AL-A’MM DAN AL-KHAS, MUTLAQ MUQAYYAD
Alfian Imam
Qolyubi (15110248), Nur Alvi Lailaturrokhmah (16110100), Reza Selvia
(16110106)
Mahasiswa PAI F
Angkatan 2016
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email : rezaselvia005@gmail.com
Abstract
This article describes the rules and provisions used in
understanding the texts of the Qur'an and the Sunnah of the Prophet correctly
in accordance with the proper provisions of Arabic. The rule in the term Ushul
Fiqh is known as Kaidah Lughowiyah. To understand pronunciation in Arabic, we
need approaches with certain conditions, because understanding Arabic cannot
directly understand the meaning. This requires certain methods to understand
the Alquran and Sunnah arguments. Therefore, the scholars of the scholars
examine what methods are used to understand the meaning of the pronunciation in
which there are various meanings. However, in this discussion only limited to
pronunciation is reviewed in terms of the meaning created for him which
includes: Amm (general), Typical (special), Mutlaq (definite) and Muqayyad
(bound).
Keywords: ‘Amm, Khas,
Mutlaq, Muqayyad
Abstrak
Artikel ini menjelaskan tentang kaidah-kaidah serta ketentuan-ketentuan
yang digunakan dalam memahami nash-nash Al-Quran dan Sunnah Nabi
secara benar sesuai dengan ketentuan bahasa Arab yang semestinya. Kaidah
tersebut dalam istilah Ushul Fiqh dikenal dengan sebutan Kaidah Lughowiyah.
Untuk memahami lafal dibutuhkan pendekatan-pendekatan dengan kententuan
tertentu, dikarenakan dalam memahami bahasa arab tidak bisa langsung dengan
mudah memahami maksudnya. Hal tersebut membutuhkan metode-metode tertentu untuk
memahami dalil-dalil Alqur’an dan Sunnah. Maka dari itu, para
jumhur ulama meneliti apa saja metode-metode yang digunakan untuk memahami
maksud dari lafal yang di dalamnya terdapat berbagai kandungan makna. Namun,
dalam pembahasan ini hanya terbatas pada lafal yang ditinjau dari segi makna
yang diciptakan untuknya yang meliputi : ’Amm (umum), Khas
(khusus), Mutlaq (pasti) dan Muqayyad (terikat).
Kata Kunci: ‘Amm, Khas,
Mutlaq, Muqayyad
A.
PENDAHULUAN
Sumber hukum islam yang utama yaitu Al-Qur’an
dan Sunnah. Baik Al-Qur’an maupun sunnah menggunakan bahasa Arab. Dalam bahasan ushul fiqh, bahasa
Arab adalah salah satu ilmu pendukung yang sangat penting dalam rangka menggali
dan memahami hukum syara’ yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah. Untuk
itu pemahaman tentang bahasa arab sangat diperlukan guna memudahkan para
mujtahid untuk memahami isi yang terkandung didalam Al-Qur’an maupun sunnah.
Pemakaian ilmu bahasa Arab digunakan untuk mengetahui makna-makna lafadz
yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an ataupun sunnah sehingga para mujtahid bisa
menetapkan hukum sesuai dengan nash yang ada. Dalam menetapkan
hukum, para mujtahid menggunakan beberapa kaidah. Kaidah ini diperlukan karena lafadz yang tertulis dalam nash kadangkala berbeda makna dan maksudnya ketika
dilakukan penelitian. Oleh karena itu, para ulama telah menetapkan kaidah yang
bisa digunakan untuk memahami dalil-dalil naqli yaitu dengan menggunakan kaidah
lughawiyah. Kaidah ini dijadikan patokan dalam istinbath hukum islam karena
kaidah ini dipergunakan dalam menggali dan memperoleh hukum-hukum syara’ dari
dalil-dalil yang terperinci.
Dalam Al-Qur’an banyak dijumpai istilah yang biasa dipakai
untuk menunjukkan makna tertentu, seperti lafal amm khas, muthlaq muqayyad, dan
lain sebagainya.Untuk bisa memahami dengan baik dan benar bahasa Al-Qur’an
tersebut para Ulama telah mengadakan penelitian terhadap beberapa lafal,
khususnya yang terkait dengan ushlub atau gaya bahasa Arab.
B. Al-A’mm dan Al-Khas
1.
Al-A’mm
a.
Pengertian
‘Amm
Lafadz ‘Amm jika dilihat dari segi bahasa berarti mencakup
keseluruhan atau yang umum. Sedangkan menurut istilah pengertian ‘am dalam ilmu
ushul fiqh yaitu suatu lafal yang digunakan untuk menunjukkan suatu makna pada jumlah
yang banyak yang mencakup seluruh satuan-satuan yang tidak terbatas.[1]
Misalkan seperti pada lafal al-insan (الْاٍنسان ). Lafadz tersebut berarti manusia. Yang pada lafadz ‘am
diartikan manusia secara keseluruhan dengan berbagai bentuk jenis manusia baik
yang berjenis kelamin laki-laki maupun berjenis kelamin perempuan.[2]
Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa lafadz ‘am merupakan
suatu lafadz yang meliputi semua pengertian yang dapat mencakup seluruh bagian
satuan-satuan yang tanpa batas. Jika terdapat suatu lafadz yang menunjukkan
kuantitas satuan yang terbatas maka bukanlah disebut dengan ‘am. Seperti pada
lafadz رَجُلٌ yang bermakna “seorang
laki-laki” tidak menunjukkan pada sesuatu yang umum. Pada perkataan
“sekelompok, seratus, lima, sepuluh” juga bukan termasuk pada lafadz ‘am
dikarenakan dibatasi dengan jumlah.[3]
b.
Lafadz-lafadz
‘Amm
1)
Lafal
kullun (كل ), jami’un (جميع)
, kaffah (كافة) dan ma’syara (معشر)
Contoh lafal kullun
:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ
“Tiap-tiap yang
bernyawa pasti akan merasakan mati”. QS. Ali Imran: 185.
Contoh lafal jami’un :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dialah (Allah) yang menjadikan segalanya yang ada di bumi untuk
kalian”. QS. Al-Baqarah (2) : 29.
Contoh lafal kaffah :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً
لِّلنَّاسِ
“Dan kami tidak
mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya”. QS. Saba’: 28.
Contoh
lafal ma’syara:
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ
“Hai golongan jin dan manusia”. QS. Al-An’am: 130.
2)
Isimal-maushul
Seperti pada
lafal : al-ladzi (الذي ) , al-ladzina (الذين
) , allati (اللاّتي )
Contoh pada
lafal al-ladzina:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ
الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ
وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).
QS. An-Nisa (4):
10.
3)
Isim
istifham (kata tanya)
Seperti pada
lafal : man (من ) “siapa”, ma ( (ما”apa”, mata (متى)
“kapan”.
Contoh man
:
قَالُوا مَن فَعَلَ هَٰذَا بِآلِهَتِنَا
إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ
Mereka berkata :
“Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesunguhnya
dia termasuk orang yang zalim.”
QS. Al-Anbiya : 59
Contoh ma :
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ
“Apakah yang
memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?”
QS. Al-Mudatstir:
42.
Contoh mata :
مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ
قَرِيبٌ
“Bilakah datangnya
pertolongan Allah? Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”.
QS. Al-Baqarah: 214.
4)
Isim syarat
Seperti pada lafal
: man (من ) “barangsiapa”, ma (ما)
“apa saja”, ayyuma (أيما ) “yang mana saja”.
Contoh pada lafal ma:
وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ
وَأَنتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu
akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya
(dirugikan)”. QS. Al-Baqarah: 272.
5)
Isim
Nakirah dalam penyusunan kalimat yang menunjukkan pengertian nafi
(negatif).
Seperti contoh
dalam sabda Rasulullah SAW :
لا هجرة بعدالفتح
“Tidak wajib hijrah setelah Mekkah ditaklukkan”.
HR. Bukhari dan Muslim
Isim nakirah
pada hadis tersebut terdapat pada lafal هجرة yang merupakan lafal umum karena di dahului
oleh lafal nafi (negatif).
6)
Lafal
isim mufrad yang di ta’rifkan dengan alif lam jinsiyah atau
dengan idhafah.
Contoh isim mufrad yang di
ta’rifkan dengan alif lam (ال ) :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ
“Padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. QS. Al-Baqarah: 275.
Contoh isim
mufrad yang di ta’rifkan dengan idhafah:
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ
“Dan jika kamu
menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menhinggakannya”. QS. Ibrahim: 34.
Contoh isim jama’ yang di
ta’rifkan dengan alif lam (ال ) :
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ
وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا
قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan”. QS. An-Nisa : 11.[4]
c.
Macam-Macam
‘Amm
Lafal ‘amm dikategorikan menjadi tiga macam:
1)
Lafal
‘amm yang bersifat umum, karena disertai oleh qarinah (petunjuk) yang tidak
mungkin bisa ditakhsis.
Contoh dalam
QS. Hud ayat 6:
وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى
اللَّهِ رِزْقُهَا
“Dan tidak ada
satupun binatang yang melata di bumi ini melainkan Allah yang memberi
rezekinya.” (QS. Hud: 6)
Contoh dalam
QS. Al-Anbya ayat 30:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ ۖ
“Dan dari air Kami jadikan segala
sesuatu yang hidup.” (QS. Al-Anbya:30)
Pada kedua ayat tersebut terdapat
‘amm qathi yang menunjukkan sifat umum, tidak dimaksudkan pada makna yang
khusus. Sehingga tidak bisa di takhsis.
2) Lafal
‘Amm yang bersifat khusus, karena adanya qarinah (petunjuk) yang menunjukkan
kekhususannya.
Contoh :
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ
اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ
“Mengerjakan haji adalah suatu kewajiban manusia
terhadap Allah.” (QS. Al-Imran: 97)
Pada ayat tersebut terdapat lafal “manusia” yang
merupakan lafal umum. Yang dimaksud dengan manusia pada ayat tersebut adalah
para mukallaf. Karena dengan akalnya, anak kecil dan orang gila bukan
termasuk ke dalamnya.[5]
3) Lafal
‘Amm yang tidak di dampingi oleh qarinah yang meniadakan hal yang di takhsis
dan tidak adanya qarinah yang menafikan kemungkinan tetap terhadap keumumannya.
[6]
Contoh:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ
قُرُوءٍ ۚ
“Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan (menungu/beriddah) tga kali quru.” (QS. Al-Baqarah: 228).[7]
d.
Dilalah ‘Amm
Para
jumhur ulama menyatakan bahwa dalalah ‘amm adalah zhaniyyah. Dikarenakan
lafal-lafal ‘am kadangkala hanya dapat digunakan untuk salah satu dari
keseluruhannya. Para jumhur ulama menegaskan dengan suatu ketentuannya yaitu:
مامنعامالاوقدخصص
“Tidak
ada satu lafal yang umum kecuali (lafal itu) ditakhsish.”
Oleh sebab itu, jika ditemukan lafal
‘amm disarankan untuk mencari takhsisnya. Jika terdapat nash yang menunjukkan
sebagian dari ‘amm itu dikeluarkannya, dilalahnya adalah zhanniyah.
Seperti
contoh dalam firman Allah:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ
قُرُوءٍ ۚ
“Perempuan-perempuan
yang bercerai dari suaminya hendaklah beridah selama tiga quru’.” (QS.
Al-Baqarah: 228)
Dalam
ayat tersebut perempuan yang di talak dari suaminya hendaknya beriddah tiga
quru’, hal tersebut berlaku untuk semua bentuk dan keadaan perempuan yang
bercerai baik perempuan itu hamil maupun tidak. Selanjutnya, ketentuan tersebut
di takhsis bahwa bagi wanita yang hamil, iddahnya adalah setelah melahirkan.
Ketentuan tersebut tercantum dalam surah Al-Thalaq ayat 4:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ
أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ
“Dan
perempuan yang hamil iddahnya yaitu sampai melahirkan kandungannya”.[8]
2.
Al-Khas
a.
Definisi
Al-Khas
Khas ialah isim fa’il yang
berasal dari kata kerja :
خصَّصَ يُحْصِّصُ يَخْصِيْصًا خاَصٍّ
“Yang mengkhususkan atau
menentukan”[9]
Definisi khas adalah antonim
dari definisi ‘amm (umum). Dengan demikian, jika sudah memahami definisi
lafadz ‘amm secara tidak langsung juga dapat memahami definisi lafadz khas.
Al-Amidi menyebutkan definisi khas
sebagai berikut :
هو اللفظ
الواحد الذى ال يصلح الشرتاك كثريين فيو
“Suatu lafadz yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah banyak”.
Al-Khudahari Beik memberi definisi sedikit
berbeda tentanga lafadz khas :
هو
اللفظ ادلوضوع لداللة على معىن واحد على سبيل االنفراد
“Lafadz yang obyeknya adalah dilalah yang bermakna satu dengan cara satu
per-satu”.[10]
Menurut definisi yang terakhir, lafadz khas
ditentukan untuk menunjukkan arti tertentu (khusus).
Baik ditunjukan untuk pribadi seseorang, seperti lafadz Muhammad, Abdullah (nama
orang), ditunjukan untuk macam sesuatu seperti lafadz insaanun (manusia)
dan rajulun (orang laki-laki), ditunjukan jenis sesuatu seperti lafadz hayawwanun
(hewan). Juga bisa untuk menunjukkan benda konkret seperti lafadz ‘ilmun
(ilmu) dan jahilun (kebodohan). Atau, secara i’tibari (anggapan)
seperti lafadz-lafadz yang diciptakan untuk memberi pengertian banyak yang
terbatas, seperti lafadz tsalatsatun (tiga), mi’atun (serratus), jam’un
(seluruhnya), dan fariqun (sekelompok).[11]
b.
Dalalah Al-Khas
Lafadz khas dalam nash syara’
dalalah ma’nanya adalah qathi (pasti) dan dalalah hukumnya
juga qathi’, bukan dzanni selama tidak ada ada dalil yang
memalingkannya kepada ma’na yang lain. Misalnya
lafadz tasalatsah dalam firman Allah :
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
فِي الْحَجِّ
“…Tetapi
jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa
tiga hari dalam masa haji…”. (Q.S
Al-Baqarah : 196.
Lafadz tsalatsah
termasuk lafadz khas yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih
dari makna yang dikehendaki oleh lafadz itu sendiri, yaitu puasa tiga hari.[12]
c.
Macam-macam Lafadz Khas
a.
Lafadz khas yang mutlaq
Lafadz khas yang mutlaq ialah lafadz
yang tidak diikuti/ tidak dibatasi oleh syarat apapun. Contohnya :
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
“….maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak
sebelum kedua suami isteri itu bercampur…”. (Q.S Al-Mujadilah : 3)
Lafadz rqabatin (budak) dalam ayat teserbut
ialah lafadz khas yang mutlaq karena tidak diberi qayyid (pembatas)
dengan sifat tertentu. Dengan demikian, lafadz raqabatin dapat menckup
seluruh macam budak baik budak mukmin ataupun kafir.
b.
Lafadz
khas yang muqayyad
Lafadz khas yang muqayyad ialah lafadz khas yang
dibatasi oleh suatu syarat tertentu. Contohnya :
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ
“…dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu)…”. (Q.
S An-Nisa : 92)
Dalam ayat diatas terdapat tiga buah lafadz khas
yang muqayyad. Pertama, qatala (membunuh). Lafadz itu
dibatasi dengan lafadz khatha’an (karena salah). Dengan demikian,
kewajiban membayar kaffarah dibebankan terhadap pembunuhan yang dilakukan
karena kelalaian, bukan karena alasan yang lain. Kedua, lafadz raqabathin (hamba
sahaya). Lafadz ini dibatasi dengan lafadz mu’minah (yang beriman). Oleh
karena itu, tidaklah cukup memerdekakan hamba sahaya yang tidak beriman.
Ketiga, lafadz diyatun (denda). Lafadz ini dibatasi dengan lafadz musallamatun
(yang diserahkan). Dengan demikian, denda itu harus diserahkan kepada
keluarga orang yang terbunuh.
c.
Bentuk
Amr (Perintah)[13]
Jika lafadz khusus yang ada pada nash syara’ berbentuk
perintah atau bentuk berita yang memiliki arti perintah maka itu artinya wajib,
yaitu menuntut sesuatu yang diperintahkan atau yang diberitakan secara tetap
dan pasti. Contoh firman Allah SWT :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri, potonglah tangan keduanya…”. (Q.S Al-Maidah : 38)
Ayat tersebut berarti kewajiban
memotong tangan pencuri lak-laki dan perempuan.
Jika ada alasan
tertentu maka bentuk perintah dapat dibelokkan dari arti kewajiban ke arti lain
yang dapat dipahami dari isi alasan tertentu itu, misalnya berarti mubah )
boleh dalam firman Allah :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“…dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar…” (Q.S
Al-Baqarah : 178)
Ayat ini membolehkan untuk makan dan minum hingga
terbit fajar.
d.
Bentuk
Nahi (Larangan)
Nahi adalah lafadz yang dipakai
untuk menuntut agar meninggalkan suatu larangan.[14]
Larangan ini memiliki arti haram. Firman Allah SWT :
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ
“Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman…” (Q.S Al-Baqarah : 221)
Ayat tersebut
memberikan pengertian bahwa haram bagi seorang laki-laki muslim menikahi wanita
musyrik.[15]
Atau dalam
Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 23 :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
“Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;…” (Q.S An-Nisa : 23
Ayat tersebut
adalah bentuk kalimat berita. Kalimat tersebut memberitakan bahwa seseorang itu
diharamkan menikahi ibu dan anak perempuannya. Meskipun demikian kalimat
tersebut diartikan selaku tuntutan untuk ditinggalkan atau haram untuk
dilakukan.[16]
d.
Pembagian
Mukhasis (Dalil Yang Mengkhususkan)[17]
Mukhasis ada dua bentuk, pertama mukhasis yang bersambung,
kedua mukhasis yang terpisah.
a.
Mukhasis
Muttasil
Mukhasis yang bersambung ialah apabila makna dari suatu dalil yang
mengkhususkan mempunyai hubungan yang erat dengan kalimat umum sebelumnya.
Contoh : seseorang berkata dia
sendiri tidak menjaga kebersihan. Perkataan itu tidak akan ada apabila
tidak didahului dengan kalimat sebelumnya.
Ada beberapa macam mukhasis
Muttasisil diantaranya yaitu :
1)
Pengecualian
(Al-Istisna’)
إِنَّ الْإِنْسَانَ
لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan beramal shaleh”. (Q.S Ashr : 1-2)
Jadi yang dikhususkan pada ayat tersebut adalah orang-orang yang
beriman dan beramal shaleh. Pengkhususan pada ayat tersebut ialah dengan jalan
mengecualikan, yakni dengan memakai huruf istisna (إِلاَ)
2)
Syarat
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ
إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“...Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah....” (Q.S. Al-Baqarah : 228)
Dalam ayat tersebut dikatakan, lebih berhak kembali pada
istrinya. Maksudnya yaitu ketika dalam masa iddah, tetapi dengan syarat jika
kembalinya dengan maksud islah. Lafadz yang menunjukkan pada ayat tersebut
adalah “Jika” (إِنَ)
3) Sifat
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
“…Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman…”. (Q.S An-Nisa : 92)
Sifat yang mengkhususkan pada
ayat teresebut adalah sifat mukmin, yakni yang dimerdekakan itu harus atau
dikhususkan pada hamba yang mukmin.
4) Kesudahan
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
“….Dan
janganah kamu mendekati mereka hingga suci…”. (Q.S
Al-Baqarah : 222).
Lafadz “sehingga” (حَتَّى) diayat tersebut mengkhususkan bahwa boleh didekati
apabila telah suci.
5) Sebagian ganti
keseluruhan
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ
اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلً
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah,
yaitu (bagi) siapa yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…”. . (Q.S Ali-Imran : 97)
Lafadz (مَنْ) dan sesudahnya pada ayat tersebut, mengkhususkan
keumuman sebelumnya, arti sebagian orang yang “mampu”, mengganti keumuman
wajibnya manusia untuk haji.
b.
Mukhasis Munfasil
Mukhasis Munfasil ialah makna dalil umum sama dengan makna dalil yang
menkhususkannya, masing-masing berdiri sendiri yaitu tidak berkumpul tetapi
terpisah.
Ada beberapa macam mukhasis munfasil diantaranya
yaitu :
1)
Kitab di-takhsis dengan kitab.
Yaitu dalil umum dan yang mengkhususkannya ada dalam
Al-Qur’an.
Contoh :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'….”. (Q.S Al-Baqarah : 228)
Ayat diatas umum dan mencakup wanita hamil, maka ada ayat
lain yang mengkhususkan bagi wanita hamil yang berbunyi :
وَأُوْلَاتُ
الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“…Dan perempuan-perempuan yang
hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya…”
(Q.S At-Talaq : 4)
2) Kitab di-takhsis
dengan sunnah
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ
مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan”. (Q.S
An-Nisa : 11)
Ayat tersebut bersifat umum, yaitu mencakup anak yang
kafir, kemudian ada hadits yang mengkhususkannya yaitu :
لا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الكَافِرَ، ولا يَرِثُ
الكَافِرُ الْمُسْلِمَ
“Orang muslim tidak bisa wewarisi orang kafir (begitu juga
sebaliknya) orang kafir tidak bisa mewarisi orang muslim” (H.R Bukhari)
3)
Sunnah di-takhsis dengan kitab
لا يَقْبَلُ
اللَّهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak akan menerima
shalat salah seorang diantara kalian jika dia berhadats sampai dia wudhu”. (H.R Bukhari,
Muslim)
Hadits tersebut adalah umum, yaitu termasuk dalam keadaan
tidak memperoleh air, kemudian dikhususkan oleh ayat yang berbunyi :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ
جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
“…dan jika kalian dalam keadaan sakit, atau safar, atau salah
seorang dari kalian datang dari tempat menunaikan hajat, atau kalian
“menyentuh” perempuan, kemudian kalian tidak mendapatkan air maka
bertayammumlah kalian dengan debu yang suci…”. (Q.S An-Nisa : 43)
Hadits yang di-takhsis ayat tersebut hanya
sekedar contoh karena mengenai takhsis sunnah dengan kitab mengandung
beberapa kelemahan :
·
Harus ada keterangan bahwa hadits tersebut lebih dahulu
adanya (wurudnya), daripada dalil yang mengkhsuskannya.
·
Hadits tersebut merupakan salah satu dalil syara yang
bersifat dzanni, sedangkan ayat yang mengkhususkan bersifat qathi’.
·
Hadits tersebut
sejajar atau sama keumumannya dengan ayat Al-Qur’an yang berbunyi :
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْ
“Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah
wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu
sampai ke kedua mata kaki…”. (Q.S
Al-Maidah : 6)
4)
Sunnah di-takhsis dengan sunnah
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُوْنُ، أَوْ
كَانَ عَثَريّاً : الْعُشُرُ، وَمَا سُقِيَ باِلنَّضْحِ: نِصْفُ الْعُشُرِ
“Pada pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang
menggunakan penyerapan akar (Atsariyan) diambil sepersepuluh dan yang disirami
dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh”. (H.R al-Bukhari)
Hadits
tersebut di-takhsis dengan hadits :
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسَاقٍ صَدَقَةٌ
“Hasil tanaman yang kurang dari 5 wasaq tidak ada kewajiban shadaqahnya” (H.R Bukhari dan Muslim)
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera…”. (Q.S An-Nur : 2)
Ayat tersebut di-takhsis dengan ayat yang
menerangkan hukum dera terhadap ammat yang hanya didera separuh dari
ketentuan ayat yaitu 50 kali dera. Allah SWT berfirman dalam Q.S An-Nisa : 25
فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ
مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ
“…Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji
(zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami…”. (Q.S An-Nisa : 25)
Sedangkan untk ‘abd
diqiyaskan kepada ammat yaitu setengah dari ketentuan yang
disebutkan diatas.
C.
Mutlaq dan Muqayyad
a.
Mutlaq
Secara
etimologi kata Mutlaq (المطلق) berarti suatu hal yang bebas tanpa ikatan apapun[19].
Secara istilah Mutlaq dapat dipahami sebagai sebuah bentuk lafadz yang
menunjukkan suatu hakikat tertentu tanpa terpengaruh oleh lafadz atau kata
apapun dalam arti lain ia masi terbebas dari kata yang lain yang dapat
memberikan batasan pada keluasan artinya. Dari pemahaman diatas dapat kita
simpulkan bahwasanya Mutlaq ini pada umumnya hampir sama dengan Nakirah.
Contoh
:
·
Al Insaan atau
An Nass
·
Yeum Atau Ayyam
·
Sajarah Atau
Asjer
·
Surah Al Mujadalah
Ayat 3
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
“Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang
hamba sahaya sebelum kedua suami isteri itu
bercampur”.(Q.S Al-Mujadalah : 3) [20]
Jadi
posisi lafadz mutlaq pada ayat diatas terletak pada kata Hamba رَقَبَةٍ
dalam artian posisi hamba disini luas, tidak terikat arti apapun selain arti
kata hamba, baik itu hamba yang mukmin ataupun tidak.
b.
Muqoyyad
Muqayyad
adalah :
ما د ل على فرد أو أفراد شائعة بدون قيد مستقل لفظا
"Lafadz
yang memberi petunjuk terhadap satu atu beberapa satuan yang bersifat
melingkupi, tanpa diiringi ikatan apa-apa yang terpisah”.[21]
Ketika
penjelasan sebelum muqoyyad menyebut bahwasanya mutlaq adalah suatu lafadz yang
hadir tanpa suatu pembatas dan menunjukkan suatu keluasan artinya, maka
Muqoyyad dapat kita artikan sebagai suatu lafadz yang menunjukkan suatu istilah
yang mengikat dan mempersempit atau dalam kata lain memperpendek keluasan
artinya. Dari pemahaman diatas dapat disimpulkan bahwasanya, Mutlaq sifatnya
umum dan dapat disamakan dengan Am, sedang Muqoyyad sifatnya khusus, atau bisa
kita samakan dengan Khash.
Contoh :
·
Yeumul Jum’ah
·
Al Insanu
Indonesia
·
Surah An-Nisa
ayat 92
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ
يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh
seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan
barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman”. (Q.S An-Nisa :
92)
Pada
ayat diatas lafadz yang menunjukkan adanya lafadz Muqoyyad terletak pada
kalimat فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ yang artinya hanya boleh memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman. Hal ini menunjukkan lafadz muqoyyad karena kata “hamba sahaya” disini
dibatasi oleh kata mu’minatun atau kata setelahnya dalam arti lain hanya
untuk hamba sahaya yang beriman saja.
c.
Ketentuan Hukum
dalam Lafadz Mutlq dan Muqoyyad
Pada
dasarnya, para ahli ushul fiqh sama-sama sepakat bahwa sifat hukum yang
terdapat ataupun menunjukkan suatu lafadz mutlaq harus diamalkan sesuai dengan
kemutlakannya, selama tidak ada satupun dalil yang mempersempit sifat
kemutlakan hukum tersebut. Begitupun dengan lafadz muqayyid, ulama juga
bersepakat akan pengamalan muqayyid dengan keharusan sesuai dengan
muqayyidannya..[22]
Meskipun
demikian, yang menjadi sebuah persoalan ialah bagaimana apabila terjadi kasus
yang membuat kedua lafadz ini bertemu dalam satu hukum, di mana satu hukumnya
menggunakan lafadz mutlaq dan di tempat lain menggunakan lafadz muqoyyad.
Pada
penyelesain kasus tersebut, para ahli ushul fiqh membuat sebuah 5 opsi atau
pilihan sebagai jalan keluarnya. Tetapi tidak semua opsi mereka sepakati.
1.
Yang disepakati
a) Hukum
dan sebab hukumnya sama
Apabila hukum Allah mengatakan bahwasanya dalam satu
ayat mengatakan dengan lafadz muthlaq dan di ayat yang lain penggunaan kata
dalam ayat tesebut memakai lafadz Muqoyyad maka yang perlu difahami adalah
Lafadz muqoyyad adalah penjelas dari lafadz Muthlaq.
Contoh
Muthlaq :
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
“Diharamkan
atasmu bangkai, darah dan daging babi....”. (Q.S Al-Maidah : 3)
Contoh
Muqoyyad :
قُلْ لَا أَجِدُ
فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ
يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ
“Katakanlah,
tidaklah aku peroleh di dalam wahyu yang
diturunkan kepadaku, akan sesuatu makanan yang haram atas orang yang hendak
memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi....”(Q.S Al-An’am 145)
Penjelasan :
·
Ayat pertama
mengatakan bahwa hukumnya adalah haram memakan darah baik darah yang beku
maupun yang mengalir menunjukkan bahwa ayat pertama mempunyai lafadz mutlaq,
dan ayat kedua hanya menyebut darah yang mengalir.
·
Sebab sama,
yakni hendak dimakan
Dari
ayat kedua ayat diatas maka yang diberlakukan adalah lafadz Muqoyyad, dalam
arti lain lafadz mutlaq diikutkan kepada Lafadz Muqoyyad, akibatnya ketentuan
hukum yang diberlakukan memakai ayat yang kedua yakni Darah yang mengalir
adalah haram dan yang beku seperti limpa dan hati tidak haram.[23]
b) Hukum
dan Sebab hukumnya berbeda
Pada
kondisi ini, dalam sebuah kasus hukum lafadz mutlaq dan lafadz muqoyyad
sama-sama dimunculkan namun tidak memiliki keterkaitan dan tidak memiliki
kesamaan sebab dan hukum yang sama.[24]
c) Sebab
hukumnya sama tapi hukumnya berbeda.
Jika
dalam suatu kasus hukum kedua lafadz ini memiliki hukum yang sama namun
memiliki perbedaan sebab, maka keduanya tetap pada artinya masing-masing[25]
2. Yang
masih diperselisihkan
a) Sebab
hukumnya sama, tapi sebabnya berbeda
Apabila yang berbeda adalah sebabnya maka ulama
ushul fiqh berpendapat.
·
Imam Syaifii :
Arti Lafadz mutlaq diikutkan pada arti lafadz Muqoyyad
·
Imam Hanafi –
Imam Maliki : Keduanya memiliki arti masing-masing dalam arti lain keduanya tetap pada artinya
sendiri.[26]
b)
Sebab hukumnya
sama , tetapi objek dan Hukumnya berbeda.
Ketika objek dan hukumnya berbeda meskipun sebab
hukumnya sama, ulama ushul fiqih berbeda pendapat:
·
Kelompok
Syafiiyah, Malikiyyah dan Hanabilah : mereka berpendapat bahwasanya lafadz
mutlaq harus diikutkan pada lafadz muqayyad maka dari itu karena pandangan
inilah zakat fitrah tidak diwajibkan bagi hamba sahaya.
·
Kelompok
Hanafiyyah : mereka memiliki pendapat bahwa lafadz mutlaq tak harus diikutkan
dengan lafadz muqayyad, yang pada akhirnya hukum zakat fitrah bagi hamba sahaya
dalam pemahaman mereka masih dikategorikan wajib.[27]
D. KESIMPULAN
Kaidah-kaidah ushul fiqh merupakan salah satu ilmu yang sangat penting dan
diperlukan guna menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, khususnya dalam menetapkan
hukum-hukum syari’ah. Sebagian diantara kaidah-kaidah dalam menafsirkan
Al-Qur’an yang dirumuskan oleh pakar-pakar ushul fiqh itu berupa lafadz am dan
khas, mutlaq dan muqayyad.
Amm adalah suatu perkataan yang memberi pengertian
umum dan meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam perkataan itu dengan
tidak terbatas, misalnya al-Insanyang berarti manusia.
Sedangkan lafadz Khas ialah lafadz yang berlaku bagi seseorang yang namanya
disebutkan seperti Muhammad atau seseorang yang disebutkan jenisnya umpamanya
seorang lelaki atau beberapa orang tertentu seperti tiga orang, sepuluh orang,
seratus orang, sekelompok orang. Oleh karena itu, lafadz Khas tidak mencakup
semua namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
Mutlaq ialah lafal-lafal yang menunjkkan
kepada pengertian dengan tidak ada ikatan (batas) yang tersendiri berupa
perkataan. Sedangkan Muqayyad ialah suatu lafal yang menunjukkan atas pengertian
yang mempunyai batas tertentu berupa perkataan.
DAFTAR PUSTAKA
Al Hakim, Sofian. “Konsep Dan Implementasi Al-‘Amm Dan
Al-Khash Dalam Peristiwa Hukum Kontemporer”, Asy-Syari’ah. 17(1) : 2015.
Djalil, Basiq. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana,2010.
Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta:
Kencana,2005.
Khallaf,
Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995.
Muslimin. “Urgensi Memahami Lafaz ‘Am dan Khos Dalam Al-Qur’an”, Tribakti Jurnal Pemikiran Keislaman. 23(2): 2012.
Suyatno. Dasar-dasar
Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Syarifuddin, Arif. Garis-garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012.
Wahhab
Khallaf, Abdul. Ilmu Ushul Fikih. Terjemahan oleh Faiz el Muttaqin. Jakarta:
Pustaka Amani,2003.
Yusuf,
Nasruddin. Pengantar Ilmu Ushul Fiqh. Malang: IKIP Malang, 2012.
Zein, Ma’shum. Menguasai Ilmu Ushul Fiqh. Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2016.
Catatan:
1. Similarity 11%.
2. Untuk jurnal, yang ditulis
miring adalah nama jurnalnya, bukan judul artikelnya. Judul tetap tegak tetapi
diapit oleh tanda petik.
3. Belum ada penjelasan mengenai
dilalah qath’i dan zhanni dalam lafad ‘aam, dan ziyadah dalam lafad khas.
[1]
Nasruddin Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh, (Malang: IKIP Malang, 2012),
hlm. 101.
[2]
Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2016), hlm. 279.
[3]
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2011), hlm. 194.
[4]
Nasruddin Yusuf, Op.Cit, hlm. 101-104.
[5]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995),
hlm.232.
[6]
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012), hlm.111.
[7] M.
Ma’shum Zein, Op.Cit. hlm.286.
[8]
Suyatno, Op.Cit. hlm.195-196
[9]Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta : Kencana,2010),
hlm. 87
[10]Sofian Al Hakim, “Konsep Dan Implementasi Al-‘Amm Dan Al-Khash Dalam
Peristiwa Hukum Kontemporer, Asy-Syari’ah Vol. 17 No.1, April 2015,hlm. 81
[11]
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, (Jogjakarta : Ar-Ruzz
Media, 2011), hlm. 191
[12]
Ibid, 192
[13]
Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu Ushul Fikih, Terj. Faiz el Muttaqin, (Jakarta
: Pustaka Amani, 2003), hlm286-287
[14]
Suyatno,Op.Cit., hlm. 193
[15]
Abdul Wahhab Khallaf, Op.Cit., hlm. 289
[16]
Suyatno.Op.Cit., hlm. 194
[17]
Basiq Djalil, Op.Cit., hlm. 88-93
[18]
Muslimin, Urgensi Memahami Lafaz ‘Am dan Khos Dalam Al-Qur’an, Tribakti
Jurnal Pemikiran Keislaman, Vol. 23 No. 2 Juli 2012,hlm. 113
[20]
Depag. RI, Al-Qur’an
[23]Ibid,hlm. 331
[24]Ibid, hlm. 332
[25]Ibid, hlm. 333
Tidak ada komentar:
Posting Komentar