki nama asli yaitu
Muhammad bin Ahmad bin Salim Al-Hanbali.
c.
Al-‘Alawi
Asy-Syantiqi
Al-‘Alawi Asy-Syantiqi menulis dua kitab dimana dalam kitab
tersebut beliau menyatakan keharaman melakukan talfiq, kitab itu berjudul Maraqi As-Su’ud dan syarahnya
(penjelasan) Nasyril Bunud ‘ala Maraqi
Ash-Shuud.[14]
d.
Al-Muthi’i
Al-Muthi’i menulis kitab yang berjudul Sullamu Al-Wushul li Syarhi Nihayati As-Suul dalam kitabnya ia mengharamkan
melakukan talfiq antar mazhab.
e.
As-Syaikh
Muhammad Amin Asy-Syantiqi
As-Syaikh Muhammad Amin Asy-Syantiqi, beliau banyak menulis kitab
diantaranya Adwa’ Al-Bayan juga Mudzakkirah ushul fiqih. beliau menulis
dalam kitabnya Syarah Maraqi Ash-Shu’ud dalam
kitabnya Beliau melarang secara tegas
melakukan talfiq antar mazhab.
2.
Halal
Dari sekian banyak ulama yang mengharamkan talfiq setelah kita
telusuri ternyata ada juga sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa melakukan
talfiq antar mazhab boleh-boleh saja dengan syarat-syarat tertentu.
Diantara ulama yang menghalalkan melakukan talfiq dari kalangan
ulama maghribi yang menganut mazhab Malikiyah seperti Ad-Dasuqi beliau menulis
kitab yang berjudul Hasyiyatu Ad-Dasuki
‘ala Asy-Syarhi Al-Kabir.
3.
Ada yang haram dan ada yang halal
Pendapat yang ketiga mengatakan hukum melakukan talfiq bisa menjadi
haram bisa juga menjadi boleh bahkan ada yang mengatakan dianjurkan tentunya
sesuai dengan keadaan masing-masing dan dengan syarat-syarat tertentu dengan
tujuan agar seseorang tidak kesulitan menjalankan suatu amaliah. Jadi pendapat
yang ketiga ini mengambil jalan tengah dalam menentukan hukum talfiq.[15]
4.
Boleh
secara mutlak
Pendapat ini mengatakan boleh
melakukan secara mutlak karena tidak ada perintah baik dari Al-qur’an dan
hadits nabawi yang mengharuskan mengikuti satu pendapat, bahkan para sahabatpun
sering berpindah-pindah dalam meminta fatwa kepada sahabat lebih tinggi
ilmunya. [16]
D.
ITTIBA’
1.
Pengertian Ittiba’
Kata ittiba’ berasal dari
bahasa arab yaitu ittaba’a- yattabi’u- ittiba’an, yang memiliki arti mengikuti
atau menurun. [17]
Menurut Abdul Hamid Hakim
ittiba’ secara istilah adalah:
Menerima perkataan orang lain
dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan tersebut.
Menurut Ibnu Khuwaizi Mandad,
ittiba’ secara istilah yaitu “ setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan
dalil padanya, engkau adalah muttabi’ (orang yang mengikuti).[18]
Jika kita gabungkan
definisi-definisi di atas dapat kita simpulkan pengertian ittiba’ adalah
mengikuti pendapat mujtahid dengan mengetahui dalil-dalil yang digunakan untuk
menyimpulkan suatu hukum berdasarkan dalil-dalil yang rinci yang dianggap lebih
kuat (rajih) dengan cara membandingkan dalil-dalil yang ada.[19]
2. Dasar hukum
Ittiba’ dalam urusan agama
bukan mengikuti pendapat tanpa mengetahui dalil-dalil tetapi ittiba adalah
mengikuti pendapat para ulama dengan mengetahui dalil atau hujjah, orang yang
berittiba’ dinamakan Muttabi’.
Perintah untuk melakukan
banyak terdapat dalam Al-qur’an, salah satunya terdapat di surah (Al-A’raf:
(7): 3).
“Ikuti apa yang dirunkan kepadamu dari Tuhanmu
dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu
mengambil pelajaran (daripadanya).
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali-Imran (3): 31).
Ibnu
Katsir menafsirkan ayat tersebut dengan ungkapan “ Ayat yang mulia ini sebagai
hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah SWT. Tetapi tidak
mengikuti sunnah Muhammad SAW. Karena itu, orang seperti ini berarti dusta
dalam pengakuan cintanya kepada Allah SWT sampai dia ittiba’ kepada syariat
agama Muhammad SAW dalam segala ucapan dan tindak tanduknya.”[20]
Penutup
Dari pemaparan
di atas dapat disimpukan, yaitu:
1.
Secara garis
besar dapat dipahami taqlid adalah seseorang yang mengikuti ucapan atau
pendapat orang lain tersebut tidak mengetahui sepenuhnya mengenai sebab-sebab
atau dalil-dalil dan hujjah dari ucapan atau pendapat yang telah diikutinya
itu.
2.
Talfiq antar
mazhab dapat kita pahami secara etimologis yaitu menggabungkan beberapa
pendapat madzhab dalam melakukan ibadah tertentu
3.
Ittiba’ adalah mengikuti pendapat mujtahid dengan mengetahui
dalil-dalil yang digunakan untuk menyimpulkan suatu hukum berdasarkan
dalil-dalil yang rinci yang dianggap lebih kuat (rajih) dengan cara
membandingkan dalil-dalil yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Hayatuddin, Amrullah.Ushul Fiqih jalan Tengah Memahami Hukum
Islam. Jakarta: Amzah, 2019.
Hafiz Taqiyuddin, Ittiba’,
Taqlid dan Talfiq
Mudrik Al farizi, Ijtihad,
Taqlid dan Talfiq
Sarwat, Ahmad. Muqaddimah Seri Fiqih kehidupan. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing,
2019.
Az-Zuhaili, Wahbah.Fiqih Islam Wa Adillatuhu.Jakarta: Gema
Insani, 2010.
An-Nawawi, Imam.Al-Majmu’
Syarah Al-Muhadzab jilid 1. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Syafi’I,Imam. Al-Umm, Jakarta:
PT Pustaka Abdi Bangsa, 2018.
Syarifuddin, Amir.USHUL
FIQH 2, Jakarta: Kencana, 2008.
Catatan:
1.
Similarity 24%,
cukup besar
2.
Pembahasan
tentang taqlid, talfiq, dan ittiba’, mengapa pendahuluan membahasa tentang
sumber hukum? Tidak nyambung
[1] Amir
Syarifuddin, USHUL FIQH 2, Jakarta: Kencana. Hal 459
[2]Amrullah Hayatuddin, Ushul Fiqih jalan Tengah Memahami Hukum
Islam. (Jakarta: Amzah, 2019). Hal, 267
[3]Amir
Syarifuddin, USHUL FIQH 2, Jakarta: Kencana. Hal 460
[4]Amrullah Hayatuddin, Ushul Fiqih jalan Tengah Memahami Hukum
Islam. (Jakarta: Amzah, 2019). Hal, 268
[5]Amir
Syarifuddin, USHUL FIQH 2, Jakarta: Kencana. Hal 464
[6]Ahmad Sarwat, Muqaddimah Seri Fiqih kehidupan, ( Jakarta: Rumah Fiqih
Publishing, Jilid I), hal 505-506
[7]Amrullah Hayatuddin, Ushul Fiqih jalan Tengah Memahami Hukum
Islam. (Jakarta: Amzah, 2019), hal 273
[8]Imam Syafi’I, Al-Umm, (Jakarta: PT Pustaka Abdi
Bangsa, 2018), hal 41
[9]Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab jilid 1. (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), hal 49
[10]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta:
Gema Insani, 2010), hal 92
[11] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta:
Gema Insani, 2010), hal 92
[12]Ahmad Sarwat, Muqaddimah Seri Fiqih kehidupan, ( Jakarta: Rumah Fiqih
Publishing, 2019), hal 511
[13]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta:
Gema Insani, 2010), hal 420-421
[15]Ahmad Sarwat, Muqaddimah Seri Fiqih kehidupan, ( Jakarta: Rumah Fiqih
Publishing, 2019), hal 514-515
[16]Mudrik Al farizi, Ijtihad, Taqlid dan Talfiq
[17]Hafiz Taqiyuddin, Ittiba’, Taqlid dan Talfiq
[18]Amrullah Hayatuddin, Ushul Fiqih jalan Tengah Memahami Hukum
Islam. (Jakarta: Amzah, 2019), hal 263
[19]Hafiz Taqiyuddin, Ittiba’, Taqlid dan Talfiq
[20]Amrullah Hayatuddin, Ushul Fiqih jalan Tengah Memahami Hukum
Islam. (Jakarta: Amzah, 2019), hal 266
Tidak ada komentar:
Posting Komentar