Selasa, 02 April 2019

Hukum Taklifi dan Hukum Wadh'i, Mahkum Fih dan Mahkum Alaih (PAI C Semester Genap 2018/2019)



HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH
Roisa Toifaturrosyida dan Faiqatuz Zuhriyah
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam “C”
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
From several studies of ushul fiqh, syara law or islamic law is one of discussion. Syara law, namely the law of Allah almighty to regulate all forms of human behavior. Islamic law is divided into two, namely law taklifi and wadh’i. What is meant by taklifi law is all the provisions of Allah. Either in the form of orders, prohibitions, or a choice. Taklifi’s law is divided into five, namely obligatory, sunnah, makruh, mubah and haram. Whereas what is meant by the law of wadh’i is everything related to the implementation of the taklifi law. Various kinds of law wadh’i namely cause, condition, barrier, azimah and rukhshah, and are valid and null. Islamic law is addressed to the mukallaf as legal subjects. The subject of islamic law is called mahkum alaih. While the object of islamic law is called mahkum fiih, which is all that is related to islamic law. So, mahkum fih is the act of a mukallaf.  

Abstrak         
Dari beberapa kajian ushul fiqh, hukum syara’ atau hukum islam adalah satu pembahasannya. Hukum syara’ atau hukum islam yaitu hukum Allah swt untuk mengatur segala bentuk tingkah laku manusia. Hukum islam atau hukum syara’ dibagi menjadi 2 bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Yang dimaksudhukum taklifi yaitu segala ketentuan Allah swt baik berupa perintah, larangan, ataupun sebuah pilihan. Hukum taklifi terbagi menjadi 5, yaitu wajib, sunnah, makruh, mubah, serta haram. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan hukum taklifi. Macam-macam hukum wadh’i yaitu sebab, syarat, maani’ atau penghalang, azimah dan rukshoh, serta sah dan batal. Hukum islam atau hukum syar’i ditujukan untukseorang mukallaf sebagai subyek hukum. Subyek hukum islam disebut dengan mahkum alaih. Sedangkan obyek hukum islam disebut dengan mahkum fiih, yaitu semua yang berkaitan dengan hukum islam. Maka, mahkum fih yaitu perbuatan dari seorang mukallaf.
Keywords: Hukum Taklifi, Hukum Wadh’i, Mahkum fih, Mahkum alaih.

A.      Pendahuluan
Pembahasan mengenai hukum syara’ merupakan slah satu dari beberapa obyek kajian ushul fiqih. Bahkan tujuan utama dari ilmu ushul fikih yaitu bagaimana menyimpulkan hukum syara’ dari sumber - sumbernya.
Hukum syara’ adalah hukum yang berasal dari Allah swt atau undang-undang dari Allah yang bertujuan mengatur segala jenis tingkah laku kehidupan manusia. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh hukum syara’ adalah kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat perintah, pilihan, ataupun menetapkan sebagian sebab, syarat, dan penghalang.Yang dimaksud dengan perintah dalam definisi tersebut yaitu, bisa perintah untuk melakukan atau meninggalkan atau yang disebut taklifi, sedangkan wadh’i adalah berfungsi sebagai penghubung hukum, baik dalam bentuk sebab, syarat maupun penghalang.
Dalam hukum syara’ pasti ada yang disebut subyek dan obyek hukum. Obyek hukum atau mahkum fih yaitu perbuatan seorang mukallaf, sedangkan subyek hukum adalah mukallaf itu sendiri.
Perlu diketahui bahwa dalam kehidupan ini, sebagai umat islam kami akan terus berhubungan dan tidak akan pernah bisa terhindar dari hukum syara’. Oleh karena itu, kami harus mempelajarinya karena dengan mempelajarinya kami akan mengetahui kewajiban-kewajiban,  ataupun larangan sebagai umat islam.
Dengan makalah ini, kami akan membahas mengenai hukum taklifi beserta, hukum wadh’i, hingga obyek hukum (mahkum fih) dan subyek hukum (mahkum alaih) mulai dari pengertian, syarat-syaratnya, serta pembagiannya.
B. Hukum Taklifi
1.      Pengertian Hukum syara’
Hukum syara merupakan hukum yang berasal dari allah atau undang-undang dari allah untuk mengatur segala bentuk tingkah laku kehidupan manusia. Perintah–perintah allah (khitabah) termuat dalam al-Quran dan as sunnah. Khitabah ini berurusan dengan tindakan seorang mutakallifin, yaitu orang-orang yang secara hukum bertanggungjawab. Sebab perintah mengungkapkan hukum dan hukum diperoleh dari perintah.[1]
Secara istilah hukum syara' adalah seperangkat peraturan dari allah swt untuk mengatur tingkah laku hambanya, perbuatan manusia tersebut dilakukan oleh orang dewasa yang berakal sehat meliputi perbuatan hati. Adapun definisi yang sering digunakan oleh para ulama ushul adalah :
خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين اقتضاء اوتخييرا او وضعا
Artinya : “Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang yang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat perintah, pilihan, ataupun menetapkan suatu sebagian sebab, syrat, dan penghalang”[2]
Yang dimaksud dengan perintah dalam definisi diatas yaitu, bisa perintah untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau yang disebut dengan istilah iqthida, sedangkan dibolehkannya memilih antara melakukan atau meninggalkan suatu pekerjaan adalah tahyir. Sedangkan Wadh’i adalah berfungsi sebagai penghubung hukum, baik dalam bentuk sebab, syarat maupun penghalang.[3]
Jadi hukum syara’ ini erat sekali hubungannya dengan perbuatan seorang mukallaf, baik dari segi tuntutan, diperbolehkan, maupun penetapan terhadap yang lain. Adapun hukum syara’ terbagi menjadi dua, yaitu hukum ta’lifi dan hukum wadh’i.
2.      Pengertian Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung sebuah tuntutan dilakukannya pekerjaan oleh mukallaf, meninggalkan pekerjaan tersebut, atau memilih antara meninggalkan ataupun melakukannya.[4] Jadi segala apa-apa yang menunjukkan padanya tuntunan untuk mengerjakan, meninggalkan atau memilih diantara melakukan atau mengerjakan itu disebut sebagai hukum taklifi.
Hukum ini didalamnya terdapat beban bagi manusia, baik beban tersebut tuntutan utuk melakukan, meninggalkan, atau memilih. Adapun contoh dari hukum ini adalah:
a.    Surat al-Baqarah ayat 43, berisikan tuntutan untuk melakukan perbuatan.
وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” (al-Baqarah : 43)
b.    Surat al-Baqarah ayat 188, berisikan tuntutan untuk meninggalkan perbuatan.
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
c.    Surat al-Baqarah ayat 187, berisikan tuntutan untuk memilih perbuatan.
وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” [5]

3. Bentuk-bentuk Hukum Taklifi
Menurut jumhur ulama ushul fiqh atau yang biasa disebut mutakallimin, membagi bentuk-bentuk hukum taklifi kedalam 5 bentuk, yaitu :
a.       Ijab : yaitu khitab yang berisi tuntutan untuk  melaksanakan sesuatu serta dilarang untuk meninggalkannya. Adapun hasil dari ijab tersebut kemudian dinamakan wujud dan pekerjaan yang memperoleh hukum wujud disebut dengan wajib. Contohnya وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَاٰةَ (dirikanlah sholat).
b.      Tahrim : yaitu berisi tuntutanuntuk tidak mengerjakan suatu perbuatan atau tuntutan yang berisi sebuah larangan dan harus ditinggalkan. Contoh
وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ ....
“...Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah...” (al baqarah:151)
Aya diatas disebut dengan tahrim, sedangkan hasil atau akibat dari perbuatan tersebut disebut hurman, dan pekerjaan yang dituntun untuk ditinggalkan disebut haram.
c.       Nadab : yaitu berisi tetang tuntutan untuk melaksanakan pekerjaan yang sifatnya tidak memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga ditinggalkan tidak dikenai hukuman dan meninggalkannyapun tidak dilarang. Akibat dari pekerjaan tersebut disebut madab, sedangkan yang dituntut untuk dikerjakan tersebut disebut mandub. Contoh
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. al-Baqarah: 282)
d.      Karahah: yaitu khitbah yang berisi tentang meninggalkan suatau perbuatan yang tidak mesti dijauhi. Akibat dari tuntutan tersebut disebut karahah, yang meruapakan kebalikan dari nadab. Sedangkan perbuatan yang dikenai khitbah adalah makruh. Contoh :
ابغض الحلالعنداللهالطلاق
perbuatan halal yang dibenci oleh Allah adalah talak”. (HR. Abu Daud)
e.       Ibahah, yaitu khitbah yang mengandung pilihan antara melakukan atau tidak melakukan. Sehingga perbuatan diperbolehkannya memilih atau tida itu disebut dengan mubah. Contoh :
وَإِذَا حَلَلۡتُمۡ فَٱصۡطَادُواْۚ
“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.” (QS. Al-Maidah : 2)[6]
Dari masing-masing bentuk-bentuk hukum taklifi yang telah disebutkan diatas, maka akan dijelaskan pengertiannya masing-masing sebagai berikut :
1)      Wajib
الواجب شرعا هوماطلب الشارع فعله منالمكلف طلبا حتما
“Wajib menurut hukum syara” adalah sesuatu yang dituntut oleh syara’ kepada orang mukallaf untuk melakukan perbuatannya.
Umpama :
ثماقرأماتيسر معك من القران
“kemudian bacalah apa yang memudahkan olehmu dari ayat al-Quran”.
Contoh tersebut merupakan contoh tuntutan yang pasti dan menunjukkan sighar amar[7]
 Wajib disini adalah suatu perbuatan yang apabila dikerjakan seorang mukallaf akan mendapat pahala dan apabila perbuatan tersebut ditinggalkan akan mendapat dosa. Wajib dapat ditinjau dari tiga sisi, diantaranya adalah :
a)      Ditinjau dari segi sisi pembebanannya, yaitu: wajib ain dan wajib kifayah.
1).    Wajib ‘ain adalah kewajiban yang dibebankan untuk setiap diri masing-masing mukallaf dan harus dilakukan oleh masing masing mukallaf tanpa ada pengecualian. Misalnya : sholat.
2).    Wajib kifayah adalah kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukallaf dan apabila telah dikerjakan oleh sebagain dari orang mukallaf, maka kewajiban tersebut telah terpenuhi dan orang yang tidak melakukan beban tersebut tidak dituntut untuk melaksanakannya, karena kewajibannya telah gugur. Misalnya sholat jenazah, melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, dll.
b)      Ditinjau dari segi sisi kandungan perintah, yaitu: wajib muayyan dan wajib mukhayyar.
1).    Wajib mu’ayyan adalah kewajiban yang terkait  dengan sesuatu yang telah diperintahkan, yang mana boleh dipilih tetapi tidak ada pilihan lain lagi bagi para mukallaf. Misalnya sholat, puasa dibulan ramadhan, dll.
2).    Wajib mukhayyar adalah suatau kewajiban tertentu yang boleh dipilih atas beberapa alternatif oleh mukalaf.  Misalnya kafarah (denda) sumpah dalam surat al maidah : 89 yaitu : sumoah terdiri dari tiga hal, memberi makan 10 orang kafir miskin, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan budak.
c)      Ditinjau dari segi sisi waktu pelaksanaannya, yaitu: wajib mutlak dan wajib muaqqat.
1).    Wajib mutlak adalah kewajiban yang dituntut dilaksanakan oleh mukallaf, namun pelaksanaan tidak dibatasi oleh waktu. Misalnya mengwahlo puasa ramadan yang tertinggal, kewajiban membayar sumpah (boleh membayar kapan saja).
2).    Wajib mu’aqqat adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh orang mukallaf, yang pelaksanaanya dibatasi pada waktu-waktu tertentu. Misalnya sholat lima waktu, puasa bulan ramadhan, dll. Kewajiban tersebut merupakan bagian dari waktu, yang mana apabila belm masuk pada waktunya maka kewajiban tersebut belum ada.
d)     Ditinjau dari segi ukuran yang diwajibkan, yaitu : wajib mu haddad dan wajib ghairu al-muhaddad.
1).    Wajib muhaddad adalah suatau kewajiban yang ukurannya ditentukan oleh syara’ dengan ukuran tertentu. Misalnyadalam zakat, jumlah harta yang wajib dizakati, dalam sholat jumlah rakaat dalam sholat, jumlah ukuran dalam syara’ tersebut tidak boleh diubah, dikurangi, maupun ditambah.
2).    Wajib ghairu muhaddad adalah kewajiban yang ukuran dan jumlahnya tidak ditentukan  oleh syara’, namun untuk menentukannya diserahkan kepada para pemimpin dan para ulama. Misalnya, penentuan hukum tindak pidana diluar hudud dan qishash yang diserahkan kepada hakim, yang mana dalam menentukan hukuman ini, diorientasikan agar tercapainya tujuan syara’ dan bersifat adil.[8]
2)      Mandub/ Sunnah
Mandub adalah tuntutan syara’ yang dilakukan oleh mukallaf tersebut tidak dipastikan. Shighat dari tuntutan tersebut tidak menunjukkan kepastian. Mandub disini juga disebut dengan istilah sunnah, sunnah yaitu suatu perbuatan, yang mana apabila perbuatan tersebut dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa.[9] Para ulama ushul fiqh membagi mandub menjadi tiga macam, yaitu :
a)      Sunnah al-mu’akkadah
Sunnah muakkad adalah sunnah yang sangan di anjurkan, apablia dikerjakan mendapat pahala, ditinggalkan tidak mendapat dosa namun mendapat celaan. Mengapa sangat di anjurkan? Karena sunnah ini selalu dilakukan oleh rosulullah dan jarang sekali ditinggkan. Misalnya sholat sunnah sebelum fajar, shalat witir dll.
b)      Sunnah ghairu al-muakkadah
Sunnah ghairu muakkad adalah sunnah yang biasa dianjurkan, sebab sunnah ini biasa dilakukan oleh rasulullah, namun terkadang ditinggalkan. Sunnah ini apabila dikerjakan mendapat pahala, apabila tidak dilakukan tidak berdosa dan tidak mendapatkan celaan. Misalnya bersedekah, sholat dhuha, puasa senin kamis, dll.
c)      Sunnah al za’idah
Sunnah al za’idah adalah sunnah yang bersifat tambahan, sunnah ini mengikuti tingkah laku rosulullah sebagai manusia biasa. Misalnya cara rasulullah makan, cara rasulullah tidur, berpakaian dll.[10]
3)      Haram
Haram adalah tuntutan syar’i secara pasti untuk meninggalkan suatu perbuatan. Apabila perbuatan tersebut dilakukan akan mendapat dosa, dan apabila ditinggalkan mendapat pahala. Haram sendiri dibagi menjadi dua macam, yaitu :
a)      Haram li dzatihi
Haram li zatihi adalah perbuatan yang diharamkan oleh syariat, dikarenakan pada esensinya mengandung kerusakan bagi kehidupan manusia. Misalnya berzina, membunuh, memakan daging babi, khamer dll
b)      Haram li ghairihi
Hraa lighrihi adalah perbuatan yng diharamkan oleh syariat namun bukan karena esensinya. Tetapi karena perbuatan tersebut akan mengantarkan kepada esensi keharaman tersebut sekaligus kemudhratan. Misalnya jula beli saat adzan jumat, berpuasa dihari raya idul fitrih dll. [11]
4)      Makruh
Makruh adalah perbuatan yang dituntut oleh syari kepada mukallah untuk menghentikan suatu pekerjaan. Makruh terbagi dalam dua bentu, yaitu :
a)      Makruh tanzil
Makruh tanzil adalah tuntutan syari kepada muallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan, namun tuntutan tersebut tidak pasti. Misalnya rokok, memakan pete/jengkol, memakan daging kuda, dll
b)      Makruh tahrim
Makruh tahrim adalah tuntutan syari untuk menunggalkan suatu pekerjaan dengan tuntutan yang pasti. Namun dasar dalilnya belum qath’i atau bisa disebut juga dalil tersebut masih bersifat zanni. Misalnya larangan memaki sutra dan perhiasan emas bagi kaum lelaki,  sebagimana sabda rasulullah : keduanya ini (emas dan sutra) halal bagi wanita dan haram bagi laki-laki (HR. Abu Daud, An Nisai’, Ibn Majah, Ahmad Ibn Hambal). [12]
5)      Mubah
Mubah adalah perintah yng diberikan oleh syari kepada orang mukallaf antara mengerjakan perbuatan tersebut atau meninggalkannya. Mubah menurut Asy-Syathibi dibagi menjadi empat macam, yaitu :
a)      Mubah bil juz’i al matlub bi al–kulli ‘ala jihat ar rujub, artinya pekerjaan mubah ini bisa berubah menjadi wajib ketika dilihat dari kepentingan umat secara keseluruhan, contohnya makan dan minum adalah mubah, namun apabila seorang meninggalkan makan secara kulli, maka pekerjaan tersebut tidak lagi mubah, melainkan wajib.
b)      Mubah bi al-juz li al-mathub bi al-kulli ‘alajihat al-mandub, yaitu hukumnya mubah secara juz’i, namun akan berubah menjadi mandub apabila dilihat dari segi kulli akan berubah menjadi mandub. Misalnya dalam hal makan dan minum melebihi dari kebutuhan. Walaupun hukum makan dan minum itu mubah, namun apabila seorang meninggalkan makan dan minum, sekalipun hal itu tidak sampai membawa dirinya kepada kematian maka hukumnya adalah makruh. Singga makan dan minum tersebut menjadi mandub dalam keadaan seperti itu.
c)      Mubah bi al-juz’i al- muharramah bi al-kulli, yaitu yang awalnya mubah secara juz’i namun dilihat dari segi kulli haram. Misalnya mencela anak yang biasa makan dengan makanan yang enak-enak. Pada mulanya hukum tersebut mubah sesuia dengan waktu dan kondisinya, namun akan menjadi haram apabila pekerjaan tersebut membawa kemudaratan, seperti makan tanpa mempertimbangkan kondisi fisiknya dan kesehatannya, serta mencela anak yang akhirnya berakibat merusak mental anak tersebut, maka hal tersebut menjadi haram.
d)     Mubah bi al-juz’i al-makruh bi al-kulli, yaitu hukum yang awalnya mubah bisa berubah menjadi makruh. Misalnya dalam bernyanyi, ernyanyi adalah mubah, namun apabila bernyanyi tersebut dapat meninggalkan pekerjaan yang lebih bermanfaat maka akan berubah hukumnya dari mubah ke makruh.[13]
C. Hukum Wadh’i
1.    Pengertian Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah hukum yang ditetapkan sebagai sebab, syara’, atau penghalang bagi sesuatu yang lain. Hukum ini disebut dengan hukum wadh’i karena perantara antara dua hal yang telah ditetapkan oleh syari’ yaitu hubungan dengan sebab, syarat, atau penghalang. Artinya bahwa hukum ini mengaitkan bahwa penetapan ini menjadi sebab bagi ini atau dengan kata lain menunjukan keterkaitan sesuatu dengan hukum taklifi, baik itu terkait dengan sebab, syarat atau penghalang, maka hukum tersebut  adalah hukum wadh’i.[14] Adapun contoh dari hukum wadhi’ sebagai berikut :
a. Contoh hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab sesuatu yang lain
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.” (al-Maidah : 6), Pada ayat tersebut, menetapkan bahwa mendirikan sholat menjadi sebab wajibnya berwudhu.
أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمۡسِ إِلَىٰ غَسَقِ ٱلَّيۡلِ وَقُرۡءَانَ ٱلۡفَجۡرِۖ إِنَّ قُرۡءَانَ ٱلۡفَجۡرِ كَانَ مَشۡهُودٗا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir.” ( al-Isra’:78), Ayat ini menetapkan bahwa tergelincirnya matahari menjadikan sebab wajibnya shalat.
b. Contoh hukum yang menjadikan sesuatu sebagai syarat bagi sesuatu yang lain.
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imron :97). Ayat ini menunjukkan bahwa kesanggupan dalam menempuh perjalanan ke baitullah  adalah syarat dalam kewajiban haji.
c. Contoh hukum yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang bagi sesuatu yang lain.
Sabda Rasulullah saw :
لايرتالقاتل
“Tidak ada bagian harta waris bagi si pembunuh”.
Hadits tersebut menunjukkan bahwa pembunuh adalah sebagai penghalang untuk mendapatkan harta warisan.[15]
2.      Pembagian hukum wadh’i
Macam-macam hukum wadhi dibagi menjadi lima, yaitu sebab, syarat, azimah dan rukhsah, serta ashiah dan al bathlan. Adapun penjelasannya sebagai berikut :
a.       Sebab adalah sesuatu yang oleh syari’ ( pembuat hukum) yang dijadikan pertanda terhadap sesuatu yang lain yang menjadi akibat adanya hukum, artinya menghubungkan dengan adanya akibat karena adanya sebab, tidak adanya akibat karena tidak adanya sebab. Dari pengertian ini menunjukkan bahwa sebab dengan illat hampir sama, walaupun sebenarnya tidak semua hukum bisa di katakan sebagai illat dari hukum. Contoh: puasa, melihat hilal dikala ramadhan merupakan sebab diwajibkannya berpuasa.
b.      Syarat adalah sesuatu yang ada tidaknya hukum bergantung kepadanya, maksudnya disini adalah hukum tidak akan ada jika tidak ada syarat, namun adanya syarat tidak mengisyaratkan untuk adanya hukum syara’. Dengan ini maka hukum taklifi dapat diterapkan apabila telah memenuhi syarat hukum yang telah ditetapkan oleh hukum syara’. Contohnya dalam sholat, syarat sahnya shalat adalah wudhu, sehingga salat tidak akan sah tanpa berwudhu terlebih dahulu.
c.       Mani’ (penghalang) adalah sifat yang dengan keberadaanya membuat tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab. Mani’ disini dapat meniadakan hukum dan membatalkan sebuah sebab. Terkadang walaupun telah sempurna sebab dan syaratnya, tetapi disana terdapat mani’, yang menghalangi hukum tersebut maka mani’ tersebut menghalagi terteb hukum tersebut. contohnya seperti harta warisan yang telah disabdahkan oleh rosulullah bahwa “Tidak ada bagian harta waris bagi si pembunuh”. Sehingga perbuatan membunuh tersebut menjadi mani’ untuk mendapatkan harta warisan dari orang yang telah dia bunuh.
d.      Azimah dan rukhshah , azimat adalah hukum yang disyariatka noleh allah kepada seluruh hambanya sejak semula tanpa dikhususkan oleh ondisi maupun oleh muallaf. Maksudnya adalah hukum tersebut belum ada hukum sebelu hukum tersebut itu disyartiatkan oleh Allah, sehingga sejak adanya syariat tersebut maka seluruh mukallaf wajib mengikutinya. Menurut imam al-Baidhawi (ahli ushul fiqh syafi’iyah) mengatrakan bahwa azimat ialah hukum yang ditetapkan karena tidak ada uzur dan tidak berbeda dnegan dalil yang ditetapkan, sedangkan rukshah adalah hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada dikarenakan adanya uzur, maksudnya adalah hukum keringan atas orang mukallah yang telah disyariatkan oleh allah dalam kondisi-kondisi tertentu yang menghendaki keringanan tersebut. Contoh jumlah rakaat yang shalat dhuhur adalah 4 rakaat, jumlah tersebut bersumber dan ditetapkan oleh allah, dan tidak ada hukum lain yang menetapkan julah tersebut sebelumnya, maka hukum 4 rakaat tersebut azimat. Namun apabila ada dalil lain yang membolehkan mengerjakan sholat dzuhur dua rakaat yang dikhususkan untuk orang-orang tertentu seperti musafir, maka hukum tersebut disebut rukhsah.
e.       As shihhah dan bathil (yang benar dan yang batal), shahih adalah suatu hukum yang sesuai atau terpenuhinya tuntutan syari’. Sedangkan bathil adalah ketentuan yang telah ditetapkan, terlepas dari hukum syari’ serta tidak adanya akibat dari hukum yang ditinggalkannya.[16]
D. Mahkum Fih
1. Pengertian Mahkum Fih
Menurut beberapa ulama Ushul Fiqh yang dimaksud mahkum fih atau objek hukum yaitu perbuatan seorang mukallaf (orang yang dibebani hukum) yang berkaitan dengan hukum syar’i, baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, perintah meninggalkan, memilih suatu perbuatan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, rukhsah, azimah, sah serta batal.[17]
2. Contoh Mahkum fih
a. Contoh mahkum fih dalam hukum wajib
Dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 1
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu...”
Ayat tersebut berkaitan dengan perbuatan seorang mukallaf yaitu perbuatan memenuhi aqad atau janji yang hukumnya wajib.
b. Contoh mahkum fih dalam hukum sunnah
Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...”
Ayat diatas berkaitan dengan perbuatan seorang mukallaf yaitu perbuatan mencatat hutang-piutang yang hukumnya sunnah.
c. Contoh mahkum fih dalam hukum haram
Dalam Al-Qur’an surah Al-An’am ayat 151
وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ
“....dan janganlah kamu membunuh jiwa....”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa hukum membunuh jiwa adalah haram, perbuatan membunuh jiwa itu adalah contoh perbuatan seorang mukallaf yang dilarang.
d. Contoh mahkum fih dalm hukum makruh
Dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 267
وَلَا تَيَمَّمُواْ ٱلۡخَبِيثَ مِنۡهُ تُنفِقُونَ
“....Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya...”
Ayat diatas menjelaskan tentang perbuatan yang berhubungan dengan seorang mukallaf yaitu menafkahkan harta atau benda yang buruk yang hukumnya makruh.
e. contoh mahkum fih dalam hukum mubah
dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 184
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ
“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Ayat di atas berkaitan dengan perbuatan seorang mukallaf yaitu berbuka puasa saat sakit atau dalam perjalanan yang hukumnya yaitu mubah.[18]
3. Syarat-syarat Mahkum fih
Para ulama sepakat menyimpulkan ada tiga syarat sahnya suatu perbuatan ditaklifkan atau dibebankan kepada seorang mukallaf.
a. Perbuatan tersebut diketahui oleh seorang mukalaf, sehingga seorang mukalaf bisa melakukannya sesuai dengan tuntutan yang ada. Maka, ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum atau tidak jelas, harus terdapat penjelasnya dari sabda atau hadis rosul. Seperti ayat aqimu al-sholah (dirikanlah sholat), dijelaskan oleh rosulullah dengan hadisnya “shallu kama ra’aitumuni usholli” (sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatku). Dan jika tidak atau belum ada penjelasan dari Rosulullah saw. mengenai hal tersebut maka seorang mukallaf tidak dituntut untuk mengerjakan perintah tersebut.
b. Mukalaf harus mengetahui penaklifan tersebut berasal dari pihak yang mempunyai kewenangan untuk menaklifkan. Yaitu Allah dan Rasulullah saw. jadi jika seseorang telah baligh dan berakal sehat serta sudah dapat memahami hukum syara’ melalui kemampuan diri sendiri maupun dari penjelasan orang lain, maka orang itu tergolong orang yang mengetahui  hukum syara’. Dan berlaku oadanya hukum dan segala akibatnya.[19]
c. perbuatan yang ditaklifkan atau dibebankan tersebut mungkin terjadi. Artinya, perbuatan yang ditaklifkan dapat dilakukan atau ditinggalkan, serta perbuatan tersebut berada dalam batas kemampuan seorang mukallaf. Ada dua ciri-ciri penting dari syarat yang ketiga ini
1) tidak sah secara syara’ taklif atau membebankan mukallaf terhadap sesuatu yang mustahil. Mustahil yaitu tidak mungkin dapat dilakukan secara akal manusia. Misalnya yaitu perintah untuk terbang tetatpi tanpa menggunakan kendaraan apapun. Perintah tersebut tidak masuk akal dan mustahil untuk dapat dilakukan.
2) tidak sah secara syara’ membebankan mukallaf untuk mengerjakan atau menghentikan perbuatan atas nama orang lain[20], seperti kewajiban shalat seorang anak untuk orangtuanya, menahan diri untuk tidak mencuri atas nama tetangga, membayarkan zakat temannya, dll. Karena hal tersebut mustahil bagi seorang mukallaf.
E. Mahkum Alaih
1. Pengertian Mahkum alaih
Mahkum alaih atau subyek hukum yaitu mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syara’, dengan kata lain mahkum alaih yaitu orang mukallaf yang perbuatannya dijadikan tempat berlakunya hukum.[21]
Jika seseorang telah mukallaf, dia bertanggung jawab secara keseluruhan terhadap segala perbuatannya, baik yang berhubungan dengan perintah Allah untuk melakukan suatu pekerjaan ataupun larangan-Nya.
2. Syarat Taklif
Tidak sembarang orang layak dibebani hukum, seseorang bisa dibebani hukum jika memenuhi syarat-syarat berikut ini
a. orang tersebut bisa memahami dalil taklif, dalil tersebut yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, baik bisa memahami dengan sendirinya ataupun dengan bantuan orang lain. Hal ini dikarenakan tidak mungkin seseorang dapat melakukan perintah dan larangan Allah sedangkan dia tidak dapat memahami Al-Qur’an dan hadis, yang berisi perintah dan larangan Allah.
Berdasarkan syarat tersebut, orang gila dan anak-anak tidak dikenai taklif, karena mereka tidak bisa memahami Al-Qur’an dan Sunnah. Begitu pula dengan orang yang lupa, tertidur, ataupun mabuk, mereka tidak dikenai taklif.
b. orang tersebut ahli atau cakap terhadap apa apa yang dibebankan/ditaklifkan kepadanya. Ahli yang dimaksud diatas yaitu berarti menguasai dan layak bertanggung jawab terhadap sesuatu.[22] Ahli atau kecakapan tersebut dapat ditemui pada seseorang yang sudah baligh, karena ketika seseorang sudah baligh, dia akan bisa menilai segala perbuatan yang akan ia lakukan, apakah itu perbuatan baik atau buruk.
F. Penutup
Hukum Islam dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Yang dimaksud hukum taklifi yaitu segala ketentuan Allah swt. baik berupa perintah, larangan, ataupun sebuah pilihan. Hukum taklifi terbagi menjadi 5, yaitu wajib, sunnah, makruh, mubah, serta haram. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan hukum taklifi. Macam-macam hukum wadh’i yaitu sebab, syarat, maani’ atau penghalang, azimah dan rukshoh, serta sah dan batal.
Dalam suatu hukum pasti ada suatu subyek dan obyek hukum. Obyek hukum atau mahkum fiih yaitu perbuatan seorang mukallaf (orang yang dibebani hukum) yang berkaitan dengan hukum syara’. Ada tiga syarat perbuatan dapat ditaklifkan kepada mukallaf, pertama perbuatan tersebut diketahui oleh seorang mukalaf, sehingga seorang mukalaf bisa melakukannya sesuai dengan tuntutan yang ada. Kedua, Mukalaf harus mengetahui penaklifan tersebut berasal dari pihak yang mempunyai kewenangan untuk menaklifkan. Ketiga, perbuatan yang ditaklifkan atau dibebankan tersebut mungkin terjadi. Sedangkan yang dimaksud dengan subyek hukum atau mahkum alaih yaitu mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syara’. Tidak sembarang orang layak dibebani hukum, seseorang bisa dibebani hukum jika orang tersebut bisa memahami dalil taklif dan orang tersebut ahli atau cakap terhadap apa apa yang dibebankan/ditaklifkan kepadanya.














DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Syahrul, 2010, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Bogor: Graha Indonesia.

Bazry, Nazar, 1993, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta : Rajawali

Djalil, A. Basiq, 2010, Ilmu Ushul Fiqih satu dan dua, Jakarta: Kencana

Effendi, Satria, M. Zein, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana

Firdaus, 2004, Ushul Fiqh : Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, Jakarta Timur: Zikrul Hakim.

Khallaf, Abdul Wahab, 2005, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: PT Rineka Cipta

Khallaf, AbdulWahhab, 2002, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh. Terj. Noer Iskandar al-Barsany,  Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Koto, Alaiddin, 2006, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Muthahhari, Murtada dan M. Baqir Ash-Shadr, 1993, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan, Jakarta: Pustaka Hidayah.

Syafe’i, Rachmat, 2015, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia

Syarifuddin,Amir, 2012,Garis-garis besar Ushul Fiqih, Jakarta:Kencana Pranada Media Group.

Catatan:
1. Similarity 14%.
2. Footnote lebih dirapikan lagi, sebab ada yang diulang tapi masih dicantumkan semua keterangannya.
3. Membuat paragraf sebaiknya tidak hanya satu dua kalimat saja, tetapi paling tidak lima kalimat agar enak dibaca.


[1]Murtada Muthahhari dan M. Baqir Ash-Shadr, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), hlm. 131.
[2]Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor: Graha Indonesia, 2010), hlm. 99.
[3]Ibid., hlm. 100.
[4] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh. Terj. Noer Iskandar al-Barsany, (  Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 151.
[5]Syahrul Anwar, Op. Cit., hlm. 100.
[6] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih satu dan dua, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 42-43
[7] Nazar Bazry, Fiqh dan Ushul Fiqh, ( Jakarta : Rajawali, 1993), hlm. 150.
[8]Syahrul Anwar, Op. Cit., hlm. 100.
[9] Nazar Bazry,Op. Cit.,hlm 150.
[10]Syahrul Anwar, Op.Cit., hlm. 108.
[11]Ibid., hlm. 109.
[12]Amir Syaifuddin, Garis-garis besar Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2012), hlm. 16
[13]Ibid., hlm. 111-112.
[14]Abdul Wahhab Khallaf, Op.Cit., hlm. 353.
[15]Ibid.,hlm. 154-155.
[16]Ibid,. hlm. 178-182.
[17]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), hlm. 317
[18]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hlm. 155
[19] Firdaus, Ushul Fiqh : Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam SecaraKomprehensif, (Jakarta Timur: Zikrul Hakim, 2004), hlm. 273-274
[20]Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 156
[21] Ibid., hlm. 157-158
[22] Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 75

Tidak ada komentar:

Posting Komentar