HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I, MAHKUM FIH DAN
MAHKUM ALAIH
Mukhammad Zain dan Fatichatul Burhaniyah
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
Abstract
This article talks about the taklifi law, the law of wadh'i, mahkum fih and
mahkum alaih. Where the law of taklifi and wadh'i is a division of syara law '.
We have seen that the law of shara 'itself is the command of Allah which is
related to the act of mukallaf. Taklifi's own law is the command of Allah in
the form of demands, prohibitions, or choices to be made or abandoned by the
mukallaf. While the law of wadh'i is the provision of Allah which makes
something a cause. Terms and barriers to the existence of a law. Mahkum fih is
a mukallaf act which is burdened by a law, while mahkum alaih is a mukallaf who
is burdened by a law.
Abstrak
Artikel ini berbicara mengenai hukum taklifi,
hukum wadh’i, mahkum fih dan mahkum alaih. Dimana hukum taklifi dan wadh’i
merupakan pembagian dari hukum syara’. Telah kita ketahui bahwa hukum syara’
sendiri adalah perintah Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Hukum taklifi sendiri adalah perintah Allah
yang berupa tuntutan, larangan, atau pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan
oleh orang mukallaf. Sedangkan hukum wadh’i adalah ketentuan Allah yang
menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat dan penghalang bagi adanya suatu
hukum. Mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang dibebani suatu hukum,
sedangkan mahkum alaih orang mukallaf yang dibebani oleh suatu hukum.
Kata kunci: Hukum Taklifi, Hukum Wadh’i, Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih
A. Pendahuluan
Segala perkataan, perbuatan dan tindak tanduk
manusia tidak terlepas dari ketentuan hukum syariat, yang telah dibuat oleh
Allah dan sudah jelas dalil nya ada di Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hukum syara’
sendiri merupakan salah satu pembahasan dari ushul fiqih. Ilmu ushul fiqih
sendiri merupakan dasar atau cara atau metode untuk menentukan hukum syara’.
Beberapa
pendapat mengatakan bahwa hukum syara’ adalah perintah Allah yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf (orang yang sudah dibebani hukum) baik itu tuntutan
(hukum taklifi), pilihan (takhyiri) dan hukum wadh’i. Selain hal tersebut,
hukum syara’ juga mencakup pembahasan tentang hakim (pembuat hukum), mahkum fih
(perbuatan mukallaf) dan mahkum alaih (mukallaf itu sendiri).
Oleh
karena itu artikel ini membahas tentang bagaimana hukum taklifi dan
pembagiannya, apa bedanya dengan hukum wadh’i. Dan juga siapa orang yang bisa
dibebani hukum, dan juga syarat-syarat untuk menjadi mukallaf. Artikel ini juga
akan membahas contoh-contoh dari setiap hukum, agar kita semua bisa lebih
memahami dan memiliki pengetahuan yang lebih mendalam.
B.
Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah hukum
yang menuntut seseorang agar melakukan suatu pekerjaan atau perbuatan, atau
dilarang untuk mengerjakannya, atau terdapat pilihan dalam melakukan dan
meninggalkannya bergantung situasi dan kondisi yang dialami oleh mukallaf[1].
Dapat kita pahami
bahwasannya hukum taklifi merupakan sebuah bentuk peraturan yang dibebankan
kepada seorang mukallaf untuk melaksanakan perintah, larangan, anjuran, ataupun
boleh tidak melakukan sesuatu bahkan pilihan diantara dua kemungkinan yaitu
mengerjakan atau meninggalkan sesuatu yang ada dihadapannya tersebut, yang dibebankan
kepada mukallaf dikarenakan sebab-sebab tertentu yang disetujui oleh syari’at.
Jadi, hukum taklifi adalah sebuah istilah yang diperuntukkan
kepada seseorang yang telah memenuhi kriteria secara syar’i untuk dibebankan
hukum sebagai sebuah tuntutan padanya, orang yang dibebankan hukum tersebut
disebut dengan mukallaf. Mukallaf
adalah orang yang sudah baligh (keluar mani atau sudah haid bagi perempuan) dan
berakal sehat atau normal serta dapat menggunakan
akalnya dengan baik.[2]
Dalam pembagiannya, hukum taklifi dibagi menjadi lima macam
yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, haram. Dari kelima hukum tersebut dapat
didefinisikan sebagai berikut:[3]
1.
Wajib
Wajib
adalah sebuah tuntutan yang pasti harus dilakukan oleh seorang mukallaf yang apabila
ditinggalkan akan mendapat dosa, dan apabila dikerjakan akan mendapat pahala.
Kemudian hukum wajibnya suatu perkara apabila ditinjau dari beberapa sudut
pandang terbagi menjadi 4 macam:[4]
كتب
عليكم الصيام
Artinya:...diwajibkan atas kamu berpuasa (QS. Al Baqarah 183)
a)
Wajib dari
sudut pandang dalam waktu pelaksanaannya dibagi menjadi dua:
1)
Wajib Mutlak
Wajib mutlak adalah suatu perbuatan
yang dibebankan kepada mukallaf karena tuntutan dari syara’ untuk dilakukan,
akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak dijelaskan waktu pengerjaannya.
Contohnya adalah waktu pelaksanaan pembayaran nadzar atau kafarat sumpah
seorang mukallaf.
2)
Wajib Muwaqqat
Wajib muwaqqat merupakan sebuah bentuk
tuntutan yang dibebankan kepada mukallaf dan telah ditentukan waktu
pelaksanannya dan tidak sah apabila melaksanakan perbuatan tersebut diluar
waktu yang telah ditentukan[5].
Wajib Muwaqqat disini apabila kita
tinjau dari pelaksanannya terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Wajib
muwassa’, wajib muwassa’ adalah wajib yang memiliki waktu lebih banyak dari
pada waktu yang diperlukan untuk melaksanakan perbuatan wajib tersebut dan
diperbolehkan bagi mukallaf untuk melaksanakan perbuatan tersebut kapanpun
selama dalam koridor batas waktu yang telah ditentukan. Contoh: waktu sholat
ashar boleh dilakukan jam berapapun selama berada dalam koridor waktu yang
telah ditentukan, karena waktu ashar lebih panjang dari pada lamanya pengerjaan
sholat ashar.
b. Wajib
mudhayyaq adalah perbuatan wajib yang telah ditentukan waktunya dan panjang
waktunya sama dengan lamanya waktu saat pengerjaan wajib tersebut dilakukan.
Contoh: puasa dibulan ramadhan
b)
Wajib apabila
kita tinjau dari sudut pandang dari segi kuantitasnya atau kadarnya terbagi
menjadi dua, yaitu:
1)
Wajib Muhaddad
Wajib ini adalah suatu perbuatan wajib
yang menuntut mukallaf untuk melakukannya sesuai dengan kadar dan nilainya yang
telah ditentukan syara’. Contoh: rakaat sholat tidak lebih dan tidak kurang
dalam pelaksanaannya.
2)
Wajib Ghairu
Muhaddad
Adalah tuntutan seorang mukallaf yang
dalam pelaksanaannya tidak ditentukan batas waktu dan kadar nilai pada
pengerjaannya. Contoh: sikap saling tolong menolong dan berbuat baik kepada
makhluk Allah, sedekah kepada fakir miskin, membelanjai istri.
c)
Bentuk
kewajiban seorang mukallaf apabila ditinjau dari sudut pandang subyek (pelaku)
terbagi menjadi dua, yaitu:
1)
Wajib ‘Ain
Adalah bentuk tuntutan yang dibebankan
kepada setiap individu mukallaf dan tidak dapat diwakilkan. Contoh: kewajiban
sholat 5 waktu atau puasa dibulan ramadhan.
2)
Wajib Kifayah
Wajib kifayah atau fardhu kifayah
adalah tuntutan yang dibebankan kepada salah seorang mukallaf yang terdapat
dalam satu lokasi tempat tinggal (desa). Contoh: Sholat jenazah, mendirikan
rumah sakit, tempat ibadah, dalam konteks fardhu kifayah ini jika dalam satu
lingkup masyarakat tidak ada yang menjalankan maka satu penduduk yang berada
didesa tersebut akan mendapat dosa dari Allah.[6]
d)
Wajib apabila
ditinjau dari sudut pandang obyek dalam pelaksanaannya dibagi menjadi dua:
1)
Wajib Mu’ayyan
Adalah suatu tuntutan kepada mukallaf
yang telah ditentukan jenis perbuatannya oleh syara’. Contoh: membaca fatihah
dalam sholat.
2)
Wajib Mukhayyar
Yaitu tuntutan seorang mukalaf yang
pelaksanaannya boleh memilih satu diantara beberapa pilihan yang telah ada.
Contoh: kafarah bagi orang yang berhubungan suami istri disiang hari pada bulan
ramadhan.
2. Sunnah
Adalah
sebuah bentuk anjuran untuk dilakukannya suatu perbuatan oleh mukallaf dan akan
mendapat pahala bila dikerjakan, serta tidak akan mendapat dosa dan celaan
apabila tidak dikerjakan. Perbuatan sunnah, jika dilihat dari sudut pandang
sering atau tidaknya Nabi Muhammad melakukan perbuatan tersebut dibagi menjadi tiga: Sunnah
Mu’akkadah, Sunnah Ghairu Mu’akkad, dan Sunnah al-Zaidah.[7]
a)
Sunnah Mu’akkad
Adalah sunnah yang sangat dianjurkan untuk
dilakukan oleh mukallaf, karena nabi sendiri sering melakukannya. Walaupun
kadang sesekali tidak dilakukan, agar perbuatan tersebut tidak menjadi wajib.
Orang yang melakukan sunnah ini akan diganjar dengan pahala, dan jika tidak
mengerjakan maka dia tidak mendapat dosa melainkan hanya celaan. Contoh sunnah
muakkad adalah adanya adzan sebelum sholat, shalat rawatib (shalat sunnah
sebelum dan sesudah shalat fardhu), sholat dengan berjamaah.
b)
Sunnah Ghairu
Muakkad
Ialah perbuatan sunnah yang apabila tidak
dilakukan, orangnya tidak mendapat dosa ataupun hinaan dari orang lain, tapi
jika dikerjakan seorang mukallaf maka akan mendapat pahala. Nabi sendiri tidak
continue dalam mengerjakannya, melainkan hanya sesekali. Seperti sholat sunnah
dhuha, bersedekah.
c)
Sunnah
al-Zaidah
Yaitu perbuatan sunnah yang hanya bersifat
tambahan, pelengkap atau pengindah kehidupan mukallaf. Jadi apabila dikerjakan
akan dibalas dengan pahala, dan tidak dikerjakan pun tidak akan mendapat dosa
atau celaan dari orang lain. Dengan syarat segala yang dilakukan diniatkan
untuk mengikuti sunnah Rasulullah saw. Contohnya adalah tata cara makan, tata
cara tidur, tata cara berpakaian.
3.
Mubah
Mubah adalah bentuk
pekerjaan yang hal ini merupakan sebuah pilihan untuk dikerjakan atau
ditinggalkan oleh mukallaf. Ada sebuah pendapat terkait pembagian mubah itu
sendiri dilihat dari segi juz’i dan kulli menurut Imam Abi Ishaq Asy-Syatibi[8],
berikut penjelasannya:
a) Mubah bil Juz’i al-mathlub
bil kulli ‘ala jihad ar-rujub
Maksudnya disini adalah
sesuatu yang diperbolehkan bisa menjadi sesuatu yang diwajibkan untuk dilakukan
bagi orang mukallaf. Seperti contohnya adalah minum, makan yang pada mulanya
itu dibebaskan akan dikerjakan atau tidak, tapi semisal jika ada orang yang
meninggalkannya, maka pekerjaan itu menjadi wajib. Karena makan, minum adalah
suatu hal yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup mukallaf.
b) Mubah bil juz’i lil
mathlub bil kulli ‘ala jihad al-mandub
Yaitu suatu hal yang diperbolehkan bisa menjadi sunnah untuk
dilakukan oleh mukallaf. Seperti halnya makan, minum yang pada awalnya adalah
berhukum boleh, namun jika ditinggalkan akan mendekati makruh, maka hal
tersebut hukumnya menjadi dianjurkan atau sunnah.
c) Mubah bil juz’i al
muharramah bi kulli
Merupakan sesuatu yang dibolehkan bisa menjadi suatu hal yang
dilarang. Seperti contohnya adalah memakan makanan yang enak di setiap harinya.
Hal tersebut bisa menimbulkan kemudharatan jika orang tersebut tidak
memperhatikan kondisi fisik dan kesehatan, melainkan hanya menuruti keinginan
nafsunya, maka perbuatan yang awalnya boleh menjadi diharamkan.
d) Mubah bil juz’i al makruh
bil kulli
Artinya adalah sesuatu yang pada asalnya adalah mubah bisa
menjadi makruh, dikarenakan perbuatan tersebut menjadi perbuatan yang negatif
atau tidak dibenarkan. seperti contohnya adalah bernyanyi. Jika saat bernyanyi
melampaui batas, sampai melalaikan kewajiban yang lainnya seperti ibadah,
belajar, dan pekerjaan lain yang harusnya lebih penting untuk dikerjakan, maka
hukum bernyanyi menjadi makruh.
4.
Makruh
Ialah
sebuah perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalkan dan mendapat ganjaran
pahala, namun apabila dikerjakan tidak mendapat dosa. Ulama’ Hanafiyah
membaginya ke dalam dua bagian[9],
yaitu:
a)
Makruh Tahrim
Yaitu suatu hal yang tidak boleh
dikerjakan karena ada dalil yang melarangnya, tapi dalil ini masih bersifat
dugaan atau zhanni (belum pasti). Seperti contohnya ada sebuah hadits
dilarangnya melamar wanita yang sudah dilamar oleh orang lain. Begitu juga
dengan membeli barang yang masih ada dalam penawaran orang lain.
b)
Makruh Tanzih
Merupakan suatu hal yang dianjurkan
untuk tidak dilakukan oleh syariat islam. Namun menjadi makruh jika hal
tersebut sangat dibutuhkan. Misalnya, di waktu perang memakan daging kuda dan
meminum susunya sebenarnya ada dalil yang melarangnya, tapi karena dibutuhkan
maka hukumnya menjadi makruh.
5. Haram
Adalah
sesuatu yang dituntut oleh syara’ untuk tidak mengerjakannya dengan tuntutan
yang pasti dan akan mendapat dosa apabila tetap dikerjakan. Para ulama’
membaginya kepada beberapa macam[10],
diantaranya adalah sebagai berikut:
a)
Haram li
dzatihi
Adalah sesuatu yang tidak boleh dilakukan
oleh mukallaf karena mengandung kemudharatan dan sudah jelas dalil larangannya.
Seperti hal nya larangan berzina yang terdapat dalam nash Al-Qur’an:
وَلَا
تَقْرَبُواالزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلًا
“Dan janganlah
kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’: 32)
b)
Haram li
ghairihi
Yaitu suatu hal yang halal menjadi haram
karena adanya kondisi tertentu yang bisa menimbulkan kemudharatan. Seperti
larangan berjual beli pada saat adzan shalat jum’at. Jual beli disini adalah
halal hukumnya, tapi jika dilakukan saat adzan sholat jumat, bisa jadi akan
mengakibatkan kelalaian bagi mukallaf sehingga pada waktu tersebut jual beli
menjadi haram hukumnya.
C. Hukum Wadh’i
Perintah Allah yang
menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau mani’ terhadap adanya hukum
taklifi disebut sebagai hukum wadh’i. Dapat kita fahami bahwa hukum wadh’i ini
bukanlah sebuah tuntutan atau keharusan, namun merupakan ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Hakim (pembuat hukum) sebagai sesuatu yang berkaitan dengan
hukum taklifi atau akibat dari hukum taklifi itu sendiri[11].
Berikut ini pembagian dari hukum wadh’i dan penjelasannya:
1.
Sebab
Merupakan
sesuatu yang menjadi tanda adanya sebuah hukum, dan jika sebab tidak ada maka
itu sebagai tanda tidak adanya sebuah hukum[12].
Disini terdapat beberapa macam sebab menurut para ulama’, yaitu:
a)
Sebab yang
berada di luar kemampuan mukallaf, namun itu menjadi tanda bagi adanya suatu
hukum. Contohnya seperti terbenamnya matahari menjadi tanda masuknya waktu
sholat maghrib, datangnya bulan ramadhan menjadi tanda kewajiban bagi mukallaf
untuk melakukan puasa.
b)
Sebab yang
berada di dalam batas kemampuan mukallaf. Seperti contohnya adanya keringanan
bagi orang yang safar untuk menjamak atau mengqashar shalatnya, adanya hukum
yang setimpal (Qishas) terhadap pelaku pembunuhan yang disengaja.
2.
Syarat
Sesuatu
yang tidak ada dalam hukum syara’, tetapi adanya hukum syara’ tergantung pada
syarat tersebut. Jika syarat tersebut tidak ada, maka hukum pun tidak ada, dan
juga adanya syarat tersebut tidak mengharuskan suatu adanya hukum syara’[13].
Seperti
contohnya wudhu’ merupakan syarat sah dari shalat, karena tanpa adanya wudhu’
maka shalat pun tidak akan sah hukumnya. Tetapi, jika seseorang berwudhu’, maka
hal itu tidak mengharuskan orang tersebut untuk melakukan shalat. Jadi dapat
kita pahami bahwa hukum yang dibebankan kepada mukallaf (taklifi) tidak
dianggap sah jika adanya syarat tersebut tidak terpenuhi.
Pembagian
syarat menurut ulama’ ushul fiqih[14],
diantaranya adalah:
a)
Syarat syar’i
Merupakan syarat yang datang dari hukum
syari’at itu sendiri. Seperti dicontohkan, ketika seorang anak yatim sudah
mempunyai kemampuan untuk mengatur sendiri kebutuhan mereka. Hal ini menjadi
syarat bahwa harta mereka wajib diberikan, karena anak yatim tersebut sudah
memiliki kemampuan untuk mengelolanya.
b)
Syarat ja’ly
Adalah syarat yang datang dari seorang mukallaf
itu sendiri. Misalnya, ketika seorang suami berkata kepada istrinya, bahwa jika
sang istri pergi keluar rumah tanpa seizinnya, maka akan dijatuhi talak. Jadi
bisa difahami bahwa adanya syarat dari sang suami kepada istrinya akan
menyebabkan suatu hukum, yaitu talak. Dan jika syarat itu tidak ada, maka talak
pun tidak ada.
3.
Mani’
Adalah
penghalang dari adanya hukum atau menjadi penghalang atas adanya suatu sebab
yang menjadikan hukum[15].
Jadi dapat kita fahami bahwa jika pada suatu hukum tidak ada mani’, maka hukum
tersebut dikatakan sah. Seperti contohnya ketika seorang anak melakukan
pembunuhan terhadap orang tuanya, maka anak tersebut tidak akan mendapat
warisan atas harta orang tuanya. Pembunuhan ini menjadi mani’ atau penghalang
bagi adanya hukum waris.
Pembagian
mani’ menurut ulama’ adalah sebagai berikut:
a)
Mani’ al hukm
Merupakan sesuatu yang menjadi
penghalang bagi adanya hukum sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan. Contohnya
wanita yang sedang haid, menjadi mani’ tidak diperbolehkannya melakukan shalat.
b)
Mani’ al sabab
Adalah sesuatu yang menafikan fungsi
dari adanya sebab, sehingga hukum pun juga tidak ada. Seperti contoh
diwajibkannya zakat harta bagi orang yang kaya, dan harta nya tersebut sudah
mencapai satu nishab, namun orang tersebut memiliki hutang. Hutang disini
menjadi mani’ dari kewajiban orang tersebut untuk menzakati hartanya.
D.
Mahkum Fih
Mahkum fih dapat
dijelaskan sebagai suatu istilah yang diberikan kepada pekerjaan mukallaf yang
senantiasa dibebani dengan-hukum syar’i.[16] Maka dengan demikian,
yang disebut dengan mahkum fih adalah obyek atau perbuatan mukallaf yang
berkaitan dengan syara’ yang dapat berupa tuntutan mengerjakan, meninggalkan
atau bahkan ada yang mengerjakan tapi dengan syarat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ۚ
Artinya
:” Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu” ( QS. Al-maidah:1)
Ayat
diatas menjelaskan tentang perbuatan seorang mukallaf yang berkaitan dengan hukum syar’i
mengenai janji yang merupakan bentuk kewajiban dan harus dipenuhi oleh
mukallaf. Begitu juga dengan nadb (anjuran) merupakan sebuah perbuatan yang
lebih baik untuk dilakukan, seperti yang terdapat dalam ayat berikut.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya : “ Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya,”
Qorinah
pada ayat ini adalah mengenai anjuran untuk menuliskan utang-piutang yang
dibebankan kepada mukallaf, karena menulis utang-piutang adalah yang suatu yang
sangat baik dan dianjurkan. Kemudian terdapat dalam surat al-isro’ ayat 33
mengenai tahrim, yaitu :
Artinya
: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh allah, melainkan
dengan suatu alasan yang benar”.
Dan
terdapat pula qorinah yang menunjukkan arti keringanan atau rukhsos terhadap
beban yang diterima mukallaf, seperti ayat berikut:
Artinya:
“ Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (Lalu ia
berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya”
(QS. Al-Baqarah:184).
Syarat-syarat
Mahkum Fih [17]adalah:
1.
Perbuatan yang akan dilakukan, mukallaf tersebut harus
mengetahuinya secara pasti agar dia mampu melakukan sesuai dengan yang telah di
syariatkan. Seperti contoh nya ayat tentang kewajiban melaksanakan shalat bagi
orang yang mukallaf. Ayat ini masih bersifat umum, kemudian dijelaskan secara
lebih rinci tata cara, syarat dan rukunnya oleh Rasulullah saw.
2.
Mukallaf tersebut mengetahui secara pasti bahwa perintah
baginya itu berasal dari Allah dan Rasulullah.
3.
Segala perbuatan yang telah diperintahkan ataupun
dilarang bagi mukallaf hendaklah perbuatan yang sesuai dengan kemampuan
mukallaf, untuk melakukan atau meninggalkannya.
E.
Mahkum Alaih
Mahkum ‘alaih bisa disebut
dengan subjek hukum. Subjek hukum disini adalah mukallaf itu sendiri, yaitu
orang yang sudah baligh dan dikenai pembebanan hukum[18].
Sehingga dia bisa memilih untuk melakukan, meninggalkan atau memilih melakukan
atau meninggalkan perbuatan.
Syarat untuk menjadi seorang mukallaf[19],
diantaranya adalah:
1.
Orang
tersebut memahami bahwa dia sudah dibebani oleh hukum. Artinya dia mengetahui
bahwa segala larangan dan perintah dari Allah ditujukan kepada dirinya. Jadi
dia harus mempunyai kemampuan memahami hukum taklifi secara sempurna.
2.
Memiliki
tanda-tanda fisik yang sudah menunjukkan bahwa dia sudah baligh. Batas baligh
wanita ketika sudah mengalami masa haid, dan batas baligh bagi laki-laki ketika
berumur 15 tahun atau sudah bermimpi mengeluarkan mani.
3.
Tidak ada
halangan bagi orang tersebut disebut sebagai mukallaf, seperti gila, idiot,
lupa, tertidur, terpaksa dan ketidaktahuannya.
Kemampuan seorang mukallaf menurut ulama’ ushul[20]
dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1.
Ahliyatul
wujub
Adalah kelayakan seseorang dalam menerima hak dan
melakukan kewajiban. Baik laki-laki, perempuan, orang yang sehat ataupun sakit,
anak kecil ataupun orang dewasa.
2.
Ahliyatul ada’
Merupakan kecakapan dalam bertindak secara hukum,
maksudnya orang tersebut pantas atau layak dimintai pertanggungjawaban atas
segala perbuatan yang telah dilakukan.
F.
Penutup
Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa Hukum
taklifi adalah hukum yang menuntut seseorang agar melakukan suatu pekerjaan
atau perbuatan, atau dilarang untuk mengerjakannya, atau terdapat pilihan dalam
melakukan dan meninggalkannya bergantung situasi dan kondisi yang dialami oleh
mukallaf. Terbagi menjadi 5 macam, yaitu hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan
haram.
Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau mani’
terhadap adanya hukum taklifi disebut sebagai hukum wadh’i. Dapat kita fahami
bahwa hukum wadh’i ini bukanlah sebuah tuntutan atau keharusan, namun merupakan
ketentuan yang telah ditetapkan oleh Hakim (pembuat hukum) sebagai sesuatu yang
berkaitan dengan hukum taklifi atau akibat dari hukum taklifi itu sendiri.
Terbagi menjadi sebab, syarat dan mani’ (penghalang).
Mahkum fih adalah perbuatan yang dibebankan kepada mukallaf,
sedangkan mahkum alaih mukallah itu sendiri (orang yang terbebani hukum).
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin dan Fathurrohman. 2016. Pengantar Ilmu
Fiqih. Bandung: PT Refika
Aditama.
Bakry, Nadzar. 1996. Fiqh dan
Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Dahlan, Abd. Rahman. 2010. Ushul Fiqih. Jakarta:
Amzah.
Hasbiyallah. 2014. Fiqih
dan Ushul Fiqih. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Jabbar, Umar Abdul. Mabadiul fiqh jilid 3. Surabaya:
Toko Kitab Sumber Ilmu.
Khallaf, Abdul Wahab. 1989. Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta:
CV. Rajawali Pers.
Koto, Alaidin. 2012. Filsafat Hukum Islam. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung:
CV Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul
fiqih: Jilid
1. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Zein, M. Dan Satria Effendi. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta:
Prenada Media
Zein, Ma’shum. 2013. Menguasai Ilmu Ushul Fiqh. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Catatan:
Makalah sudah lumayan bagus,
similarity 4%.
[1] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum
Islam: Ilmu Ushul Fiqh. (Jakarta: CV. Rajawali Pers, 1989), hal 155
[2] Umar Abdul
Jabbar, Mabadiul fiqh jilid 3, ( Surabaya: Toko Kitab Sumber Ilmu), hlm.
7
[3] Amir
Syarifuddin, Ushul fiqh: Jilid 1,
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008), hlm. 56
[4] Nadzar Bakry, Fiqh
dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 147
[5] Ibid., hlm.
148
[6] Alaidin Koto,
M.A. Filsafat Hukum Islam.(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012)
[7] Rahmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2007), hlm.306
[8] Ibid, hlm. 310
[9] Satria Effendi
dan M. Zein, Ushul Fiqih, (Jakarta: PRENADA MEDIA, 2005), hlm. 58
[10] Ibid, hlm.55
[11] Amiruddin dan
Fathurrohman, Pengantar Ilmu Fiqih, (Bandung: PT Refika Aditama, 2016),
hlm.85
[12] Satria Effendi
dan M. Zein, Op.cit, 2005, hlm. 62
[13] Rahmat
Syafe’i, Op.cit, 2007, hlm. 313
[14] Hasbiyallah, Fiqih
dan Ushul Fiqih, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm.38
[15] Satria Effendi
dan M. Zein, Op.cit, 2005, hlm. 66
[17] Satria Effendi
dan M. Zein, Op.cit, 2005, hlm. 74
[18] Abd. Rahman
Dahlan, Ushul Fiqih, (Jakarta: AMZAH, 2010) hlm.95
[19] Loc.cit
[20] Ibid, hlm.96
Tidak ada komentar:
Posting Komentar