NAZHARIYAT
AL-HUDUD MUHAMMAD SYAHRUR
Mega
Khoirunnisa (16110061), Wardahlia Firdaus (16110084)
Mahasiswa
PAI-F Angkatan 2016
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
In
the case of closing the aurat Muhammad Syahrur interpreted the very significant
aurat boundaries of the other mufassirs and mufaqqih. He has theory called
Nazhariyat al-Hudud or commonly referred to as the limit theory which is
divided into two namely the maximum limit (Hadd al’A’la) and the minimum limit
(Had al-Adna) by closing the top (al-Juyub
al-Ulwiyyah) and closed the bottom (al-Juyub as-Sufliyah). With
his boundary theory, Muhammad Syahrur tried to apply the verses of the muhkamat
al-Qur’an in the reality of life with its limitations. Syahrur consedered that
the laws contained in the Qur’an is elastic which can be drawn and adapted to
the place and the age. Muhammad Syahrur argued that the
veil (headscraf) or headgear for him is not included in the principle of
Islamic or beliefs of a person, but only following the habits of society in
general.
Abstrak
Pada
kasus menutup aurat Muhammad Syahrur menafsirkan batasan aurat yang sangat
signifikan dari para mufassir maupun mufaqqih lain. Dia memiliki
teori yang dinamakan Nazhariyat al-Hudud atau biasa disebut dengan teori
batas yang terbagi menjadi dua yaitu batas maksimal (Hadd al’A’la) dan
batas minimal (Had al-Adna) dengan menutup bagian atas (al-Juyub
al-Ulwiyyah) dan menutup bagian bawah (al-Juyub as-Sufliyah). Dengan
teori batasnya, Muhammad Syahrur mencoba untuk menerapkan ayat-ayat muhkamat
al-Qur’an dalam realita kehidupan dengan batasan-batasannya. Syahrur beranggapan
bahwa hukum-hukum yag terdapat dalam Al-Qur’an bersifat elastis yang bisa
ditarik dan disesuaikan dengan tempat dan zaman. Muhammad Syahrur berpendapat
bahwa jilbab (kerudung) atau tutup kepala baginya bukan termasuk pada prinsip
keislaman ataupun keimanan seseorang, melainkan hanya mengikuti kebiasaan
masyarakat secara umum.
Keywords
:Aurat, Jilbab, Nazhariyat, al-Hudud, Muhammad Syahrur
A.
Pendahuluan
Sejak beberapa dekade yang lalu, dunia muslim dihadapkan pada
berbagai isu persoalan yang rumit dan kompleks, seperti persoalan demokrasi,
HAM, civil society dan lain sebagainya. Persoalan-persoalan tersebut
muncul ke permukaan tanpa mampu diantisipasi dan dicarikan solusinya oleh umat
Islam secara baik apalagi tuntas. Hal ini tentu saja menjadikan hukum Islam
seolah tidak siap menghadapi tantangan zaman; hukum Islam seolah tidak lagi
relevan untuk diterapkan di dunia modern. Fenomenairrelevansi hukum Islam ini
tentu saja menggelisahkan para pakar dan pemikir hukum Islam. Sebab, selama ini
Islam diyakini sebagai agama universal yang akan senantiasa relevan
untuk segala zaman tempat.[1]
Salah satu isu yang kontroversial dalam diskursus tentang perempuan
adalah pembahasan mengenai permasalahan penggunaan jilbab. Penggunaan jilbab
menjadi salah satu dari sekian banyak isu yang menimbulkan pro dan kontra. Kontroversi
mengenai jilbab disebabkan sebagian muslim menganggapnya sebagai perintah Allah
yang diberikan melalui Al-Qur’an. Sebagian lainnya, baik muslim maupun
non-musim menganggapnya sebagai praktek yang tidak beradab. Jilbab juga
dipandang sebagai penghalang bagi perempuan untuk bergerak di ruang publik, di
samping itu banyak orang berpendapat bahwa justifikasi tentang jilbab pada masa
lalu tidak mempunyai relevansi dengan zaman sekarang, akan tetapi sebagian
lainnya menganggap jilbab sebagai salah satu kewajiban bagi perempuan.[2]
Muhammad Syahrur merupakan salah satu ulama’ pemikir Islam
kontemporer, yang ingin memposisikan Islam selalu dapat menjawab tantangan
zaman dan selalu dinamis dalam ruang dan waktu. Lewat pengamatan dan kajiannya
yang mendalam atas sejarah pemikir hukum Islam dan juga atas praktik beragama
umat Islam yang ada selama ini, Syahrur sampai pada kesimpulan bahwa
keterpurukan yang terjadi di dunia muslim dan juga ketidakmampuan umat Islam
menjawab problematika kontemporer lebih disebabkan adanya kesalahan umat ini
dalam memahami ajaran agamanya, disamping juga karena umat Islam masih
menggunakan perangkat metodologi yang sudah usang untuk menjawab problem
kontemporer. Akibatnya, umat Islam menjadi terpuruk dan tidak mampu mengatasi
problematika zaman.
Dalam upayanya untuk mereformulasi dan merekonstruksi perangkat
metodologis yang digunakan umat Islam dalam memahami ajaran agamanya, Syahrur
sendiri melakukan kajian yang intens dan mendalam atas sejarah pemikiran hukum
Islam dan juga atas At-Tanzil Al-Hakim (Al-Qur’an). Hasil konkret dari
kajiannya itu adalah lahirnya teori baru dalam bidang hukum Islam, yang
kemudian populer dengan sebutan TeoriNazhariyat al-Hudud (Teori Batas).
Teori Hudud ini merupakan sumbangan orisinil Syahrur dalam pemikiran
ushul fiqh kontemporer dan merupakan salah satu wujud nyata dari rekonstruksi
ushul fiqh yang dilakukannya.[3]
B.
Biografi
SingkatMuhammad Syahrur
Tokoh yang pernah menggoncangkan dunia pemikiran Arab ini mempunyai
nama lengkap Muhammad Syahrur bin Daib. Ia lahir di Shalihiyyah Damaskus,
Syiria, pada 11 April 1938, ketika negeri tersebut masih dijajah oleh Prancis,
meskipun sudah mendapatkan status setengah merdeka. Syahrur adalah anak kelima
dari seorang tukang celup. Pendidikan tingkat ‘ibtida’ dan ‘idad-nya
dimulai dari Madrasah Damaskus. Sementara pendidikan tingkat tsanawiyahnya
diperoleh dari Madrasah Abdurrahman al-Kawakibi Damaskus. Syahrur lulus dari
madrasah tersebut pada tahun 1957.[4]
Tahun 1959, ia mendapat beasiswa pemerintah untuk studi teknik
sipil di Moskow, Uni Soviet, dan lulus dari universitas tersebut tahun 1964. Pada
tahun berikutnya, ia menjadi dosen di Fakultas Teknik Universitas Damaskus.
Meraih gelar master pada 1969 dan gelar doktor pada tahun 1972.[5]
Sesuai dengan latar belakang pendidikannya, sebenarnya spesifikasi
intelektualnya terletak pada bidang Teknik Sipil dengan spesialisasi Mekanika
Pertahanan dan Geologi. Meski demikian ia banyak menulis karya di bidang keagamaan, sosial dan politik. Beberapa karya
utamanya adalah al-Kitab wa al-Qur’an; Qira’ah Mu’asirah, al-Dirasah
al-Islamiyah fi al-Daulah wa al-mujtama, al-Islam wa al-Iman; Manzumat
al-Qiyam, dan Nahw Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, dll.[6]
Perhatian Syahrur terhadap kajian ilmu-ilmu keislaman dimulai sejak
dia berada di Dublin Irlandia pada tahun 1970-1980. Sejak tahun 1970, Syahrur
mencoba melakukan kajian ulang terhadap berbagai konsep yang selama ini terus
dirasakannya, hingga pada tahun 1980 ia bertemu dengan teman lamanya, Ja’far
Dak el-Bab, seorang doktor ilmu bahasa lulusan Universitas Moskow. Ia juga
menguasai ilmu bahasa filsafat humanis, filsafat bahasa dan semantik. Berkat
pertemuannya dengan Ja’far inilah, Syahrur dapat belajar banyak tentang
ilmu-ilmu bahasa dan berpengaruh besar kepada pemikiran-pemikirannya.[7]
Adapun dalam analisis linguistiknya, pendekatan yang digunakan
Syahrur dalam mengonstruksi pemikiran islam ialah menggunakan pendekatan
hermeneutik dengan penekanan pada aspek fisiologi (kebahasaan). Ia menyebutnya
sebagai al-manhaj at-tarikh al’ilm fi dirasat al-lughawiyyah (metode
historis ilmiah studi bahasa), sebagaimana dikemukakan oleh Ja’far Dakk al-Bab
dalam pengantar bukunya, al-Kitab wa al-Qur’an.[8]
C.
Nazhariyat
al-Hudud(Teori Batas)
Kata Hudud adalah bentuk jamak dari kata hadd. Pada
dasarnya had berarti pemisah antara dua hal atau yang membedakan antara
sesuatu dengan yang lain. Secara bahasa hadd berarti cegahan. Sedangkan
secara istilah syara’hadd adalah pemberian hukuman dalam rangka hak
Allah (ditetapkannya hukuman tersebut demi kemaslahatan masyarakat dan
terpeliharanya ketentraman/ketertiban umum). Hal ini merupakan sebagai tujuan
agama. Oleh karena hukuman itu didasari atas hak Allah.
Muhammad Syahrur menjelaskan teori batas (Nazhariyat al-hudud)dalam
karya pertamanya,Kitab wa al-Qur’an. Syahrur menggagas teoribatas tersebutyang
dapatdisebut sebagai ijtihad cerdas untuk pembaharuan fikih Islam dalam upaya
meletakkan dasar-dasar baru metodologi pembacaan teks keagamaan, khususnya
al-Qur’an.[9]
Teori batas (Nazhariyyat al-Hudud) secara garis besar dapat
digambarkan sebagai: perintah Tuhan yang diekspresikan dalam Al-Qur’an dan
Sunnah yang mengatur/memberikan batas bawah (Had al-Adna)dan batas atas (Hadd
al’A’la)bagi seluruh perbuatan manusia. Batas yang lebih rendah mewakili ketetapan
hukum minimal dalam kasus tertentu, sedangkan batas atas merupakan maksimalnya.
Perbuatan hukum yang kurang dari batas minimal tidak sah (tidak boleh), begitu
juga dengan batas atas tidak boleh melebihi. Ketika batas-batas itu dilampaui
maka hukum harus dijatuhkan sesuai dengan proporsi pelanggaran yang dilakukan.
Tetapi ketika itu sangat diperlukan, maka hukum dapat dijamin sesuai dengan
batas-batas yang telah ditentukan. Disinilah letak kekuatan Islam, dengan
memahami teori ini menurut Syahrur, akan lahir daripadanya jutaan ketentuan
hukum. Karena itu risalah Muhammad Saw. dinamakan dengan umm al-kitab(induk
al-Kitab), karena sifatnya yang hanif dalam teori batas ini.
1.
Batas Minimal (Had
al-Adna)
Yaitu batas paling minimal yang ditentukan oleh al-Qur’an dan
ijtihad manusia tidak memungkinkan untuk mengurang ketentuan tersebut
namun memungkinkan untuk menambah. Contoh dari batasan ini terjadi dalam hal:
macam-macam perempuan yang haram untuk dinikahi (QS. an-Nisa’: 22-23), dan
tentang pakaian wanita (Qs. an-Nisa’: 31). Dalam hal perempuan yang haram untuk
dinikahi yang terdapat dalam ayat tersebut merupakan batasan minimal, dan tidak
boleh lebih dari itu. Sehingga nikah dengan hubungan-hubungan lain yang tidak
terdapat dalam ayat itu menjadi boleh.
2.
Batas maksimal (Hadd
al’A’la)
Yaitu batas paling atas yang telah ditetapkan dan tidak mungkin
dilampaui, namun memungkinkan untuk memperingankannya. Contoh dari batasan ini
dapat ditemukan dalam surat al-Maidah: 38 tentang hukuman bagi seorang pencuri.
“Pencuri baik laki-laki maupun perempuan, maka potonglah tangan-tangan
mereka” (Qs. al-Maidah: 38).
Di sini hukuman sanksi bagi seorang pencuri (yang ditemukan)
merupakan batas maksimal yang tidak boleh dilewati. Bagaimanapun hukuman bisa
dikurangi, berdasarkan kondisi-kondisi obyektif yang berlaku dalam suatu
masyarakat tertentu. Hal ini menjadi kewajiban
hakim/mujtahid untuk memberlakukan hukuman terhadap pencuri bagaimana
yang harus dipotong tangannya. Misalnya penjahat kelas kakap melakukan
pencurian dengan alat-alat canggih yang perbuatannya menimbulkan keresahan
orang banyak, menyebabkan kerugian serta membahayakan keamanan masyarakat maka diberlakukannya
hukuman bukan pada surah al-Mai’idah ayat 38 melainkan ayat 33: “Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi hendaklah mereka dibunuh dan disalib, atau di potong
tangan dan kaki mereka dengan timbal balik atau dibuang dari negeri (tempat ia
tinggal).
Lagi-lagi mujtahid harus menentukan hukuman yang setara dengan
kesalahan tertentu yang dilakukan.
3.
Batas minimal
dan batas maksimal sekaligus tetapi tidak bersinggungan dalam satu titik.
Yaitu
batas minimal dan batas maksimal sekaligus tidak bersinggungan dalam satu
titik. Contoh batasan ini dapat ditemukan dalam hukum waris (al-Nisa’: 11-14)
dan poligami (an-Nisa’: 3). Maksud dari
ayat warisan adalah batas maksimal untuk laki-laki dan batas minimal untuk
perempuan. Tujuan dari ayat ini (an-Nisa’: 11-14) adalah menganut prinsip 2:1,
sehingga bagian laki-laki adalah 66,6% yang merupakan batas maksimal sedangkan
bagi perempuan 33,3% dan merupakan batas minimal. Terlepas dari apakah wanita
telah menjadi pencari nafkah, bagaimanapun bagian wanita tidak pernah dapat
kurang dari 33,3%, sementara bagian laki-laki tidak pernah mencapai lebih dari
66,6%. Jika wanita diberi 40 persen dan laki-laki 60 persen kemudian keduanya
baik batas maksimal maupun batas minimal tidak dikatakan telah melanggar.
Alokasi prosentase kepada masing-masing pihak ditentukan berdasarkan kondisi
obyektif yang ada dalam masyarakat tertentu pada waktu tetrtentu.
4.
Batas minimal
dan batas maksimal berada dalam satu titik.
Yaitu
ketentuan had maksimalnya juga menjadi had minimalnya sehingga
ijtihad tidak mungkin mengambil hukum yang lebih berat. Contoh batasan ini
hanya berlaku bagi hukuman zina, yaitu seratus kali jilid (surah an-Nur : 2).
Kemudian berdasarkan ayat 3-10 dalam surah yang sama, hukuman tersebut hanya
dapat diberlakukan dengan syarat adanya 4 orang saksi atau melalui li’an.
5.
Batas maksimal
dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa singgungan.
Yaitu
had yang paling atas telah ditentukan dalam al-Qur’an, namun karena
tidak ada sentuhan dengan had maksimal maka hukuman belum dapat
ditetapkan. Contoh dari batasan ini adalah hubungan seksual antara laki-laki
dan perempuan. Dimulai dari titik di atas batas minimal (dimana di sini alat
kelamin belum bersentuhan). Hanifiyah bergerak ke arah searah dengan
batas maksimal (dimana disini mereka bisa melakukan perzinaan), tetapi
perzinaan tidak terjadi. Jadi, apabila antara laki-laki dan perempuan melakukan
perbuatan yang mendekati zina tetapi belum berzina maka keduanya berarti belum
terjatuh dalam batas-batas yang ditentukan Allah.
6.
Batas maksimal
positif tidak boleh dilampaui dan batas minimal negatif boleh dilampui.
Yaitu
batas atas yang ditetapkan tidak boleh di lewati sedangkan batas bawahnya yang
negatif boleh dilampaui. Contohnya adalah batas atas yang tidak boleh dilampaui
adalah riba, batas bawah yang boleh dilampaui adalah zakat (zakat sebagai batas
negatif karena ia adalah batas minimal harta yang wajib dikeluarkan). Dua hal
ini dapat dilampaui dengan shadaqah. Dalam hal ini ada riba yang diperkenankan
yaitu yang tidak melewati batas atas (riba yang adh’afan mudha’afan.[10]
D.
Pandangan
Muhammad Syahrur terhadap Ayat tentang Jilbab dalam Teori Nazhariyat
al-Hudud
Menurut
Syahrur jilbab berasal dari kata ja-la-ba yang dalam bahasa Arab
memiliki dua arti dasar, yaitu pertama, mendatangkan sesuatu dari satu
tempat ke tempat yang lain. Kedua, sesuatu yang meliputi dan menutupi
sesuatu yang lain. Adapun kata al-jalabah bearrti sobekan kain yang
digunakan untuk menutupi luka sebelum bertambah parah dan bernanah. Dari
pengertian ini muncul kata al-jilbab.[11]Pakar
tafsir al-Biqa’i (1406-1480) menyebut beberapa pendapat tentang makna jilbab.
Antara lain, baju yang longgar atau kerudung penutup kepala wanita, atau
pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakainya, atau semua pakaian
yang menutupi badan wanita.[12]
Adapun
aurat menurut Muhammad Syahrur berasal dari kata as-Saw’ah yang secara
konotatif artinya bagian tubuh yang tidak boleh dibuka untuk diperlihatkan.
Selain itu, kata as-saw’ah juga berarti aib (fadihah) dan bangkai
(jifah), seperti dalam firman Allah: “Kemudian Allah menyuruh seekor
burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil)
bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya.” (Qs. Al-Maidah [5]:
31)[13]
Berdasarkan historis, bangsa Arab pada masa pra kenabian dan masa
awal kenabian terdiri dari dua tingkatan, yaitu: tingkatan orang-orang merdeka
dan tingkatan para budak. Perbudakan adalah salah satu sistem hukum yang dijalankan
oleh bangsa Arab pada pra dan awal masa kenabian Muhammad.[14]Adapun
pakaian budak yang dalam sejarah disebut sebagai milk al-yamin, sama
sekali berbeda dengan pakaian perempuan merdeka. Hal ini disebabkan oleh
konteks yang sangat sederhana dan alami, yaitu pertama, perempuan budak
bekerja untuk kepentingan tuannya sejak menyediakan makan, minum dan seluruh
pekerjaan rumah tangga, di samping membeli kebutuhan sehari-hari di pasar; dan kedua,
adanya perbedaan ruang sosial antara perempuan merdeka dan budak. Hal inilah
yang mendorong timbulnya perbedaan model pakaian untuk membedakan antara
keduanya.[15]Tujuannya
adalah agar perempuan merdeka tidak berpakaian menyerupai budak ketika mereka
keluar untuk memenuhi kebutuhannya, bukan dengan cara membuka rambut dan wajah
mereka, tetapi dengan mengulurkan jilbab pada tubuh mereka agar orang-orang
fasik tidak mengganggu mereka ketika tahu bahwa mereka adalah wanita-wanita
merdeka.[16]
Dalam fiqih klasik disebutkan aurat perempuan dipecah menjadi dua
kategori, perempuan merdeka dan perempuan hamba (budak). Menurut pendapat
Mazhab Syafi’i bahwa aurat perempuan merdeka seluruh tubuh kecuali muka dan
telapak tangan sampai pergelangan tangan. Al Muzani melanjutkan kedua telapak
kaki yang tidak wajib di tutupi.Sementara madzhab Hanafi mengungkapkan bahwa
aurat bagi wanita yang merdeka seluruh tubuh kecuali wajah, kedua telapak
tanggan dan telapak kaki. Lalu dari madzhab Maliki di bagi menjadi dua kategori
yaitu pendapat pertama mengatakan bahwa wajah, telapak tanggan bukan aurat dan
telapak kaki. Sedangkan menurut Muhammad bin Abdullah al – Maghribi
mengungkapkan bahwa apabila wanita menganggap khawatir terjadinya fitnah maka
layak untuk di tutup wajah dan telapak tangan.Sementara menurut madzhab Hambali,
aurat wanita itu wajib di tutupi di seluruh tubuhnya.[17]
Menurut
Syahrur, aurat merupakan segala sesuatu yang jika diperlihatkan, maka seseorang
akan merasa malu. Rasa malu mempunyai tingkatanyang bersifat relatif, tidak
mutlak dan mengikuti adat kebiasaan setempat. Jadi batasan aurat dapat
berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat, akan tetapi yang
berkaitan dengan daerah inti pada tubuh (al-juyub) bersifat tetap dan
mutlak.[18]
Term
al-juyub didapati Syahrur dalam Qs. An-Nur [24]: 31. Di dalam ayat
tersebut, Allah memerintahkan kaum perempuan untuk menutup bagian tubuh mereka
yang termasuk dalam kategori al-juyub. Dengan analisis linguistiknya,
Syahrur menjelaskan bahawa kata al-jaybberasal dari
kata ja-ya-ba seperti dalam perkataan jabtu al-qamisa, artinya
aku melubangi bagian saku baju atau aku membuat saku pada baju. Kata al-jayb
sebagaimana diketahui adalah bagian terbuka yang memiliki dua tingkatan, bukan
hanya satu tingkatan karena pada dasarnya kata ja-ya-ba berasal dari ja-wa-ba
yang dalam bahasa Arab memiliki arti dasar “lubang yang terletak pada sesuatu”.
Istilah al-juyub pada tubuh perempuan memiliki dua tingkatan sekaligus
yang secara rinci berupa: bagian antara dua payudara, bagian bawah payudara,
bagian bawah ketiak, kemaluan dan pantat. Semua bagian ini disebut juyub
yang wajib ditutupi oleh perempuan. Allah berfirman : walyadribna bi
khumurihinna ‘alajuyubihinna (dan hendaklah mereka mengulurkan kerudung mereka
di atas bagian juyub mereka). Oleh
karena itu, Allah memerintahkan perempuan yang beriman untuk menutup
bagian tubuh mereka yang termasuk dalam kategori al-juyub.[19]
Bila
dikaitkan dengan teori batas (nazhariyat al-hudud) yang dirumuskannya, Syahrur menyatakan bahwa
batas minimal(Had al-Adna) pakaian perempuan yang berlaku secara
umum adalah menutup daerah inti bagian atas(al-Juyub
al-Ulwiyyah),
yaitu daerah payudara dan bawah ketiak, dan juga menutup daerah bagian bawah(al-Juyub
as-Sufliyah).
Konsekuensinya, perempuan yang menampakkan bagian al-juyub berarti dia
telah melanggar hudud Allah. Begitu juga perempuan yang menutup seluruh
tubuhnya tanpa terkecuali, maka di juga melanggar hudud Allah.
Konsep
jilbab Syahrur sering dikaitkan dengan pakaian perempuan. Ia menggunakan
istilah al-libas sebagai ganti istilah al-hijab yang selama ini
sering dipakai atau yang sering disebut sebagai pakaian syar’i (al-hijab
ash-shar’i). Istilah al-hijab dalam at-Tanzil al-Hakim disebut
sebanyak delapan kali, tetapi dalam setiap penggunaannya tidak pernah secara
pasti dikaitkan dengan masalah (al-libas). Istilah al-libas
adalah istilah yang pengertiannya lebih daripada al-hijab.[20]Adapun
kosa kata yang lebih merujuk pada pengertian al-libas adalah ath-thiyab
(baju), al-jalabib (jilbab penutup tubuh), dan al-khumr (kerudung
kepala).[21]
Al-Quran memaparkan masalah penutup (hijab), jilbab dan
kerudung (khimar) dalam tiga ayat saja. Pertama ialah ayat mengenai hijab
yang secara terbatas terkait dengan para isteri Nabi. Tidak ada isyarat,
baik secara eksplisit maupun implisit, yang mengaitkan ayat ini dengan isteri
orang-orang yang beriman secara umum. Ayat yang dimaksud adalah Qs. Al-Ahzab
ayat 53:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيْرَ
نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَٰكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ
فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي
النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ ۖ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ ۚ
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ
ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ ۚ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ
تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ
أَبَدًا ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila
kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak
(makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai
makan, keluarlah kamutanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang
demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh
keluar kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila
kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka
mintalah dari belakang tabir (hijab). Cara yang demikian itu lebih suci bagi
hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan
tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat.
Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) disisi Allah” (Qs.
Al-Ahzab [33]:53)
Muhammad Syahrur melihat sisi yang sangat penting dalam ayat ini
ketika menyebut masalah hijab. Allah membicarakan rumah-rumah Nabi dalam
wilayah kenabian (maqam an-nubuwwah; fungsinya sebagai seorang Nabi) sebagai
pengajaran (ta’lim), dan ketika mengharamkan orang-orang beriman untuk
menikahi para janda Rasulullah, Allah menyebutnya dalamwilayah risalah
(maqam ar-risalah; fungsinya sebagai seorang rasul).[22]
Syahrur mengungkapkan bahwa para perempuan mukminah tidak perlu
mengikuti ketetapan yang khusus ditujukan bagi para isteri Nabi ini secara
ketat, khususnya ketika melakukan interaksi sosial dengan pihak lain. Jika
tetap bersikeras meniru para isteri Nabi, maka hendaklah ia berbicara dari
balik hijab dengan siapa saja, selain mereka yang disebut sebagai tujuh mahram
dan mereka yang termasuk kategori nisa’ihinna dalam ayat tentang az-zinah/perhiasan
(Qs. an-Nur[24]: 31). Sesungguhnya pengamalan ketetapan ini akan memberatkan
diri sendiri dengan suatu beban yang tidak dibebankan oleh Allah pada hambanya,
karena ketetapan yang khusus berlaku pada isteri Nabi adalah dalam hal
berbicara dengan lelaki dibalik hijab. Di samping itu, ketentuan bagi
isteri-isteri Nabi ini terkait dengan masalah perhiasan tersembunyi dan cara
berpakaian yang disesuaikan dengan tuntunan tradisi dan situasi lingkungan,
bukan dalam hal cara berbicara dari balik hijab.
Ayat kedua adalah ayat tentang jilbab yang ditujukan kepada isteri
Rasul dan isteri orang-orang beriman, yakni Qs. Al-Ahzab ayat 59:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ
قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ
مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ
وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
”Hai
Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jllbabnya ke seluruh tubuh mereka.”
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs.
Al-Ahzab [33]: 59)
Diriwayatkan oleh Ibn Sa’ad dalam at-Tabaqat dari Abu Malik, dia
berkata: “Suatu saat isteri-isteri Nabi pergi keluar pada malam hari untuk
memenuhi kebutuhannya. Segolongan orang-orang munafik menyaksikan hal itu dan
berusaha mengganggu mereka. Kemudian mereka melaporkan hal itu kepada
Rasulullah. Lalu Rasulullah memberikan peringatan kepada golongan munafik
tersebut, tetapi mereka menjawab: “Sesungguhnya kami hanya melakukan hal itu kepada
hamba-hamba sahaya perempuan (al-ima’),” Maka, turunlah ayat tersebut.”
Dari sini Syahrur mencatat satu aspek yang sangat penting, yaitu bahwa ayat
tersebut berbicara kepada Rasulullah dalam wilayah nubuwwah (ya ayyuha
an-nabi), karena ayat tersebut diturunkan berdasarkan kondisi-kondisi
objektif yang berlaku pada masa Nabi. Oleh karena itu, ayat ini berfungsi
sebagai ayat pengajaran (ta’limiyyah) bukan sebagai ayat penetapan
hukum (tashri’iyah). Untuk konteks saat ini pemberlakuan ayat tersebut
dapat berupa tata cara bepergiannya perempuan yang didasarkan pada kebiasaan
setempat, dengan catatan dapat menghindarkannya dari gangguan sosial.
Ayat ketiga terkait dengan masalah tutup kepala perempuan (al-khimar)
dan perhiasan yang ditujukan secara umum bagi seluruh perempuan beriman. Ayat
yang dimaksud adalah Qs. an-Nur ayat 31 :
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ
جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ
التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ
الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ
بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى
اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada perempuan yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera merekaatau putra-putra suami
mereka atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
mereka, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki
yang tidak mempunyai keinginan, atau anak-anak yang belum mengerti tentang
aurat-aurat wanita; dan janganlah mereka menghentakkan kaki mereka agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan bertaubatlah kamu sekalian
kepada Allah, hai orang-orang mukmin supaya kamu beruntung.”(Qs. An-Nur :
31)
Disebutkan dalam riwayat asbab an-nuzul yang berasal dari
Muqatil ibn Sulaiman, ia berkata: Telah sampai kabar kepada kami bahwa Jabir bn
‘Abd Allah berkata bahwa Asma’ binti Murtad sedang berada di kebun kurma
miliknya. Ia mengundang beberapa teman perempuannya untuk masuk ke dalamnya,
tetapi karena mereka tidak mengenakan kain penutup kaki sehingga gelang kaki
mereka kelihatan. Demikian juga gelungan rambut dan bagian dada mereka
terlihat. Maka Asma’ berkata: “Alangkah buruknya ini,” Kemudian turunlah ayat
tentang hal ini.[23]
Tubuh perempuan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pertama,
bagian tubuh yang terbuka secara alami (qism az-zahir bi al-khalq) Allah
berfirman: “Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa
tampak darinya”. Ayat ini harus dipahami bahwa dalam tubuh perempuan
terdapat perhiasan yang tersembunyi (zinah makhfiyyah). Perhiasan yang
tampak adalah apa yang secara alami tampak pada tubuh perempuan, yaitu apa yang
diperlihatkan oleh Allah dalam penciptaan tubuh perempuan, seperti kepala,
perut punggung, dua kaki, dan dua tangan, karena Allah menciptakan laki-laki
dan perempuan dalam keadaan telanjang tanpa berpakaian.Kedua, bagian
tubuh yang tidak tampak secara alami (qism ghayr az-zahir bi al-khalq),
yaitu yang disembunyikan oleh Allah dalam bentuk dan susunan tubuh perempuan
atau yang disebut al-juyub.[24]
Oleh karena itu, Allah memerintahkan perempuan yang beriman untuk
menutup bagian tubuh mereka yang termasuk dalam kategori al-juyub, yaitu
perhiasan yang tersembunyi secara fisik dan melarang mereka untuk
memperlihatkan bagian tersebut. Sebagian orang menyangkal pendapat ini dengan
menyatakan bahwa bagian mulut, hidung, kedua mata, dan kedua telinga masuk
dalam kategori al-juyub. Bagian-bagian tersebut memang merupakan al-juyub,
namun juyub yang tampak karena terletak di wajah. Padahal bagian kepala
perempuan atau laki-laki merupakan bagian yang paling menonjol secara fisik
yang berfungsi sebagai ciri khas manusia. Sebagian dari wilayah juyub
ini disebut secara eksplisit oleh Allah seperti dalam firman-Nya: wa
yahfazna furujahunna yang diwajibkan Allah agar tidak tampak oleh pandangan
mata. Bagian kemaluan dan pantat perempuan termasuk dalam kategori juyub
yang tidak boleh disaksikan sepasang mata kecuali oleh suaminya. Bagian inilah
yang oleh para ahli fiqih ditetapkan sebagai aurat berat bagi budak perempuan
ketika berada di hadapan orang lain, dan aurat berat bagi perempuan merdeka
ketika berada di hadapan mahram-nya saja.Kenyataan ini menjelaskan
tentang sebab tidak disebutnya suami (az-zauj)dalam Qs. an-Nur ayat 31 yang
berisi daftar laki-laki yang boleh memperlihatkan perhiasannya di depan
perempuan.
Dalam
hal ini, Qs. an-Nur ayat 31 menggunakan istilah al-ba’l. Mereka (para mahram) ialah al-ba’l (suami) ( bu’
ulatuhunna), bapak dan kakek (aba’ihinna),
bapak dari al-ba’l dan kakeknya (aba’i bu’ulatihinna), anak laki-laki (abna’ihinna), anak laki-laki dari al-ba’l (abna bu’ ulatihinna), saudara
laki-laki (ikhwanihinna), anak
laki-laki dari saudara laki-laki (bani
ikhwanihinna), anak laki-laki saudara perempuan (bani akhawatihinna).
Dari
sini tampak jelas perbedaan antara istilah az-zauj
dan al-ba’l, karena jika kita anggap
bahwa az-zauj adalah al-ba’l, dan al-ba’l adalah az-zauj,
sebagaimana yang dianggap oleh para penganut sinominitas dalam bahasa, tentulah
akan terjadi kontradiksi yang parah antara satu ayat dengan ayat yang lainnya,
karena bagaimana mungkin Tuhan akan memperbolehkan bagi perempuan
memperlihatkan perhiasannya kepada al-ba’l,
sementara dalam surat al-Mu’minun Allah memperbolehkan perempuan untuk
tidak menjaga kemaluannya dari pandangannya.[25]
Allah berfirman: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu maka mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas”(Qs. al-Mu’minun [23]: 5-7).
Kontradiksi
ini tidak dapat diselesaikan kecuali dengan cara memahami bahwa al-ba’l tidak sama artinya dengan az-zauj. Terkait dengan hal ini, Syahrur
menjelaskan bahwa seorang suami di luar tugas fisik seksualnya, maka ia disebut
sebagai ba’l bukan zauj.[26]Oleh
karena itu dalam masalah penampakan perhiasan perempuan, Allah menyamakan ketentuan
antara al-ba’l , anak, saudara , dan
pihak-pihak lainnya yang disebut dalam ayat yang tidak boleh melihat
kemaluannya(aurat berat).
Suami
adalah satu-satunya orang yang berhak menyaksikan bagian intim perempuan (aurat
berat). Adapun celah bagian atas (dada
dan ketiak), maka ia boleh ( diperlihatkan ) dalam keadaan terbuka dihadapan
pihak yang disebutkan dalam surat an-Nurayat 31. Jika perempuan melakukan hal
itu, tidak disebut sebagai perbuatan haram, namun disebut dengan sebagai aib.[27]
Demikianlah Muhammad Syahrur memandang
bahwa pakaian yang seharusnya dipakai wanita penduduk bumi adalah pakaian yang
berada diantara dua batas, batasan Allah (minimal) dan batasan Rasul-Nya
(maksimal). Inilah fitrah manusia dalam berpakaian. Berkaitan
dengan jilbab, Muhammad Syahrur menafsirkan bahwa ayat tentang jilbab tersebut merupakan
suatu bentuk pengajaran (ta’lim), bukanlah syari’at dan turun di Madinah
yang menunjukkan harus dipahami secara temporal dengan tujuan temporal dari dua
gangguan. Yakni gangguan alam dan sosial serta cuaca. Syahrur berkesimpulan penggunaan
jilbab mempunyai batas maksimal (Had al-A’la) dan batas minimal(Had
al-Adna). Batas atas maksimalnya adalah seluruh badan kecuali muka dan
telapak tangan, sedangkan batas minimalnya adalah hanya menutupi al-juyub
yang meliputi belahan dada, bagian tubuh
di bawah ketiak, kemaluan dan pantat.
E.
PENUTUP
Penafsiran Muhammad Syahrur tentang teori batas, (Nazhariyat
al-Hudud) khususnya pada pembahasan aurat perempuan yang didasarkan
pemahamannya terhadap Al-Qur’an dan as-Sunnah, terbagi menjadi dua bagian: pertama
batas maksimal (Had al-a’la) dan kedua batas minimal (Hadd al-adna).
Dalil-dalil hukum batasan aurat perempuan dalam konsep berpakaian bagi
perempuan adalah ada pada Qs. an-Nur [24]: 31, Qs. al-Ahzab [33]: 59, dan Qs.
al-Ahzab [33]: 53.
Menurut Syahrur, ada tiga ketentuan yang terkait dengan pakaian
perempuan yakni: 1) Perempuan dilarang atau tidak diperbolehkannya terbuka
(telanjang) kecuali hanya kepada suaminya. 2) Batasan minimal perempuan secara
umum adalah menutup daerah intim bawah (al-juyubas-Sufliyyah). Bagian
ini disebut sebagai aurat berat (Mughallazah). Bagian inilah yang harus
ditutupi ketika berhadapan dengan orang-orang yang empat belas disebutkan di
dalam surah an-Nur 31. Dan menutup daerah intim atas (al-juyub al-Ulmiyyah).
3) Pakaian untuk aktivitas dan bersosialisasi, ketentuannya berawal dari batas
minimal kemudian disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. Batasan inipun
memiliki tingkatan-tingkatan hingga sampainya kepada batasan maksimal yang
hanya memperlihatkan wajah dan kedua telapak tangan.
Adapun kaitannya dalam jilbab perempuan, Syahrur berpendapat bahwa
jilbab merupakan persoalan aib dan malu secara adat, bukan persoalan
halal-haram. Menurutnya, perempuan haruslah berpakaian sesuai dengan kondisi,
situasi dan kebiasaan setempat, supaya dia terhindar dari gangguan baik gangguan
alamiah ataupun sosial. Adapun batas tetap yang tidak boleh kelihatan dari
tubuh perempuan adalah yang masuk dalam kategori al-juyub (daerah antara
payudara, bawah payudara, bawah ketiak, kemaluan dan pantat). Adapun daerah
lainnya boleh terbuka, disesuaikan dengan kebiasaan setempat.[28]
DAFTAR
PUSTAKA
Fanani, Muhyar, 2010, Fiqh Madani (Konstruksi Hukum Islam di
Dunia Modern), (Yogyakarta: PT. LkiS Printing Cemerlang)
Hamidah, Tutik, 2011, Fiqih Perempuan Berwawasan Keadilan
Gender, ( Malang : Uin Maliki Press)
Syahrur, Muhammad 2018, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an
Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin (Yogyakarta: Elsaq
Press)
Shahrur, Muhammad, 2010, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer,
Terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin, (Yogyakarta: Elsaq Press)
Shihab, M. Quraish, 2009, Jilbab (Pakaian Wanita Muslimah),
(Jakarta: Lentera Hati)
Suryani, Octri Amelia, 2017, Skripsi: “Konsep Aurat Perempuan
Menurut Muhammad Syahrur”, (Yogyakarta: UINSA)
Zaki, Ahmad M., 2007, “Pendekatan
Strukturalisme Lingusitik dalam Tafsir al-Qur’an Kontemporer ‘ala’ M.Syahrur”,
Yogyakarta: Elsaq Press
Musyafa’ah, Nur Lailatul, 2010 “Pemikiran Fikih Wanita Muhammad
Shahrur”, dalam jurnal Al-Qanun, Vol. 13, No. 1, Juni
Najitama, Fikria 2014, “Jilbab dalam Konstruksi Pembacaan
Kontemporer Muhammad Syahrur”, dalam jurnal Musawa, Vol. 13, No. 1, Januari
Sawati, 2016, Skripsi: “Konsep Jilbab Menurut Pendapat Muhammad
Syahrur”, (Jember: IAIN Jember)
Catatan:
1.
Similarity 36%,
cukup tinggi.
2.
Perlu diberikan
gambar tentang kesimpulan pendapat Syahrur tentang jilbab.
[1] Muhyar Fanani,
Fiqh Madani (Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern), (Yogyakarta: PT. LkiS
Printing Cemerlang, 2010) hlm xi
[2] Fikria
Najitama, “Jilbab dalam Konstruksi Pembacaan Kontemporer Muhammad Syahrur”, dalam
jurnal Musawa, Vol. 13, No. 1, Januari
2014, hlm 9
[3] Muhyar Fanani,
Op. Cit, hlm. x
[5]Nur Lailatul
Musyafa’ah, “Pemikiran Fikih Wanita Muhammad Shahrur”, dalam jurnal
Al-Qanun, Vol. 13, No. 1, Juni 2010, hlm.
135
[6] Ahmad Zaki M.,
“Pendekatan Strukturalisme Lingusitik dalam Tafsir al-Qur’an Kontemporer
‘ala’ M.Syahrur”, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2007), hlm. 4
[7] Nur Lailatul
Musyafa’ah, Op. Cit, hlm. 135
[8] Octri Amelia
Suryani, Skripsi: “Konsep Aurat Perempuan Menurut Muhammad Syahrur”,
(Yogyakarta: UINSA, 2017) hlm 63
[9] Muhammad
Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, Terj.
Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin (Yogyakarta: Elsaq Press, 2018), hlm xxii
[10]Octri Amelia
Suryani, Op. Cit, hlm. 66-70
[11] Sawati,
Skripsi: “Konsep Jilbab Menurut Pendapat Muhammad Syahrur”, (Jember:
IAIN Jember, 2016) hlm. 65-66
[12] M. Quraish
Shihab, Jilbab (Pakaian Wanita Muslimah), (Jakarta: Lentera Hati, 2009),
hlm. 88
[13] Muhammad
Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsuddin dan
Burhanudin, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm. 486
[17] Tutik Hamidah,Fiqih
Perempuan Berwawasan Keadilan Gender, ( Malang : Uin Maliki Press, 2011)
hlm. 86
[18] Fikria
Najitama, Op. Cit, hlm. 14
[19] Muhammad Shahrur,
Op.Cit, hlm. 517-518
[23] Muhammad
Shahrur, Loc. Cit.
[28] Fikria
Najitama, Op. Cit, hlm. 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar