KLASIFIKASI
HADITS BERDASARKAN KUALITASNYA
Anzalina
Wulida Fajriyanti (17110144)
Faridatul
‘Aliyah (17110155)
Mahasiswa
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
E-mail
: zelinaanza@gmail.com
Abstract
In this article we will
discuss about the classification of hadits in term of quality. According to the
quality of the narrators, hadith is clasified into three types shahih hadith, hasan
hadith, and dha’if hadith. According to its hujjah, hadith is divided into two
types maqbul hadith and mardud hadith where the shahih hadith and hasan hadith
included in the group of maqbul hadith, and the dha’if belong to mardud hadith.
In this classification, shahih hadith consist of two kinds, shahih li dzatih
and shahih li ghairih. Same as shahih hadith, hasan hadith is divided into two
kinds, hasan li dzatih and hasan li ghairih. Whereas the dha’if hadith is
clasified in various aspects,in term of the connection between sanad, the
backrest and the other aspects.
Keyword : Hadith,
Shahih, Hasan, Dha’if.
Abstrak
Dalam artikel ini akan membahas
tentang pengklasifikasian hadis dari segi kualitasnya. Menurut dari kualitas
rawi yang meriwayatkannya dibedakan menjadi 3 jenis hadis, yakni hadis Shahih,
hadis Hasan, dan juga hadis Dha’if. Sedangkan menurut kehujjahannya digolongkan
menjadi 2 yaitu, hadis Maqbul dan juga hadis Mardud. Dimana hadis Shahih dan
juga hadis Hasan termasuk dalam golongan hadis Maqbul. Dan hadis Dhaif
tergolong hadis Mardud.Dalam pengklasifikasiannya, hadis Shahih terdpat 2
macam, yakni hadis Shahih li dzatih dan hadis shahih li ghairih. Begitupun
dengan hadis Hasan, pengklasifikasiannya sama dengan hadis Shahih. Sedangkan
hadis Dha’if diklasifikasikan dari berbagai segi, baik dari segi persambungan
sanadnya, sandarannya, dan segi-segi yang lain.
Kata kunci : Hadis, Shahih, Hasan, Dha’if
A.
Pendahuluan
Hadis
merupakan kabar atau berita secara bahasa, dan secara istilah merupakan segala
ucapan Nabi, perbuatan, taqrir, dan keadaannya, yang ada kaitannya dengan hukum
dan juga bisa berdampak pada hukum. Hadis ini ada yang bisa diterima dan juga
ditolak.
Namun,
setelah beberapa waktu berlalu muncullah hadits-hadits baru yang berbeda dari
hadits-hadits sebelumnya. Permasalahannya, apakah hadits-hadits tersebut
benar-benar berasal dari Rasulullah SAW atau tidak? Karena belum tentu setiap
informasi yang mengatasnamakan Rasulullah memang benar-benar berasal dari
Rasulullah. Tidak sedikit yang menyebarkan informasi baru tanpa bukti dan
berbeda dengan syari’at islam hanya untuk memperoleh keuntungan sendiri dan
menipu banyak orang hanya dengan menyandarkan perkataan diri sendiri kepada
Rasulullah. Apalagi di era millenial seperti sekarang ini, di mana
berita-berita hoax sudah menyebar dengan cepatnya. Tidak dipungkiri juga
bila saat ini hadits-hadits palsu masih bermunculan.
Oleh
karena itu, untuk menangani permasalahan tersebut, para ulama ahli hadits
memunculkan ilmu musthalahul hadits untuk mengetahui hadits-hadits mana yang
memang berkualitas dan terhindar dari kecacatan. Agar terpilah hadits mana yang
maqbul dan mana yang mardud. Sehingga muncullah pengklasifikasian hadits
berdasarkan kualitas yang membagi hadits menjadi tiga jenis, yaitu hadits shahih,
hadits hasan dan hadits dha’if. Berikut akan kami bahas mengenai
klasifikasi hadits berdasarkan kualitasnya.
B.
Klasifikasi
Hadis dari Aspek Kualitas
Pengklasifikasian hadis ini ada berbagai pendapat
diantaranya pembagian hadis yang brikut ini. Hadis ada yang bisa diterima dan
juga ditolak. Hadis yang bisa diterima ini adalah hadis yang bisa digunakan
sebagai hujjah atau yang disebut dengan hadis Maqbul. Yang mana hadis maqbul
ini terdapat pengklasifikasiannya, menjadi 4, yakni hadis shahih, hadis shahih
li dzathi, hadis hasan, dan hadis hasan li ghairihi[1].
Dalam buku Ilmu Hadis karangan Mudasir, hadis ditinjau dari segi kualitas
dibagi menjadi 2 yaitu, Hadis Maqbul dan juga Hadis Mardud. Pengertian Maqbul
dilihat dari sisi bahasa berasal dari makhudz
(yang diambil) dan mushoddaq (yang
dibenarkan / diterima). Dalam sisi lain, sisi istilah yakni :
مَا تَوَا فَرَتْ فِيْهِ جَمِيْعُ شُرُوْطُ اْلقَبُوْلِ
Artinya : “Hadis yang
telah sempurna syarat-syarat penerimaannya”[2]
Hasbi Ashiddieqy mengartikan hadis Maqbul merupakan
hadis sesuatu yang merujuk pada sebuah keterangan yang disabdakan oleh Nabi
Muhammad SAW, lebih tertuju pada ‘adanya’ bukan pada ‘ketiadaannya’. Atau yang
lebih gampang bahwa hadis Maqbul adalah hadis yang bisa diterima, sehingga bisa
dijadikan hujjah, bisa digunakan untuk pedoman dan juga panduan dalam
mengamalkan syariat. Bisa juga menjadi alat istinbath
dan bayyan pada al-Qur’an, serta
bisa di-istinbath-kan dengan ushul
fiqh.[3]
Lalu hadis dha’if sendiri termasuk dalam hadis
Mardud dimana Mardud ini berarti kebalikan dari Maqbul yakni ditolak. Secara
istilah mardud berarti :
فَقْدُ تِلْكَ الشُرُوطِ اَوْبَعْضِهَا
Artinya
:“hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadis maqbul”
Yang dimaksud dalam pengertan istilah terebut adalah
pada sanad dan juga matan. Sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Yang
menjadikan hadis dha’if termasuk dalam klasifikasi hadis Mardud. Sedangkan
menurut pembagian klasifikasi yang berdasarkan kualitas rawi yang
meriwayatkannya. Dimana dalam pembagiannya ada 3 macamnya, yakni hadis Shahih,
hasan dan juga dha’if [4].
Akan dibahas sebagai berikut :
1. Hadis Sahih
Definisi sahih
berdasarkan bahasa berarti sah, benar, sempurna, sehat, pasti. Yang mana
berlawanan dengan kata saqim, saqim sendiri berarti sakit. Secara istilah yang
diberikn oleh para ahli hadis sehingga telah disepakati dan juga diakui yakni
seperti berikut ini :
الحَدِيْثُ الصَحِيْحُ هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِي
التّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعضدْلِ الضَّابِطَ عن الْعَدْلِ ألضَّابِطِ اِلَي مُنْتَهَا هُ
وَلاَ يَكُوْنُ شاذًا وَلاَ مُعَلّلاً
Artinya : Hadis sahih adalah hadi yang bersambung sanadnya,
yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan zabit dan rawi lain yang (juga) adil
dan zabit sampai akhir sanad, dan hadis itu tidak janggal serta tidak
mengandung cacat (illat)[5].
Namun menurut ahli
hadis dari kalangan Al-Mutaqqadimin
dari abad ke-tiga H. Mereka belum bisa memberikan definisi secara spesifik
mengenai hadis sahih. Untuk itu mereka menyampaikan sebuah keterangan tentang
syarat penerimaan suatu hadis, dimana hadis tersebut bisa dijadikan pedoman.
Salah satu pernyataan dari mereka adalah “tidak
diterima periwayatan suatu hadis, kecuali berdasar dari orang-orang yang
tsiqat, tidak diterima periwayatan yang bersumber dari orang-orang yang tidak
dikenal memiliki pengetahuan hadis, dusta, mengikuti hawa nafsu, orang-orang
ditolak kesaksiannya”
Hingga diberikan
pengertian yang lebih detail oleh Imam Syafi’i, dengan adanya ketentuan sebuah
hadi yang bisa dikatakan hujjah, yakni jika :
1.
Sebuah hadis
diriwayatkan oleh perawi yang bisa dipercaya baik dalam sisi amalan agamanya,
diketahui sebagai orang jujur, mampu mengerti dengan jelas hadis yang
diriwayatkannya, memahami arti jika ada perubahan lafalnya, dapat meriwayatkan
hadis dengan lafalnya, mampu memelihara dan menjaga hafalan hadis jika yang
diriwayatkan secara lafal. Sama bunyi hadis yang diriwayatkan dan juga hadis
yang diriwayatkan oleh orang lain, serta terhindar dari tadlis (menyembunyikan cacat).
2.
Serangkaian
riwayatnya bersambung pada Nabi Muhammad SAW tau bisa juga tidak sampai pada
Nabi Muhammad SAW.
Hingga sejak itulah, Imam Syafi’i disebut sebagai
ulama’ yang awalnya menerangkan tentang ketentuan hadis yang sahih. Dapat
dilihat dari sanad dan juga matan dari hadis tersebut[6].
Ada pendapat muhaditsin,
tentang penilaian sebuah hadis yang bisa dikatakan hadis sahih. Dengan
syarat-syarat berikut ini. :
1.
Riwayatnya
bersifat adil
Adil disini merupakan sebuah tenaga jiwa
yang bersemangat dalam selalu bertaqwa, menghindari untuk melakukan perilaku
tercela meskipun termasuk dosa kecil, menjauhkan diri dari mubahyang nantinya
dikhawatirkan akan menodai muru’ah, ketentuan
ini disampaikan oleh Ar Razi. Namun, menurut Syuhudi Ismail ada 4 pilar
didalmnya, yakni ada periwayat harus beragama Islam ,Al-muktalaf, baik dalam segi melaksanakan ketentuan agama. Dan
mampu menjaga muru’ah [7]. Sifat adilnya dapat dilihat melalui,
sebagai perawi yang terkenal dengan keutamaan pribadinya di kalangan para
ulama’ ahli hadis. Terdapat juga dari para kritikus perawi hadis yang menilai
dari kelebihan serta kekurangan dalam diri perawi itu sendiri. Diterapkan pula
kaidah Al-Jarh wa Ta’dili apabila
tidak ditemukan kesepakatan dari para kritikus oerawi hadis [8].
2. Rawinya
bersifat dhabit.
Yang dimaksud dhabit ini merupakan rawi
yang sangat kuat hafalan hadis maupun kitabnya, sehingga sanggup untuk
menyampaikan kembali hadis yang diriwayatkan. Orang yang mampu mengingat dan
juga menyampaikan kembali sebuah hadisi ini adalah dhabtu sadri dimana menyampaikannya bersumber dari buku catatannya
(teks book) atau yang dinamakan teks
book. Dan rawinya sendiri yang memiliki sifat adil sekaligus dhabit disebut
dengan tsiqat.
3. Sanadnya
bersambung
Dikatakan bersambung apabila rawi
pertama merupakan sahabatNabi yang benar-benar berjumpa dengan Nabi, dan
kemudian menyampaikan hads pada rawi ke dua, begitupun rawi kedua dengan rawi
ketiga [9].
Terdapat tata kerja penilitian oleh ulama’ hadis bertujuan dalam mengetahui
benar tidak sambungan dari suatu sanadnya yakni dengan melakukan pencatatan
pada semua nama rawi pada sanad, menelusuri sejarah hidup tiap rawi,
mempelajari kata yang dapat menghubungkan dari rawi ke rawi yang paling dekat
dengan sanad menurut ketentuan tahamul wa
ada al-hadis[10].
4. Tidak
ber-‘illat
Illat sendiri berarti cacat. Yang
merupakan bentuk jamak dari Ilal.
Maka dari itu, hadis sahih harus terhindar dari illat. Karena menurut istilah,
illat sendiri berarti sesuatu sebab yang tersembunyi atau samar. Baik dari sisi
sanad ataupun matan[11].
5. Tidak
Syadz (Janggal)
Pengertian syadz ini adalah rancu.
Dimana kerancuan ini timbul ketika seorang rawi yang memiliki perbedaan
pendapat dengan perawi yang lebih kuat posisi atau kedudukannya[12].
Hal inilah yang menyebabkan hadis dikatakan syadz apabila terdapat perbedaan
antara perawi satu yang lebih kuat posisinya atau bahkan lebih tsiqah. Jadi
hadis bisa dikatakan hadis sahih apabila hadis tersebut tidak syadz yakni hadis
yang tidak berlawanan dengan hadis yang lebih tsiqah[13].
Kemudian jika dilihat dari sisi matan hadis itu
sendiri ada 2 bagian, yakni sahih al-dzatih dan sahih li ghairah[14].
Keduanya tentu berbeda, dapat dilihat yang pertama adalah sahih al dzatih
merupakan suatu hadis sahih yang mampu memenuhi syarat-syaratnya dengan
sempurna. Yang berpengaruh dalam hal ini, adalah kekuatan ingatan pun hafalan
dari perawi itu sendiri.
1.
Hadis Sahih
al-dzatih
Dapat kita lihat dalam contoh
hadis berikut ini :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللّهِ بْنُ يُوْسُفَ اَخْبَرَنَا مَالِكُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللّهِ انَّرَسُوْلَاللّهِ صَلَّىى للّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :
اِذَا كَانُوْا تَلاَثَةً فَلاَ يَتَنَاجَى اِتنَانِ دُونَ الثَّالِثِ
Artinya : “Bukhori berkata. Abdullah bin Yusuf telah
menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “apabila mereka
bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa ikut serta orang ketiga”[15].
Penjelasan dari hadis
ini diterima oleh Bukhari berasal dari Abdullah bin Yusuf, beliaunya menerima
dari Malik, yang mana Malik menerima dari Abdullah. Abdullah ini merupakan
sahabt Nabi Muhammad SAW yang mendengar dari Nabi Muhammad. Rawi yang ada, baik
itu Bukhari, Abdullah bin Yusuf, Nafi’, serta Abdullah adalah rawi yang adil,
zabit dan benar tersambung sanadnya. Tidak terdapat cacat di sanad maupun matan
nya, sehingga disebutlah hadis Sahih al-Dzatih.
Hal inilah, mengapa suatu hadis bisa dikatakan hadis
sahih al-dzatih, jika rawi yang menyampaikan dan yang disampakan ini benar
bersambung, tak terdapat cacat, dari sisi sanad dan juga sisi matan[16].
2.
Hadis sahih li
ghairih
Sebagai contoh, mari
kita lihat hadis yang berikut ini :
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُولً اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيهَ وَسَلّمَ قَالَ : لَولاَ اَنْ اَشُقُّ عَلَى اُمَّتِى لاَ مَرْتُهُمْ بِاالسّواكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ
Artinya
: “Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda, “Sekiranya aku tidak
menyusahkan umatku, tentu aku menyuruh mereka bersiwak (menggosok gigi) setiap
salat”
Penjelasannya, hadis
ini diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad yang ada sendiri dan Tirmidzi juga
memiliki sanad tersendiri. Hadisnya dihitung menjadi dua hadis, yang pertama
hadis Bukhari yang mana dinilai sebagai hadis sahih li dzatih, yang kedua
adalah hadis Tirmidzi, dikatakan hadis sahih li ghairih karena diperkuat oleh
hadis Bukhari.
Disebut hadis sahih al
ghairih dikarenakan adanya kekuatan perawi yang kurang sempurna. Namun, hadis
ini tetap dikatakan li ghairi termasuk dalam hadis sahih apabila ada sesuatu
yang menguatkannya, yang mana apabila tidak terdapat hadis yang menguatkannya,
maka hadis ini tidak dapat dikatakan sebagai hadis sahih, namun tergolong dalam
hadis hasan. Yang perlu diketahui lebih lanjut adalah hadis sahih tergantung dari
kekuatan perawinya baik dari sisi ke-dhabitan dan keadilan para perawinya[17].
Pembagian hadis menurut ulama’ Muhaddisin yang
membagi hadis menurut tingkatan sanadnya, yakni :
1.
Ashah Al-Asnaid
Merupakan hadis yang
berada di tingkatan pertama atau paling tinggi derajatnya. Namun, banyak ulama’
yang berbeda pendapat dalam menentukan siapa perawinya. Ada yang mengatakan
hadi yang diriwayatkan Ibnu Syihab Az-Zuhri. Pendapat lain hadis yang
diriwayatkan oleh Sulaiman Al-Amasi. Sehingga penetapan dari Ashah Al-Asnaid
ini khusus pada sahabat dan juga daerah tertentu.
2.
Ahsanul
Al-Asnaid
Dimana hadisnya ini
memilikisaand pada tingkatan kedua setelah Ashah Al-Asnaid. Contohnya adalah
hadis yang diriwayatkan oleh Hammad bin Salmah.
3.
Adhaful
Al-Asnaid
Hadis ini berada
ditingkatan bawah dari kedua tingkat diatasnya, sebagai contoh adalah hadis
yang diriwayatkan oleh Suhail bin Aby Shalih dari bapaknya Abu Hurairah.
Ada juga pembagian hadis yang lain menurut para
ulama’ ahli hadis yang lain, dibagi menjadi 7 tingkatan, diantranya :
1.
Muttafaq ‘alaih,
merupakan hadis yang telah disepakati oleh Bukhari dan Muslim
2.
Hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhori
3.
Hadis yang
diriwayatkan oleh Muslim
4.
Hadis sahih yang
diriwayatkan berdasar pada syarat-syarat dari Bukhari-Muslim, namun tidak
di-takhrij oleh keduanya.
5.
Hadis sahih
menurut syarat dari Bukhari, namun tidak
di-takhrij oleh Bukhari
6.
Hadis sahih
menurut syarat dari Muslim, namun tidak di-takhrij oleh Imam Muslim.
7.
Hadis yang telah
di-takhrij oleh Imam selain Bukhari dan Muslim dan juga tidak berdasar pada
syarat-syarat dari kedua imam tersebut[18].
2. Hadis Hasan
Dalam pengertiannya,
hadis hasan dapat diartikan sebagai berikut :
مَا نَقَلَهُ عَدْلُ قلِيْلُ الضّبْطِ مُتَّصِلُ السَنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شّادٍّ
Artinya : ”Hadis
yang dinukilkan oleh seseorang yang adil, tak begitu kokoh ingatannya, sanadnya
bersambung, dan tidak terdapat illat serta kejanggalan”[19]
Yang membedakan dengan
hadis sahih terletak pada sisi perawinya, dalam hadis hasan ini, perawinya
masih belum sekuat perawi di hadis sahih. Namun tidak terdapat kejanggalan
ataupun kerancuan dalam kedua hadi ini, baik hadis Hasan ataupun hadis Sahih.
Syarat hadis dikatakan hadis hasan adalah sama halnya syarat hadis Sahih, hadis
hasan juga dibagi menjadi 2 kelompok, yakni hasan li dzatih dan juga hasan li
ghairih. Pengertian hasan al-dzatih ini sama artinya dengan hadis hasan. Namun
berbeda dengan hadis hasan li ghairih yang sebenarnya hadis dhaif, akan tetapi
dikuatkan oleh sanad dan juga matan, sehingga naik derajat menjadi hadis li
ghairih.namun perlu diingat, bahwa hadis dhaif tidak dapat naik derajat menjadi
hadis hasan li ghairih karena hadis yang telah digolongkan dalam hadis dhaif
ini sangat lemah sekali sehingga tidak dapat naik derajat menjadi hadis hasan
li ghairih.
Disamping itu, ada para
ulama’ yang mengupayakan kehujjahan hadis berdasarkan kualitas yang berbeda,
tingkatannya sama halnya dengan hadis sahih. Dimana tingkatan pertama yang
dirasa paling kuat, kemudian dilanjutkan pada tingkatan selanjutnya.
3. Hadits Dha’if
a.
Pengertian
Secara bahasa, dha’if
berarti lemah, lawan kata dari “al-qawiy” yang berarti kuat. Maka secara
bahasa hadis dha’if berarti hadits yang lemah.[20]
Sedangkan secara
istilah, hadits dha’if ialah :
Artinya
: “Hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan, yang hilang
salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits hasan.”
An-Nawawi
mendefinisikannya dengan:
ما لم
يوجد فيه شروط الصحة ولا
شروط الحسان
Artinya
: “Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan
syarat-syarat hadits hasan.”
b. Sebab-sebab
hadits dha’if tertolak
Para
ahli hadits mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadits ini dilihat dari dua
aspek, dari segi sanad terdapat dua sebab :
1. ada
kecacatan pada para perawinya baik dari segi keadilannya maupun kedhabitannya,
kecacatan ini diuraikan dalam 10 macam :
a)
Dusta
b) Tertuduh
dusta
c)
Fasiq
d) Banyak
salah
e)
Lengah dalam
menghafal
f)
Banyak wahamnya
g) Menyalahi
riwayat yang lebih tsiqqah
h) Tidak
diketahui identitasnya
i)
Penganut bid’ah
j)
Buruk hafalannya
2. Sanadnya
tidak bersambung, yang dapat diuraikan menjadi empat jenis:
a)
Gugur pada sanad
pertama
b) Gugur
pada sanad terakhir
c)
Gugur dua orang
rawi atau lebih secara berurutan
d) Gugurnya
rawi yang tidak berurutan
Sedangkan
dari segi matannya ada dua, yaitu hadits mauquf dan hadits matruk.
Di
dalam hadits dha’if, banyak
sekali macamnya. Dan setiap hadits dha’if itu memiliki tingkatan yang berbeda
antara satu sama lain, tergantung banyak sedikitnya syarat-syarat hadits shahih
atau hadits hasan yang terpenuhi. Dalam hal ini, hadits dha’if dilihat dari
penyebabnya dibagi menjadi dua, yakni hadits yang tertolak karena terputusnya
sanad dan hadits yang tertolak karena cacatnya perawi.
A. Hadits yang tertolak karena terputusnya sanad
a. Hadits
Mu’allaq
Menurut bahasa, mu’allaq adalah isim
maf’ul dari fi’il madli “’allaqa” yang artinya menghubungkan dan menjadikannya
sebagai sesuatu yang bergantung. Menurut istilah, hadits mu’allaq adalah suatu
hadits yang sejak awal sanadnya gugur seorang perawi secara perawi atau lebih
secara berturut-turut.[22]
Contohnya, hadits yang telah ditakhrij
oleh Imam Bukhari :
قال أبو
موسى غطى النبي صلى الله
عليه و سلم ركبتيه حين
دخل عثمان
Hadits
tersebut mu’allaq karena Imam Bukhari telah membuang semua sanadnya kecuali
perawi sahabat yaitu Abu Musa Al-Asy’ariy.
b. Hadits mursal
Menurut bahasa, “mursal”
adalah isim maf’ul dari fi’il madli “arsala” yang berarti “athlaqa” yakni
melepaskan. Seakan-akan hadits mursal itu melepas sanadnya dan tidak
mengikatnya dengan perawi yang dikenal. Secara istilah, hadits mursal adalah
suatu hadits yang akhir sanadnya gugur seorang perawi setelah tabi’in.[23]
عن مالك عن
بد الله بن أبى بكر
بن حزم أن فى الكتاب
الذي كتبه رسول الله لعمرو
بن حزم أن لا يمس
القرآن إلا الطاهر
Pada
hadits tersebut, Abdullah bin Abi Bakr adalah seorang tabi’in, sedangkan
seorang tabi’in tidak mungkin hidup semasa apalagi bertemu dengan Rasulullah SAW.
Dan di hadits tersebut ia tidak menyebutkan orang yang telah meriwayatkan
hadits itu padanya.
c. Hadits munqathi’
Menurut
bahasa, “al-munqathi’” adalah isim fa’il dari mashdar “al-inqitha’” lawan kata
“al-ittishal” yang berarti terputus lawan kata dari bersambung. Secara istilah, hadits munqathi’ yaitu hadits yang di
dalam sanadnya gugur seorang perawi dalam satu tempat atau lebih, baik itu di
depan di tengah ataupun di belakang.[24]
قال أحمد بن
شعيب أخبرنا قتيبة بن سعيد
قال لنا أب عونة
قال لنا هشام بن عروة
عن فطيمة بنت منذر عن
أم سلامة أم المؤمنين قال : قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم لا
يحرم من رالضاع إلا ما
فتق الأمعاء فى الثدي و
كان قبل الفطام
Pada
hadits tersebut, Fatimah tidak mendengarnya dari ummu salamah, karena saat itu
Fatimah masih sangat kecil.
d. Hadits mu’dlal
Menurut bahasa,
mu’dlal adalah isim maf’ul dari fi’il madli “a’dlala” yang memiliki arti sama
dengan “a’yaa” yang berarti memayahkan. Secara bahasa, hadits mu’dlal adalah hadits yang
sanadnya gugur dua orang perawi atau lebih secara berturut-turut.[25]
قال شفعى أخبرنا سعيد
بن سليم عن ابن جريج
أن رسول الله كان إذا
رأى البيت رفع يديه
Pada hadits
tersebut, Ibnu Juraij tidak sezaman dengan Rasulullah SAW. bahkan ia hidup
setelah masa tabi’in. Jadi, seharusnya ada dua perantara setelah Rasulullah
SAW. dan sebelum dia, yakni Sahabat dan Tabi’in.
e. Hadits mudallas
Menurut bahasa, al-mudallas berbentuk isim maf’ul dari
kata “al-tadlis” yang berarti menyembunyikan aib dari si pembeli. Kata tadlis adalah musytaq (derivasi)
dari mashdar tsulatsi “al-dalsu” yang berarti gelap atau campuran yang gelap,
sehingga seakan-akan sebuah hadits menjadi mudallas karena ia tertutup bagi
seseorang yang ingin mengetahui hadits itu, keadaannya menjadi lebih gelap
sehingga hadits tersebut menjadi mudallas yakni hadits yang menyimpan cacat.
Secara istilah, tadlis adalah merahasiakan cacat dalam sanad dan memperbaiki
lahirnya.[26]
Tadlis
dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu:
1) Tadlis
al-isnad
Para ulama’ hadits berbeda-beda dalam
memberikan dafinisi pada jenis tadlis isnad ini, dan pendapat yang paling
shahih adalah pendapat Abu Ahmad bin ‘Amr Al-Bazzar dan Abu Hasan Al-Qaththan,
yakni sebagai berikut:
أن يراوى
الراوى عمن قد سمع منه
ما لم يسمع منه من
غير أن يذكر أنه سمعه
منه
Tadlis al-isnad adalah seorang perawi meriwayatkan
suatu hadits yang pernah didengar dari orang lain tanpa menyebutkan bahwa dia
(perawi) pernah mendengar dari orang lain tersebut.
Maksudnya adalah seorang perawi
meriwayatkan hadits yang pernah didengar dari seorang guru, namun hadits
tersebut ditadlis (disamarkan) seakan-akan dia tidak pernah mendengarnya dari
guru itu dengan cara menyatakan bahwa dia mendengarnya dari orang lain.[27]
2) Tadlis
taswiyah
Jenis tadlis taswiyah ini sebenarnya ini pada
hakekatnya merupakan salah satu jenis tadlis al-isnad. Pengertiannya adalah
seorang perawi meriwayatkan hadits dari seorang guru kemudian menggugurkan
seorang perawi yang dha’if yang berada diantara dua perawi tsiqah dan dia
(perawi dha’if) pernah bertemu dengan kedua perawi meriwayatkan hadits dari
perawi tsiqah, yang oleh perawi tsiqah tersebut diterima dari perawi yang lemah
dan perawi yang lemah ini menerima dari perawi yang tsiqah pula. Jadi, salah
satu dari kedua perawi tersebut benar-benar pernah bertemu dengan yang lainnya
(perawi hadits dan perawi dha’if). kemudian mudallis meriwayatkan tanpa
menyebutkan perawi yang lemah tersebut dan meriwayatkan dengan lafal yang
mengandung pengertian bahwa perawinya tsiqah semua.[28]
3) Tadlis
as-syuyukh
Yakni seorang perawi meriwayatkan hadits
yang didengar dari seorang guru dengan menyebutkan nama kunyahnya (nama
panggilannya), nama keturunannya atau mensifati gurunya dengan sifat-sifat yang
tidak/belum dikenal oleh orang banyak.[29]
f.
Hadits Mursal Khafi
Menurut bahasa,
“mursal adalah isim maf’ul yang berasal dari mashdar “irsal” yang semakna
dengan kata “ithlaq” yang berarti melepaskan. Sedangkan “al-khafi” lawan kata
“al-jali” yang berarti tidak jelas, lawan kata dari terang atau jelas. Karena
mursal jenis ini tidak tampak sehingga tidak bisa ditemukan kecuali dengan
pembahasan dan penelitian. Secara istilah, hadits yang diriwayatkan oleh
seorang perawi dari seorang yang pernah dia jumpai atau hidup semasa dengannya,
namun perawi itu tidak pernah mendengar darinya, dengan memakai lafal yang
mengandung arti “al-sama’” dan sejenisnya.[30]
Seperti hadits
riwayat Ibnu Majah melalui jalur sanad Umar bin Abdul Aziz dari Uqbah bin Amir
secara marfu’ :
رحم الله حارس
الحرس
Menurut
keterangan Al-Maziy dalam kitabnya “Al-Athraf”, Umar bin Abdul Aziz tidak
pernah bertemu Uqbah.
g.
Hadits Mu’an’an dan Muannan
Secara
bahasa, “al-mu’an’an” adalah isim maf’ul dari kata dasar “’an’ana” yang berarti
berkata dengan menggunakan kata “”عنyang berarti dari. Sedangkan menurut istilah,
adalah ucapan perawi hadits yang menggunakan kata عن“dalam
meriwayatkan haditsnya.[31]
Contohnya seperti riwayat Ibnu Majah, beliau berkata:
حدثنا عثمان
أبى شيبة حدثنا معاوية بن
هشام حدثنا سفيان عن أسامة
بن زيد عن عثمان بن
عروة عن عائشة قالت قال
رسول الله صلى الله عليه
و سلم :إن الله وملائكته يصلون
على ميامن الصفوف
Sedangkan
hadits muannan, secara bahasa muannan adalah isim maf’ul dari “annana” yang
berarti berkata “أن” yang artinya bahwa. Menurut istilah, hadits muannan adalah
hadits yang diriwayatkan dengan perkataan “أن
فلان قال حدثنا فلان” [32]
B. Hadits yang tertolak karena cacatnya perawi
a. Hadits
maudlu’
b. Hadits
matruk
c. Hadits
munkar
d. Hadits
ma’ruf
e. Hadits
mu’allal
f. Hadits
mukhalafatu li al-tsiqah
g. Hadits
mudraj
h. Hadits
maqlub
i. Hadits
al-mazid fi al-muttashil asanid
j. Hadits
mudhtharib
k. Hadits
mushahhaf
l. Hadits
syadz dan hadits mahfudz
m. Hadits
al-jahalah bi al-rawi
C.
Penutup
Dari
pembahasan diatas. Dapat kita ketahui bahwa pengklasifikasian hadis dibedakan
menjadi tiga. Yakni hadis sahih, hadis hasan, dan juga dha'if. Yang mana hadis
dikatakan sahih apabila telah memenuhi syarat syarat yang telah di paparkan di
atas. Begitupun dengan hadis hasan yang perlu adanya komponen untuk memperkuat
hadis tersebut hingga hadis bisa dikatakan hadis hasan. Hadis sahih maupun
hasan dibagi menjadi 2, yakni li dzatih dan juga li ghairih. Sedangkam hadis
dha'if atau hadis yang lemah, memiliki pembagian dan juga pengklasifikasian
lebih dalam lagi, sesuai dengan penjelasan diatas. Yakni dengan
pengklasifikasian hadis yang ditolak karena terputus sanadnya, dan hadis yang
ditolak karena cacatnya perawi
DAFTAR
PUSTAKA
الطحان, الدكتور محمود. 1996م. تيسير المصطلح الحديث. الرياض: مكتبة المعارف للنشر
المتوزع
Mudasir, H. 2008. Ilmu Hadits. Bandung:
Pustaka Setia
Khaerumn, Dr. Badri. 2010. Ulum Al-Hadis.
Bandung: Pustaka Setia
Solahudin, Agus, Suyadi, Agus. 2009. Ulum Hadis.
Bandung: Pustaka Setia
Ahmad, Muhammad, Mudzakir, M. 2000. Ulumul Hadis.
Bandung : Pustaka Setia
Ridwan, A. Muhtadi. 2007. Intisari Ilmu Hadits.
Malang: UIN-Malang Press
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadis. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada
Abdurrahman, Maman. 2015. Teori Hadis: Sebuah
Pergeseran Pemikiran. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Zunin, Muhammad., Soir, Moh., Ngatiman. 2015. Hadis-Ilmu
Hadis. Jakarta: Kementerian Agama.
Muzayyin, Ahmad. 2017. Kualitas Hadis Ditentukan
Oleh Kualitas Terendah Rawi Dalam Sanad.
Jurnal Al-Muta’aliyah STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang. Volume I.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 1995. Silsilah
Hadits Dha’if dan Maudhu’ Jilid I. Jakarta: Gema Insani Press.
Catatan:
1. Similarity 13%, bagus.
2. Dalam karya tulis ilmiah, penulisan gelar (Prof.,
Dr., Ustadz dll) dihilangkan dalam tulisan inti, footnote, dan daftar pustaka.
3. Jika merujuk pada referensi berbahasa Arab, harus
ditulis dengan transliterasinya dan bukan dengan versi Arabnya.
4. Buku terjemahan harus dicantumkan siapa
penerjemahnya.
5. Cara penulisan footnote dan daftar pustaka
berbeda.
6. Pembagian hadis hasan perlu dijelaskan seperti
pembagian hadis shahih, termasuk diberikan contoh.
[1] Baderi
Khaeruman. 2009. Ulum Al Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 116
[2] Mudasir.
2008. Ilmu Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 141
[3] Baderi
Khaeruman. 2009. Ulum Al Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 116
[4] Agus
Sholahudin, Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 141
[5] Muhammad
Ahmad, M. Mudzakir. 2000. Ulumul Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 101
[6] Mudasir.
2008. Ilmu Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 143
[7] Agus
Sholahudin, Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 142
[8] Mudasir.
2008. Ilmu Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 146
[9] Muhammad
Ahmad, M. Mudzakir. 2000. Ulumul Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 103
[10] Agus
Sholahudin, Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 143
[11]
Mudasir. 2008. Ilmu Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 148
[12]
Muhammad Ahmad, M. Mudzakir. 2000. Ulumul Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal.
104
[13]
Mudasir. 2008. Ilmu Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 148
[14]
Mudasir. 2008. Ilmu Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 148
[15]
Muhammad Ahmad, M. Mudzakir. 2000. Ulumul Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal.
106
[16]
Muhammad Ahmad, M. Mudzakir. 2000. Ulumul Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal.
106
[17]
Mudasir. 2008. Ilmu Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 150
[18]
Mudasir. 2008. Ilmu Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 151
[19] Baderi
Khaeruman. 2009. Ulum Al Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 123
[20]
Munzier Suparta. 2003. Ilmu Hadis. Jakarta.PT RajaGrafindo Persada. Hal. 149
Tidak ada komentar:
Posting Komentar