Kamis, 22 November 2018

Ilmu Jarh wa Ta'dil (PAI H ICP Arabic Semester Ganjil 2018/2019)



 
Ilmu Jarh wa At-Ta’dil
Cici Abidah (17110148)
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang







التجريد
يناقش هذا المقال علم الجرح والتعديل ، وهو دراسة خصائص رواة الحديث من حيث التقاليد المقبولة والمرفوضة من حديثهم. لا يمكن لأي شخص القيام بالتعديل ، فهناك عدد من الشروط التي يجب أن يتم الوفاء بها من قبل العلماء الذين يجرحون ويعدلون بما في ذلك التقوى والعالم والأمانة ومعرفة أسباب جرح و تعديل. ولكن من ناحية أخرى ، هناك بعض الأشياء التي لا يلزم ذكرها ، وهي الرجال والحرار ويعبر عنها شخصان على الأقل. يناقش هذا المقال أيضا الطبقة (مستوى) من رواة الحديث وكذلك طريقة لمعرفة مرض السكري من الراوي. ومع مرور الوقت ، قام الباحثون بتجميع الكتب التي ناقشت الجرة الأعمق. يتم ذلك حتى يتمكن المسلمون من معرفة مكان الحديث الشريف الذي تم قبوله ورفضه بشكل تعسفي في استخدام الحديث كدليل.
Abstrak
Artikel ini membahas tentang ilmu Jarh wa ta'dil, yaitu ilmu yang mempelajari sifat-sifat para perawi hadits dari segi diterima dan ditolaknya hadits riwayat mereka. Tidak semua orang dapat melakukan jarh wa ta'dil, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang ulama yang melakukan penilaian tersebut diantaranya taqwa, alim, jujur dan mengetahui sebab-sebab jarh wa ta'dil. Namun disisi lain ada beberapa hal yang tidak disyaratkan yaitu laki-laki, merdeka, dan diungkapkan oleh minimal dua orang. Artikel ini juga membahas thabaqat (tingkatan) para perawi haditsserta metode untuk mengetahui kedlabitan seorang rawi. Seiring berjalannya waktu, para ulama kemudian mengarang kitab-kitab yang membahas jarh wa ta’dil lebih dalam. Hal itu dilakukan agar umat muslim dapat mengetahui mana hadits yang diterima dan ditolaksehinnga tidak sembarangan dalam menggunakan hadits sebagai hujjah.  






A. Pendahuluan
Hadits merupakan dasar hukum kedua setelah Al-quran. Dalam periwayatannya hadits melewati beberapa orang yang disebut sanad. Keberadaan islam ini menjadi hal yang sangat urgen dalam islam. Islam memberikan perhatian khusus terkait masalah sanad yang berhubungan langsung dengan ilmu hadits. Sehingga tidak heran, jika ulama Islam menganggap bahwa sanad adalah “agama”. Kedudukan para perawi berperan sebagai mata rantai dari sebuah hadits yang bersumber dari Rasulullah SAW sehingga sampai kepada umatnya. Setiap perawi yang dilewati hadits tersebut tentunya memiliki berbagai perbedaan. Perbedaan tersebut misalnya dalam hal kekuatan menghafal, kejujuran maupun keadilan dari masing-masing rawi. Karena pentingnya sanad tersebut, maka muncul lah ilmu jarh wa ta’dil yang membahas mengenai sifat-sifat para perawi hadits, sehingga umat islam dapat mana saja hadits yang dapat dijadikan hujjah dan terhindar dari hadits-hadits yang maudhu’.
B.Pengertian al-Jarh wa at-ta’dil
“Jarh” menurut bahasa artinya melukai. Sedangkan menurut istilah, jarh adalah menunjukkan sifat-sifat cela yang terdapat pada diri seorang rowi yang dengan adanya sifat tersebut dapat merusak keadilannya, sehingga riwayatnya menjadi lemah dan  ditolak.“Ta’dil” menurut bahasa berarti meluruskan, membetulkan, membersihkan.Sedangkan menurut istilah, ta’dil adalah menunjukkan sifat-sifat baik dan bersih yang terdapat pada diri seorang rowi (memandang adil seorang rowi), sehingga nampak keadilannya dan riwayatnya bisa diterima.
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah salah satu cabang dari ulumul hadits yang membahas tentang para perawi hadits dari segi “diterima” atau “ditolaknya” hadits riwayat mereka, sehingga dengan adanya ilmu ini kita bisa mengetahui mana perawi yang dapat diterima dan mana perawi yang ditolak hadits riwayatnya. Penerimaan dan penolakan tersebut dengan menggunakanlafadz-lafadz khusus dalam urutan yang telah ditetapkan.Ilmu al-jarh wa at-ta’dil menjadi salah satuilmu yang sangat penting untuk dipelajari. Seperti yang kita tahu, hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Sehingga dalam praktik pengamalannya kita harus benar-benar yakin terlebih dahulu bahwa hadits tersebut memang sudah terbukti kebenarannya.
Hadits bersumber dari Rasulullah kemudian melewati beberapa orang hingga sampai kepada penerima terakhir, orang-orang inilah yang kemudian dinamakan sanad.Dalam islam, “sanad” menjadi salah satu bagian terpenting untuk mempelajari hadits-hadits nabi. Penggunaan sanad bertujuan untuk mengetahui riwayat yang shohih sampai kepada Rasulullah SAW, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat memalsukan serta memasukkan hal-hal yang berbau jahiliyah kedalamnya yang menyebabkan rusaknya kandungan hadits tersebut.
Pada kenyataannya hadits melewati banyak orang untuk sampai kepada kita. Dalam proses tersebut, orang-orang yang dilewati hadits memiliki sifat, keadilan dan kekuatan hafalan yang berbeda-beda. Faktor-faktor tersebut yang menyebabkan munculnya sebuah hadits yang bertentangan antara riwayat yang satu dengan yang lainnya bahkan terjadi penyalahan riwayat pada orang-orang yang dipercaya memiliki keadilan dalam periwayatannya.
Allah SWT telah memperingatkan kita agar lebih berhati-hati dalam menerima suatu hadits. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya ilmu al-jarh wa at’tadil ini untuk mengetahui mana hadits yang shohih dan mana hadits yang dloif. Ilmu jarh tidak digunakan dengan maksud untuk mengumbar cacat seorang perawi hadits, melainkan untuk menyelamatkan umat islam agar terhindar dari hadits yang salah. Begitu pula dengan ilmu ta’dil, tidak digunakan dengan maksud untuk memberi pujian pada diri seorang perawi hadits, melainkan digunakan untuk mengungkapkan bahwa hadits tersebut memang benar adanya. Jarh dan ta’dilmerupakan langkah yang dilakukan sebagai upaya penjagaan terhadap hadits Nabi SAW.
C. Hal-hal yang disyaratkan dan tidak disyaratkan dalam jarh wa ta’dil
Dalam men-jarh dan men-ta’dilkan sebuah hadits, seorang ulama harus memenuhu beberapa syarat yang menjadikannya bersikap objektif dalam menilai keadilan dan cacat seorang perawi. Ulama tersebut harus memahami akibat dari upaya tajrih dan ta’dil yang mereka lakukan. Syarat-syarat tersebut diantaranya :
1. Takwa, Alim, dan Jujur
Seorang ulama jarh dan ta’dil harus memiliki sifat takwa yaitu melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Jika ia telah memiliki sifat tersebut bagaimana mungkin dia bisa memalsukan sebuah hadits padahal itu merupakan sesuatu yang melanggar aturan-Nya. Seorang ulama dalam menilai karakteristik seorang perawi harus memiliki ilmu dan kejujuran yang tinggi, karena apabila ia tidak memiliki sifat tersebut maka bagaimana mungkin dia bisa menghukumi seorang perawi hadits memiliki keadilan dan kecacatan dalam hadits hasil riwayatnya, sedangkan dirinya jauh dari kata keadilan.
2. Wara’
Wara’ adalah menjaga diri dari sesuatu yang diharamkan Allah SWT. Wara’ merupakan sikap menghindarkan diri dari hal-hal yang syubhat dan makruh serta dosa-dosa kecil dan kemaksiatan lainnya.
3. Mengetahui sebab-sebab al-jarh wa at-ta’dil
Seorang ulama jarh wa ta’dil harus mengetahui sebab-sebab penta’dilan dan pentajrihan perawi hadits. Ibnu Hajar pernah menjelaskan dalam Syarh al-Nukhbah “ Tazkiyah (pembersihan terhadap diri orang lain) dapat diterima apabila dilakukan oleh seorang ulama yang mengetahui sebab-sebab jarh wa ta’dil, bukan dari seseorang yang tidak mengetahuinya, agar ia tidak memberi tazkiyah hanya berdasarkan pada apa yang hanya terlihat sepintas olehnya tanpa mendalami dan memeriksa lagi sebab-sebab tersebut.”
4.Tidak fanatik
Seorang ulama yang memiliki sifat fanatik akan sulit untuk bersikap objektif bahkan selalu bersifat subjektif dan membenarkan segala yang ada pada diri seorang rawi meskipun sebenarnya terdapat kecacatan dalam dirinya.
Selain beberapa hal diatas yang menjadi syarat bagi ulama jarh wa ta’dil, ada pula beberapa hal yang tidak disyaratkan bagi ulama tersebut, diantaranya :
1. Laki-laki
Ulama jarh wa ta’dil tidak harus seorang laki-laki, perempuan pun boleh melakukan pentajrihan atau penta’dilan hadits asalkan dia seorang yang adil.
2. Merdeka
Tidak ada perbedaan dalam upaya pentajrihan dan penta’dilan yang dilakukan oleh seorang yang merdeka maupun hamba sahaya, keduanya berhak untuk melakukan upaya tersebut asal memenuhi syarat-syarat seperti yang telah dijelaskan diatas.
3. Tidak harus diungkapkan oleh dua orang
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa tidak diterima jarh wa ta’dil kecuali diungkapkan oleh dua orang atau lebih. Namun jumhur ulama berpendapat bahwa penilaian seorang ulama saja sudah cukup apabila ia telah memenuhi syarat sebagai ulama jarh wa ta’dil. Pendapat tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Amidi, Ibnu al-Hajib dan ibnu ash-Shalah. Hal itu berbeda dengan disyaratkannya dua orang saksi dalam hukum syahadah atau kesaksian.
D. Etika dalam jarh wa ta’dil
Ada beberapa etika yang harus diperhatikan dalam melakukan jarh wa ta’dil. Setidaknya ada tiga poin penting yang harus dipenuhi dalam melakukan pentajrihan dan penta’dilan hadits. Nududdin ‘Itr mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul Manhaj al-Naqd fi ‘ulum al-Hadits bahwa ada empat poin penting yang harus dipenuhi. Namun pada dasarnya, hanya terdapat tiga poin penting disana sedangkan yang satu hanya sebagai pengembangan. Poin-poin tersebut diantaranya :
1. Jarh wa ta’dil harus dilakukan secara proporsional, tidak terlalu berlebihan dalam melakukan penilaian jarh wa ta’dil. Sehingga penilaian tersebut benar-benar sesuai dengan keadaan si perawi hadits.
2.Jarh wa ta’dil dilakukan dalam keadaan dharurat sehingga tidak boleh menjarh dan menta’dil melebihi kebutuhan dan hanya boleh dilakukan secukupnya.
3. Jika dalam diri si perawi terdapat keadilan, maka tidak boleh hanya melakukan pentajrihan saja, melainkan juga harus melakukan penta’dilan sesuai dengan sifat-sifat positif yang ada dalam diri rawi tersebut.
E. Pertentangan antara Jarh dan ta’dil
Apabila dalam penilaian jarh dan ta’dil tersebut terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama, yakni sebagian ulama menilai positif (menta’dilkan) dan sebagian ulama yang lain menilai negatif (menjarhkan) maka , maka dalam hal ini terdapat dua pendapat secara garis besar, yaitu :
1. Al-jarh muqaddimun ‘ala at-ta’dil (kritik harus didahulukan dari pada pujian), kaidah ini yang dipegangi oleh jumhur ulama, mereka menyatakan bahwa jarh harus di dahulukan, walaupun yang memberi penilaian adil lebih banyak jumlahnya. Hal itu karena ulama yang menjarhkan mempunyai pengetahuan negatif tentang si perawi tersebut yang tidak diketahui oleh ulama yang menta’dilkan.
2. At-ta’dil muqaddimun ‘ala al-jarh (pujian harus didahulukan dari pada kritikan), dalam hal ini para ulama menyatakan bahwa apabila ulama yang menilai adil (menta’dilkan) jumlahnya lebih banyak dari pada ulama yang menjarhkan, maka ta’dil harus didahulukan. Pendapat ini dinilai lemah dan tidak mu’tamad.
F. Tingkatan Jarh wa Ta’dil
Dalam hal ini, Ibnu Hajar al-Asqalani telah membagi thabaqat para rawi mulai dari tingkatan ta’dil yang tertinggi yaitu para sahabat sampai tingkatan jarh yang paling rendah pada akhir masa periwayatan disertai dengan lafaz-lafaz yang sesuai dengan julukan pada setiap martabatnya.
1. Martabat-martabat ta’dil
Pertama : martabat tertinggi yaitu para shahabat r.a.
Para ulama telah mendefinisikan pengertian dari shahabat, yaitu orang yang hidup di zaman Nabi SAW., bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan beriman sampai dia meninggal dunia. Dalam hal ini terdapat sebuah ungkapan yang cukup terkenal, yaitu
كلّ الصّحابة عدل (semua shahabat adalah adil)
Kedua : tingkatan martabat yang menggunakan lafaz hiperbolis (af‘al al at-tafdhil ). Seperti
أوثق الناس, أثبت الناس, أضبط الناس dan juga terdapat kata-kata lain seperti :
فلان لا يسئل عن مثله, إليه المنتهى في الثثبت, dan لا أعرف له نظيرا في الدنيا
Ketiga : martabat yang menggunakan pengulangan lafaz-lafaz ta’dil, baik maknawi maupun lafzhi. Pengulangan maknawi seperti  حجة, ثقة ثبت, ثقة متقن, ثقة حافظثبت sedangkanpengulangan lafzhi seperti ثقةثقة
Keempat : martabat yang menggunakan lafaz ta’dil tunggal, sehingga hanya menunjukkan arti tsiqat saja tanpa adanya ta’qid. Seperti lafaz ثقة, حجة, dan متقين
Kelima : martabat yang menggunakan lafaz yang menunjukkan makna adil. Seperti صدوق,  الصديق,محلdan  لا بأس به
Keenam : martabat yang menggunakan lafaz yang maknanya mendekati jarh, seperti lafaz فلان صالح الحديث )si fulan itu pantas meriwayatkan hadits (dan بكتب حديثه
hadits nya bisa cacat.
Hukum-hukum dari setiap martabat ta’dil tersebut adalah :
· Tiga tingkatan pertama haditsnya boleh dijadikan sebagai hujjah, apabila satu sama lain saling menguatkan.
· Tingkatan keempat dan kelima haditsnya tidak boleh dijadikan hujjah, tetapi hadits mereka boleh dicatat dan diuji kedhabitan mereka dengan membandingkan dengan hadits yang lebih tsiqoh, jika terbukti sesuai maka hadits tersebut diterima namun jika tidak sesuai maka hadits terebut ditolak.
· Tingkatan keenam haditsnya tidak boleh dijadikan hujjah, namun boleh dicatat hanya untuk dijadikan pertimbangan saja, tidak untuk diuji karena sudah jelas mereka tidak dlabith.
2. Martabat-martabat Jarh
Pertama : martabat jahr yangpaling ringan, contoh lafaz yang sering digunakan dalam martabat yang pertama ini adalah فيه المقال)si fulan adalah orang yang diperbincangkan kualitasnya), لين الحديثفلان)si fulan adalah orang lunak haditsnya),dan   بحجةليس(haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah).
Kedua : martabat yang lebih rendah dari pada martabat yang pertama, lafadz yang digunakan adalah فلان لا يحتاج به (si fulan haditsnya tidak boleh dijadikan hujjah),  ضعيف(dia adalah perawi yang lemah), له مناكير(mulanya dia adalah perawi yang munkar).
Ketiga : martabat yang lebih rendah dari kedua martabat  yang telah dijelaskan diatas. Lafadz-lafadz yang digunakan seperti ضعيف جدا(dia adalah orang yang sangat lemah ), واه بمرة(dia adalah orang yang sering menduga-duga), dan لا تحل روايته(tidak halal riwayat darinya)
Keempat : martabat yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsuan hadits, lafadz yang digunakan seperti يسرق الحديث(dia adalah orang yang mencuri hadits), ليس بثقة(dia adalah orang yang tidak tsiqoh), فلان متهم بالكذب(si fulan orang yang diduga dusta), فلان متهم بالوضع(si fulan orang yang terduga bohong).
Kelima : martabat yang menunjukkan sifat dusta, pemalsuan hadits dan semacamnya. Lafadz yang digunakan diantaranya دجال(dia adalah penipu), وضاع(dia adalah pendusta), يكذب(dia bohong), يضع(dia dusta).
Keenam : martabat jarh yang paling rendah, yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan. Lafadz-lafadz yang digunakan diantaranya : هو ركن الكذب  ( dia rukun kedustaan), الناسأكذب ( dia adalah orang yang paling pembohong), dan         في الكذبالمنتهى(dia adalah orang yang paling top kebohongannya).
Hukum-hukum dari setiap martabat jarh tersebut adalah :
· Dua tingkatan pertama tidak boleh dijadikan hujjah, hanya boleh ditulis dan diperhatikan saja. Tentu saja perawi pada martabat kedua lebih rendah tingkatannya dari pada martabat pertama.
· Tingkatan keempat hingga terakhir tidak boleh dijadikan hujjah, tidak boleh ditulis bahkan tidak dianggap sama sekali.
G. Metode untuk mengetahui kedlabitan seorang rawi
Metode yang dapat digunakan untuk mengetahui kedlabitan seorang perawi hadits adalah dengan membandingkan hadits-hadits riwayatnya dengan hadits perawi lain yang lebih tsiqah. Jika hasilnya memiliki kesesuaian maka hadits riwayatnya diterima, dan terbukti perawi tersebut adalah dlabit. Jika terdapat perbedaan antara periwayatannya dengan hadits riwayat perawi lain yang lebih tsiqah maka hadits nya ditolak, dan hal itu menunjukkan bahwa perawi tersebut tidak dlabith.
H. Kritik jarh wa ta’dil terhadap sahabat
Meskipun terdapat banyak ayat-ayat al qur’an yang menyatakan keadilan dan memuji para sahabat, namun ternyata ada beberapa pendapat yang menarik untuk diperhatikan, diantaranya :
1. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa semua sahabat itu adil. Artinya mereka tidak perlu mendapatkan penilaian jarh wa ta’dil. Hadits yang menunjukkan keutamaan sahabat adalah :
أصحابي كالنجوم بأيهم اقتديتم اهتديتم
“Sahabat-sahabatku bagai bintang (di malam hari ). Siapa diantara mereka yang kamu ikuti pasti kalian akan mendapat petunjuknya.”
2. Pendapat yang kedua diungkapkan oleh kaum mu’tazilah, mereka menyatakan bahwa semua sahabat itu adil kecuali para sahabat yang terlibat perang shiffin. Pendapat tersebut juga diungkapkan oleh kaum khawarij. Begitu juga kaum syi’ah, mereka hanya mengakui keadilan para sahabat yang menurut mereka tidak mengganggu posisi Ali bin Abi Thalib sebagai al-washi (pengganti nabi).
3. Pendapat yang terakhir dikemukakan oleh sebagian kecil ulama, mereka menyatakan bahwa semua sahabat boleh diuji keadilannya. Menurut mereka, sahabat adalah orang biasa yang boleh jadi melakukan kesalahan.
I. Kitab-kitab yang membahas Jarh wa Ta’dil
a. Al-Tarikh Al-Kabiir karya Imam Bukhari. Kitab ini berisi uraian umum tentang para perawi yang tsiqah dan yang lemah.
b. Al-Jarh wa At-Ta’dil karya Ibnu Hatim. Kitab ini memiliki isi yang sama dengan kitab diatas.
c. Al-Tsiqaat oleh Ibnu Hibban. Kitab ini khusus membahas para perawi yang tsiqah
d. Al-kamiil Fi Al-dlu’afaa’ oleh Ibnu ‘Uday. Kitab ini secara khusus membahas para perawi yang lemah.
e. Al-Kamaal Fii Asmaa’ Al-Rijaal oleh Abd. Ghani al-Muqaddasi. Kitab ini secara khusus hanya membahas para perawi yang tergabung dalamKutubus Sittah.
f. Miizaan Al-I’tidaal oleh al-Dzahabi. Kitab ini membahas tentang para perawi yang dlaif dan matruk.
g. Tahdziib Al-Tahdziib oleh Ibnu Hajar. Kitab ini adalah ringkasan dari kitab al-Kamaal fii Asmaa’ Al-Rijal.










J. Penutup
Setelah mempelajari artikel diatas, kita dapat mengetahui betapa pentingnya Ilmu Jarh wa Ta’dil. Hadits-hadits yang bersumber dari Rasulullah SAW harus melalui beberapa rawi yang memiliki tingkat hafalan dan keadilan yang berbeda-beda dalam setiap thabaqatnya, sehingga bukan tidak mungkin bila terdapat kesalahan dalam penyampaian hadits tersebut, bahkan terdapat pemalsuan hadits yang dilakukan oleh musuh-musuh islam. Ilmu Jarh wa Ta’dil akan membantu kita untuk mengetahui siapa saja perawi yang adil dan diterima hadits riwayatnya serta siapa saja perawi yang memiliki cela sehingga ditolak riwayatnya. Ilmu Jarh wa Ta’dil tidak dilakukan untuk membuka aib seseorang melainkan untuk menjaga kemurnian hadits sehingga hadits yang sampai kepada kita saat ini adalah hadits yang benar-benar murni bersumber dari Rasulullah SAW.




















Daftar Pustaka
Smeer, B. Zeid. 2008. Ulumul Hadits. Malang : UIN-Malang Press
Hassan, A. Qadir. 1983. Ilmu Mushtholah Hadits. Bandung : CV. Diponegoro
Hadi, Saeful. 2012. Ulumul Hadits : Panduan Ilmu Memahami Hadits Secara Komprehensif. Yogyakarta : Sabda Media
 ‘Itr, Nuruddin. 2012. ‘Ulumul Hadits. Bandung : PT. Rosda Karya
Imron, Ali.2017. Dasar-dasar Ilmu Jarh  Wa Ta’dil. UIN Sunan Kalijaga. Vol.2 No.2.
Thahhan, Mahmud. 2007. Intisari Ilmu Hadits . Malang : UIN-Malang Press
As-Shalih, Subhi. 1995. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Jakarta : Pustaka Firdaus
Al-Nawawi, Imam. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Hadits. Jakarta : Pustaka Firdaus
Zuhri, Muh. 1997. Hadis Nabi : Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta : Tiara Wacana
Sohari. 1997. Urgensi Ilmu Rijal Al-Hadits Dalam Periwayatan. Al-Qolam. No.68.
Wahab, Husin Abdul. 2011. Ilmu Jarh wat Ta’dil Sebagai Kriteria dalam Klasifikasi Hadits. IAIN Sulthan Saifuddin Jambi : Media Akademika. Vol. 26 No.2

Catatan:
1. Similarity 12%.
2. Pendahuluannya tolong lebih dijabarkan.
3. Judul buku dalam footnote dimiringkan.
4. Penulisan sahabat pada tingkatan pertama ta’dil dilematis, coba dibandingkan antara tingkatan ta’dil dengan penggunaan masing-masing tingkatan, tingkatan keempat bia digunakan atau tidak?











Tidak ada komentar:

Posting Komentar