AL-A’MM, AL-KHAS, DAN MUTLAK MUQAYYAD
Oleh: Hikmatul Laili (16110058), Ovie Pertiwi (16110085),
Syachshiyatul Qanita Lilhaqiqiyah (16110167)
Mahasiswa Jurusan
Pendidikan Agama Islam Kelas “C” Tahun 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: pertiwipertiwi84@gmail.com
Abstrac
In scince of Ushul Fiqih, there are some of
aspect for understand content in it, from languange and also text. in
understanding all og aspect there in an indicator summarized in the science of
Ushul Fiqih the name the rules of Ushuliyah. Where the rules of Ushuliyah
discuss science of Ushul Fiqih in terms og language used undestand of editor
from Al-Qur’an and As-Sunnah. In the rules of Ushuliyah related with the scince
of Ushul Fiqih there are some the rules used, as: al-Amm’, al-Khas, and
Mutlak Muqayyad. For understanding of Al-Qur’an and As-Sunnah in terms mean
or pronouncitation expertise required, so the scholars created systematically
the rules of Ushuliyah for help in giving discussion and explanation reasoning
the science og Ushul Fiqih contained in the Al-Qur’an and As-Sunnah. Because,
contained in the Al-Qur’an and As-Sunnah some are shaped amr (command), nahi
(prohibition), takhyir (choice).
Keywords:Al-amm’, Al-Khas, dan Mutlak Muqayyad
Abstrak
Dalam ilmu Ushul Fiqih, ada beberapa aspek
untuk memahami kandungan didalamnya, mulai dari bahasa dan juga teks.Dalam
memahami semua aspek tersebut ada indikator yang terangkum didalam ilmu Ushul
Fiqih, yang dinamakan dengan Kaidah Ushuliyah.Dimana Kaidah Ushuliyah membahas
ilmu Ushul Fiqih dari segi bahasa yang digunakan untuk memahami redaksi dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah sendiri.Dalam Kaidah Ushuliyah yang berkaitan dengan
ilmu-ilmu Ushul Fiqih ada beberapa kaidah yang digunakan, seperti al-Amm, al-Khas,
dan Mutlak Muqayyad. Untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunah dari segi makna
ataupun lafadz dibutuhkan keahlian yang mahir, oleh karena itu para ulama
menciptakan secara sistematik Kaidah Ushuliyah untuk membantu dalam memberikan
pembahasan serta penjelasan penalaran ilmu Ushul Fiqih yang tekandung dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab,
kandungan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah ada yang berbentuk amr (perintah),
nahi (larangan), dan takhyir (pilihan).
Kata Kunci: Al-amm’, Al-Khas, dan Mutlak Muqayyad
A.
Pendahuluan
Dalam ilmu Ushul Fiqih, terdapat beberapa indikator-indikator
didalamnya. Salah satunya yaitu kaidah-kaidah ushuliyah yang merupakan kaidah yang berkaitan dengan
Lughawi atau segi bahasa. Kaidah-kaidah ushuliyah merupakan aspek penting dalam
ilmu Ushul Fiqih sebab merupakan media yang digunakan dalam mempelajari
kandungan yang terdapat dalam sumber fiqih yaitu al-Qur’an dan As-Sunnah.Dalam
Kaidah Ushuliyah terdapat beberapa kaidah yang digunakan dalam memahami
Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti Al-Amm’, Al-Khas, dan Mutlak
Muqayyad.Kaidah-kaidah tersebut terangkum untuk memahami penalaran ilmu Ushul
Fiqih yang dipelajari.Sebab dalam ilmu Ushul Fiqih tak hanya dipelajari saja
tetapi untuk dipahami keseluruhan dalam segi lafadz dan juga teksnya.
Al-Amm’, Al-Khas, dan juga Mutlak Muqayyad merupakan kaidah yang
memudahkan untuk mempelajari ilmu Ushul Fiqih berdasrakan sumbernya. Para ulama
telah meciptakan kaidah-kaidah tersebut secara sistematik dan jelas dengan
menggunakan metode tersebut.Agar tidak terjadi kekeliruan dalam mempelajari
ilmu Ushul Fiqih.Secara garis besarnya, ada beberapa aspek dalam pemahaman
Ushul Fiqih, yaitu aspek kebahasaan, aspek tujuan, dan juga aspek penjelasan
tentang dalil yang bertentangan.Oleh karenanya, harus dipahami dengan jelas
tentang ilu Ushul Fiqih dari segala aspeknya, salah satunya dari segi lafadz,
makna, dan teksnya.
B.
Pembahasan
1.
Al-Amm’
a.
Pengertian Al-amm’
Mengenai pengertian Al-‘Amm sendiri para ulama
ushul memberikan beberapa definisi atau pengertian yang berbeda-berbeda namun
pada dasarnya mengandung maksud yang sama, walaupun redaksionalnya
berbeda-berbeda satu sama lainya, semisal menurut Syaikh Al-Khudari mengatakan
sebagai berikut :
العَامُ هُوَ اللَّفْظُ الدَّالُ عَلَى اسْتِغْرَاقِ أَفْرَادِ مَفْهُوْمٍ
Artinya:
“Al-‘Amm ialah lafal
yang menunjukkan kepada pengertian dimana di dalamnya tercakup sejumlah objek
atau satuan yang banyak”.[1]
Begitupula
Zaky Al-din Sya’ban mendefinisikan atau mengartikan Al-‘Am sebagai berikut : “Al-‘Amm
adalah suatu lafal yang di pakai yang cakupannya maknanya dapat meliputi
berbagai objek didalamnya tanpa adanya batasan tertentu”.[2]
Sedangkan
menurut Prof. Djazuli dan Dr. Nurol Aen dalam buku ushul fiqh metodologi hukum
islam juga mendefinikan Al-‘Am sebagai berikut: “Al-’Amm adalah suatu lafad
yang sengaja dikehendaki oleh bahasa untuk menunjukkan satu makna yang benar
yang dapat mencakup seluruh satuan-satuan yang tidak terbatas dalam jumlah
tertentu”.[3]
Sedangkan menurut Ja’far Amir
dalam buku ushul fiqh 1 juga mendefinikan Al-‘Am sebagai berikut: “Al-‘Am
adalah lafal yang mengandung arti umum yang menunjukkan banyak yang tak
terbatas yang dapat meliputi atau mengenai semua yang pantas termasuk dalam
arti lafal itu, sekaligus tercakup didalamnya, dengan tidak ada yang
ketinggalan.”[4]
Dari
semua definisi yang di sebutkan atau di kemukakan di atas baik oleh al khudori
maupun zaky al-din sya’ban dan yang lainya esensinya tidak berbeda. dengan
demikian, dapat di pahami bahwa hakikat keumuman lafal itu adalah karena lafal
itu sendiri di lihat dari segi karakteristik dan nilainya mengandung arti yang
banyak dan tidak menunjuk kepada objek tertentu saja. Dengan kata lain, suatu
lafal di kategorikan kepada umum jika kandungan maknanya tidak memberikan atau
mengatakan batasan jumlah objek yang tercakup di dalamnya.
b.
Shighat-shighat al-Amm’
Selain dari pengertian, Al-Amm’ sendiri memiliki shighat-shighat.Shighat
disini yang memiliki makna ucapan, ungkapan, serta lafal. Shighat-shighat dari
al-Amm’ untuk memberikan faedah terhadap al-Amm’, antara lain:
1.
Lafadz كل
(Setiap) dan جميع(Seluruhnya). Sebagai contoh, sabda Rasulullah
SAW, yang berbunyi:
كل راع مسؤولٍ عن رعيتِهِ
Artinya:
“Setiap pemimpin diminta pertanggungjawaban terhadap yang
dipimpinnya.”
Lafadz كل danجميع tersebut di atas, keduanya mencakup seluruh
satuan yang tidak terbatas jumlahnya.
2.
Lafadz Jamak (Plural) yang di ma’rifatkan dengan Idhafat
(إضافة) Atau dengan Alif-Lam al-Jinsiyat (ال الجنسية) sebagai contoh firman Allah dalam
surat al-Nisa’(4) ayat 11, yang berbunyi:
يوصيكم
الله فى أولاد كم...
Artinya:
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu”
Lafadz أولاد(anak-anak) dalam ayat di atas
adalah jama’, dan dia adalah nakirat. Namun, karena lafadz tersebut di idhafat
kan kepada lafadz كم. (kamu sekalian). Maka ia menjadi ma’rifat. Karena lafadz tersebut
menunjukkan atas semua satu-satuan yang dapat di masukkan ke dalamnya.
3. Lafadz Ism al-Mufrad اسم المفرد yang di ma’rifatkan dengan
alif-lam-al-jinsiyyat (ال
الجنسيية) sebagai contoh firman Allah dalam
Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 275, yang berbunyi :
....واحل الله البيع وحرم الربا...
Artinya
:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba..”
Kedua lafadz البيع
(jual-beli) dan الربا(riba) adalah ism
al-mufrad yang di ma’rifatkan dengan alif-lam al-jinsiyat. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua
satuan-satuan yang dapat di masukkan kedalamnya.
4.
Lafadz Asma’ al-Maushul(اسماء الموصول ) , seperti Ma (ما), al-Ladzina الذين,al-ladzi, الذىal-lati
التى al-la’iy
اللأى, dan lain sebagianya. Sebagai salah satu contoh, firman Allah dalam surat al-Nisa’ (4)
ayat 24, yang berbunyi :
...وَاحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذِلكٌمْ...
Artinya :“dan di halalkan bagi kamu selain yang demikian..”
Lafadz Ma ما(sesuatu) dalam ayat
tersebut adalah ism-al-maushul. Oleh karena itu, ia adalah ‘am yang mencakup
semua satuan-satuan yang dapat di masukkan ke dalamnya.
5. Asma’ al-Syarth اسماء الشرط , seperti من
(barangsiapa), (apa saja) dan
ايما(yang mana saja). Sebagai
salah satu contoh, firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 272, yang
berbunyi:
...وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ
فَلِأَنْفُسِكُمْ...
Artinya:
“...Dan
apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan
(di jalan Allah), maka (pahalanya) untuk dirimu sendiri..”
Lafadz ما (apa saja) dalam ayat tersebut
adalah ism al-syarth. Oleh karena itu, ia adalah ‘am yang mencakup semua
satuan-satuan yang dapat di masukkan ke dalamnya.
6. Asma’ al-Istifham ( أسماء الاستفهام = kata tanya),
seperti من (siapa), ماذا(apakah) dan متى
(kapan). Sebagai salah satu contoh, firman Allah dalam surat al-Anbiya’
(21) ayat 59, yang berbunyi :
قَالُوامَنْ فَعَلَ هَذَا بِالِهَتِنَا...
Artinya:
“Mereka bertanya: “Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap
tuhan-tuhan kami...”
Lafadz
من(siapa) dalam ayat
tersebut adalah ism al-istifham. Oleh karena itu. Ia adalah ‘am yang mencakup
semua satuan-satuan yang dapat di masukkan ke dalamnya..
7. Ism al-Nakirat اسم النكرةdalam susunan kalimat Nafy (النفى=Negatif).Sebagai contoh, sabda Nabi
yang berbunyi :
لا هجرة بعد الفتح
Artinya
:"tidak
wajib hijrah setelah mekah di taklukkan"
Lafadz هجرة (hijrah) adalah ism al-Nakirat. Namun, karena
lafadz tersebut dalam susunan kalimat nafy, yang di dahului oleh لاal-nafy, maka lafadz هجرة mengandung arti umum, yaitu
mencakup segala arti hijrah. Baik
hijrah dalam arti meninggalkan suatu tempat menuju tempat yang lain maupun
hijrah dalam arti meninggalkan larangan Allah menuju kepada sesuatu yang di
ridlai Allah.
Seluruh lafadz
di atas di maksudkan oleh bahasa untuk menunjuk kepada semua satuan-satuan arti
yang terkandung di dalamnya.Apabila seluruh lafadz tersebut tidak di maksudkn
demikian, maka lafadl-lafadl itu berlaku mujaziy, dan jika di artikan demikian,
maka harus ada qarinat, (petunjuk) yang memalingkanya dari arti yang haqiqiy
(sebenarnya) kepada arti yang majaziy.
c. Macam-Macam
Al-Amm’
Adapun mengenai macam-macam lafadz al-‘am jika di tinjau dari segi
penggunaanya ada tiga macam yaitu sebagai berikut:[5]
1.
عام يرادبه قطعاالعم Artinya al-‘am yang
secara pasti itu di maksudkan untuk umum. Yaitu al-‘am yang di sertai qorinat
dapat meniadakan kemungkinan untuk di tashih. Seperti contoh firman Allah dalam surat Hud : 6 yang berbunyi
وَمَا مِنْ دَابَةٍ فِى الأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا...
Artinya
:“dan tidak ada se ekor binatang yang melata pun di bumi, melainkan
Allah lah yang memberi rizkinya.”
Secara umum kedua ayat tersebut saling berkaitan dengan
sunnah Allah yang menjelaskan bahwa setiap binatang yang melata di muka bumi
ini pasti di beri rizki, dan segala sesuatu yang hidup itu di ciptakan dari
unsur air. Kedua ayat umum tersebut adalah qoth’i dalalatnya, dan meniadakan
kemungkinan bahwa yang di maksud dari padanya adalah khusus.
2.
عام يرادبه قطعا الخصوصArtinya : al-‘am secara pasti di maksudkan untuk khusus.
Yakni al-‘am yang di sertai qorinat yang dapat menghilangkan arti umumnya, dan
menjelaskan bahwa yang di maksud dari padanya adalah sebagaian dari satuanya. Seperti contoh firman Allah dalam surat al-imran : 97 yang sebagai
berikut:
...وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ...
Artinya
:“...
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah...”
Lafad الناس(manusia) dalam ayat tersebut adalah
‘am, yaitu semua manusia. akan tetapi yang di maksudkan adalah husus yaitu
orang-orang mukallaf, (dewasa dan berakal) saja. Karena menurut akal, Allah SWT
tidak mewajibkan haji kepada orang-orang yang belum dewasa atau orang-orang
yang tidak mempunyai akal.Petunjuk akal ialah yang menjadi qorinat yang
menghilangkan arti umumnya lafad itu.
3.
عام مخصوصArtinya : ‘am yang husus untuk ‘am, yaitu ‘am mutlak. Yang di maksud adalah
‘am yang tidak di sertai qorinat yang menghilangkan kemungkinan di hususkan dan
tidak di sertai pula qorinat yang menghilangkan keumumanya. Seperti contoh firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah : 228 yang
berbunyi
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَصْنَ بِأَنْفسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءْ...
Artinya
:“wanita-wanita yang di talak hendaklah menahan diri (menunggu)
sampai tiga kali suci...”
Lafad المطلقات (wanita-wanita yang di
talak) adalah ‘am makhsus. Karena tidak di sertai qorinat yang menghilankan
kemungkinan kekhususan dan keumumanya. ia tetap dalam keumumanya selama belum
ada dalil yang mengkhususkanya.
d. Dalalat Al-Amm’
Jumhur al-ulama’, di antaranya syafi’iyah berpendapat
bahwa lafadz Al-‘Am itu Zhanniy dalalat nya atas semua satuan-satuan yang di
dalamnya. Demikian pula
lafadz al-‘am, setelah di takhshis, sisa satuan-satuanya juga zhanniy
dalalatnya, hingga terkenal lah di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyyat yang
berbunyi :[6]
ما من عام ألا خصص
Artinya
:“setiap dalil yang ‘am harus di takhshis”
Oleh karena itu ketika lafadz ‘Amm di tentukan hendaklah berusaha di
carikan pen-takhsishnya. Atas dasar pendapat jumhur ulama’ tersebut di atas
kiranya, dapat di pahami bahwa lafadz al-‘am itu baik sebelum maupun sesudah
di-takhshis, zhanniy dan dalalatnya atas satuan-satuanya. Karena lafadz al’Am
itu di maksudkan oleh bahasa untuk menunjuk semua satuan yang ada di dalamnya,
tanpa terkecuali.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut di atas terlihat ada perbedaan.
Bagi jumhur ulama’ sejak semula, lafadz al-‘am itu zhanniy dalalatnya. Oleh
karena itu dapat di-takhsis dengan dalil zhanniy lainya seperti khabar ahad
atau qiyas.Sedangkan bagi ulama’ hanafiyah, karena lafad al’am itu sejak semula
qath’iy dalalatnya. Maka ia tidak dapat di takhshis dengan dalil zhanniy lainya
seperti khabar ahad atau qiyas .sedangkan bagi ulama hanafiyah, karena lafadz
al’am itu sejak mula qath’iy dalalatnya, maka ia tidak dapat di takhshis
kecuali dengan dalil qath’iy. Oleh sebab itu dalil zhanniy, seperti khabar ahad
dan qiyas tidak dapt men takhshis lafadz ‘am.Sebagai contoh, Ulama Hanafiyah
mengharamkan memakan daging binatang yang disembelih tanpa menyebut basmallah,
karena adanya firman Allah dalam surat al-An’am (6) ayat 121, yang bersifat
umum,yang berbunyi:
ولا
تأكلوا مما لم يذكر اسم الله عليه..
Artinya :“Dan
janganlah kamu memakan binatang yang tidak di sebut nama Allah ketika
menyembelihnya..”
Ayat
tersebut, menurut mereka, tidak dapat di takhshis oleh hadits Nabi yang
berbunyi :
المسلم
يذبح على اسمى أولم يسم.
Artinya:
“ Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia
benar-benar menyebutnya atau tidak. “(H.R. Abu Daud)
Alasanya adalah bahwa ayat tersebut qath’iy, baik dari
segi wurud (turun) maupun dalalatnya, sedangkan hadits Nabi itu hanya zhanniy
wurud-nya, sekalipun qath’iy dalalatnya.Ulama Syafi’iyah membolehkan memakan
daging binatang yang di sembelih orang islam tanpa basmalat, dengan alasan
bahwa ayat itu, menurut mereka, dapat di takhshis dengan hadits tersebut.
Karena dalalat kedua dalil itu sama-sama zhanniy. Lafadz al-‘am pada ayat itu
zhanniy dalalat nya, sedang hadits zhanniy pula wurud-nya dari Nabi Muhammad
SAW.
2.
Al-Khas
a.
Pengertian al-Khas
Kata al-Khas atau Khas berasal dari isim fail
yang merupakan kata kerja. خصص
– يخصص – يخصيصا – خاص yang memiliki arti “Yang
menghususkan atau menentukan”. Adapun yang dimaksud dengan lafal al-Khas
yaitu lafal yang menampakkan maksud dan pengertian yang lebih spesifik.[7]
Lafal al-Khas merupakan lafal yang sengaja memperlihatkan pengertian tertentu
secara mandiri. Lafal al-Khas juga lafal yang dilalahnya menunjukkan satu orang
saja.[8]Jadi al-Khas merupakan menentukan jumlah dari
sekumpulan yang mungkin dan tak terbatas. Maksud dari tak terbatas disini lebih
spesifiknya laki-laki muslim saja atau perempuan muslim saja dengan jumlah tak
terbatas disetiap waktu dan tempat.[9]
Beberapa pendapat ulama berbeda-beda dalam memberikan pendapatnya
tetapi pada hakikatnya definisi dari pengertian al-Khas adalah sama. Definisi
mengenai al-Khas berupa penggalan seperti berikut:
هواللفظ المو ضوع لمعنى واحد معلوم على الانفراد
Artinya:
“Suatu lafazh yang dipasangkan pada suatu arti yang sudah
diketahui (ma’lum) dan manunggal”.
Dan adapun pendapat menurut al-Badzdawi
mengenai definisi dari al-Khas yang terdapat dalam penggalan sebagai berikut:
كل اللفظ وضع لمعنى واحد على الانفراد وانقطاع المشاركة
Artinya:
“Setiap lafazh yang dipasangkan pada satu arti menyendiri
dan terhindar dari makna lain yang (Musytarak)”.
Dalam pertanyaan diatas tersebut, al-Badzdawi
mengeluarkan lafazh Mutlaq dan lafazh Musytarak dari bagian lafaz Khas.
Pendapat yang dikemukakan oleh al-Badzdawi tersebut sepaham dengan sebgaian
ulama Syafi’iyah.[10]
b. Hukum al-Khas
Hukum dari al-Khas adalah global. Maksud dari
global yaitu apabila terdapat nash syar’i yang memperlihatkan dalil qath’i,
terdapat makna dari Khas yang ditempatkan secara hakiki. Dan dalam penetapan
hukum sebagai jalan yang menunjukkan qath’i bukan dzan.[11] Dan
lafazh nash yang terdapat dalam syara’ menunjukkan satu makna tertentu yang
pasti dan jelas selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Dengan demikian,
selama suatu kemungkinan terdapat arti lain yang tidak dilandasi dengan dalil,
maka ke-qath’ian dilalahnya tidak terpengaruhi. Seperti contohnya:
فمن لم يجد فصيام ثلا ثة ايام
Artinya:
“Barang siapa yang tidak menemukan (Binatang qurban atau tidak mampu), maka
wajib baginya berpuasa tiga hari dalam masa haji.” (QS Al-Baqarah ayat 196)
Lafadz Tsalatsa merupakan
al-Khas sebab tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari tiga hari.
Sehingga makna dari lafadz menjadi qath’iyah dan begitupun juga hukumnya
menjadi qath’i.
c. Macam-macam
lafadz al-Khas
Macam dari lafadz Khas itu banyak,
menyesuaikan dengan keadaan dan sifat yang dipakai dari lafadz itu sendiri.
Terkadang berupa mutlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun.
Terkadang juga berbetuk muqayyad yang dibatasi oleh qayyid. Kadang
berbentuk amr (perintah) dan kadang juga berbentuk nahyi (larangan). Dengan
demikian, macam-macam dari lafadz al-Khas mencakup: Mutlaq, Muqayyad, amr,
nahyi.
d. Dalalah al-Khas
Para ulama telah sepakat bahwa lafadz al-Khas
adalah qath’i. Para ulama berpendapat bahwa al-Khas dalam sifat ke qath’ianya
sudah jelas dengan sendirinya sehingga tidak mungkin mempunyai penjelasan lain
atau perubahan makna.[12]
Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa
“sesungguhnya lafadz Khas memiliki arti secara tersendiri, berarti
lafadz Khas sudah jelas dan tegas dengan ketentuan lafadz itu sendiri. Jika
lafadz Khas mengalami perubahan dengan penjelasannya pasti itu menetapkan apa
yang sudah tetap dan menolak yang sudah tertolak”. Jadi kesimpulan dari
pendapat diatas: 1) Lafadz Khas tidak memerlukan penjelasan lain, sehingga
mengambil hukum dari satu dari dilalah lafadz Khas. 2) Setiap perubahan hukum
nash dengan yang lain dipandang sebagai penghapus hukum bukan penjelasan.
Sedangkan golongan Jumhur Ulama, seperti golongan
Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa sekalipun lafadz Khas dilalahnya
qath’i namun tetap memiliki kemungkinan perubahan makna soal wadha’nya (asal
pemasangan). Jadi kesimpulanya dari pendapat diatas: 1) nash Khas menerima
penjelasan dan perubahan. 2) Lafadz Khas Al-Qur’an menurut pandangannya tetap
menerima penjelasan dan perubahan. Oleh karena itu lafadz Khas mungkin saja
berubah penjelasanya.
3. Mutlak Muqayyad
a. Pengertian
Mutlak ialah lafaz yang bermakna suatu hakikat
tanpa sesuatu qayid (pembatas).Maksudnya merujuk ke satu individu tidak
tertentu dari hakikatnya.Lafaz mutlak dalam pandangan luas dari kata nakirah
dalam konteks kalimat positif. Contohnya kata رقبة (seorang budak) daal ayat فَتَحْرِيْرُرَقَبَةً “… maka (mereka
diwajibkan) memerdekakan seorang budak..” (al-Mujadalah/58: 3). Maksud
pernyataan tersebut yaitu pembebasan seorang budak mencakup semua jenis budak,
entah budak mukmin ataupun kafir.Kata “raqabah” ialah nakirah di dalam konteks
positif. Dalam definisi
ayat tersebut dapat kita simpulkan wajib atasnya memerdekakan seorang budak
dengan jenis apa saja. Sebagaimana Nabi Muhammad berkata “Tak ada pernikahan
tanpa seorang wali.” (Hadis Ahmad dan empat Imam).Maksud “wali” ialah mutlak,
meliputi semua jenis wali entah yang berakal sehat ataupun tidak.Oleh sebab itu
Ulama Ushul mengartikan mutlak dengan “suatu ungkapan tentang isim nakirah
dalam konteks positif”.Kata-kata “nakirah” mengecualikan isim ma’rifah dan
semua kata yang mengungkapkan sesuatu yang tertentu. Kata dalam konteks positif
mengecualikan isim nakirah dalam konteks negative (nafy), karena nakirah dalam
konteks negatif memiliki makna umum, seperti semua individu yang tergolong
jenisnya.[13]
Mutlaq yaitu perkataan yang mengarahkan satu
atau beberapa obyek yang menyebar tidak ada ikatan bebas menurt lafal.Muqayyad
yaitu perkataan yang mengarahkan satu obyek ataupun ada beberapa obyek menyebar
luas dengan ikatan menurut lafal.[14] Muqayyad ialah lafaz yang menyebutkan suatu
hakikat dengan qayid (batasan), misalnay kata-kata “raqabah” (budak) yang
dibatasi dengan “iman” dalam ayat مُؤْمِنَةً
فَتَحْرِيْرُرَقَبَة “…(hendaklah) dia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman…” (an-Nisa’/4 : 92).[15] Persoalan mutlaq (mutlak) dan muqayyad
(bersyarat) sama halnya dengan kasus al-a’mm (umum) dan al-khas (khusus), namun
al-a’mm dan al-khas langsung terkait dengan penerapan hukum, berbeda dengan
mutlaq (mutlak) dan muqayyad (bersyarat) saling terkait dengan kondisi yang
berbeda-beda dan sifat-sifat hukum sendiri. Al-a’mm dan al-khas terkait suatu
tatanan yang terkadang meliputi semua bentuk penerapan hukum yang tidak sama,
yang hanya sebagian karena memiliki alasan tersendiri, ialah pengecualian dari
yang umum. Namun, persoalan mutlaq dan muqayyad berelasi dengan hakikat dan
watak dari kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku kewajiban tadi.Bila
hakikat dan watak dari kewajiban tersebut tidak mempunyai syarat terttentu, itu
bermakna muqayyad.
Contohnya, saat pengambilan zakat dari umat muslim, Nabi
diperintahkan untuk memberi do’a untuk mereka. Perintah tersebut tidak
bersyarat, saat apa Nabi mendo’akan mereka dengan suara yang lantang maupun
pelan, seperti Nabi mendo’akan saat bersama-sama maupun ketika sendiri. Saat tidak memiliki bukti lain maupun dalil
yang dari al-Qur’an dan hadis yang bisa dipercaya yang bisa membuat slaah satu
dari dua syarat yang sudah dijelaskan diatas tadi, kita bertindak mengikuti
makna tak bersyarat dari ayat tadi. Contohnya : bahwa do’a itu mutlaq kepada
muqayyad, yang bermakna kita wajib melihat kalimat mutlaq yang diberi syarat
dari kalimat muqayyad dan sebab itu ditafsirkan yang mutlaq sebagai muqayyad.[16]
b. Macam-macam
Mutlak Muqayyad
1.
Sama dalam hal sebab dan hukumnya.
Misalnya
“puasa” untuk kafarah sumpah. Lafaz dalam qira’ah mutawatir yang ada dalam
mushaf dikatakan mutlaq :فَمَنْ لَمْ
يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا
حَلَفْتُمْ ۚ
“…Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa
selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu
bersumpah (dan kamu langgar)…” (QS. Al-Maidah : 89). Muqayyad maupun dibatasi
isyilah kata “tatabu’ (berturut-turut)” didalam qira’ah Ibn Mas’ud yang artinya
maka kafarahnya puasa selama tiga hari beruntun. Dengan begitu, definisi lafaz
mutlaq dibawa kepada muqayyad yang maksudnya lafaz mutlaq yaitu sama dengan
yang dimaksud dari lafaz muqayyad), karena “sebab” yang satu tidak ingin dua
hal yang saling menentang.
2.
Sebab
sama tapi hukumnya berbeda.
Misalnya kata
“tangan” saat berwudhu dan tayamum.Membasuh tangan saat berwudhu dibatasi cukup
sampai dengan siku. Sebagaimana firman Allah SWT.:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
“Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku…” (Al-Maidah/5: 6).Sedang mengusap tangan dalam
bertayamum tidak dibatasi, mutlaq, sebagaimana
Dengan
penjelasan diatas, ada pendapat lafaz yang mutlaq tidak dibawa kepada yang
muqayyad karena berlainan hukumnya.Tapi, al-Ghazali berpendapat dari ulama
Syafi’i bahwa mutlaq tersebut dibawa kepada muqayyad karena “sebab” nya sangat
berbeda hukumnya.
3. Sebabnya berbeda namun hukumnya sama.
Ada dua bentuk:
a. Taqyid maupun batasannya hanya satu.
Seperti pembebasan budak dalam hal kafarah. Budak yang dibebaskan dengan syarat
wajib budak “beriman” dalam kafarah pembunuhan tidak tersengaja. Sebagaimana
firman Allah SWT. :
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَنْ قَتَلَ
مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
Dan
tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman…” (QS.
An-Nisa’/4: 92). Dalam kafarah zihar dikataakn mutlaq.
Ada beberapa pendapat ulama’, seperti ulama’ Maliki dan
ulama’ Syafi’I mengemukakan pendapat yaitu lafaz yang mutlaq wajib dibawa
kepada ynag muqayyad tanpa ada dalil lain. Oleh
sebab itu, tidah hanya memerdekakan budak yang kafir dalam kafarah zihar dan melanggar sumpah. Dan ulama’ Hanafi
berpendapat yaitu lafaz yang mutlaq tidak bisa dibawa kepada yang muqayyad
kecuali ada dalilnya.Bisa dikatakan sudah cukup memerdekakan budak yang kafir
dalam kafarah zihar dan melanggar sumpah.
b.
Taqyidnya
berbeda-beda. Seperti “puasa arafah”, bisa ditaqyidkan dengan beruntun alam
kafarah pembunuhan. Sebagiamana firman Allah SWT. :“...Barangsiapa yang tidak
memperolehnya (hamba sahaya), maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah...”(QS. An-Nisa’/4: 92). Begitupun dengan kafah zihar, sebagaimana Allah SWT
telah berfirman:“Barangsiapa yang tidak mendapatkan
(budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum
keduanya bercampur….” (QS. Al-Mujadalah/58: 4).Dengan penjelasan
tersebut, puasa kafarah setiap orang yang melakukan haji tamattu’ ditaqyidkan
(dibatasi) dengan terjeda-jeda atau bermakna puasa tidak bisa dilakukan secara
beruntun.
4. Sebab berbeda dan hukumnya berlainan.
Contohnya “tangan” dalam berwudhu dan dalam pencurian. Dalam berwudhu, dibatasi
sampai batas siku, namun dalam kasus pencurian dimutlaqkan tidak dibatasi.
Sebagiamana firman Allah SWT. :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ
فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya ….” (QS. Al-Maidah/5: 38).Hal tersebut, misalnya
mutlaq tidak bisa dibawa kepada muqayyad karena “sebab” dan “hukum”-nya
berlainan. Hal tersebut tidak ada kontradiksi (ta’arud) sekecil apapun.[17]
c. Hal-Hal yang
diperselisihkan Mutlak Muqayyad
1.
Kemutlaqan dan kemuqayyadan terdapat
pada sisi hukum.
Tapi, kasus “maudu’” dan hukumnya sama. Pendapat para jumhur
ulama mulai dari Syafi’iyah.Hanafiyah, dan Malikiyah, dalam kasus ini wajib
membawa mutlaq dan muqayyad.Jadi, pendapat mereka tidak mewajibkan zakat fitrah
kepada budak.namun ulma’ Hanafiyah tidak mewajibkan membawa lafaz mutlaq pada
muqayyad.Jadi, ulama’ Hanafiyah mewajibkan zakat fitrah atas budak secara mutlaq.
2. Mutlaq
dan muqayyad ada nash yang sama hukumnya, tapi sebabnya berbeda.
Kasus ini juga sering diperselisihkan.Ulama Hanfiyah
berpendapat, tidak boleh membawa mutlaq pada muqayyad, namun masing-masing
dilihat dari kecocokan dengan sifatnya.Jadi, ulama Hanafiyah, dalam kafarat
zihar tidak mensyaratkan budak mukmin. Bertolak belakang pendapat jumhur ulama’
, yang mengharuskan membawa mutlaq kepada muqayyad secara mutlaq. Tapi, ulama’
Syafi’iyah berpendapat mutlaq dibawa pada muqayyad saat ada illat hukum yang
sama, yaitu dengan jalan qiyas.[18]
C.
Penutup
Dari penjelasan artikel diatas, pembahasan mengenai kaidah Ushuliyah
mengenai aspek Lughawi telah dijelaskan. Mulai dari pengertian mengenai
al-Amm’, al-Khas, dan Mutlak Muqayyad telah dijabarkan. Pengertian dari
masing-masing tentulah berbeda dan disertai dengan penjelasan dari beberapa
ulama. Jadi dapat disimpulkan dari beberapa kaidah Ushululiyah yaitu al-Amm’,
al-Khas, dan Mutlak Muqayyad sebagai berikut:
·
Al-Amm’ adalah lafadz atau kata yang mencakup seluruh
bagian sesuai dengan satu kondisi. Maksudnya, lafadz ini mencakup semua
mukhatab yang berdiri sendiri yaitu mereka yang memiliki kesamaan dalam ciri
utama seperti laki-laki atau perempuan, sehingga lafadz mencakup mereka semua.
·
Sedangkan al-Khas adalah menentukan jumlah dari
sekumpulan yang mungkin dan tak terbatas. Maksud dari tak terbatas disini lebih
spesifiknya laki-laki muslim saja atau perempuan muslim saja dengan jumlah tak
terbatas disetiap waktu dan tempat.
·
Mutlaq adalah suatu lafal yang
menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan
artinya. Sedangkan
muqayyad adalah suatu lafal yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi
dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khudhari Biek Syaikh Muhammad.Ushul
Fiqh. Jakarta:
Pustaka Amani. 2007
Amir, Ja’far, Ushul Fiqih 1.
Semarang: C.V. Toha Putra 1968.
Al.Qattan Khalil Manna’.Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa. 2015
Dahlan, Abd. Rahman. USHUL Fiqih. AMZAH:
Jakarta. 2011.
Karim, A. Syafi’i. FIQIH USHUL FIQIH. Pustaka
Setia Bandung: Bandung. 1997.
Khallaf, Syekh abdul Wahab. ILMU USHUL
FIKIH. PT Rineka Cipta: Jakarta. 2005.
Muthahhari Murtadha, dkk.Pengantar
Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan. Ciputat: Pustaka Hidayah. 1993
Nurul AenDjazuli,Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
SA, Romli, Muqaranah Mazahib fil
Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Sieny, Saeed Ismaeel. USHUL FIQIH
APLIKATIF. Darul Ukhuwah Publisher: Malang. 2017.
Syafe’i, Rachmat. ILMU USHUL FIQIH. Pustaka
Setia Bandung: Bandung. 1998.
Catatan:
1. Similarity 24%.
2. Gelar (Prof. Dr. dll) dalam karya tulis ilmiah
tidak perlu ditulis, apalagi dalam footnote.
3. Pembahasan ‘am bagus, tetapi menurun di pembahasan
khas.
4. Pelajari lagi cara penulisan footnote dan daftar
pustaka.
[1]Romli SA, Muqaranah
Mazahib fil Ushul. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999).hlm. 195
[3]Djazuli
dan Nurul Aen,Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam. (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada). hlm. 331
[4]
Ja’far Amir, Ushul Fiqih 1. (Semarang: C.V. Toha Putra 1968).hlm. 72
[6]Djazuli dan Nnurul
Aen,Ushul Fiqh
Metodologi Hukum Islam.PT.
RajaGrafindo Persada: Jakarta. hlm. 331
[7]Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, MA. USHUL Fiqih. AMZAH: Jakarta. 2011.
Hlm 273
[8]Drs. H. A. Syafi’i Karim. FIQIH USHUL FIQIH. Pustaka Setia Bandung:
Bandung. 1997. Hlm 196
[9] Dr. Saeed Ismaeel Sieny. USHUL FIQIH APLIKATIF. Darul Ukhuwah
Publisher: Malang. 2017. Hlm 122
[10]Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A. ILMU USHUL
FIQIH. Pustaka Setia Bandung: Bandung. 1998. Hlm 187
[11]Syekh abdul Wahab Khallaf. ILMU USHUL FIKIH. PT
Rineka Cipta: Jakarta. 2005. Hlm 242
[12]Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A. Op. Cit.
Hlm 190
[13]Manna’
Khalil al-Qattan.Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. (Bogor: Pustaka Litera Nusa,
2015). Hal.350
[14]
Syaikh Muhammad Al-Khudhairi Biek. Ushul Fiqh. (Jakarta: Pustaka Amani,
2007). Hal. 421-422
[15]Ibid.
Studi Ilmu-ilmu Qur’an.hal. 351
[16]Murtadha
Muthahhari, dkk. Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan.(Ciputat:
Pustaka Hidayah, 1993). Hal.160
[17] Ibid. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. hal. 351-357
[18]Rachmat
Syafe’I. Ilmu Ushul Fiqh. (Bnadung: Pustaka Setia, 1999).Hal. 213-214
Tidak ada komentar:
Posting Komentar