Taqlid,
Talfiq, Dan Ittiba Dalam Ushul Fiqih
Khoirun Nisak (17110098)
PAI F
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Muhammad Farihun Najah (17110104)
PAI F
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract.This
article discusses talqid, talfiq, and itarrived. This is in the background of
where there is still a layman who either follows or imitates an act, opinion or
words of others that he considers honorable in society without regard for the
good. So the problem with what talqids, talfiq, and itarrived was: How talqid
law and how the position of itarrived. As for the purpose of this study is to
know the meaning of talqid, talfiq and itarrive; To know the law of cerqid and
the position of itarrived. To address problems -- problems like this, the
writer USES literature and literature study methods. As for the result of this
study, talqid is an attempt either to follow or mimic the opinions, behavior or
words of someone considered respectable in society with no regard for law, be
it for bad. Whereas it arrived is the opposite of talfiq. Talfiq is the
extrotive method of combination by comparing some ideas from fuqaha 'in either
a madzhab or an madzhab to form a single provision law.
Keywords.Talqid;
Talfiq; and Ittiba.
Abstrak.Artikel
ini membahas tentang talqid, talfiq dan ittiba. Hal ini dilatar belakangi
dengan masih terdapat orang awam yang mengikuti atau meniru suatu perbuatan,
pendapat maupun perkataan orang lain yang dianggapnya terhormat dalam
masyarakat tanpa memperhatikan baik buruknya hal tersebut. Sehingga
permasalahan yang muncul yakni apa itu talqid, talfiq dan ittiba; bagaimana hukum
bertalqid dan bagaimana kedudukan dari ittiba. Adapun tujuan dari penelitian
ini yakni untuk mengetahui pengertian dair talqid, talfiq dan ittiba; untuk
mengetahui hukum bertalqid dan kedudukan dari ittiba. Untuk menjawab permasalahan
– permasalahan diatas, penulis menggunakan metode studi literatur dan
kepustakaan. Adapun hasil dari penelitian ini yakni talqid merupakan suatu
upaya yang mengikuti atau meniru pendapat, perilaku maupun perkataan dari
seseorang yang dianggap terhormat dalam masyarakat tanpa memperhatikan dasar
hukum, baik buruknya hal tersebut. Sedangkan ittiba merupakan kebalikan dari talfiq.
Talfiq yakni metode eklektif kombinatif dengan membandingkan beberapa pendapat
dari fuqaha’ baik dalam satu madzhab atau antar madzhab untuk membentuk suatu
hukum ketentuan yang tunggal.
Kata
kunci.Talqid; Talfiq; dan Ittiba.
A.
PENDAHULUAN
Di dalam ilmu fiqih terdapat empat Imam Madzhab
yang tentunya memiliki pengikut. Namun tidak semua pengikut mengikuti kegiatan,
perilaku maupun perkataan dari masing – masing Imam dengan mengetahui dasar
hukum mengapa hal tersebut dilakukan. Di Indonesia sendiri masih terdapat orang
yang tiba – tiba mengikuti pendapat orang lain tanpa memperhatikan dasar
hukumnya. Hal ini dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan taqlid. Taqlid ini
merupakan suatu upaya yang mengikuti atau meniru pendapat orang lain tanpa memperhatikan
dasar hukumnya. Pasangan dari taqlid ini ada talfiq dan ittiba’. Jika masih
banyak orang awam yang tiba – tiba mengikuti pendapat orang lain tanpa
memperhatikan baik buruknya hal tersebut, lantas bagaimanakah hukumnya ? Oleh
karena itu, dalam artikel ini akan membahas tentang talqid, talfiq dan ittiba
secara rinci.
B.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
1.
Taqlid
a.
Pengertian
Taqlid secara bahasa berasal dari bahasa Arab
yakni قَلَّدَ –
يُقَلِّدُ yang artinya meniru,
membuat tiruan atau meniru.[1]Secara
terminologi ushul fiqih, secara mudah taqlid diartikan sebagai mengadopsi
pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya, atau menirukan orang lain dalam
melakukan atau meninggalkan sesuatu.[2]Muhammad
Rasyid Radha merumuskan definisi taqlid dengan kenyataaan – kenyataan yang ada
dalam masyarakat Islam, yang mana dengan mengikuti pendapat orang yang dianggap
terhormat dalam masyarakat dan dipercaya dalam hukum Islam tanpa memperhatikan
benar atau salahnya, baik buruknya, serta manfaat mudharatnya pendapat
tersebut.[3]
Dari berbagai pengertian diatas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa taqlid merupakan suatu upaya yang meniru pendapat orang lain
yang dianggap terhormat dalam kehidupan bermasyarakat untuk melakukan atau
meninggalkan sesuatu tanpa melihat benar atau salahnya, baik atau buruknya
maupun manfaat atau mudharatnya hal tersebut.
b.
Hukum Bertaqlid
Dikarenakan sikap taqlid yang meniru atau
mengikuti pendpaat orang lain tanpa memperhatikan dasar hukumnya maka hak ini
dicela oleh Allah SWT dan tentunya dilarang oleh agama. Hal ini diibaratkan
dengan menempatkan para mujtahid pada posisi yang terkuat dan sakral, dan
tentunya hal ini dilarang, sebagaimana firman Allah dalam QS. At – Taubah : 31
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ
وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ
سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan
rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan)
Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa,
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa
yang mereka persekutukan.”[4]
Didalam Al – Qur’an terdapat banyak ayat – ayat yang
melarang sikap taqlid ini, beberapa diantaranya:
1)
QS. Al – Baqarah : 170
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا
مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا
ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka:
"Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab:
"(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga),
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk?".”
2)
QS. At – Taubah : 122
۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا
نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.”
3)
QS. An – Nahl : 43
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ
إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ
لَا تَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali
orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,”
c.
Larangan Bertaqlid
Adapun tiga bentuk yang disepakati oleh para ulama ushul
fiqih dalam melarang sikap taqlid, antara lain:
1)
Mengikuti tradisi nenek
moyang yang bertentangan dengan Al – Qur’an dan Hadis. Misalnya, mengikuti
tradisi nenek moyang yang melakukan tirakat di makam selama tujuh malam, agar
keinginannya terkabulkan. Hal ini tentunya dilarang, sebagaimana firman Allah
dalam QS. Al – Ahzab (33) : 64
إِنَّ اللَّهَ لَعَنَ
الْكَافِرِينَ وَأَعَدَّ لَهُمْ سَعِيرًا
“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan
menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka),”
2)
Mengikuti seseorang atau sesuatu yang masih belum jelas
kemampuan maupun keahliannya serta menyukai hal tersebut melebihi kecintaannya
pada dirinya sendiri. Hal ini disindir oleh Allah dalam QS. Al – Baqarah (2):
165 – 166
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ
مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ
آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ
الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
﴿١٦۵﴾ إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا
الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ ﴿١٦٦﴾
165. Dan diantara manusia ada orang-orang yang
menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana
mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya
kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui
ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan
Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka
menyesal).166.(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri
dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika)
segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.
3)
Tetap mengikuti sesoerang yang sudah jelas dan diketahui
bahwa pendapat orang tersebut salah. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam
QS. At – Taubah (9) : 31
اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ
مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ
إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib
mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih
putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.”
2.
Talfiq
a.
Pengertian
Talfiq
Talfiq menurut arti secara harfiah berasal dari bahasa Arab
yaitu artinya merangkapkan tepi yang satu dengan yang lainnya. Seperti تلفيق الثوب artinya mempertemukan dua tepi kain kemudia menjahitnya.[5]
Sedangkan menurut istilah, ada beberapa definisi menurut pendapat ulama, yaitu
:
a.
Ibrahim Husain
Talfiq
merupakan beramal dalam suatu masalah menurut hukum yang merupakan gabungan
daru dua madzhab atau lebih.[6]
b.
Dr. Wahbah az-Zuhaili
Talfiq
adalah mengamalkan suatu pendapat yang belum pernah diucapkan oleh seorang
mujtahid sekalipun.[7]
c.
Drs. M. Hamdani Yusuf
Talfiq
adalah mengamalkan suatu furu’ yang azmi menurut ketentuan dua madzhab atau
lebih.[8]
d.
Taufiq Adnan Amal
Talfiq
adalah suatu metode yang dengannya pandangan-pandangan madzhab atau fuqaha’
digabungkan untuk membentuk peraturan tunggal.[9]
e.
Said Mu’inuddin Qadri
Talfiq
adalah memilih pendapat dari berbagai pendapat dari kalangan ahli fiqh.[10]
f.
Prof. Dr. Mukhtar Yahya
dan Drs. Fatchur Rahman
Talfiq
adalah mengambil pendapat dari seorang mujtahid, kemudian mengambil dari
seorang mujtahid lainnya, baik dalam masalah yang sama maupun masalah yang
berbeda. [11]
Dari beberapa pengertian dari beberapa ulama ini dapat
diartikan bahwa talfiq merupakan salah satu metode ijtihad yang bisa dilakukan
dengan beberapa cara atau mekanisme, antara lain yaitu :
1.
Perbandingan Madzhab
Perbandingan madzhab adalah salah satu cara
talfiq yang paling banyak di lakukan oleh para pakar fiqh modern dan dianggap
paling representatif dalam menanggapi isu-isu kontemporer, hal ini dimaksudkan
untuk membentuk hukum yang argumentative, realistic dan rasional. Cara kerja
yang mereka lakukan secara garis besar adalah dengan mencari hukum dari suatu
permasalahan yang muncul dari berbagai macam pendapat madzhab dan fuqaha’,
kemudia memilih yang paling kuat argumentasinya agar pendapat yang dipilih
tersebut lebih dekat dengan masyarakat, hendaknya dalam study muqaranah
(perbandingan) tidak hanya membandingkan pendapat antar madzhab, tetapi juga
membandingkan antara pendapat madzhab dengan hukum adat yang berlaku.
2.
Memilih Pendapat
Terbanyak
Dalam suatu permasalahan yang muncul, tentunya
ada berbagai macam pendapat yang sama-sama mempunyai argumen yang kuat sehingga
sulit bagi kita untuk memilihnya. Maka pendapat-pendapat tersebut mengikuti
pendapat terbanyak merupakan lebih selamat walaupun pendapat yang memiliki
suara terbanyak ini menyalahi madzhabnya. Karena yang terbanyak sudah menunjukkan
terpilihnya pendapat itu. Umat nabi Muhammad SAW. yang tulus dan ikhlas tidak
mampu dan tidak akan berkumpul dalam kesesatan, tetapi seandainya kita mampu
memilih dan pendapat dari yang sedikit lebih kuat maka seorang peneliti wajib
memakai hasil penelitian tersebut. Sebab haram bagi seseorang yang mengetahui
bahwa madzhabnya lemah tetapi tetap fanatik terhadap madzhabnya.[12]
3.
Eklektif Kombinatif
Eklektif kombinatif yaitu memilih pendapat dari
para madzhab atau para fuqaha’ untuk dikombinasikan menjadi satu. Dari sistem
ini, memungkinkan memakai dua pendapat dalam satu qadiyyan (satu kesatuan
hukum). Takaran dari kombinasi ini adalah kekuatan argumentasi dari pendapat
tersebut. Apabila suatu madzhab lain juga ditemukan memiliki pendapat yang shahih
dan dalam madzhab lain juga ditemuka demikian, sementara kedua yang shahih ini
dalam satu hukum, maka bisa diambil keduanya dan dikombinasikan menjadi satu.
Dari deskripsi di atas, sudah jelas bahwa talfiq
adalah suatu metode eklektif kombinatif dengan membandingkan beberapa pendapat
dari fuqaha’ baik dalam satu madzhab atau antar madzhab untuk membentuk suatu
hukum ketentuan yang tunggal.
3.
Ittiba’
a.
Pengertian
Ittiba
Menurut bahasa, ittiba’ berasal dari bahasa
Arab, ia adalah masdar (kata bentukan) dari kata “ittaba” yang artinya
mengikuti.[13]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ittiba sudah menjadi bahasa Indonesia
serapan, yaitu itibak yang diartikan sebagai kata kerja yang bermakna
mengikuti, misalkan kita puasa, shalat dan mengeluarkan zakat, mengikuti
Rasulullah.[14]
Sedangkan menurut istilah, Abdul Hamid Hakim berpendapat bahwa ittiba adalah
menerima perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan
tersebut.
Ittiba dalam urusan agama diperintahkan oleh
Allah, hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh-Nya dalam Surah An-Nahl ayat
43 :
فَاسْأَلُوا
أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ .…
Artinya : “. . . tanyakan kepada ahli zikir
(orang-orang pandai) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl(16): 43)
Maksud ayat diatas adalah apabila kita tidak
mengetahui aturan tentang sesuatu yang berkaitan dengan agama, tanyakanlah
kepada mereka yang pandai, berdasarkan ilmu dari Alqur’an dan hadis bukan dari
pendapatnya.
Ayat lain yang menjadi landasan hukum keharusan
kita melakukan ittiba, adalah firman-Nya dalam QS. Al-A’raf ayat 3:
Artinya : “Ikutilah apa yang diturunkan
kepada kalian dari Tuhan kalian dan janganlah kalian mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kalian mengambil pelajaran
(darinya).” (QS. Al-A’raf (7): 3).
Mengenai ittiba kepada ulama dan mujahid
(selain Allah dan Rasul-Nya) terdapat perbedaan. Imam Ahmad bin Hambal hanya
membolehkan ittiba’ kepada Rasulullah. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan
bahwa boleh ittiba’ kepada ulama yang dikategorikan sebagai waratsul anbiya’
dengan alasan firman Allah dalam QS. An-Nahl ayat 43 yang artinya: maka
bertanyalah kepada orang-roang yang punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.[15]
b.
Kedudukan
Ittiba dalam Islam
a.
Ittiba Kepada Rasulullah
adalah salah satu syarat diterima amal
b.
Ittiba merupakan bukti
kebenaran cinta seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sebagaimana firman Allah
dalam QS. Ali Imran ayat 31 :
Artinya
: katakanlah, Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikuti aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. Ali-Imran (3): 31
C.
PENUTUP
Taqlid merupakan suatu upaya yang meniru pendapat orang lain
yang dianggap terhormat dalam kehidupan bermasyarakat untuk melakukan atau
meninggalkan sesuatu tanpa melihat benar atau salahnya, baik atau buruknya
maupun manfaat atau mudharatnya hal tersebut.Dalam hal ini Allah SWT melarang
bertaqlid, sebagaimana firman Allah dalam QS. At –Taubah ayat 31.
Talfiq adalah suatu metode eklektif kombinatif dengan
membandingkan beberapa pendapat dari fuqaha’ baik dalam satu madzhab atau antar
madzhab untuk membentuk suatu hukum ketentuan yang tunggal.
Ittiba merupakan kebalikan dari sikap taqlid, yang mana ia
meniru perbuatan, perkataan maupun pendapat seseorang dengan mengetahui dasar
hukumnya. Adapun kedudukan ittiba yakni a) Ittiba Kepada Rasulullah adalah salah satu
syarat diterima amal; b) Ittiba merupakan bukti kebenaran cinta
seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia
Hidayat,
Amrullah. 2019. Ushul Fiqih: Jalan Tengah Memahami Hukum Islam. Jakarta:
Amzah
Mahafudh,
Sahal. 2004. Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam. Kediri: Purna Siswa
Alliyah
Ma’luf,
Luis. 1975. Al-Munjid. Bacrut.Dar
al-Masyrik
Husain,
Ibrahim. 1992. Memecahkan Permasalahan Hukum Baru. Bandung : Mizan
az-Zuhaili,
Wahbah. Fiqh al-Islam Wa Adilatuhu. Op.Cit. I
Yusuf,
M. Hamdani. 1986. Perbandingan Mazhab. Semarang : Aksara Indah
Amal,
Taufiq Adnan dan Syamsu Rizal Panggabean. 1992. Tafsir Kontekstual
al-Qur’an. Bandung : Mizan
Qadri, Said Mu’inuddin. 1987. Taklid wa
Talfiq. Terjemah Abdul Waris Mabruk Said. Dasar Pemikiran Hukum Islam. Jakarta
: Pustaka Firdaus
Yahya, Mukhtar dan Fatchur Rahman. 1986. Dasar-dasar
Pembinaan Hukum Fiqh-Islami. Bandung : Al-Ma’arif
Rosyada, Dede. 1993.Hukum Islam dan Pranata
Sosial. Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers
Catatan:
1.
Similarity
15%
2.
Dalam
tulisan ilmiah, penulisan gelar (Prof.. Dr., dll) harus dihilangkan
3.
Pembahasan
taqlid dan ittiba’ masih sangat minim, kurang referensi pendapat
4.
Pembahasan
talfiq minim contoh, padahal itu sangat penting
5.
Referensi
yang ada di dalam buku tidak boleh ditulis kecuali bila tulsan Anda merujuk
pada referensi tersebut. Tulis dari buku yang mengutip darinya.
[1] Amrullah
Hidayat, Ushul Fiqih: Jalan Tengah Memahami Hukum Islam, (Jakarta:
Amzah, 2019), halaman 266.
[2]Sahal Mahafudh,
Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam, (Kediri: Purna Siswa Alliyah, 2004),
halaman 369.
[3]Alaidin Koto, Ilmu
Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), halaman
132.
[4]Dede Rosyada, Hukum
Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers, 1993),
halaman 126.
[5]Luis Ma’luf, Al-Munjid.
Bacrut.Dar al-Masyrik 1975. Hlm. 727.
[6] Ibrahim
Husain. “Memecahkan Permasalahan Hukum Baru”. (Bandung : Mizan, 1992).
Hlm. 36
[7] Wahbah
az-Zuhaili, Fiqh al-Islam Wa Adilatuhu. Op.Cit. I, hlm. 10
[8] M. Hamdani
Yusuf, Perbandingan Mazhab, (Semarang : Aksara Indah, 1986). Hlm 38
[9] Taufiq Adnan
Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Qur’an (Bandung
: Mizan, 1992), hlm. 32
[10] Said
Mu’inuddin Qadri, “Taklid wa Talfiq”. Terjemah Abdul Waris Mabruk Said.
Dasar Pemikiran Hukum Islam (Jakarta : Pustaka Firdaus. 1987). Hlm. 41
[11] Mukhtar Yahya
dan Fatchur Rahman. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islami. (Bandung :
Al-Ma’arif, 1986). Hlm. 409
[12] Said
Mu’inuddin Qadri, Op.Cit. hlm. 26
[13]Amrullah
Hayatudin, Ushul Fiqh: Jalan Tengah Memahami Hukum Islam, (Jakarta:
Amzah, 2019) hlm. 262
[14]Kamus Besar
Bahasa Indonesia
[15]Alaiddin
Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006)
hlm. 130
Tidak ada komentar:
Posting Komentar