TAKHRIJ HADIS
Ellisya Putri dan Fadlilah Novia
Mahasiswa Jurusan PAI, FITK UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
abstract
The science of takhrij is part of the science of hadith which discusses various rules to find out the source of the hadith originating to determine the quality of the hadith's sanad to find out whether the hadith is rejected or accepted. Mahmud Thalhan said that in the beginning takhrij was not needed by scholars and hadith researchers because their knowledge of hadith was very broad and steady. Moreover, the relationship between the ulama and the original hadith at that time was very close and inherent, so that when they wished to explain the validity of a hadith, they simply enough to introduce their original sources in various hadith books. They know the ways in which the sources of the hadith are written, so that with their abilities they have no difficulty in using and searching for sources in order to express the hadith.
Several centuries later the hadith scholars found it difficult to find out the hadith from the original source. Especially after developing works in the field of sharia that use many hadith as a basis for establishing the law. Likewise the presence of other sciences in the field of interpretation, history, theology, and others.
This situation is the background for the emergence of the desire of the ulama to carry out takhrij. Their efforts are to explain or show the hadith in the original source, explain the method, and determine the quality of the hadith according to their position.
Keywords: hadith, takhrij, sanad, method, takhrij book
Keywords: hadith, takhrij, sanad, method, takhrij book
Abstrak
Ilmu takhrij adalah bagian dari ilmu hadits yang membicarakan berbagai kaidah ntuk mengetahui sumber hadits itu berasal untuk menentukan kualitas sanad hadits untuk mengetahui ditolak atau diterimanya hadits tersebut. Mahmud Thalhan mengatakan bahwa pada mulanya ilmu takhrij tidak dibutuhkan oleh ulama dan para peneliti hadits karena pengetahuan mereka tentang hadits sangat luas dan mantap. Lagipula hubungan para ulama dengan suber hadits aslinya pada waktu itu sangat dekat dan melekat, sehingga ketika mereka hendak menjelaskan validitas suatu hadits, mereka cukup mereka cukup memperkenalkan sumber aslinya dalam berbagai kitab hadits. Mereka mengetahui cara-cara sumber hadits itu ditulis, sehingga dengan kemampuan yang dimiliki mereka tidak mengalami kesulitan untuk menggunakan dan mencari sumber dalam rangka mengemukakan hadits.
Beberapa abad kemudian ulama hadits merasa kesulitan untuk mengetahui hadits dari sumber aslinya. Terutama setelah berkembang karya-karya besaar di bidang syariah yang banyak menggunakan hadits sebagai dasar untuk menetapkan hukum. Begitu juga hadirnya ilmu-ilmu lain dalam bidang tafsir, sejarah, ilmu kalam, dan lainnya.
Keadaan ini menjadi latar belakang timbulnya keinginan para ulama untuk melakukan takhrij. Upaya yang mereka lakukan adalah dengan menjelaskan atau menunjukkan hadits pada sumber aslinya, menjelaskan metodenya, serta menentukan kualitas hadits sesuai dengan kedudukannya.
Kata kunci: hadits, takhrij, sanad, metode, kitab takhrij
A. Pendahuluan
Berdasarkan definisi dari para ulama, haadits adalah segaala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallahu alaih wasallam baik perkataan, perbuatan maupun taqrir beliau. Hadits menduduki posisi yang penting bagi umat Islam karena ia dijadikan sebagai pedoman hidup kedua setelah Al Qur’an. Hadits terhadap Al Qur’an memiliki fungsi urgent, diantaranya sebagai bayan at tafsir, bayan at taqrir, dan bayan at tafshil.
Hadits diriwayatkan oleh para sahabat lalu disampaikan kepada tabiin dan seterusnya. Untuk membukukan hadits-hadits, para ulama muhadditsin perlu berkelana ke banyak tempat mengambil hadiits dari para rawi lalu mengijtihadi betul apakah hadits yang disampaikan itu benar dari Nabi shallallahu alaih wasallam atau bukan. Salah satu ulama’ muhadditsin yang bukunya menjadi rujukan umat Islam bersebab kehati-hatian beliau dalam meriwayatkan hadits adalah Imam Bukhari. Ulama’ yang lahir di Bukhara Uzbekistan ini tak mencantumkan hadits ke dalam bukunya kecuali hadits shahih. Buku beliau yangg masyhur tersebut adalah Shahihh Bukhari atau Jami’us Shahih. Selain Imam Bukhari, banyak juga para ulama’ muhadditsin yang membuukukann hadits seperti Imam Muslim, Imam Ahmad, An Nasai, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Abu Dawud.
Seperti yang sudah dipaparkan pada bagiaan abstrak, awalnya ilmu takhrij tidak dibutuhkan karena eratnya hubungan antara para ulama’ dengan sumber hadits-hadits asli. Namun seiring dengan bergulirnya waktu, para ulama selanjutnya mulai merasa sulit untuk menemukan mana sumber asli hadits. Munculnya buku-buku sebab berkembangnya ilmu-ilmu yang menggunakan hadits sebagai pijakan seperti ilmu fiqih, tarikh, kalam dan lainnya menjadikan ulama merasa perlu menakhrij hadits. Takhrij hadits bertujuan untuk menemukan sumber asli suatu hadits sehingga dapat mengetahui sanad dan matan yang lengkap.
B. Pengertian Takhrij Hadis
Dari segi bahasa kata takhrij diambil dari akar kata: خرج- يخرج- خرجاdengan diberi tambahan tasydid pada ain fi’il yaitu huruf (ر) sehingga menjadi: خرّج- يخرِّج- تخريجا yang memiliki banyak arti seperti mengeluarkan, menampakkan, menerbitan, menyebutkan, dan menumbuhkan. Dari segi istilah takhrij hadis adalah:
عَزوُ الأحَاديثاِلى الكُتُبِ المَوْجُودَةِ فيهَا معابَيَانِ الحُكمِ عَلَيهَا
Menunjukkan asal beberapa hadis pada kitab-kitab yang ada (kitab induk hadis) dengn menerangkan hukum atau kualitasnya. Menurut Namir Yuslem, takhrij hadis yaitu penyelidikan atau pencarian hadis pada bermacam-macam kitab hadis sebagai sumber yang asli yang di dalamnya memuat matan dan sanad hadis secara lengkap. Sedangkan Mahmud al-Thahhan menjelaskan bahwa takhrij hadis ialah penelusuran terhadap lokasi hadis yang terdapat dalam sumber-sumber yang asli, dimana terdapat hadis beserta sanadnya, untuk selanjutnya dilihat kualitas hadisnya. Dari pendapat di atas takhrij hadis ialah upaya untuk menemukan matan dan sanad hadis dari sumber-sumber aslinya secara lengkap yang dari situ dapat di ketahui kualitas sebuah hadis secara langsung karena telah disebutkan oleh orang yang mengolektornya atau melalui penelitian yang dilakukan.
Para muhaditsin mengartikan takhrij sebagai berikut:
Mengemukakan hadits kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang menyampaikan hadits itu dengan metode yang mereka tempuh.
Ulama mengungkapkan beberapa hadits yang telah dikemukakan oleh guru hadits, atau berbagai kitab yang susunannya dikemukakan berdasarkan riiwayat sendiri, atau para gurunya, siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan pengambilan.
‘Mengeluarkan’ yaitu mengeluarkan hadits dari dalam kitab dan meiwayatkannya. Al Sakhawy mengatakan dalam Kitab Fathul Mughits sebagai berikut, “Takhij adalah seorang muhaddits mengeluarkan hadits-hadits dari dalam ajza’, al masikhat, atau kitab-kitab lainnya. Kemudian hadits tersebut disusun gurunya atau teman-tmannya dan sebagainya, dan dibicarakan kemudian disandarkan kepada pengarang atau penyusun kitab itu.
Dalalah, yaitu menunjukkan pada sumber hadits aslli dan menyanndarkan hadits tersebut pada kitab sumber hadits tersebut pada kitab sumber aslli dengan menyebutkan perawi penyusunya.
Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadits pada sumbernya yang asli, yakni kitab yang didalamnya dikemukakan secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, lalu untuk secara lengkap
C. Sejarah Takhrij Hadis
Para ulama hadis terdahulu memiliki pengetahuan yang luas serta masih kentalnya pengaruh tradisi hafalan yang kuat terhadap sumber-sumber hadis nabi, ketika ulama terdahulu mendapati masalah sosial dan ingin mencari hukum di kitab hadis, maka mereka dengan mudah untuk menemukan dimana tempatnya, bahkan hanya membutuhkan waktu yang singkat untuk menemukan tempatnya hingga juz dan halamannya pun dapat ditemukan dengan mudah. Hal ini menunjukkan kualitas yang sangat mumpuni baik dalam segi ilmu pengetahuan tentang hadis maupun kekuatan hafalannya.
Kemajuan zaman pun tidak bisa dihindari yang berakibat pada menurunnya kualitas baik dalam segi pengetahuan tentang hadis dan juga kekuatan hafalan pada hadis. Hal inilah yang mendorong ulama untuk melakukan takhrij agar memudahkan untuk menemukan hadist yang diinginkan dan juga untuk mengetahui kualitas dari keaslian dan nilai sebuah hadis.
Ada tiga hal penting mengenai eksistensi dari takhrij hadis:
1. Mengetahui asal dari riwayat hadis yang diidentifikasi, jika tidak diketahui asal sumber hadis maka akan sangat tidak mudah dalam menentukan nilai dari suatu hadis, maka tahrij sangat diperlukan
2. Mengetahui siapa saja yang meriwayatkan hadis yang akan diteliti, karena tidak semua sanad memiliki derajat keshahihan yang sama.
3. Mengetahui adanya syahid dan mutabi’ pada sanad yang diidentifikasi, untuk meningkatkan kualitas pada hadis.
D. Tujuan Takhrij Hadis
Semua aktivitas atau kegiatan seseorang pastilah memiliki tujuan yang ingin diraihnya, begitupun dengan takhrij yang memiliki tujuan yang ingin dicapai oleh mukharrij seperti:
1. Mengetahui sumber dari hadis-hadis dan menjelaskan diterima atau ditolatnya sebuah hadis.
2. Mengetahui derajat kualitas suatu hadis, baik shahih atau tidaknya, makbul (diterima) atau mardud (ditolak), dan kuat lemahnya sebuah hadis.
3. Mengetahui bahwa ada beberapa tempat sebuah hadis yang memiliki sanad yang berbeda di dalam buku induk hadis.
4. Mengetahui keberadaan sebuah hadis yang diteliti berada dalam buku hadis atau tidak.
E. Manfaat Takhrij Hadis
Takhrij hadis memiliki banyak sekali memberikan manfaat bagi manusia diantaranya ialah:
1. Takhrij menunjukkan apa saja sumber-sumber hadis, kitab asal dari sebuah hadis beserta ulama yang meriwayatkan hadis.
2. Takhrij menjelakan hukum hadis dengan sekian banyak yang meriwayatkannya, ada kalanya mendapatkan hadis dha’if dalam satu riwayat, tetapi dengan takhrij hadis akan dihadapkan pada riwayat lain yang menyatakan shahih. Dimana hadis shahih ini akan menaikkan kualitas hadis dha’if ke derajat yang lebih tinggi.
3. Takhrij membantu untuk mengetahui syahid dan mutabi’ dalam sanad, ketika mukhoririj meneliti sanad, mungkin menemukan ada periwayat lain yang sanadnya mendukung pada sanad yang diteliti. Syahid adalah dukungan yang terletak pada perawi tingkat pertama yaitu sahabat, sedangkan mutabi’ adalah dukungan dari selain sahabat.
4. Takhrij menjelaskan adanya ketersambungan sanad yang bersambung (muttashil) dan terputusnya sanad (munqathi’), dan membantu mengetahui kemampuan perawi dalam mengingan hadis-hadis (dhabit) serta kejujurannya dalam meriwayatkan hadis (adil).
F. Metode Takhrij
Metode adalah langkah-langkah dari suatu cara untuk melakukan suatu kegiatan, diharapkan langkah-langkah tersebut dapat membawa kemudahan dan menghindari atau meminimalisir dari suatu kesalahan. Metode takhrij adalah langkah-langkah yang dilakukan mukhorrij untuk melakukan takhrij. Hal yang penting dan harus diketahui adalah mengetahui tekhnik pembukuan hadis, dimana ulama-ulama dulu dalam membukukan hadis menggunakan tekhnik yang berbeda-beda sehingga berdampak pada banyaknya macam-macam hadis. Macam-macam hadis diantaranya ialah:
· Berdasarkan tema: kitab Al-Jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhari dan Sunan Abu Dawud
· Berdasarkan perawi pertama: kitab Musnad Ahmad bin Hambal
· Berdasarkan huruf permulaan matan hadis: kitab Al-Jami’ Ash-Shoghir karya As-Suyuthi
Pengelompokkan tersebut dilakukan bukan tanpa alasan melainkan untuk memudahkan umat islam untuk mempelajarinya sesuai kondisi yang ada. Beraganya pengelompokkan buku-buku hadis maka diperlukan beberapa metode, setidaknya ada lima metode yang harus diketahui oleh mukhorrij yaitu takhrij bi al-lafzhi, takhrij bi al-mawdhu’, takhrij bi awwal al-matan, takhrij bi ar-rawi al-a’la, takhrij bi ash-shifah.
1. Takhrij dengan Kata ( Bi Al-Lafzhi)
Metode pertama ini adalah menidentifikasi hadis berdasarkan lafal matan atau isi pada hadis. Salah satu kitab hadis yang cocok digunakan pada metode ini ialah kitab Al-Mu’jam Al-mufahras li Alfazh Al-Hadits An-Nabawi yang disusun oleh A.J. Wensinck dan kawan-kawan.
Takhrij dengan kata ini adalah mentakhrij dengan kata benda (isim), atau kata kerja (fi’il), tetapi kata sambung (huruf) tidak termasuk. Isim dan fi’il yang di takhrij boleh terletak di mana saja baik awal, tengah, maupun akhir, lalu dicari fi’il tsulasi (akar kata yang hanya memiliki tiga huruf dalam bahasa arab). Jika pada lafal hadis terdapat kata يخرج maka fi’il tsulasinya adalah خرج ketika mencari di kamus maka memulainya dengan bab خ bukan bab ي.
Setelah mengetahui cara mengubah menjadi fi’il tsulasi maka harus mengetahui lambang dari lafal hadis yang terdapat dalam kitab Al-Mu’jam, dimana memiliki 9 kitab induk hadis di dalamnya.
Kitab
|
Lambang
|
Shahih Al-Bukhari
|
خ
|
Shahih Muslim
|
م
|
Sunan Abu Dawud
|
د
|
Sunan At-Tirmidzi
|
ت
|
Sunan An-Nasa’i
|
ن
|
Sunan Ibnu Majah
|
جه
|
Sunan Ad-Darimi
|
دي
|
Muwatha’ Malik
|
ط
|
Musnad Ahmad
|
حم
|
Contoh :
لَاتَدخُلُونَ الجَنّة حتى تُؤمِنُوا وَلَا تُؤمِنُوا حتى تَحَابّوا
Dari hadis di atas, dapat mengambil kata terakhirnya yaitu تَحَابّواbilamana memiliki fi’il tsulasi حبّبmaka dapat dilihat pada babحdalam kitab Al-Muljam. Setelah dicari akan menemukannya di Al-Mu’jam juz 1 hlm. 408 dengan kalimat :
م ايمان 93
د ادب 131
ت صفة القيامة 53
استءذان 1
جه مقرمة 9
ادب 11
حم 1 165
Arti dari petunjuk tersebut adalah:
م ايمان 93 = Shahih Muslim dalam kitabnya Iman nomor hadits 93
د ادب 131 = Sunan Abu Daud dalam kitabnya Al Adab nomor urut bab 31
ت صفة القيامة استءذان 1 53 = Sunan Tirmidzi dalam kitabnya Sifah Al Qiyamah nomor urut bab 54 juga dalam kitab isti’dzan nomor urut bab 1
جه مقرمة ادب 11 9 = Sunan Ibnu Majah kitabnya Mukaddimah nomor urut bab 9 dan dalam kitab Al Adab bab 11
حم 1 165 = dalam kitab Musnad Imam Ahmad bab 1 halaman 165
Maksud rumus-rumus dalam kitab Al Mu’jam secara singkat sebagai berikut:
a. Seluruh angka-angka setelah judul kitab atau bab pada Shahih Bukkhari, Sunan Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan Nasa’i, Sunan Abu Daud, Sunan Ad Darimi menunjukkan nomor bab, bukan nomor hadits.
b. Seluruh angka-angka setelah judul kitab atau bab pada Shahih Muslim dan Muwatha Malik maksudnya adalah nomor hadits, bukan nomor bab.
c. Dua angka yang ada pada kitab Musnad Ahmad, angka yang lebih besr maksudnya adalah angka juz kitab dan angka setelalhnya atau angka yang menunjukkan halaman. Hadits Ahmad yang berada di dalam kotak bukan yang disamping atau diluar kotak.
Keunggulan :
1. Hadits dapat dicari hanya melalui kata yang diingat pencari, tidak harus menghafal keseluruhan.
2. Dalam waktu yang taak lama, pencari dapa mengetahui letak hadits dari beberapa kitab.
Kekurangan :
Pencari harus mengusai ilmu sharaf agar dapat mengetahui asal kata.
2. Takhrij dengan tema (Bi Al-Mawdhu’)
Takhrij dengan tema adalah penelitian hadis berdasarkan tema, jadi diwajibkan untuk mengetahui tema atau topiknya sebelum meneliti hadis. Kitab yang digunakan untuk meneliti dengan metode takhrij bi al-mawdhu’ adalah kamus hadis tematik adalah Miftah min Kunuz As-Sunnah yang ditulis oleh Dr. Fuad Abdul Baqi. Dalam Miftah min Kunuz As-Sunnah terdapat berbagai topik tentang petunjuk-petunjuk dari Rasulullah, dari setiap topik dilengkapi dengan subtopik, dan setiap subtopik terdapat data berupa hadis dan kitab yang menjelaskannya.
Sama seperti halnya takhrij bi al-lafzhi, takhrij bi al-mawdhu’ juga memiliki 14 kitab dan juga disertai lambangnya.
Kitab
|
Lambang
|
Shahih Al-Bukhari
|
بخ
|
Shahih Muslim
|
مس
|
Sunan Abu Dawud
|
بد
|
Sunan At-Tirmidzi
|
تر
|
Sunan An-Nasa’i
|
نس
|
Sunan Ibnu Majah
|
مج
|
Sunan Ad-Darimi
|
مي
|
Muwatha’ Malik
|
ما
|
Musnad Ahmad
|
حم
|
Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi
|
ط
|
Musnad Zaid bin Ali
|
ز
|
Sirah Ibnu Hisyam
|
هش
|
Maghazi Al-Waqidi
|
قد
|
Thabaqat Ibnu Sadin
|
عد
|
Adapun singkatan-singkatan lainnya dalam takhrij bi al-mawdhu’
Singkatan
|
Lambang
|
Kitab
|
ك
|
Hadis
|
ح
|
Juz
|
ج
|
Bandingkan (Qabil)
|
قا
|
Bab
|
ب
|
Shahifah
|
ص
|
Bagian (Qismun)
|
ق
|
Contohnya jika kita ingin menakhrij hadits:
صلاة ليل مثنى مثنى
Hadits di atas brtema qiyamul lail. Pada kammus Al Miftah dapat dicari pada bab al lail menyangkut tentang shalat malam, yaitu ada di halaman 430 ditulis sebagai berikut beserta maksudnya:
خ- ك 8 ب 83 , ك 145 ب ,1 ك 19 ب 10 : Al Bukhari nomor kitab 8 bab 84, nomor kitab 145, nomor kitab 19, nomor bab 10
مس – ك 6 ح 145 – 148 : Muslim nomor urut kitab 6 da nomor urut kitab 19, dan nomor urut bab 10
بد – ك 5 ب 24 : Abbbu Dawud, nomor kitab 5 nomor urut bab 24
تر – ك 2 ب 206 At Tirmidzi nomor urut kitab 2 dan nomor urut bab 206
مج – ك 5 ب 172 Ibnu Majah, nomor urut kitab 5 dan nomor urut bab 172
مي – ك 2 ب 155 و21 Ad Darimi, nomor kitab 2 dan nomor bab 155 dan 21
ما - ك 7 ح 7 و 13 Muwatha’ Malik, nomor kitab 7 dan nomor hadits 7 dan 13
حم – ثان ص 5 و 9 و 10 Ahmad juz 2 halaman 5,9, dan 10
Kelebihan metode takhrij dengan tema:
Pencari hanya perlu mengetahui makna hadits, tak perlu hafal lafadznya.
Pencari tak perlu menguasai asal akar katanya, tak juga perlu mengetahui terlebih dahulu siapa sahabat yang meriwayatkannya.
Pencari terlatih untuk menyingkap kandungan makna.
Kekurangan metode takhrij dengan tema:
Terkadang hadits mempuntai topik ganda sehingga sulit ditentukan mana topik yang tepat.
3. Takhrij dengan Permulan Matan (Bi Awwal Al-Matan)
Takhrij permulaan matan ini menggunakan huruf awal pada suatu matan, jika huruf pada awal mata adalah ص maka dicari pada bab ص, begitu juga dengan huruf lainnya yang terdapat pada awal matan. Adapun kitab-kitab yang di gunakan pada takhrij bi awwal al-matan ini adalah kitab yang dikarang:
· As-Suyuthi: kitab Al-Jami’ Ash-Shaghir fi Ahadits Al-Basyir An-Nadzir
· Ibnu Al-Atsir: Mu’jam Jami’ Al-Ushul fi Ahadits Ar-Rasul
Salah satu kitab karangan As-Suyuthi disusun sesuai dengan alphabet bahasa arab sehingga mudah untuk mencarinya. Jika ingin mengidentifikasi hadis maka harus mengetahui awal huruf pada matan untuk mencari bab hadis yan ingis diidentifikasi.
Contoh :
طَلَبُ العِلمِ فَرِيظَةٌ على كُلِّ مُسْلِمٍ
Dari hadis di atas diketahui bahwa awal huruf pada matan adalah huruf ط, setelah mengetahui huruf awal pada matan maka harus mencari di kitab Al-Jami’ Ash Shaghir babط, ternyata ditemukan di dalam juz 2 hlm. 54 dan ada empat tempat periwayatan, yaitu
1. طَلَبُ العِلمِ فَرِيضَةٌ على كُلِّ مُسلِمٍ (عدهب) عن أنَسٍ (طص خط) عَنْ الحُسَين بِن علِّي (طس) عَن ابن عبَّاسِ, تمام عن ابن عمر (طب) عن ابن مَسعُود (خط) عن علِّي (طس هب) عن أبي سعِيد (صح)
2. طَلَبُ العِلمِ فَرِيضَةٌ على كُلِّ مُسلِمٍ وَوَاضِعُ العِلمِ عِندَ غَيرِأهلِهِ كَمُقَلِّد الخَنَازِيرِالجَوهَرَ وَاللُّؤْلْؤَ وَالذَّهَبَ (ها) عَن أَنَسٍ (ض)
3. طَلَبُ العِلمِ فَرِيضَةٌ على كُلِّ مُسلِمٍ وَإنَّ طالِبَ العِلمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ كُلَّ شيئٍ حَتى الحِيتَانُ فِيْ البَحرِ, ابن عبْد البَرِّ فِي العلمِ عن أنس (صح)
4. طَلَبُ العِلمِ فَرِيضَةٌ على كُلِّ مُسلِمٍ وَاللهِ يُحِبُّ إغَا ثَةَ اللَّهفَنِ (هب) ابن عبدُ البَرِّ فِيْ العِلمِ عن أنسٍ (صح)
Adapun keterangan dari kalimat diatas adalah
Keterangan
|
Lambang
|
Tempat periwayatan pertama
| |
Ibnu Adi dalam kitab Al-Kamil
|
عدهب
|
Ath-Thabrani dalam Ash-Shaghir, Al-Khatib
|
طص خط
|
Ath-Thabrani dalam Al-Awsath
|
طس
|
Ath-Thabrani dalam Al-Kabir
|
طب
|
Hadis Shahih
|
صح
|
Tempat periwayatan kedua
| |
Ibnu Majah
|
ها
|
Hadis Dho’if
|
ض
|
Tempat periwayatan ketiga
| |
Hadis Shahih
|
صح
|
Tempat periwayatan keempat
| |
Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Imam
|
هب
|
Hadis Shahih
|
صح
|
Setelah proses takhrij di atas dapat disimpulkan bahwa hadis hanya menyebutkan sampai kata مُسلِمٍ saja, tidak ada yang menyebutkan kata مُسلِمَة seperti hadis yang ada di masyarakat. Kualitas hadis yang di takhrij yaitu shahih ditiga tempat dan yang satunya dho’if.
· Kelebihan: jika dibandingkan dengan metode sebelumnya, metode ini dapat menemukan hadis dengan cepat dan utuh, arti utuh disini hadis yang didapatkan tidak berupa penggalan melainkan secara keseluruhan.
· Kekurangan: metode ini sulit untuk diterapkan bagi orang yang tidak ingat dengan permulaan hadis, dikhawatirkan hanya menginyat penggalan hadis dari tengahnya saja atau bahkan akhirnya saja.
4. Takhrij Melalui Perawi yang Paling Atas (Bi Ar-Rawi Al-A’la)
Takhrij ini meneliti hadis melalui perawi yang paling atas, dimana posisi perawi yag paling atas ialah golongan sahabat atau tabi’in (dalam hadis mursal).
· Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mukhorrij harus mengetahui dulu siapa saja sanadnya di kalangan sahabat atau tabi’in
· Kemudian mulai mencari dalam buku hadis Musnad atau Al-Athraf. Musnad ialah pengumpulan hadis yang susunannya didasarkan pada nama sahabat atau tabi’in contohnya Musnad Ahmad bin Hambal. Al-Athraf merupakan kitab hadis yang di dalamnya memuat hadisnya sahabat atau tabi’in berdasarkan urutan alphabet bahasa arab, contohnya adalahTuhfat Al-Asyraf bi’ ma’rifat Al-Athraf karya Al-Mizzi.
Contoh mentakhrij hadis pada Musnad Ahmad
عَنْ أنَسِ بْن مَالِكٍ قَالَ أُمِرَ بلَالٌ أنْ يَشْفَعَ الأَذان وَيُوتِرَ الإقَا مَةَ
· Mengetahui nama perawi terlebih dahulu, ternyata didapati nama Anas bin Malik
· Memastikan Anas bin Malik adalah sahabat dengan melihat daftar isi pada awal kitab
· Ternyata didapati pada juz 3 halaman 98
· Bukalah kitab pada juz tersebut
· Maka akan menemukan Musnad Ahmad
· Carilah hadis yang ingin dicari
· Akan menemukan di halaman 103
· Maka hasil dari takhrij adalah hadis tersebut ditakhrij oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad juz 3 halaman 103
Setiap metode pastilah memiliki kelebihan dan kekurangan diantaranya:
· Kelebihan: Memberikan informasi mengenai hubungan yang sangat erat antara pembaca dengan pentakhrij hadis dan kitabnya, berbeda dengan metode yang lainnya hanya menunjukkan hubungan dengan pentakhrijnya saja tanpa kitabnya.
· Kelemahan: Seorang peneliti haruslah benar-benar tahu mengenai nama-nama sahabat atau tabi’in.
5. Takhrij bis Shifah
Metode takhrij bis shifah adalah dengan mengetahui kualitas atau sifat hadits yang akan dicari sumbernya. Apabila suatu hadits telah diketahui sifatnya misl shahih, maudlu’, mursal, masyhur, mutawattir, ataupun qudsi, dan lain sebagainya, maka cukuplah hadits ditakhrij dengan kitab-kitab yang telah menghimpun siifat-sifat tertentu tersebut.
Contohnya, mencari hadits maudlu’ lebih mudah jika ditakhrij melalui kitab Al Maudlu’at kara Ibnul Jauzi. Hadits muawattir pun akan lebih ringan dicari jika melalui kitab Al Azhar Al Mutanashirah ‘an al Akhbar al Mutawatirah karya As Suyuti.
Daftar Pustaka
Abdul Majid Khon. 2013. Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah
John Pamil. 2012. Takhrij Hadist: Langkah Awal Penelitian Hadist. Jurnal Pemikiran Islam.
Andi Rahman, 2016. Pengenalan Takhrij Hadis, Riwayah: Jurnal Studi Hadis
M. Agus Solahudin & Agus Suryadi. 2009. Ulumul Hadits, CV Pustaka Setia
Nasrullah. 2007. Metodologi Kritik Hadis. Jurnal Hunafa Vol. 4, No.4, Desember Dewi Rahmawati. 2007. Takhrij Hadis, Kritik Sanad, Kritik Matan, dan Metode Pemahaman Hadis Nabi, Institut Agama Islam Negeri Metro
Damanhuri. 2014 Penelusuran Akar Hadits, Jurnal Ilmiah Peuradeun
Tajudin Nur. 2008. Pengenalan Metode Takhrij Hadits Dalam Upaya Meningkatkan Kompetensi Dosen Fakultas Agama Islam (Fai) Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika),Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Unsika
Askolan Lubis. 2007. Urgensi Metodologi Takhrij Hadis Dalam Studi Keislaman, jurnal studi islamika
Imron Rosyadi. 2015. Hadits Ilmu Hadits. Malang: MAN 3 Malang
Catatan:
1. Similarity 0%.
2. Di kelas harus dipraktekkan secara langsung dengan kitab Mu’jam al-Mufahras
3. Mana penggunaan CD Mausu’ahnya??? kok tidak ada?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar