HUKUM
TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH
Roisa Toifaturrosyida dan Faiqatuz Zuhriyah
Roisa Toifaturrosyida dan Faiqatuz Zuhriyah
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam “C”
Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang
Email: roisarosyida@gmail.com
Abstract
From several studies of ushul fiqh, syara law or
islamic law is one of discussion. Syara law, namely the law of Allah almighty
to regulate all forms of human behavior. Islamic law is divided into two,
namely law taklifi and wadh’i. What is meant by taklifi law is all the
provisions of Allah. Either in the form of orders, prohibitions, or a choice.
Taklifi’s law is divided into five, namely obligatory, sunnah, makruh, mubah
and haram. Whereas what is meant by the law of wadh’i is everything related to
the implementation of the taklifi law. Various kinds of law wadh’i namely
cause, condition, barrier, azimah and rukhshah, and are valid and null. Islamic
law is addressed to the mukallaf as legal subjects. The subject of islamic law
is called mahkum alaih. While the object of islamic law is called mahkum fiih,
which is all that is related to islamic law. So, mahkum fih is the act of a
mukallaf.
Abstrak
Dari beberapa kajian ushul fiqh, hukum
syara’ atau hukum islam adalah satu pembahasannya. Hukum syara’ atau hukum
islam yaitu hukum Allah swt untuk mengatur segala bentuk tingkah laku manusia.
Hukum islam atau hukum syara’ dibagi menjadi 2 bagian, yaitu hukum taklifi dan
hukum wadh’i. Yang dimaksudhukum taklifi yaitu segala ketentuan Allah swt baik
berupa perintah, larangan, ataupun sebuah pilihan. Hukum taklifi terbagi
menjadi 5, yaitu wajib, sunnah, makruh, mubah, serta haram. Sedangkan yang
dimaksud dengan hukum wadh’i yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan
pelaksanaan hukum taklifi. Macam-macam hukum wadh’i yaitu sebab, syarat, maani’
atau penghalang, azimah dan rukshoh, serta sah dan batal. Hukum islam atau
hukum syar’i ditujukan untukseorang mukallaf sebagai subyek hukum. Subyek hukum
islam disebut dengan mahkum alaih. Sedangkan obyek hukum islam disebut dengan
mahkum fiih, yaitu semua yang berkaitan dengan hukum islam. Maka, mahkum fih yaitu
perbuatan dari seorang mukallaf.
Keywords:
Hukum Taklifi,
Hukum Wadh’i, Mahkum fih, Mahkum alaih.
A. Pendahuluan
Pembahasan mengenai hukum syara’
merupakan slah satu dari beberapa obyek kajian ushul fiqih. Bahkan tujuan utama
dari ilmu ushul fikih yaitu bagaimana menyimpulkan hukum syara’ dari sumber -
sumbernya.
Hukum syara’ adalah hukum yang berasal
dari Allah swt atau undang-undang dari Allah yang bertujuan mengatur segala jenis
tingkah laku kehidupan manusia. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh hukum syara’
adalah kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat,
baik bersifat perintah, pilihan, ataupun menetapkan sebagian sebab, syarat, dan
penghalang.Yang dimaksud dengan perintah dalam definisi tersebut yaitu, bisa
perintah untuk melakukan atau meninggalkan atau yang disebut taklifi, sedangkan
wadh’i adalah berfungsi sebagai penghubung hukum, baik dalam bentuk sebab,
syarat maupun penghalang.
Dalam hukum syara’ pasti ada yang disebut subyek dan obyek hukum.
Obyek hukum atau mahkum fih yaitu perbuatan seorang mukallaf, sedangkan subyek
hukum adalah mukallaf itu sendiri.
Perlu diketahui bahwa dalam kehidupan ini, sebagai umat islam kami
akan terus berhubungan dan tidak akan pernah bisa terhindar dari hukum syara’.
Oleh karena itu, kami harus mempelajarinya karena dengan mempelajarinya kami
akan mengetahui kewajiban-kewajiban,
ataupun larangan sebagai umat islam.
Dengan makalah ini, kami akan membahas mengenai hukum taklifi
beserta, hukum wadh’i, hingga obyek hukum (mahkum fih) dan subyek hukum (mahkum
alaih) mulai dari pengertian, syarat-syaratnya, serta pembagiannya.
B.
Hukum Taklifi
1.
Pengertian
Hukum syara’
Hukum syara merupakan hukum yang berasal dari allah atau
undang-undang dari allah untuk mengatur segala bentuk tingkah laku kehidupan
manusia. Perintah–perintah allah (khitabah) termuat dalam al-Quran dan as
sunnah. Khitabah ini berurusan dengan tindakan seorang mutakallifin, yaitu
orang-orang yang secara hukum bertanggungjawab. Sebab perintah mengungkapkan
hukum dan hukum diperoleh dari perintah.[1]
Secara istilah hukum syara' adalah seperangkat peraturan dari allah
swt untuk mengatur tingkah laku hambanya, perbuatan manusia tersebut dilakukan
oleh orang dewasa yang berakal sehat meliputi perbuatan hati. Adapun definisi
yang sering digunakan oleh para ulama ushul adalah :
خطاب الله
المتعلق بأفعال المكلفين اقتضاء اوتخييرا او وضعا
Artinya : “Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang yang
dewasa dan berakal sehat, baik bersifat perintah, pilihan, ataupun menetapkan
suatu sebagian sebab, syrat, dan penghalang”[2]
Yang dimaksud dengan perintah dalam definisi diatas yaitu, bisa
perintah untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau yang disebut dengan
istilah iqthida, sedangkan dibolehkannya memilih antara melakukan atau
meninggalkan suatu pekerjaan adalah tahyir. Sedangkan Wadh’i adalah berfungsi
sebagai penghubung hukum, baik dalam bentuk sebab, syarat maupun penghalang.[3]
Jadi hukum syara’ ini erat sekali hubungannya dengan perbuatan
seorang mukallaf, baik dari segi tuntutan, diperbolehkan, maupun penetapan
terhadap yang lain. Adapun hukum syara’ terbagi menjadi dua, yaitu hukum
ta’lifi dan hukum wadh’i.
2.
Pengertian
Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung sebuah tuntutan
dilakukannya pekerjaan oleh mukallaf, meninggalkan pekerjaan tersebut, atau
memilih antara meninggalkan ataupun melakukannya.[4]
Jadi segala apa-apa yang menunjukkan padanya tuntunan untuk mengerjakan,
meninggalkan atau memilih diantara melakukan atau mengerjakan itu disebut
sebagai hukum taklifi.
Hukum ini didalamnya terdapat beban bagi manusia, baik beban
tersebut tuntutan utuk melakukan, meninggalkan, atau memilih. Adapun contoh
dari hukum ini adalah:
a.
Surat
al-Baqarah ayat 43, berisikan tuntutan untuk melakukan perbuatan.
وَأَقِيمُواْ
ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta
orang-orang yang ruku'.” (al-Baqarah : 43)
b.
Surat
al-Baqarah ayat 188, berisikan tuntutan untuk meninggalkan perbuatan.
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ
بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ
بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
“Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
c.
Surat
al-Baqarah ayat 187, berisikan tuntutan untuk memilih perbuatan.
وَكُلُواْ
وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ
ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ
“Dan makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” [5]
3. Bentuk-bentuk
Hukum Taklifi
Menurut jumhur ulama ushul fiqh atau yang biasa disebut mutakallimin,
membagi bentuk-bentuk hukum taklifi kedalam 5 bentuk, yaitu :
a.
Ijab : yaitu
khitab yang berisi tuntutan untuk
melaksanakan sesuatu serta dilarang untuk meninggalkannya. Adapun hasil
dari ijab tersebut kemudian dinamakan wujud dan pekerjaan yang memperoleh hukum
wujud disebut dengan wajib. Contohnya وَأَقِيمُواْ
ٱلصَّلَاٰةَ (dirikanlah
sholat).
b.
Tahrim : yaitu
berisi tuntutanuntuk tidak mengerjakan suatu perbuatan atau tuntutan yang
berisi sebuah larangan dan harus ditinggalkan. Contoh
وَلَا
تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ ....
“...Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah...” (al
baqarah:151)
Aya diatas
disebut dengan tahrim, sedangkan hasil atau akibat dari perbuatan tersebut
disebut hurman, dan pekerjaan yang dituntun untuk ditinggalkan disebut haram.
c.
Nadab : yaitu
berisi tetang tuntutan untuk melaksanakan pekerjaan yang sifatnya tidak
memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga ditinggalkan tidak dikenai hukuman
dan meninggalkannyapun tidak dilarang. Akibat dari pekerjaan tersebut disebut
madab, sedangkan yang dituntut untuk dikerjakan tersebut disebut mandub. Contoh
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى
فَٱكۡتُبُوهُۚ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
(QS. al-Baqarah: 282)
d.
Karahah: yaitu
khitbah yang berisi tentang meninggalkan suatau perbuatan yang tidak mesti dijauhi.
Akibat dari tuntutan tersebut disebut karahah, yang meruapakan kebalikan dari
nadab. Sedangkan perbuatan yang dikenai khitbah adalah makruh. Contoh :
ابغض
الحلالعنداللهالطلاق
“perbuatan
halal yang dibenci oleh Allah adalah talak”. (HR. Abu Daud)
e.
Ibahah, yaitu
khitbah yang mengandung pilihan antara melakukan atau tidak melakukan. Sehingga
perbuatan diperbolehkannya memilih atau tida itu disebut dengan mubah. Contoh :
وَإِذَا
حَلَلۡتُمۡ فَٱصۡطَادُواْۚ
“Apabila kamu
telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.”
(QS. Al-Maidah : 2)[6]
Dari masing-masing bentuk-bentuk hukum taklifi yang telah
disebutkan diatas, maka akan dijelaskan pengertiannya masing-masing sebagai
berikut :
1)
Wajib
الواجب شرعا
هوماطلب الشارع فعله منالمكلف طلبا حتما
“Wajib menurut
hukum syara” adalah sesuatu yang dituntut oleh syara’ kepada orang mukallaf
untuk melakukan perbuatannya.
Umpama :
ثماقرأماتيسر
معك من القران
“kemudian
bacalah apa yang memudahkan olehmu dari ayat al-Quran”.
Contoh tersebut
merupakan contoh tuntutan yang pasti dan menunjukkan sighar amar[7]
Wajib disini adalah suatu perbuatan yang
apabila dikerjakan seorang mukallaf akan mendapat pahala dan apabila perbuatan
tersebut ditinggalkan akan mendapat dosa. Wajib dapat ditinjau dari tiga sisi,
diantaranya adalah :
a)
Ditinjau dari
segi sisi pembebanannya, yaitu: wajib ain dan wajib kifayah.
1).
Wajib ‘ain
adalah kewajiban yang dibebankan untuk setiap diri masing-masing mukallaf dan
harus dilakukan oleh masing masing mukallaf tanpa ada pengecualian. Misalnya :
sholat.
2).
Wajib kifayah
adalah kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukallaf dan apabila telah
dikerjakan oleh sebagain dari orang mukallaf, maka kewajiban tersebut telah
terpenuhi dan orang yang tidak melakukan beban tersebut tidak dituntut untuk
melaksanakannya, karena kewajibannya telah gugur. Misalnya sholat jenazah,
melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, dll.
b)
Ditinjau dari
segi sisi kandungan perintah, yaitu: wajib muayyan dan wajib
mukhayyar.
1).
Wajib mu’ayyan
adalah kewajiban yang terkait dengan sesuatu
yang telah diperintahkan, yang mana boleh dipilih tetapi tidak ada pilihan lain
lagi bagi para mukallaf. Misalnya sholat, puasa dibulan ramadhan, dll.
2).
Wajib mukhayyar
adalah suatau kewajiban tertentu yang boleh dipilih atas beberapa alternatif
oleh mukalaf. Misalnya kafarah (denda)
sumpah dalam surat al maidah : 89 yaitu : sumoah terdiri dari tiga hal, memberi
makan 10 orang kafir miskin, atau memberi pakaian kepada mereka, atau
memerdekakan budak.
c)
Ditinjau dari
segi sisi waktu pelaksanaannya, yaitu: wajib mutlak dan wajib muaqqat.
1).
Wajib mutlak
adalah kewajiban yang dituntut dilaksanakan oleh mukallaf, namun pelaksanaan
tidak dibatasi oleh waktu. Misalnya mengwahlo puasa ramadan yang tertinggal,
kewajiban membayar sumpah (boleh membayar kapan saja).
2).
Wajib mu’aqqat
adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh orang mukallaf, yang pelaksanaanya
dibatasi pada waktu-waktu tertentu. Misalnya sholat lima waktu, puasa bulan
ramadhan, dll. Kewajiban tersebut merupakan bagian dari waktu, yang mana
apabila belm masuk pada waktunya maka kewajiban tersebut belum ada.
d)
Ditinjau dari
segi ukuran yang diwajibkan, yaitu : wajib mu haddad dan wajib ghairu
al-muhaddad.
1).
Wajib muhaddad
adalah suatau kewajiban yang ukurannya ditentukan oleh syara’ dengan ukuran
tertentu. Misalnyadalam zakat, jumlah harta yang wajib dizakati, dalam sholat
jumlah rakaat dalam sholat, jumlah ukuran dalam syara’ tersebut tidak boleh
diubah, dikurangi, maupun ditambah.
2).
Wajib ghairu
muhaddad adalah kewajiban yang ukuran dan jumlahnya tidak ditentukan oleh syara’, namun untuk menentukannya
diserahkan kepada para pemimpin dan para ulama. Misalnya, penentuan hukum
tindak pidana diluar hudud dan qishash yang diserahkan kepada hakim, yang mana
dalam menentukan hukuman ini, diorientasikan agar tercapainya tujuan syara’ dan
bersifat adil.[8]
2)
Mandub/ Sunnah
Mandub
adalah tuntutan syara’ yang dilakukan oleh mukallaf tersebut tidak dipastikan.
Shighat dari tuntutan tersebut tidak menunjukkan kepastian. Mandub disini juga
disebut dengan istilah sunnah, sunnah yaitu suatu perbuatan, yang mana apabila
perbuatan tersebut dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak
mendapat siksa.[9]
Para ulama ushul fiqh membagi mandub menjadi tiga macam, yaitu :
a)
Sunnah
al-mu’akkadah
Sunnah muakkad
adalah sunnah yang sangan di anjurkan, apablia dikerjakan mendapat pahala,
ditinggalkan tidak mendapat dosa namun mendapat celaan. Mengapa sangat di
anjurkan? Karena sunnah ini selalu dilakukan oleh rosulullah dan jarang sekali
ditinggkan. Misalnya sholat sunnah sebelum fajar, shalat witir dll.
b)
Sunnah ghairu
al-muakkadah
Sunnah ghairu
muakkad adalah sunnah yang biasa dianjurkan, sebab sunnah ini biasa dilakukan
oleh rasulullah, namun terkadang ditinggalkan. Sunnah ini apabila dikerjakan
mendapat pahala, apabila tidak dilakukan tidak berdosa dan tidak mendapatkan
celaan. Misalnya bersedekah, sholat dhuha, puasa senin kamis, dll.
c)
Sunnah al
za’idah
Sunnah al
za’idah adalah sunnah yang bersifat tambahan, sunnah ini mengikuti tingkah laku
rosulullah sebagai manusia biasa. Misalnya cara rasulullah makan, cara
rasulullah tidur, berpakaian dll.[10]
3)
Haram
Haram adalah
tuntutan syar’i secara pasti untuk meninggalkan suatu perbuatan. Apabila
perbuatan tersebut dilakukan akan mendapat dosa, dan apabila ditinggalkan
mendapat pahala. Haram sendiri dibagi menjadi dua macam, yaitu :
a)
Haram li
dzatihi
Haram li zatihi
adalah perbuatan yang diharamkan oleh syariat, dikarenakan pada esensinya
mengandung kerusakan bagi kehidupan manusia. Misalnya berzina, membunuh,
memakan daging babi, khamer dll
b)
Haram li
ghairihi
Hraa lighrihi
adalah perbuatan yng diharamkan oleh syariat namun bukan karena esensinya.
Tetapi karena perbuatan tersebut akan mengantarkan kepada esensi keharaman
tersebut sekaligus kemudhratan. Misalnya jula beli saat adzan jumat, berpuasa
dihari raya idul fitrih dll. [11]
4)
Makruh
Makruh adalah
perbuatan yang dituntut oleh syari kepada mukallah untuk menghentikan suatu
pekerjaan. Makruh terbagi dalam dua bentu, yaitu :
a)
Makruh tanzil
Makruh tanzil
adalah tuntutan syari kepada muallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan, namun
tuntutan tersebut tidak pasti. Misalnya rokok, memakan pete/jengkol, memakan
daging kuda, dll
b)
Makruh tahrim
Makruh tahrim
adalah tuntutan syari untuk menunggalkan suatu pekerjaan dengan tuntutan yang
pasti. Namun dasar dalilnya belum qath’i atau bisa disebut juga dalil tersebut
masih bersifat zanni. Misalnya larangan memaki sutra dan perhiasan emas bagi
kaum lelaki, sebagimana sabda rasulullah
: keduanya ini (emas dan sutra) halal bagi wanita dan haram bagi laki-laki (HR.
Abu Daud, An Nisai’, Ibn Majah, Ahmad Ibn Hambal). [12]
5)
Mubah
Mubah adalah
perintah yng diberikan oleh syari kepada orang mukallaf antara mengerjakan
perbuatan tersebut atau meninggalkannya. Mubah menurut Asy-Syathibi dibagi
menjadi empat macam, yaitu :
a)
Mubah bil juz’i
al matlub bi al–kulli ‘ala jihat ar rujub, artinya
pekerjaan mubah ini bisa berubah menjadi wajib ketika dilihat dari kepentingan
umat secara keseluruhan, contohnya makan dan minum adalah mubah, namun apabila
seorang meninggalkan makan secara kulli, maka pekerjaan tersebut tidak lagi
mubah, melainkan wajib.
b)
Mubah bi al-juz
li al-mathub bi al-kulli ‘alajihat al-mandub, yaitu
hukumnya mubah secara juz’i, namun akan berubah menjadi mandub apabila dilihat
dari segi kulli akan berubah menjadi mandub. Misalnya dalam hal makan dan minum
melebihi dari kebutuhan. Walaupun hukum makan dan minum itu mubah, namun
apabila seorang meninggalkan makan dan minum, sekalipun hal itu tidak sampai
membawa dirinya kepada kematian maka hukumnya adalah makruh. Singga makan dan
minum tersebut menjadi mandub dalam keadaan seperti itu.
c)
Mubah bi
al-juz’i al- muharramah bi al-kulli, yaitu yang
awalnya mubah secara juz’i namun dilihat dari segi kulli haram. Misalnya
mencela anak yang biasa makan dengan makanan yang enak-enak. Pada mulanya hukum
tersebut mubah sesuia dengan waktu dan kondisinya, namun akan menjadi haram
apabila pekerjaan tersebut membawa kemudaratan, seperti makan tanpa
mempertimbangkan kondisi fisiknya dan kesehatannya, serta mencela anak yang
akhirnya berakibat merusak mental anak tersebut, maka hal tersebut menjadi
haram.
d)
Mubah bi
al-juz’i al-makruh bi al-kulli, yaitu hukum
yang awalnya mubah bisa berubah menjadi makruh. Misalnya dalam bernyanyi,
ernyanyi adalah mubah, namun apabila bernyanyi tersebut dapat meninggalkan
pekerjaan yang lebih bermanfaat maka akan berubah hukumnya dari mubah ke
makruh.[13]
C. Hukum Wadh’i
1.
Pengertian
Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah hukum yang ditetapkan sebagai sebab, syara’,
atau penghalang bagi sesuatu yang lain. Hukum ini disebut dengan hukum wadh’i
karena perantara antara dua hal yang telah ditetapkan oleh syari’ yaitu
hubungan dengan sebab, syarat, atau penghalang. Artinya bahwa hukum ini
mengaitkan bahwa penetapan ini menjadi sebab bagi ini atau dengan kata lain
menunjukan keterkaitan sesuatu dengan hukum taklifi, baik itu terkait dengan
sebab, syarat atau penghalang, maka hukum tersebut adalah hukum wadh’i.[14]
Adapun contoh dari hukum wadhi’ sebagai berikut :
a. Contoh hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab sesuatu yang
lain
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ
وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.” (al-Maidah :
6), Pada ayat tersebut, menetapkan bahwa mendirikan sholat menjadi sebab
wajibnya berwudhu.
أَقِمِ
ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمۡسِ إِلَىٰ غَسَقِ ٱلَّيۡلِ وَقُرۡءَانَ ٱلۡفَجۡرِۖ
إِنَّ قُرۡءَانَ ٱلۡفَجۡرِ كَانَ مَشۡهُودٗا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir.” (
al-Isra’:78), Ayat ini menetapkan bahwa tergelincirnya matahari menjadikan
sebab wajibnya shalat.
b. Contoh hukum yang menjadikan sesuatu sebagai syarat bagi sesuatu
yang lain.
وَلِلَّهِ عَلَى
ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ
“Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali
Imron :97). Ayat ini menunjukkan bahwa kesanggupan dalam menempuh perjalanan ke
baitullah adalah syarat dalam kewajiban
haji.
c. Contoh hukum yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang bagi
sesuatu yang lain.
Sabda Rasulullah saw :
لايرتالقاتل
“Tidak
ada bagian harta waris bagi si pembunuh”.
Hadits
tersebut menunjukkan bahwa pembunuh adalah sebagai penghalang untuk mendapatkan
harta warisan.[15]
2.
Pembagian hukum
wadh’i
Macam-macam
hukum wadhi dibagi menjadi lima, yaitu sebab, syarat, azimah dan rukhsah, serta
ashiah dan al bathlan. Adapun penjelasannya sebagai berikut :
a.
Sebab
adalah sesuatu yang oleh syari’ ( pembuat hukum) yang dijadikan pertanda
terhadap sesuatu yang lain yang menjadi akibat adanya hukum, artinya
menghubungkan dengan adanya akibat karena adanya sebab, tidak adanya akibat
karena tidak adanya sebab. Dari pengertian ini menunjukkan bahwa sebab dengan
illat hampir sama, walaupun sebenarnya tidak semua hukum bisa di katakan
sebagai illat dari hukum. Contoh: puasa, melihat hilal dikala ramadhan
merupakan sebab diwajibkannya berpuasa.
b.
Syarat
adalah sesuatu yang ada tidaknya hukum bergantung kepadanya,
maksudnya disini adalah hukum tidak akan ada jika tidak ada syarat, namun
adanya syarat tidak mengisyaratkan untuk adanya hukum syara’. Dengan ini maka
hukum taklifi dapat diterapkan apabila telah memenuhi syarat hukum yang telah ditetapkan
oleh hukum syara’. Contohnya dalam sholat, syarat sahnya shalat adalah wudhu,
sehingga salat tidak akan sah tanpa berwudhu terlebih dahulu.
c.
Mani’
(penghalang) adalah sifat yang dengan keberadaanya membuat tidak adanya hukum
atau tidak adanya sebab. Mani’ disini dapat meniadakan hukum dan membatalkan
sebuah sebab. Terkadang walaupun telah sempurna sebab dan syaratnya, tetapi
disana terdapat mani’, yang menghalangi hukum tersebut maka mani’ tersebut
menghalagi terteb hukum tersebut. contohnya seperti harta warisan yang telah
disabdahkan oleh rosulullah bahwa “Tidak ada bagian harta waris bagi si
pembunuh”. Sehingga perbuatan membunuh tersebut menjadi mani’ untuk
mendapatkan harta warisan dari orang yang telah dia bunuh.
d.
Azimah
dan rukhshah , azimat adalah hukum yang disyariatka noleh allah kepada seluruh
hambanya sejak semula tanpa dikhususkan oleh ondisi maupun oleh muallaf.
Maksudnya adalah hukum tersebut belum ada hukum sebelu hukum tersebut itu
disyartiatkan oleh Allah, sehingga sejak adanya syariat tersebut maka seluruh
mukallaf wajib mengikutinya. Menurut imam al-Baidhawi (ahli ushul fiqh
syafi’iyah) mengatrakan bahwa azimat ialah hukum yang ditetapkan karena tidak
ada uzur dan tidak berbeda dnegan dalil yang ditetapkan, sedangkan rukshah
adalah hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada dikarenakan adanya
uzur, maksudnya adalah hukum keringan atas orang mukallah yang telah
disyariatkan oleh allah dalam kondisi-kondisi tertentu yang menghendaki
keringanan tersebut. Contoh jumlah rakaat yang shalat dhuhur adalah 4 rakaat,
jumlah tersebut bersumber dan ditetapkan oleh allah, dan tidak ada hukum lain
yang menetapkan julah tersebut sebelumnya, maka hukum 4 rakaat tersebut azimat.
Namun apabila ada dalil lain yang membolehkan mengerjakan sholat dzuhur dua
rakaat yang dikhususkan untuk orang-orang tertentu seperti musafir, maka hukum
tersebut disebut rukhsah.
e.
As
shihhah dan bathil (yang benar dan yang batal), shahih adalah suatu hukum yang
sesuai atau terpenuhinya tuntutan syari’. Sedangkan bathil adalah ketentuan
yang telah ditetapkan, terlepas dari hukum syari’ serta tidak adanya akibat
dari hukum yang ditinggalkannya.[16]
D. Mahkum Fih
1. Pengertian Mahkum Fih
Menurut beberapa ulama Ushul Fiqh
yang dimaksud mahkum fih atau objek hukum yaitu perbuatan seorang
mukallaf (orang yang dibebani hukum) yang berkaitan dengan hukum syar’i, baik
yang bersifat tuntutan mengerjakan, perintah meninggalkan, memilih suatu
perbuatan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, rukhsah, azimah, sah
serta batal.[17]
2. Contoh Mahkum fih
a. Contoh mahkum fih dalam hukum wajib
Dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 1
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِ
“Hai orang-orang
yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu...”
Ayat tersebut berkaitan dengan perbuatan
seorang mukallaf yaitu perbuatan memenuhi aqad atau janji yang hukumnya wajib.
b. Contoh mahkum fih dalam hukum sunnah
Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى
فَٱكۡتُبُوهُ
“Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...”
Ayat diatas berkaitan dengan perbuatan
seorang mukallaf yaitu perbuatan mencatat hutang-piutang yang hukumnya sunnah.
c. Contoh mahkum fih dalam hukum haram
Dalam Al-Qur’an surah Al-An’am ayat 151
وَلَا
تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ
“....dan janganlah
kamu membunuh jiwa....”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa hukum
membunuh jiwa adalah haram, perbuatan membunuh jiwa itu adalah contoh perbuatan
seorang mukallaf yang dilarang.
d. Contoh mahkum fih dalm hukum makruh
Dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 267
وَلَا
تَيَمَّمُواْ ٱلۡخَبِيثَ مِنۡهُ تُنفِقُونَ
“....Dan janganlah
kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya...”
Ayat diatas menjelaskan tentang perbuatan
yang berhubungan dengan seorang mukallaf yaitu menafkahkan harta atau benda
yang buruk yang hukumnya makruh.
e. contoh mahkum fih dalam hukum mubah
dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 184
فَمَن كَانَ
مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ
“Maka barangsiapa
diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain.”
Ayat di atas berkaitan dengan perbuatan
seorang mukallaf yaitu berbuka puasa saat sakit atau dalam perjalanan yang
hukumnya yaitu mubah.[18]
3. Syarat-syarat Mahkum fih
Para ulama sepakat menyimpulkan ada tiga syarat
sahnya suatu perbuatan ditaklifkan atau dibebankan kepada seorang mukallaf.
a. Perbuatan tersebut diketahui oleh
seorang mukalaf, sehingga seorang mukalaf bisa melakukannya
sesuai dengan tuntutan yang ada. Maka, ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum atau
tidak jelas, harus terdapat penjelasnya dari sabda atau hadis rosul. Seperti
ayat aqimu al-sholah (dirikanlah sholat), dijelaskan oleh rosulullah
dengan hadisnya “shallu kama ra’aitumuni usholli” (sholatlah kalian
sebagaimana kalian melihatku). Dan jika tidak atau belum ada penjelasan dari
Rosulullah saw. mengenai hal tersebut maka seorang mukallaf tidak dituntut
untuk mengerjakan perintah tersebut.
b. Mukalaf harus mengetahui penaklifan
tersebut berasal dari pihak yang mempunyai kewenangan untuk menaklifkan. Yaitu
Allah dan Rasulullah saw. jadi jika seseorang telah baligh dan berakal sehat
serta sudah dapat memahami hukum syara’ melalui kemampuan diri sendiri maupun
dari penjelasan orang lain, maka orang itu tergolong orang yang mengetahui hukum syara’. Dan berlaku oadanya hukum dan
segala akibatnya.[19]
c. perbuatan yang ditaklifkan atau
dibebankan tersebut mungkin terjadi. Artinya, perbuatan yang ditaklifkan dapat
dilakukan atau ditinggalkan, serta perbuatan tersebut berada dalam batas
kemampuan seorang mukallaf. Ada dua ciri-ciri penting dari syarat yang ketiga
ini
1) tidak sah secara syara’ taklif atau
membebankan mukallaf terhadap sesuatu yang mustahil. Mustahil yaitu tidak
mungkin dapat dilakukan secara akal manusia. Misalnya yaitu perintah untuk
terbang tetatpi tanpa menggunakan kendaraan apapun. Perintah tersebut tidak
masuk akal dan mustahil untuk dapat dilakukan.
2) tidak sah secara syara’ membebankan
mukallaf untuk mengerjakan atau menghentikan perbuatan atas nama orang lain[20],
seperti kewajiban shalat seorang anak untuk orangtuanya, menahan diri untuk
tidak mencuri atas nama tetangga, membayarkan zakat temannya, dll. Karena hal
tersebut mustahil bagi seorang mukallaf.
E. Mahkum Alaih
1. Pengertian Mahkum alaih
Mahkum alaih atau subyek hukum yaitu
mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syara’, dengan kata lain
mahkum alaih yaitu orang mukallaf yang perbuatannya dijadikan tempat berlakunya
hukum.[21]
Jika seseorang telah mukallaf, dia
bertanggung jawab secara keseluruhan terhadap segala perbuatannya, baik yang
berhubungan dengan perintah Allah untuk melakukan suatu pekerjaan ataupun
larangan-Nya.
2. Syarat Taklif
Tidak sembarang orang layak dibebani
hukum, seseorang bisa dibebani hukum jika memenuhi syarat-syarat berikut ini
a. orang tersebut bisa memahami dalil
taklif, dalil tersebut yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, baik bisa memahami dengan
sendirinya ataupun dengan bantuan orang lain. Hal ini dikarenakan tidak mungkin
seseorang dapat melakukan perintah dan larangan Allah sedangkan dia tidak dapat
memahami Al-Qur’an dan hadis, yang berisi perintah dan larangan Allah.
Berdasarkan syarat tersebut, orang gila
dan anak-anak tidak dikenai taklif, karena mereka tidak bisa memahami Al-Qur’an
dan Sunnah. Begitu pula dengan orang yang lupa, tertidur, ataupun mabuk, mereka
tidak dikenai taklif.
b. orang tersebut ahli atau cakap
terhadap apa apa yang dibebankan/ditaklifkan kepadanya. Ahli yang dimaksud
diatas yaitu berarti menguasai dan layak bertanggung jawab terhadap sesuatu.[22]
Ahli atau kecakapan tersebut dapat ditemui pada seseorang yang sudah baligh,
karena ketika seseorang sudah baligh, dia akan bisa menilai segala perbuatan
yang akan ia lakukan, apakah itu perbuatan baik atau buruk.
F.
Penutup
Hukum Islam dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum
taklifi dan hukum wadh’i. Yang dimaksud hukum taklifi yaitu segala ketentuan
Allah swt. baik berupa perintah, larangan, ataupun sebuah pilihan. Hukum
taklifi terbagi menjadi 5, yaitu wajib, sunnah, makruh, mubah, serta haram.
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i yaitu segala sesuatu yang
berhubungan dengan pelaksanaan hukum taklifi. Macam-macam hukum wadh’i yaitu
sebab, syarat, maani’ atau penghalang, azimah dan rukshoh, serta sah dan batal.
Dalam suatu hukum pasti ada suatu subyek
dan obyek hukum. Obyek hukum atau mahkum fiih yaitu perbuatan seorang mukallaf
(orang yang dibebani hukum) yang berkaitan dengan hukum syara’. Ada tiga syarat
perbuatan dapat ditaklifkan kepada mukallaf, pertama perbuatan tersebut
diketahui oleh seorang mukalaf, sehingga seorang mukalaf bisa
melakukannya sesuai dengan tuntutan yang ada. Kedua, Mukalaf harus mengetahui
penaklifan tersebut berasal dari pihak yang mempunyai kewenangan untuk
menaklifkan. Ketiga, perbuatan yang ditaklifkan atau dibebankan tersebut mungkin
terjadi. Sedangkan yang dimaksud dengan subyek hukum atau mahkum alaih yaitu mukallaf
yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syara’. Tidak sembarang orang layak
dibebani hukum, seseorang bisa dibebani hukum jika orang tersebut bisa memahami
dalil taklif dan orang tersebut ahli atau cakap terhadap apa apa yang
dibebankan/ditaklifkan kepadanya.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syahrul,
2010, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Bogor: Graha Indonesia.
Bazry, Nazar, 1993, Fiqh dan
Ushul Fiqh, Jakarta : Rajawali
Djalil, A.
Basiq, 2010, Ilmu Ushul Fiqih satu dan dua, Jakarta: Kencana
Effendi, Satria,
M. Zein, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana
Firdaus, 2004, Ushul Fiqh : Metode Mengkaji dan Memahami Hukum
Islam Secara Komprehensif, Jakarta Timur: Zikrul Hakim.
Khallaf, Abdul
Wahab, 2005, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: PT Rineka Cipta
Khallaf, AbdulWahhab, 2002, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu
Ushul Fiqh. Terj. Noer Iskandar al-Barsany,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Koto, Alaiddin, 2006, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta :
PT. RajaGrafindo Persada.
Muthahhari, Murtada dan M. Baqir Ash-Shadr, 1993, Pengantar Ilmu
Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan, Jakarta: Pustaka Hidayah.
Syafe’i,
Rachmat, 2015, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia
Catatan:
1. Similarity 14%.
2. Footnote lebih dirapikan lagi, sebab ada yang diulang tapi masih
dicantumkan semua keterangannya.
3. Membuat paragraf sebaiknya tidak hanya satu dua kalimat saja,
tetapi paling tidak lima kalimat agar enak dibaca.
[1]Murtada
Muthahhari dan M. Baqir Ash-Shadr, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh
Perbandingan, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), hlm. 131.
[2]Syahrul Anwar, Ilmu
Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor: Graha Indonesia, 2010), hlm. 99.
[4] Abdul Wahhab
Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh. Terj. Noer Iskandar
al-Barsany, ( Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002), hlm. 151.
[5]Syahrul Anwar, Op.
Cit., hlm. 100.
[6] A. Basiq
Djalil, Ilmu Ushul Fiqih satu dan dua, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.
42-43
[7] Nazar Bazry, Fiqh dan Ushul
Fiqh, ( Jakarta : Rajawali, 1993), hlm. 150.
[8]Syahrul Anwar, Op.
Cit., hlm. 100.
[9] Nazar Bazry,Op. Cit.,hlm
150.
[10]Syahrul Anwar, Op.Cit.,
hlm. 108.
[12]Amir
Syaifuddin, Garis-garis besar Ushul
Fiqih, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2012), hlm. 16
[14]Abdul Wahhab
Khallaf, Op.Cit., hlm. 353.
[17]Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), hlm. 317
[18]Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hlm.
155
[19]
Firdaus, Ushul Fiqh : Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam
SecaraKomprehensif, (Jakarta Timur: Zikrul Hakim, 2004), hlm. 273-274
[20]Alaiddin Koto, Ilmu
Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 156
[21]
Ibid., hlm. 157-158
[22] Satria
Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 75
Tidak ada komentar:
Posting Komentar