Senin, 13 Mei 2019

Nazhariyat al-Hudud dan Konsep Jilbab Syahrur (PAI F Semester Genap 2018/2019)



NAZHARIYAT AL-HUDUD MUHAMMAD SYAHRUR
Mega Khoirunnisa (16110061), Wardahlia Firdaus (16110084)
Mahasiswa PAI-F Angkatan 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
In the case of closing the aurat Muhammad Syahrur interpreted the very significant aurat boundaries of the other mufassirs and mufaqqih. He has theory called Nazhariyat al-Hudud or commonly referred to as the limit theory which is divided into two namely the maximum limit (Hadd al’A’la) and the minimum limit (Had al-Adna) by closing the top (al-Juyub al-Ulwiyyah) and closed the bottom (al-Juyub as-Sufliyah). With his boundary theory, Muhammad Syahrur tried to apply the verses of the muhkamat al-Qur’an in the reality of life with its limitations. Syahrur consedered that the laws contained in the Qur’an is elastic which can be drawn and adapted to the place and the age. Muhammad Syahrur argued that the veil (headscraf) or headgear for him is not included in the principle of Islamic or beliefs of a person, but only following the habits of society in general.
Abstrak
Pada kasus menutup aurat Muhammad Syahrur menafsirkan batasan aurat yang sangat signifikan dari para mufassir maupun mufaqqih lain. Dia memiliki teori yang dinamakan Nazhariyat al-Hudud atau biasa disebut dengan teori batas yang terbagi menjadi dua yaitu batas maksimal (Hadd al’A’la) dan batas minimal (Had al-Adna) dengan menutup bagian atas (al-Juyub al-Ulwiyyah) dan menutup bagian bawah (al-Juyub as-Sufliyah). Dengan teori batasnya, Muhammad Syahrur mencoba untuk menerapkan ayat-ayat muhkamat al-Qur’an dalam realita kehidupan dengan batasan-batasannya. Syahrur beranggapan bahwa hukum-hukum yag terdapat dalam Al-Qur’an bersifat elastis yang bisa ditarik dan disesuaikan dengan tempat dan zaman. Muhammad Syahrur berpendapat bahwa jilbab (kerudung) atau tutup kepala baginya bukan termasuk pada prinsip keislaman ataupun keimanan seseorang, melainkan hanya mengikuti kebiasaan masyarakat secara umum.
Keywords :Aurat, Jilbab, Nazhariyat, al-Hudud, Muhammad Syahrur
A.    Pendahuluan
Sejak beberapa dekade yang lalu, dunia muslim dihadapkan pada berbagai isu persoalan yang rumit dan kompleks, seperti persoalan demokrasi, HAM, civil society dan lain sebagainya. Persoalan-persoalan tersebut muncul ke permukaan tanpa mampu diantisipasi dan dicarikan solusinya oleh umat Islam secara baik apalagi tuntas. Hal ini tentu saja menjadikan hukum Islam seolah tidak siap menghadapi tantangan zaman; hukum Islam seolah tidak lagi relevan untuk diterapkan di dunia modern. Fenomenairrelevansi hukum Islam ini tentu saja menggelisahkan para pakar dan pemikir hukum Islam. Sebab, selama ini Islam diyakini sebagai agama universal yang akan senantiasa relevan untuk segala zaman tempat.[1]
Salah satu isu yang kontroversial dalam diskursus tentang perempuan adalah pembahasan mengenai permasalahan penggunaan jilbab. Penggunaan jilbab menjadi salah satu dari sekian banyak isu yang menimbulkan pro dan kontra. Kontroversi mengenai jilbab disebabkan sebagian muslim menganggapnya sebagai perintah Allah yang diberikan melalui Al-Qur’an. Sebagian lainnya, baik muslim maupun non-musim menganggapnya sebagai praktek yang tidak beradab. Jilbab juga dipandang sebagai penghalang bagi perempuan untuk bergerak di ruang publik, di samping itu banyak orang berpendapat bahwa justifikasi tentang jilbab pada masa lalu tidak mempunyai relevansi dengan zaman sekarang, akan tetapi sebagian lainnya menganggap jilbab sebagai salah satu kewajiban bagi perempuan.[2]
Muhammad Syahrur merupakan salah satu ulama’ pemikir Islam kontemporer, yang ingin memposisikan Islam selalu dapat menjawab tantangan zaman dan selalu dinamis dalam ruang dan waktu. Lewat pengamatan dan kajiannya yang mendalam atas sejarah pemikir hukum Islam dan juga atas praktik beragama umat Islam yang ada selama ini, Syahrur sampai pada kesimpulan bahwa keterpurukan yang terjadi di dunia muslim dan juga ketidakmampuan umat Islam menjawab problematika kontemporer lebih disebabkan adanya kesalahan umat ini dalam memahami ajaran agamanya, disamping juga karena umat Islam masih menggunakan perangkat metodologi yang sudah usang untuk menjawab problem kontemporer. Akibatnya, umat Islam menjadi terpuruk dan tidak mampu mengatasi problematika zaman.
Dalam upayanya untuk mereformulasi dan merekonstruksi perangkat metodologis yang digunakan umat Islam dalam memahami ajaran agamanya, Syahrur sendiri melakukan kajian yang intens dan mendalam atas sejarah pemikiran hukum Islam dan juga atas At-Tanzil Al-Hakim (Al-Qur’an). Hasil konkret dari kajiannya itu adalah lahirnya teori baru dalam bidang hukum Islam, yang kemudian populer dengan sebutan TeoriNazhariyat al-Hudud (Teori Batas). Teori Hudud ini merupakan sumbangan orisinil Syahrur dalam pemikiran ushul fiqh kontemporer dan merupakan salah satu wujud nyata dari rekonstruksi ushul fiqh yang dilakukannya.[3]
B.     Biografi SingkatMuhammad Syahrur
Tokoh yang pernah menggoncangkan dunia pemikiran Arab ini mempunyai nama lengkap Muhammad Syahrur bin Daib. Ia lahir di Shalihiyyah Damaskus, Syiria, pada 11 April 1938, ketika negeri tersebut masih dijajah oleh Prancis, meskipun sudah mendapatkan status setengah merdeka. Syahrur adalah anak kelima dari seorang tukang celup. Pendidikan tingkat ‘ibtida’ dan ‘idad-nya dimulai dari Madrasah Damaskus. Sementara pendidikan tingkat tsanawiyahnya diperoleh dari Madrasah Abdurrahman al-Kawakibi Damaskus. Syahrur lulus dari madrasah tersebut pada tahun 1957.[4]
Tahun 1959, ia mendapat beasiswa pemerintah untuk studi teknik sipil di Moskow, Uni Soviet, dan lulus dari universitas tersebut tahun 1964. Pada tahun berikutnya, ia menjadi dosen di Fakultas Teknik Universitas Damaskus. Meraih gelar master pada 1969 dan gelar doktor pada tahun 1972.[5]
Sesuai dengan latar belakang pendidikannya, sebenarnya spesifikasi intelektualnya terletak pada bidang Teknik Sipil dengan spesialisasi Mekanika Pertahanan dan Geologi. Meski demikian ia banyak menulis karya di bidang  keagamaan, sosial dan politik. Beberapa karya utamanya adalah al-Kitab wa al-Qur’an; Qira’ah Mu’asirah, al-Dirasah al-Islamiyah fi al-Daulah wa al-mujtama, al-Islam wa al-Iman; Manzumat al-Qiyam, dan Nahw Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, dll.[6]
Perhatian Syahrur terhadap kajian ilmu-ilmu keislaman dimulai sejak dia berada di Dublin Irlandia pada tahun 1970-1980. Sejak tahun 1970, Syahrur mencoba melakukan kajian ulang terhadap berbagai konsep yang selama ini terus dirasakannya, hingga pada tahun 1980 ia bertemu dengan teman lamanya, Ja’far Dak el-Bab, seorang doktor ilmu bahasa lulusan Universitas Moskow. Ia juga menguasai ilmu bahasa filsafat humanis, filsafat bahasa dan semantik. Berkat pertemuannya dengan Ja’far inilah, Syahrur dapat belajar banyak tentang ilmu-ilmu bahasa dan berpengaruh besar kepada pemikiran-pemikirannya.[7]
Adapun dalam analisis linguistiknya, pendekatan yang digunakan Syahrur dalam mengonstruksi pemikiran islam ialah menggunakan pendekatan hermeneutik dengan penekanan pada aspek fisiologi (kebahasaan). Ia menyebutnya sebagai al-manhaj at-tarikh al’ilm fi dirasat al-lughawiyyah (metode historis ilmiah studi bahasa), sebagaimana dikemukakan oleh Ja’far Dakk al-Bab dalam pengantar bukunya, al-Kitab wa al-Qur’an.[8]
C.    Nazhariyat al-Hudud(Teori Batas)
Kata Hudud adalah bentuk jamak dari kata hadd. Pada dasarnya had berarti pemisah antara dua hal atau yang membedakan antara sesuatu dengan yang lain. Secara bahasa hadd berarti cegahan. Sedangkan secara istilah syara’hadd adalah pemberian hukuman dalam rangka hak Allah (ditetapkannya hukuman tersebut demi kemaslahatan masyarakat dan terpeliharanya ketentraman/ketertiban umum). Hal ini merupakan sebagai tujuan agama. Oleh karena hukuman itu didasari atas hak Allah.
Muhammad Syahrur menjelaskan teori batas (Nazhariyat al-hudud)dalam karya pertamanya,Kitab wa al-Qur’an. Syahrur menggagas teoribatas tersebutyang dapatdisebut sebagai ijtihad cerdas untuk pembaharuan fikih Islam dalam upaya meletakkan dasar-dasar baru metodologi pembacaan teks keagamaan, khususnya al-Qur’an.[9]
Teori batas (Nazhariyyat al-Hudud) secara garis besar dapat digambarkan sebagai: perintah Tuhan yang diekspresikan dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang mengatur/memberikan batas bawah (Had al-Adna)dan batas atas (Hadd al’A’la)bagi seluruh perbuatan manusia. Batas yang lebih rendah mewakili ketetapan hukum minimal dalam kasus tertentu, sedangkan batas atas merupakan maksimalnya. Perbuatan hukum yang kurang dari batas minimal tidak sah (tidak boleh), begitu juga dengan batas atas tidak boleh melebihi. Ketika batas-batas itu dilampaui maka hukum harus dijatuhkan sesuai dengan proporsi pelanggaran yang dilakukan. Tetapi ketika itu sangat diperlukan, maka hukum dapat dijamin sesuai dengan batas-batas yang telah ditentukan. Disinilah letak kekuatan Islam, dengan memahami teori ini menurut Syahrur, akan lahir daripadanya jutaan ketentuan hukum. Karena itu risalah Muhammad Saw. dinamakan dengan umm al-kitab(induk al-Kitab), karena sifatnya yang hanif dalam teori batas ini.
1.      Batas Minimal (Had al-Adna)
Yaitu batas paling minimal yang ditentukan oleh al-Qur’an dan ijtihad manusia tidak memungkinkan untuk mengurang ketentuan tersebut namun memungkinkan untuk menambah. Contoh dari batasan ini terjadi dalam hal: macam-macam perempuan yang haram untuk dinikahi (QS. an-Nisa’: 22-23), dan tentang pakaian wanita (Qs. an-Nisa’: 31). Dalam hal perempuan yang haram untuk dinikahi yang terdapat dalam ayat tersebut merupakan batasan minimal, dan tidak boleh lebih dari itu. Sehingga nikah dengan hubungan-hubungan lain yang tidak terdapat dalam ayat itu menjadi boleh.
2.      Batas maksimal (Hadd al’A’la)
Yaitu batas paling atas yang telah ditetapkan dan tidak mungkin dilampaui, namun memungkinkan untuk memperingankannya. Contoh dari batasan ini dapat ditemukan dalam surat al-Maidah: 38 tentang hukuman bagi seorang pencuri. “Pencuri baik laki-laki maupun perempuan, maka potonglah tangan-tangan mereka” (Qs. al-Maidah: 38).
Di sini hukuman sanksi bagi seorang pencuri (yang ditemukan) merupakan batas maksimal yang tidak boleh dilewati. Bagaimanapun hukuman bisa dikurangi, berdasarkan kondisi-kondisi obyektif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Hal ini menjadi kewajiban  hakim/mujtahid untuk memberlakukan hukuman terhadap pencuri bagaimana yang harus dipotong tangannya. Misalnya penjahat kelas kakap melakukan pencurian dengan alat-alat canggih yang perbuatannya menimbulkan keresahan orang banyak, menyebabkan kerugian serta membahayakan keamanan masyarakat maka diberlakukannya hukuman bukan pada surah al-Mai’idah ayat 38 melainkan ayat 33: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi hendaklah mereka dibunuh dan disalib, atau di potong tangan dan kaki mereka dengan timbal balik atau dibuang dari negeri (tempat ia tinggal).
Lagi-lagi mujtahid harus menentukan hukuman yang setara dengan kesalahan tertentu yang dilakukan.
3.      Batas minimal dan batas maksimal sekaligus tetapi tidak bersinggungan dalam satu titik.
Yaitu batas minimal dan batas maksimal sekaligus tidak bersinggungan dalam satu titik. Contoh batasan ini dapat ditemukan dalam hukum waris (al-Nisa’: 11-14) dan poligami  (an-Nisa’: 3). Maksud dari ayat warisan adalah batas maksimal untuk laki-laki dan batas minimal untuk perempuan. Tujuan dari ayat ini (an-Nisa’: 11-14) adalah menganut prinsip 2:1, sehingga bagian laki-laki adalah 66,6% yang merupakan batas maksimal sedangkan bagi perempuan 33,3% dan merupakan batas minimal. Terlepas dari apakah wanita telah menjadi pencari nafkah, bagaimanapun bagian wanita tidak pernah dapat kurang dari 33,3%, sementara bagian laki-laki tidak pernah mencapai lebih dari 66,6%. Jika wanita diberi 40 persen dan laki-laki 60 persen kemudian keduanya baik batas maksimal maupun batas minimal tidak dikatakan telah melanggar. Alokasi prosentase kepada masing-masing pihak ditentukan berdasarkan kondisi obyektif yang ada dalam masyarakat tertentu pada waktu tetrtentu.
4.      Batas minimal dan batas maksimal berada dalam satu titik.
Yaitu ketentuan had maksimalnya juga menjadi had minimalnya sehingga ijtihad tidak mungkin mengambil hukum yang lebih berat. Contoh batasan ini hanya berlaku bagi hukuman zina, yaitu seratus kali jilid (surah an-Nur : 2). Kemudian berdasarkan ayat 3-10 dalam surah yang sama, hukuman tersebut hanya dapat diberlakukan dengan syarat adanya 4 orang saksi atau melalui li’an.
5.      Batas maksimal dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa singgungan.
Yaitu had yang paling atas telah ditentukan dalam al-Qur’an, namun karena tidak ada sentuhan dengan had maksimal maka hukuman belum dapat ditetapkan. Contoh dari batasan ini adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Dimulai dari titik di atas batas minimal (dimana di sini alat kelamin belum bersentuhan). Hanifiyah bergerak ke arah searah dengan batas maksimal (dimana disini mereka bisa melakukan perzinaan), tetapi perzinaan tidak terjadi. Jadi, apabila antara laki-laki dan perempuan melakukan perbuatan yang mendekati zina tetapi belum berzina maka keduanya berarti belum terjatuh dalam batas-batas yang ditentukan Allah.
6.      Batas maksimal positif tidak boleh dilampaui dan batas minimal negatif boleh dilampui.
Yaitu batas atas yang ditetapkan tidak boleh di lewati sedangkan batas bawahnya yang negatif boleh dilampaui. Contohnya adalah batas atas yang tidak boleh dilampaui adalah riba, batas bawah yang boleh dilampaui adalah zakat (zakat sebagai batas negatif karena ia adalah batas minimal harta yang wajib dikeluarkan). Dua hal ini dapat dilampaui dengan shadaqah. Dalam hal ini ada riba yang diperkenankan yaitu yang tidak melewati batas atas (riba yang adh’afan mudha’afan.[10]

D.    Pandangan Muhammad Syahrur terhadap Ayat tentang Jilbab dalam Teori Nazhariyat al-Hudud
Menurut Syahrur jilbab berasal dari kata ja-la-ba yang dalam bahasa Arab memiliki dua arti dasar, yaitu pertama, mendatangkan sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain. Kedua, sesuatu yang meliputi dan menutupi sesuatu yang lain. Adapun kata al-jalabah bearrti sobekan kain yang digunakan untuk menutupi luka sebelum bertambah parah dan bernanah. Dari pengertian ini muncul kata al-jilbab.[11]Pakar tafsir al-Biqa’i (1406-1480) menyebut beberapa pendapat tentang makna jilbab. Antara lain, baju yang longgar atau kerudung penutup kepala wanita, atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakainya, atau semua pakaian yang menutupi badan wanita.[12]
Adapun aurat menurut Muhammad Syahrur berasal dari kata as-Saw’ah yang secara konotatif artinya bagian tubuh yang tidak boleh dibuka untuk diperlihatkan. Selain itu, kata as-saw’ah juga berarti aib (fadihah) dan bangkai (jifah), seperti dalam firman Allah: “Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya.” (Qs. Al-Maidah [5]: 31)[13]
Berdasarkan historis, bangsa Arab pada masa pra kenabian dan masa awal kenabian terdiri dari dua tingkatan, yaitu: tingkatan orang-orang merdeka dan tingkatan para budak. Perbudakan adalah salah satu sistem hukum yang dijalankan oleh bangsa Arab pada pra dan awal masa kenabian Muhammad.[14]Adapun pakaian budak yang dalam sejarah disebut sebagai milk al-yamin, sama sekali berbeda dengan pakaian perempuan merdeka. Hal ini disebabkan oleh konteks yang sangat sederhana dan alami, yaitu pertama, perempuan budak bekerja untuk kepentingan tuannya sejak menyediakan makan, minum dan seluruh pekerjaan rumah tangga, di samping membeli kebutuhan sehari-hari di pasar; dan kedua, adanya perbedaan ruang sosial antara perempuan merdeka dan budak. Hal inilah yang mendorong timbulnya perbedaan model pakaian untuk membedakan antara keduanya.[15]Tujuannya adalah agar perempuan merdeka tidak berpakaian menyerupai budak ketika mereka keluar untuk memenuhi kebutuhannya, bukan dengan cara membuka rambut dan wajah mereka, tetapi dengan mengulurkan jilbab pada tubuh mereka agar orang-orang fasik tidak mengganggu mereka ketika tahu bahwa mereka adalah wanita-wanita merdeka.[16]
Dalam fiqih klasik disebutkan aurat perempuan dipecah menjadi dua kategori, perempuan merdeka dan perempuan hamba (budak). Menurut pendapat Mazhab Syafi’i bahwa aurat perempuan merdeka seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan sampai pergelangan tangan. Al Muzani melanjutkan kedua telapak kaki yang tidak wajib di tutupi.Sementara madzhab Hanafi mengungkapkan bahwa aurat bagi wanita yang merdeka seluruh tubuh kecuali wajah, kedua telapak tanggan dan telapak kaki. Lalu dari madzhab Maliki di bagi menjadi dua kategori yaitu pendapat pertama mengatakan bahwa wajah, telapak tanggan bukan aurat dan telapak kaki. Sedangkan menurut Muhammad bin Abdullah al – Maghribi mengungkapkan bahwa apabila wanita menganggap khawatir terjadinya fitnah maka layak untuk di tutup wajah dan telapak tangan.Sementara menurut madzhab Hambali, aurat wanita itu wajib di tutupi di seluruh tubuhnya.[17]
Menurut Syahrur, aurat merupakan segala sesuatu yang jika diperlihatkan, maka seseorang akan merasa malu. Rasa malu mempunyai tingkatanyang bersifat relatif, tidak mutlak dan mengikuti adat kebiasaan setempat. Jadi batasan aurat dapat berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat, akan tetapi yang berkaitan dengan daerah inti pada tubuh (al-juyub) bersifat tetap dan mutlak.[18]
Term al-juyub didapati Syahrur dalam Qs. An-Nur [24]: 31. Di dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan kaum perempuan untuk menutup bagian tubuh mereka yang termasuk dalam kategori al-juyub. Dengan analisis linguistiknya, Syahrur menjelaskan bahawa kata al-jaybberasal dari kata ja-ya-ba seperti dalam perkataan jabtu al-qamisa, artinya aku melubangi bagian saku baju atau aku membuat saku pada baju. Kata al-jayb sebagaimana diketahui adalah bagian terbuka yang memiliki dua tingkatan, bukan hanya satu tingkatan karena pada dasarnya kata ja-ya-ba berasal dari ja-wa-ba yang dalam bahasa Arab memiliki arti dasar “lubang yang terletak pada sesuatu”. Istilah al-juyub pada tubuh perempuan memiliki dua tingkatan sekaligus yang secara rinci berupa: bagian antara dua payudara, bagian bawah payudara, bagian bawah ketiak, kemaluan dan pantat. Semua bagian ini disebut juyub yang wajib ditutupi oleh perempuan. Allah berfirman : walyadribna bi khumurihinna ‘alajuyubihinna (dan hendaklah mereka mengulurkan kerudung mereka di atas bagian juyub mereka). Oleh  karena itu, Allah memerintahkan perempuan yang beriman untuk menutup bagian tubuh mereka yang termasuk dalam kategori al-juyub.[19]
Bila dikaitkan dengan teori batas (nazhariyat al-hudud)  yang dirumuskannya, Syahrur menyatakan bahwa batas minimal(Had al-Adna) pakaian perempuan yang berlaku secara umum adalah menutup daerah inti bagian atas(al-Juyub al-Ulwiyyah), yaitu daerah payudara dan bawah ketiak, dan juga menutup daerah bagian bawah(al-Juyub as-Sufliyah). Konsekuensinya, perempuan yang menampakkan bagian al-juyub berarti dia telah melanggar hudud Allah. Begitu juga perempuan yang menutup seluruh tubuhnya tanpa terkecuali, maka di juga melanggar hudud Allah.
Konsep jilbab Syahrur sering dikaitkan dengan pakaian perempuan. Ia menggunakan istilah al-libas sebagai ganti istilah al-hijab yang selama ini sering dipakai atau yang sering disebut sebagai pakaian syar’i (al-hijab ash-shar’i). Istilah al-hijab dalam at-Tanzil al-Hakim disebut sebanyak delapan kali, tetapi dalam setiap penggunaannya tidak pernah secara pasti dikaitkan dengan masalah (al-libas). Istilah al-libas adalah istilah yang pengertiannya lebih daripada al-hijab.[20]Adapun kosa kata yang lebih merujuk pada pengertian al-libas adalah ath-thiyab (baju), al-jalabib (jilbab penutup tubuh), dan al-khumr (kerudung kepala).[21]
Al-Quran memaparkan masalah penutup (hijab), jilbab dan kerudung (khimar) dalam tiga ayat saja. Pertama ialah ayat mengenai hijab yang secara terbatas terkait dengan para isteri Nabi. Tidak ada isyarat, baik secara eksplisit maupun implisit, yang mengaitkan ayat ini dengan isteri orang-orang yang beriman secara umum. Ayat yang dimaksud adalah Qs. Al-Ahzab ayat 53:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَٰكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ ۖ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ ۚ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ ۚ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamutanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh keluar kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir (hijab). Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) disisi Allah” (Qs. Al-Ahzab [33]:53)
Muhammad Syahrur melihat sisi yang sangat penting dalam ayat ini ketika menyebut masalah hijab. Allah membicarakan rumah-rumah Nabi dalam wilayah kenabian (maqam an-nubuwwah; fungsinya sebagai seorang Nabi) sebagai pengajaran (ta’lim), dan ketika mengharamkan orang-orang beriman untuk menikahi para janda Rasulullah, Allah menyebutnya dalamwilayah risalah (maqam ar-risalah; fungsinya sebagai seorang rasul).[22]
Syahrur mengungkapkan bahwa para perempuan mukminah tidak perlu mengikuti ketetapan yang khusus ditujukan bagi para isteri Nabi ini secara ketat, khususnya ketika melakukan interaksi sosial dengan pihak lain. Jika tetap bersikeras meniru para isteri Nabi, maka hendaklah ia berbicara dari balik hijab dengan siapa saja, selain mereka yang disebut sebagai tujuh mahram dan mereka yang termasuk kategori nisa’ihinna dalam ayat tentang az-zinah/perhiasan (Qs. an-Nur[24]: 31). Sesungguhnya pengamalan ketetapan ini akan memberatkan diri sendiri dengan suatu beban yang tidak dibebankan oleh Allah pada hambanya, karena ketetapan yang khusus berlaku pada isteri Nabi adalah dalam hal berbicara dengan lelaki dibalik hijab. Di samping itu, ketentuan bagi isteri-isteri Nabi ini terkait dengan masalah perhiasan tersembunyi dan cara berpakaian yang disesuaikan dengan tuntunan tradisi dan situasi lingkungan, bukan dalam hal cara berbicara dari balik hijab.
Ayat kedua adalah ayat tentang jilbab yang ditujukan kepada isteri Rasul dan isteri orang-orang beriman, yakni Qs. Al-Ahzab ayat 59:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jllbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs. Al-Ahzab [33]: 59)
Diriwayatkan oleh Ibn Sa’ad dalam at-Tabaqat dari Abu Malik, dia berkata: “Suatu saat isteri-isteri Nabi pergi keluar pada malam hari untuk memenuhi kebutuhannya. Segolongan orang-orang munafik menyaksikan hal itu dan berusaha mengganggu mereka. Kemudian mereka melaporkan hal itu kepada Rasulullah. Lalu Rasulullah memberikan peringatan kepada golongan munafik tersebut, tetapi mereka menjawab: “Sesungguhnya kami hanya melakukan hal itu kepada hamba-hamba sahaya perempuan (al-ima’),” Maka, turunlah ayat tersebut.” Dari sini Syahrur mencatat satu aspek yang sangat penting, yaitu bahwa ayat tersebut berbicara kepada Rasulullah dalam wilayah nubuwwah (ya ayyuha an-nabi), karena ayat tersebut diturunkan berdasarkan kondisi-kondisi objektif yang berlaku pada masa Nabi. Oleh karena itu, ayat ini berfungsi sebagai ayat pengajaran (ta’limiyyah) bukan sebagai ayat penetapan hukum (tashri’iyah). Untuk konteks saat ini pemberlakuan ayat tersebut dapat berupa tata cara bepergiannya perempuan yang didasarkan pada kebiasaan setempat, dengan catatan dapat menghindarkannya dari gangguan sosial.
Ayat ketiga terkait dengan masalah tutup kepala perempuan (al-khimar) dan perhiasan yang ditujukan secara umum bagi seluruh perempuan beriman. Ayat yang dimaksud adalah Qs. an-Nur ayat 31 :
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
 Katakanlah kepada perempuan yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera merekaatau putra-putra suami mereka atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita mereka, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan, atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat-aurat wanita; dan janganlah mereka menghentakkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang mukmin supaya kamu beruntung.”(Qs. An-Nur : 31)
Disebutkan dalam riwayat asbab an-nuzul yang berasal dari Muqatil ibn Sulaiman, ia berkata: Telah sampai kabar kepada kami bahwa Jabir bn ‘Abd Allah berkata bahwa Asma’ binti Murtad sedang berada di kebun kurma miliknya. Ia mengundang beberapa teman perempuannya untuk masuk ke dalamnya, tetapi karena mereka tidak mengenakan kain penutup kaki sehingga gelang kaki mereka kelihatan. Demikian juga gelungan rambut dan bagian dada mereka terlihat. Maka Asma’ berkata: “Alangkah buruknya ini,” Kemudian turunlah ayat tentang hal ini.[23]
Tubuh perempuan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, bagian tubuh yang terbuka secara alami (qism az-zahir bi al-khalq) Allah berfirman: “Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak darinya”. Ayat ini harus dipahami bahwa dalam tubuh perempuan terdapat perhiasan yang tersembunyi (zinah makhfiyyah). Perhiasan yang tampak adalah apa yang secara alami tampak pada tubuh perempuan, yaitu apa yang diperlihatkan oleh Allah dalam penciptaan tubuh perempuan, seperti kepala, perut punggung, dua kaki, dan dua tangan, karena Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang tanpa berpakaian.Kedua, bagian tubuh yang tidak tampak secara alami (qism ghayr az-zahir bi al-khalq), yaitu yang disembunyikan oleh Allah dalam bentuk dan susunan tubuh perempuan atau yang disebut al-juyub.[24]
Oleh karena itu, Allah memerintahkan perempuan yang beriman untuk menutup bagian tubuh mereka yang termasuk dalam kategori al-juyub, yaitu perhiasan yang tersembunyi secara fisik dan melarang mereka untuk memperlihatkan bagian tersebut. Sebagian orang menyangkal pendapat ini dengan menyatakan bahwa bagian mulut, hidung, kedua mata, dan kedua telinga masuk dalam kategori al-juyub. Bagian-bagian tersebut memang merupakan al-juyub, namun juyub yang tampak karena terletak di wajah. Padahal bagian kepala perempuan atau laki-laki merupakan bagian yang paling menonjol secara fisik yang berfungsi sebagai ciri khas manusia. Sebagian dari wilayah juyub ini disebut secara eksplisit oleh Allah seperti dalam firman-Nya: wa yahfazna furujahunna yang diwajibkan Allah agar tidak tampak oleh pandangan mata. Bagian kemaluan dan pantat perempuan termasuk dalam kategori juyub yang tidak boleh disaksikan sepasang mata kecuali oleh suaminya. Bagian inilah yang oleh para ahli fiqih ditetapkan sebagai aurat berat bagi budak perempuan ketika berada di hadapan orang lain, dan aurat berat bagi perempuan merdeka ketika berada di hadapan mahram-nya saja.Kenyataan ini menjelaskan tentang sebab tidak disebutnya suami (az-zauj)dalam Qs. an-Nur ayat 31 yang berisi daftar laki-laki yang boleh memperlihatkan perhiasannya di depan perempuan.
Dalam hal ini, Qs. an-Nur ayat 31 menggunakan istilah al-ba’l. Mereka (para mahram) ialah al-ba’l (suami) ( bu’ ulatuhunna), bapak dan kakek (aba’ihinna), bapak dari al-ba’l dan kakeknya (aba’i bu’ulatihinna), anak laki-laki (abna’ihinna), anak laki-laki dari al-ba’l (abna bu’ ulatihinna), saudara laki-laki (ikhwanihinna), anak laki-laki dari saudara laki-laki (bani ikhwanihinna), anak laki-laki saudara perempuan (bani akhawatihinna).
Dari sini tampak jelas perbedaan antara istilah az-zauj dan al-ba’l, karena jika kita anggap bahwa az-zauj adalah al-ba’l, dan al-ba’l adalah az-zauj, sebagaimana yang dianggap oleh para penganut sinominitas dalam bahasa, tentulah akan terjadi kontradiksi yang parah antara satu ayat dengan ayat yang lainnya, karena bagaimana mungkin Tuhan akan memperbolehkan bagi perempuan memperlihatkan perhiasannya kepada al-ba’l, sementara dalam surat al-Mu’minun Allah memperbolehkan perempuan untuk tidak menjaga kemaluannya dari pandangannya.[25] Allah berfirman: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”(Qs. al-Mu’minun [23]: 5-7).
Kontradiksi ini tidak dapat diselesaikan kecuali dengan cara memahami bahwa al-ba’l tidak sama artinya dengan az-zauj. Terkait dengan hal ini, Syahrur menjelaskan bahwa seorang suami di luar tugas fisik seksualnya, maka ia disebut sebagai ba’l bukan zauj.[26]Oleh karena itu dalam masalah penampakan perhiasan perempuan, Allah menyamakan ketentuan antara al-ba’l , anak, saudara , dan pihak-pihak lainnya yang disebut dalam ayat yang tidak boleh melihat kemaluannya(aurat berat).
Suami adalah satu-satunya orang yang berhak menyaksikan bagian intim perempuan (aurat berat). Adapun  celah bagian atas (dada dan ketiak), maka ia boleh ( diperlihatkan ) dalam keadaan terbuka dihadapan pihak yang disebutkan dalam surat an-Nurayat 31. Jika perempuan melakukan hal itu, tidak disebut sebagai perbuatan haram, namun disebut dengan sebagai aib.[27]
Demikianlah Muhammad Syahrur memandang bahwa pakaian yang seharusnya dipakai wanita penduduk bumi adalah pakaian yang berada diantara dua batas, batasan Allah (minimal) dan batasan Rasul-Nya (maksimal). Inilah fitrah manusia dalam berpakaian. Berkaitan dengan jilbab, Muhammad Syahrur menafsirkan bahwa ayat tentang jilbab tersebut merupakan suatu bentuk pengajaran (ta’lim), bukanlah syari’at dan turun di Madinah yang menunjukkan harus dipahami secara temporal dengan tujuan temporal dari dua gangguan. Yakni gangguan alam dan sosial serta cuaca. Syahrur berkesimpulan penggunaan jilbab mempunyai batas maksimal (Had al-A’la) dan batas minimal(Had al-Adna). Batas atas maksimalnya adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan, sedangkan batas minimalnya adalah hanya menutupi al-juyub yang  meliputi belahan dada, bagian tubuh di bawah ketiak, kemaluan dan pantat.

E.     PENUTUP
Penafsiran Muhammad Syahrur tentang teori batas, (Nazhariyat al-Hudud) khususnya pada pembahasan aurat perempuan yang didasarkan pemahamannya terhadap Al-Qur’an dan as-Sunnah, terbagi menjadi dua bagian: pertama batas maksimal (Had al-a’la) dan kedua batas minimal (Hadd al-adna). Dalil-dalil hukum batasan aurat perempuan dalam konsep berpakaian bagi perempuan adalah ada pada Qs. an-Nur [24]: 31, Qs. al-Ahzab [33]: 59, dan Qs. al-Ahzab [33]: 53.
Menurut Syahrur, ada tiga ketentuan yang terkait dengan pakaian perempuan yakni: 1) Perempuan dilarang atau tidak diperbolehkannya terbuka (telanjang) kecuali hanya kepada suaminya. 2) Batasan minimal perempuan secara umum adalah menutup daerah intim bawah (al-juyubas-Sufliyyah). Bagian ini disebut sebagai aurat berat (Mughallazah). Bagian inilah yang harus ditutupi ketika berhadapan dengan orang-orang yang empat belas disebutkan di dalam surah an-Nur 31. Dan menutup daerah intim atas (al-juyub al-Ulmiyyah). 3) Pakaian untuk aktivitas dan bersosialisasi, ketentuannya berawal dari batas minimal kemudian disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. Batasan inipun memiliki tingkatan-tingkatan hingga sampainya kepada batasan maksimal yang hanya memperlihatkan wajah dan kedua telapak tangan.
Adapun kaitannya dalam jilbab perempuan, Syahrur berpendapat bahwa jilbab merupakan persoalan aib dan malu secara adat, bukan persoalan halal-haram. Menurutnya, perempuan haruslah berpakaian sesuai dengan kondisi, situasi dan kebiasaan setempat, supaya dia terhindar dari gangguan baik gangguan alamiah ataupun sosial. Adapun batas tetap yang tidak boleh kelihatan dari tubuh perempuan adalah yang masuk dalam kategori al-juyub (daerah antara payudara, bawah payudara, bawah ketiak, kemaluan dan pantat). Adapun daerah lainnya boleh terbuka, disesuaikan dengan kebiasaan setempat.[28]
DAFTAR PUSTAKA
Fanani, Muhyar, 2010, Fiqh Madani (Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern), (Yogyakarta: PT. LkiS Printing Cemerlang)
Hamidah, Tutik, 2011, Fiqih Perempuan Berwawasan Keadilan Gender, ( Malang : Uin Maliki Press)
Syahrur, Muhammad 2018, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin (Yogyakarta: Elsaq Press)
Shahrur, Muhammad, 2010, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin, (Yogyakarta: Elsaq Press)
Shihab, M. Quraish, 2009, Jilbab (Pakaian Wanita Muslimah), (Jakarta: Lentera Hati)
Suryani, Octri Amelia, 2017, Skripsi: “Konsep Aurat Perempuan Menurut Muhammad Syahrur”, (Yogyakarta: UINSA)
Zaki, Ahmad M., 2007,  Pendekatan Strukturalisme Lingusitik dalam Tafsir al-Qur’an Kontemporer ‘ala’ M.Syahrur”, Yogyakarta: Elsaq Press
Musyafa’ah, Nur Lailatul, 2010 “Pemikiran Fikih Wanita Muhammad Shahrur”, dalam jurnal Al-Qanun, Vol. 13, No. 1,  Juni
Najitama, Fikria 2014, “Jilbab dalam Konstruksi Pembacaan Kontemporer Muhammad Syahrur”, dalam jurnal Musawa, Vol. 13, No. 1,  Januari
Sawati, 2016, Skripsi: “Konsep Jilbab Menurut Pendapat Muhammad Syahrur”, (Jember: IAIN Jember)

Catatan:
1.      Similarity 36%, cukup tinggi.
2.      Perlu diberikan gambar tentang kesimpulan pendapat Syahrur tentang jilbab.


[1] Muhyar Fanani, Fiqh Madani (Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern), (Yogyakarta: PT. LkiS Printing Cemerlang, 2010) hlm xi
[2] Fikria Najitama, “Jilbab dalam Konstruksi Pembacaan Kontemporer Muhammad Syahrur”, dalam jurnal Musawa, Vol. 13, No. 1,  Januari 2014, hlm 9
[3] Muhyar Fanani, Op. Cit, hlm. x
[4]Ibid., hlm. 31
[5]Nur Lailatul Musyafa’ah, “Pemikiran Fikih Wanita Muhammad Shahrur”, dalam jurnal Al-Qanun, Vol. 13, No. 1,  Juni 2010, hlm. 135
[6] Ahmad Zaki M., “Pendekatan Strukturalisme Lingusitik dalam Tafsir al-Qur’an Kontemporer ‘ala’ M.Syahrur”, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2007), hlm. 4
[7] Nur Lailatul Musyafa’ah, Op. Cit, hlm. 135
[8] Octri Amelia Suryani, Skripsi: “Konsep Aurat Perempuan Menurut Muhammad Syahrur”, (Yogyakarta: UINSA, 2017) hlm 63
[9] Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin (Yogyakarta: Elsaq Press, 2018), hlm xxii
[10]Octri Amelia Suryani, Op. Cit, hlm. 66-70
[11] Sawati, Skripsi: “Konsep Jilbab Menurut Pendapat Muhammad Syahrur”, (Jember: IAIN Jember, 2016) hlm. 65-66
[12] M. Quraish Shihab, Jilbab (Pakaian Wanita Muslimah), (Jakarta: Lentera Hati, 2009), hlm. 88
[13] Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm. 486
[14]Ibid, hlm. 504-505
[15]Ibid, hlm. 504-505                                   
[16]Ibid, hlm 506-507
[17] Tutik Hamidah,Fiqih Perempuan Berwawasan Keadilan Gender, ( Malang : Uin Maliki Press, 2011) hlm. 86
[18] Fikria Najitama, Op. Cit, hlm. 14
[19] Muhammad Shahrur, Op.Cit, hlm. 517-518
[20]Ibid., hlm. 471
[21]Ibid.,hlm 465
[22]Ibid., hlm 489-492
[23] Muhammad Shahrur, Loc. Cit.
[24]Ibid., hlm.517
[25]Ibid., hlm. 519
[26]Ibid., hlm. 515
[27]Ibid., hlm. 520-521
[28] Fikria Najitama, Op. Cit, hlm. 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar