Kamis, 08 November 2018

Klasifikasi Hadis dari Aspek Kualitas (PAI I ICP Semester Ganjil 2018/2019)



KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN KUALITASNYA
Anzalina Wulida Fajriyanti (17110144)
Faridatul ‘Aliyah (17110155)
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
In this article we will discuss about the classification of hadits in term of quality. According to the quality of the narrators, hadith is clasified into three types shahih hadith, hasan hadith, and dha’if hadith. According to its hujjah, hadith is divided into two types maqbul hadith and mardud hadith where the shahih hadith and hasan hadith included in the group of maqbul hadith, and the dha’if belong to mardud hadith. In this classification, shahih hadith consist of two kinds, shahih li dzatih and shahih li ghairih. Same as shahih hadith, hasan hadith is divided into two kinds, hasan li dzatih and hasan li ghairih. Whereas the dha’if hadith is clasified in various aspects,in term of the connection between sanad, the backrest and the other aspects.
Keyword : Hadith, Shahih, Hasan, Dha’if.
Abstrak
Dalam artikel ini akan membahas tentang pengklasifikasian hadis dari segi kualitasnya. Menurut dari kualitas rawi yang meriwayatkannya dibedakan menjadi 3 jenis hadis, yakni hadis Shahih, hadis Hasan, dan juga hadis Dha’if. Sedangkan menurut kehujjahannya digolongkan menjadi 2 yaitu, hadis Maqbul dan juga hadis Mardud. Dimana hadis Shahih dan juga hadis Hasan termasuk dalam golongan hadis Maqbul. Dan hadis Dhaif tergolong hadis Mardud.Dalam pengklasifikasiannya, hadis Shahih terdpat 2 macam, yakni hadis Shahih li dzatih dan hadis shahih li ghairih. Begitupun dengan hadis Hasan, pengklasifikasiannya sama dengan hadis Shahih. Sedangkan hadis Dha’if diklasifikasikan dari berbagai segi, baik dari segi persambungan sanadnya, sandarannya, dan segi-segi yang lain.
Kata kunci : Hadis, Shahih, Hasan, Dha’if



A.  Pendahuluan

Hadis merupakan kabar atau berita secara bahasa, dan secara istilah merupakan segala ucapan Nabi, perbuatan, taqrir, dan keadaannya, yang ada kaitannya dengan hukum dan juga bisa berdampak pada hukum. Hadis ini ada yang bisa diterima dan juga ditolak.
Namun, setelah beberapa waktu berlalu muncullah hadits-hadits baru yang berbeda dari hadits-hadits sebelumnya. Permasalahannya, apakah hadits-hadits tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah SAW atau tidak? Karena belum tentu setiap informasi yang mengatasnamakan Rasulullah memang benar-benar berasal dari Rasulullah. Tidak sedikit yang menyebarkan informasi baru tanpa bukti dan berbeda dengan syari’at islam hanya untuk memperoleh keuntungan sendiri dan menipu banyak orang hanya dengan menyandarkan perkataan diri sendiri kepada Rasulullah. Apalagi di era millenial seperti sekarang ini, di mana berita-berita hoax sudah menyebar dengan cepatnya. Tidak dipungkiri juga bila saat ini hadits-hadits palsu masih bermunculan.
Oleh karena itu, untuk menangani permasalahan tersebut, para ulama ahli hadits memunculkan ilmu musthalahul hadits untuk mengetahui hadits-hadits mana yang memang berkualitas dan terhindar dari kecacatan. Agar terpilah hadits mana yang maqbul dan mana yang mardud. Sehingga muncullah pengklasifikasian hadits berdasarkan kualitas yang membagi hadits menjadi tiga jenis, yaitu hadits shahih, hadits hasan dan hadits dha’if. Berikut akan kami bahas mengenai klasifikasi hadits berdasarkan kualitasnya.

B.     Klasifikasi Hadis dari Aspek Kualitas
Pengklasifikasian hadis ini ada berbagai pendapat diantaranya pembagian hadis yang brikut ini. Hadis ada yang bisa diterima dan juga ditolak. Hadis yang bisa diterima ini adalah hadis yang bisa digunakan sebagai hujjah atau yang disebut dengan hadis Maqbul. Yang mana hadis maqbul ini terdapat pengklasifikasiannya, menjadi 4, yakni hadis shahih, hadis shahih li dzathi, hadis hasan, dan hadis hasan li ghairihi[1]. Dalam buku Ilmu Hadis karangan Mudasir, hadis ditinjau dari segi kualitas dibagi menjadi 2 yaitu, Hadis Maqbul dan juga Hadis Mardud. Pengertian Maqbul dilihat dari sisi bahasa berasal dari makhudz (yang diambil) dan mushoddaq (yang dibenarkan / diterima). Dalam sisi lain, sisi istilah yakni :

                                      مَا تَوَا فَرَتْ فِيْهِ جَمِيْعُ شُرُوْطُ اْلقَبُوْلِ
                        Artinya : “Hadis yang telah sempurna syarat-syarat penerimaannya”[2]

Hasbi Ashiddieqy mengartikan hadis Maqbul merupakan hadis sesuatu yang merujuk pada sebuah keterangan yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, lebih tertuju pada ‘adanya’ bukan pada ‘ketiadaannya’. Atau yang lebih gampang bahwa hadis Maqbul adalah hadis yang bisa diterima, sehingga bisa dijadikan hujjah, bisa digunakan untuk pedoman dan juga panduan dalam mengamalkan syariat. Bisa juga menjadi alat istinbath dan bayyan pada al-Qur’an, serta bisa di-istinbath­-kan dengan ushul fiqh.[3]
Lalu hadis dha’if sendiri termasuk dalam hadis Mardud dimana Mardud ini berarti kebalikan dari Maqbul yakni ditolak. Secara istilah mardud berarti :
                                                فَقْدُ تِلْكَ الشُرُوطِ اَوْبَعْضِهَا
Artinya :“hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadis maqbul”
Yang dimaksud dalam pengertan istilah terebut adalah pada sanad dan juga matan. Sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Yang menjadikan hadis dha’if termasuk dalam klasifikasi hadis Mardud. Sedangkan menurut pembagian klasifikasi yang berdasarkan kualitas rawi yang meriwayatkannya. Dimana dalam pembagiannya ada 3 macamnya, yakni hadis Shahih, hasan dan juga dha’if [4]. Akan dibahas sebagai berikut :
1.      Hadis Sahih
Definisi sahih berdasarkan bahasa berarti sah, benar, sempurna, sehat, pasti. Yang mana berlawanan dengan kata saqim, saqim sendiri berarti sakit. Secara istilah yang diberikn oleh para ahli hadis sehingga telah disepakati dan juga diakui yakni seperti berikut ini :

الحَدِيْثُ الصَحِيْحُ هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِي التّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعضدْلِ الضَّابِطَ عن الْعَدْلِ ألضَّابِطِ اِلَي مُنْتَهَا هُ وَلاَ يَكُوْنُ شاذًا وَلاَ مُعَلّلاً

Artinya : Hadis sahih adalah hadi yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan zabit dan rawi lain yang (juga) adil dan zabit sampai akhir sanad, dan hadis itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat)[5].

Namun menurut ahli hadis dari kalangan Al-Mutaqqadimin dari abad ke-tiga H. Mereka belum bisa memberikan definisi secara spesifik mengenai hadis sahih. Untuk itu mereka menyampaikan sebuah keterangan tentang syarat penerimaan suatu hadis, dimana hadis tersebut bisa dijadikan pedoman. Salah satu pernyataan dari mereka adalah “tidak diterima periwayatan suatu hadis, kecuali berdasar dari orang-orang yang tsiqat, tidak diterima periwayatan yang bersumber dari orang-orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan hadis, dusta, mengikuti hawa nafsu, orang-orang ditolak kesaksiannya”
Hingga diberikan pengertian yang lebih detail oleh Imam Syafi’i, dengan adanya ketentuan sebuah hadi yang bisa dikatakan hujjah, yakni jika :
1.      Sebuah hadis diriwayatkan oleh perawi yang bisa dipercaya baik dalam sisi amalan agamanya, diketahui sebagai orang jujur, mampu mengerti dengan jelas hadis yang diriwayatkannya, memahami arti jika ada perubahan lafalnya, dapat meriwayatkan hadis dengan lafalnya, mampu memelihara dan menjaga hafalan hadis jika yang diriwayatkan secara lafal. Sama bunyi hadis yang diriwayatkan dan juga hadis yang diriwayatkan oleh orang lain, serta terhindar dari tadlis (menyembunyikan cacat).
2.      Serangkaian riwayatnya bersambung pada Nabi Muhammad SAW tau bisa juga tidak sampai pada Nabi Muhammad SAW.
Hingga sejak itulah, Imam Syafi’i disebut sebagai ulama’ yang awalnya menerangkan tentang ketentuan hadis yang sahih. Dapat dilihat dari sanad dan juga matan dari hadis tersebut[6].
Ada pendapat muhaditsin, tentang penilaian sebuah hadis yang bisa dikatakan hadis sahih. Dengan syarat-syarat berikut ini. :

1.      Riwayatnya bersifat adil
Adil disini merupakan sebuah tenaga jiwa yang bersemangat dalam selalu bertaqwa, menghindari untuk melakukan perilaku tercela meskipun termasuk dosa kecil, menjauhkan diri dari mubahyang nantinya dikhawatirkan akan menodai muru’ah, ketentuan ini disampaikan oleh Ar Razi. Namun, menurut Syuhudi Ismail ada 4 pilar didalmnya, yakni ada periwayat harus beragama Islam ,Al-muktalaf, baik dalam segi melaksanakan ketentuan agama. Dan mampu menjaga muru’ah [7]. Sifat adilnya dapat dilihat melalui, sebagai perawi yang terkenal dengan keutamaan pribadinya di kalangan para ulama’ ahli hadis. Terdapat juga dari para kritikus perawi hadis yang menilai dari kelebihan serta kekurangan dalam diri perawi itu sendiri. Diterapkan pula kaidah Al-Jarh wa Ta’dili apabila tidak ditemukan kesepakatan dari para kritikus oerawi hadis [8].
2.      Rawinya bersifat dhabit.
Yang dimaksud dhabit ini merupakan rawi yang sangat kuat hafalan hadis maupun kitabnya, sehingga sanggup untuk menyampaikan kembali hadis yang diriwayatkan. Orang yang mampu mengingat dan juga menyampaikan kembali sebuah hadisi ini adalah dhabtu sadri dimana menyampaikannya bersumber dari buku catatannya (teks book) atau yang dinamakan teks book. Dan rawinya sendiri yang memiliki sifat adil sekaligus dhabit disebut dengan tsiqat.
3.      Sanadnya bersambung
Dikatakan bersambung apabila rawi pertama merupakan sahabatNabi yang benar-benar berjumpa dengan Nabi, dan kemudian menyampaikan hads pada rawi ke dua, begitupun rawi kedua dengan rawi ketiga [9]. Terdapat tata kerja penilitian oleh ulama’ hadis bertujuan dalam mengetahui benar tidak sambungan dari suatu sanadnya yakni dengan melakukan pencatatan pada semua nama rawi pada sanad, menelusuri sejarah hidup tiap rawi, mempelajari kata yang dapat menghubungkan dari rawi ke rawi yang paling dekat dengan sanad menurut ketentuan tahamul wa ada al-hadis[10].
4.      Tidak ber-‘illat
Illat sendiri berarti cacat. Yang merupakan bentuk jamak dari Ilal. Maka dari itu, hadis sahih harus terhindar dari illat. Karena menurut istilah, illat sendiri berarti sesuatu sebab yang tersembunyi atau samar. Baik dari sisi sanad ataupun matan[11].
5.      Tidak Syadz (Janggal)
Pengertian syadz ini adalah rancu. Dimana kerancuan ini timbul ketika seorang rawi yang memiliki perbedaan pendapat dengan perawi yang lebih kuat posisi atau kedudukannya[12]. Hal inilah yang menyebabkan hadis dikatakan syadz apabila terdapat perbedaan antara perawi satu yang lebih kuat posisinya atau bahkan lebih tsiqah. Jadi hadis bisa dikatakan hadis sahih apabila hadis tersebut tidak syadz yakni hadis yang tidak berlawanan dengan hadis yang lebih tsiqah[13].
Kemudian jika dilihat dari sisi matan hadis itu sendiri ada 2 bagian, yakni sahih al-dzatih dan sahih li ghairah[14]. Keduanya tentu berbeda, dapat dilihat yang pertama adalah sahih al dzatih merupakan suatu hadis sahih yang mampu memenuhi syarat-syaratnya dengan sempurna. Yang berpengaruh dalam hal ini, adalah kekuatan ingatan pun hafalan dari perawi itu sendiri.
1.      Hadis Sahih al-dzatih
Dapat kita lihat dalam contoh hadis berikut ini :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللّهِ بْنُ يُوْسُفَ اَخْبَرَنَا مَالِكُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللّهِ انَّرَسُوْلَاللّهِ صَلَّىى للّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :
اِذَا كَانُوْا تَلاَثَةً فَلاَ يَتَنَاجَى اِتنَانِ دُونَ الثَّالِثِ
Artinya : “Bukhori berkata. Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “apabila mereka bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa ikut serta orang ketiga”[15].
            Penjelasan dari hadis ini diterima oleh Bukhari berasal dari Abdullah bin Yusuf, beliaunya menerima dari Malik, yang mana Malik menerima dari Abdullah. Abdullah ini merupakan sahabt Nabi Muhammad SAW yang mendengar dari Nabi Muhammad. Rawi yang ada, baik itu Bukhari, Abdullah bin Yusuf, Nafi’, serta Abdullah adalah rawi yang adil, zabit dan benar tersambung sanadnya. Tidak terdapat cacat di sanad maupun matan nya, sehingga disebutlah hadis Sahih al-Dzatih.
            Hal inilah, mengapa suatu hadis bisa dikatakan hadis sahih al-dzatih, jika rawi yang menyampaikan dan yang disampakan ini benar bersambung, tak terdapat cacat, dari sisi sanad dan juga sisi matan[16].

2.      Hadis sahih li ghairih
Sebagai contoh, mari kita lihat hadis yang berikut ini :

عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُولً اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيهَ وَسَلّمَ قَالَ : لَولاَ اَنْ اَشُقُّ عَلَى اُمَّتِى لاَ مَرْتُهُمْ بِاالسّواكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ

Artinya : “Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda, “Sekiranya aku tidak menyusahkan umatku, tentu aku menyuruh mereka bersiwak (menggosok gigi) setiap salat”
Penjelasannya, hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad yang ada sendiri dan Tirmidzi juga memiliki sanad tersendiri. Hadisnya dihitung menjadi dua hadis, yang pertama hadis Bukhari yang mana dinilai sebagai hadis sahih li dzatih, yang kedua adalah hadis Tirmidzi, dikatakan hadis sahih li ghairih karena diperkuat oleh hadis Bukhari.
Disebut hadis sahih al ghairih dikarenakan adanya kekuatan perawi yang kurang sempurna. Namun, hadis ini tetap dikatakan li ghairi termasuk dalam hadis sahih apabila ada sesuatu yang menguatkannya, yang mana apabila tidak terdapat hadis yang menguatkannya, maka hadis ini tidak dapat dikatakan sebagai hadis sahih, namun tergolong dalam hadis hasan. Yang perlu diketahui lebih lanjut adalah hadis sahih tergantung dari kekuatan perawinya baik dari sisi ke-dhabitan dan keadilan para perawinya[17].
Pembagian hadis menurut ulama’ Muhaddisin yang membagi hadis menurut tingkatan sanadnya, yakni :
1.      Ashah Al-Asnaid
Merupakan hadis yang berada di tingkatan pertama atau paling tinggi derajatnya. Namun, banyak ulama’ yang berbeda pendapat dalam menentukan siapa perawinya. Ada yang mengatakan hadi yang diriwayatkan Ibnu Syihab Az-Zuhri. Pendapat lain hadis yang diriwayatkan oleh Sulaiman Al-Amasi. Sehingga penetapan dari Ashah Al-Asnaid ini khusus pada sahabat dan juga daerah tertentu.
2.      Ahsanul Al-Asnaid
Dimana hadisnya ini memilikisaand pada tingkatan kedua setelah Ashah Al-Asnaid. Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Hammad bin Salmah.
3.      Adhaful Al-Asnaid
Hadis ini berada ditingkatan bawah dari kedua tingkat diatasnya, sebagai contoh adalah hadis yang diriwayatkan oleh Suhail bin Aby Shalih dari bapaknya Abu Hurairah.
Ada juga pembagian hadis yang lain menurut para ulama’ ahli hadis yang lain, dibagi menjadi 7 tingkatan, diantranya :
1.      Muttafaq ‘alaih, merupakan hadis yang telah disepakati oleh Bukhari dan Muslim
2.      Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori
3.      Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim
4.      Hadis sahih yang diriwayatkan berdasar pada syarat-syarat dari Bukhari-Muslim, namun tidak di-takhrij oleh keduanya.
5.      Hadis sahih menurut syarat dari Bukhari, namun tidak  di-takhrij oleh Bukhari
6.      Hadis sahih menurut syarat dari Muslim, namun tidak di-takhrij oleh Imam Muslim.
7.      Hadis yang telah di-takhrij oleh Imam selain Bukhari dan Muslim dan juga tidak berdasar pada syarat-syarat dari kedua imam tersebut[18].


2.      Hadis  Hasan
Dalam pengertiannya, hadis hasan dapat diartikan sebagai berikut :

مَا نَقَلَهُ عَدْلُ قلِيْلُ الضّبْطِ مُتَّصِلُ السَنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شّادٍّ
Artinya : ”Hadis yang dinukilkan oleh seseorang yang adil, tak begitu kokoh ingatannya, sanadnya bersambung, dan tidak terdapat illat serta kejanggalan”[19]

Yang membedakan dengan hadis sahih terletak pada sisi perawinya, dalam hadis hasan ini, perawinya masih belum sekuat perawi di hadis sahih. Namun tidak terdapat kejanggalan ataupun kerancuan dalam kedua hadi ini, baik hadis Hasan ataupun hadis Sahih. Syarat hadis dikatakan hadis hasan adalah sama halnya syarat hadis Sahih, hadis hasan juga dibagi menjadi 2 kelompok, yakni hasan li dzatih dan juga hasan li ghairih. Pengertian hasan al-dzatih ini sama artinya dengan hadis hasan. Namun berbeda dengan hadis hasan li ghairih yang sebenarnya hadis dhaif, akan tetapi dikuatkan oleh sanad dan juga matan, sehingga naik derajat menjadi hadis li ghairih.namun perlu diingat, bahwa hadis dhaif tidak dapat naik derajat menjadi hadis hasan li ghairih karena hadis yang telah digolongkan dalam hadis dhaif ini sangat lemah sekali sehingga tidak dapat naik derajat menjadi hadis hasan li ghairih.
Disamping itu, ada para ulama’ yang mengupayakan kehujjahan hadis berdasarkan kualitas yang berbeda, tingkatannya sama halnya dengan hadis sahih. Dimana tingkatan pertama yang dirasa paling kuat, kemudian dilanjutkan pada tingkatan selanjutnya.

3.      Hadits Dha’if
a.      Pengertian
Secara bahasa, dha’if berarti lemah, lawan kata dari “al-qawiy” yang berarti kuat. Maka secara bahasa hadis dha’if berarti hadits yang lemah.[20]
Sedangkan secara istilah, hadits dha’if ialah :
هوما لم يجمع صفة الحسن, بفقد شرط من شروطه[21]
Artinya : “Hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan, yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits hasan.”
An-Nawawi mendefinisikannya dengan:
ما لم يوجد فيه شروط الصحة ولا شروط الحسان
Artinya : “Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan.”

b.      Sebab-sebab hadits dha’if tertolak
Para ahli hadits mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadits ini dilihat dari dua aspek, dari segi sanad terdapat dua sebab :
1. ada kecacatan pada para perawinya baik dari segi keadilannya maupun kedhabitannya, kecacatan ini diuraikan dalam 10 macam :
a)        Dusta
b)       Tertuduh dusta
c)        Fasiq
d)       Banyak salah
e)        Lengah dalam menghafal
f)        Banyak wahamnya
g)       Menyalahi riwayat yang lebih tsiqqah
h)       Tidak diketahui identitasnya
i)         Penganut bid’ah
j)         Buruk hafalannya
2. Sanadnya tidak bersambung, yang dapat diuraikan menjadi empat jenis:
a)        Gugur pada sanad pertama
b)       Gugur pada sanad terakhir
c)        Gugur dua orang rawi atau lebih secara berurutan
d)       Gugurnya rawi yang tidak berurutan

Sedangkan dari segi matannya ada dua, yaitu hadits mauquf dan hadits matruk.
Di dalam hadits dha’if, banyak sekali macamnya. Dan setiap hadits dha’if itu memiliki tingkatan yang berbeda antara satu sama lain, tergantung banyak sedikitnya syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan yang terpenuhi. Dalam hal ini, hadits dha’if dilihat dari penyebabnya dibagi menjadi dua, yakni hadits yang tertolak karena terputusnya sanad dan hadits yang tertolak karena cacatnya perawi.

A. Hadits yang tertolak karena terputusnya sanad
a. Hadits Mu’allaq
Menurut bahasa, mu’allaq adalah isim maf’ul dari fi’il madli “’allaqa” yang artinya menghubungkan dan menjadikannya sebagai sesuatu yang bergantung. Menurut istilah, hadits mu’allaq adalah suatu hadits yang sejak awal sanadnya gugur seorang perawi secara perawi atau lebih secara berturut-turut.[22]
Contohnya, hadits yang telah ditakhrij oleh Imam Bukhari :
قال أبو موسى غطى النبي صلى الله عليه و سلم ركبتيه حين دخل عثمان
Hadits tersebut mu’allaq karena Imam Bukhari telah membuang semua sanadnya kecuali perawi sahabat yaitu Abu Musa Al-Asy’ariy.

b. Hadits mursal
Menurut bahasa, “mursal” adalah isim maf’ul dari fi’il madli “arsala” yang berarti “athlaqa” yakni melepaskan. Seakan-akan hadits mursal itu melepas sanadnya dan tidak mengikatnya dengan perawi yang dikenal. Secara istilah, hadits mursal adalah suatu hadits yang akhir sanadnya gugur seorang perawi setelah tabi’in.[23]
عن مالك عن بد الله بن أبى بكر بن حزم أن فى الكتاب الذي كتبه رسول الله لعمرو بن حزم أن لا يمس القرآن إلا الطاهر
Pada hadits tersebut, Abdullah bin Abi Bakr adalah seorang tabi’in, sedangkan seorang tabi’in tidak mungkin hidup semasa apalagi bertemu dengan Rasulullah SAW. Dan di hadits tersebut ia tidak menyebutkan orang yang telah meriwayatkan hadits itu padanya.
c. Hadits munqathi’
Menurut bahasa, “al-munqathi’” adalah isim fa’il dari mashdar “al-inqitha’” lawan kata “al-ittishal” yang berarti terputus lawan kata dari bersambung. Secara istilah, hadits munqathi’ yaitu hadits yang di dalam sanadnya gugur seorang perawi dalam satu tempat atau lebih, baik itu di depan di tengah ataupun di belakang.[24]
قال أحمد بن شعيب أخبرنا قتيبة بن سعيد قال لنا أب عونة قال لنا هشام بن عروة عن فطيمة بنت منذر عن أم سلامة أم المؤمنين قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يحرم من رالضاع إلا ما فتق الأمعاء فى الثدي و كان قبل الفطام
Pada hadits tersebut, Fatimah tidak mendengarnya dari ummu salamah, karena saat itu Fatimah masih sangat kecil.

d. Hadits mu’dlal
Menurut bahasa, mu’dlal adalah isim maf’ul dari fi’il madli “a’dlala” yang memiliki arti sama dengan “a’yaa” yang berarti memayahkan. Secara bahasa, hadits mu’dlal adalah hadits yang sanadnya gugur dua orang perawi atau lebih secara berturut-turut.[25]
قال شفعى أخبرنا سعيد بن سليم عن ابن جريج أن رسول الله كان إذا رأى البيت رفع يديه
Pada hadits tersebut, Ibnu Juraij tidak sezaman dengan Rasulullah SAW. bahkan ia hidup setelah masa tabi’in. Jadi, seharusnya ada dua perantara setelah Rasulullah SAW. dan sebelum dia, yakni Sahabat dan Tabi’in.

e. Hadits mudallas
Menurut bahasa, al-mudallas berbentuk isim maf’ul dari kata “al-tadlis” yang berarti menyembunyikan aib dari si pembeli. Kata tadlis adalah musytaq (derivasi) dari mashdar tsulatsi “al-dalsu” yang berarti gelap atau campuran yang gelap, sehingga seakan-akan sebuah hadits menjadi mudallas karena ia tertutup bagi seseorang yang ingin mengetahui hadits itu, keadaannya menjadi lebih gelap sehingga hadits tersebut menjadi mudallas yakni hadits yang menyimpan cacat. Secara istilah, tadlis adalah merahasiakan cacat dalam sanad dan memperbaiki lahirnya.[26]

Tadlis dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu:
1) Tadlis al-isnad
Para ulama’ hadits berbeda-beda dalam memberikan dafinisi pada jenis tadlis isnad ini, dan pendapat yang paling shahih adalah pendapat Abu Ahmad bin ‘Amr Al-Bazzar dan Abu Hasan Al-Qaththan, yakni sebagai berikut:

أن يراوى الراوى عمن قد سمع منه ما لم يسمع منه من غير أن يذكر أنه سمعه منه
Tadlis al-isnad adalah seorang perawi meriwayatkan suatu hadits yang pernah didengar dari orang lain tanpa menyebutkan bahwa dia (perawi) pernah mendengar dari orang lain tersebut.
Maksudnya adalah seorang perawi meriwayatkan hadits yang pernah didengar dari seorang guru, namun hadits tersebut ditadlis (disamarkan) seakan-akan dia tidak pernah mendengarnya dari guru itu dengan cara menyatakan bahwa dia mendengarnya dari orang lain.[27]
2) Tadlis taswiyah
Jenis tadlis taswiyah ini sebenarnya ini pada hakekatnya merupakan salah satu jenis tadlis al-isnad. Pengertiannya adalah seorang perawi meriwayatkan hadits dari seorang guru kemudian menggugurkan seorang perawi yang dha’if yang berada diantara dua perawi tsiqah dan dia (perawi dha’if) pernah bertemu dengan kedua perawi meriwayatkan hadits dari perawi tsiqah, yang oleh perawi tsiqah tersebut diterima dari perawi yang lemah dan perawi yang lemah ini menerima dari perawi yang tsiqah pula. Jadi, salah satu dari kedua perawi tersebut benar-benar pernah bertemu dengan yang lainnya (perawi hadits dan perawi dha’if). kemudian mudallis meriwayatkan tanpa menyebutkan perawi yang lemah tersebut dan meriwayatkan dengan lafal yang mengandung pengertian bahwa perawinya tsiqah semua.[28]
3) Tadlis as-syuyukh
Yakni seorang perawi meriwayatkan hadits yang didengar dari seorang guru dengan menyebutkan nama kunyahnya (nama panggilannya), nama keturunannya atau mensifati gurunya dengan sifat-sifat yang tidak/belum dikenal oleh orang banyak.[29]

f. Hadits Mursal Khafi
Menurut bahasa, “mursal adalah isim maf’ul yang berasal dari mashdar “irsal” yang semakna dengan kata “ithlaq” yang berarti melepaskan. Sedangkan “al-khafi” lawan kata “al-jali” yang berarti tidak jelas, lawan kata dari terang atau jelas. Karena mursal jenis ini tidak tampak sehingga tidak bisa ditemukan kecuali dengan pembahasan dan penelitian. Secara istilah, hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari seorang yang pernah dia jumpai atau hidup semasa dengannya, namun perawi itu tidak pernah mendengar darinya, dengan memakai lafal yang mengandung arti “al-sama’” dan sejenisnya.[30]
Seperti hadits riwayat Ibnu Majah melalui jalur sanad Umar bin Abdul Aziz dari Uqbah bin Amir secara marfu’ :
رحم الله حارس الحرس
Menurut keterangan Al-Maziy dalam kitabnya “Al-Athraf”, Umar bin Abdul Aziz tidak pernah bertemu Uqbah.

g. Hadits Mu’an’an dan Muannan
Secara bahasa, “al-mu’an’an” adalah isim maf’ul dari kata dasar “’an’ana” yang berarti berkata dengan menggunakan kata  “”عنyang berarti dari. Sedangkan menurut istilah, adalah ucapan perawi hadits yang menggunakan kata  عن“dalam meriwayatkan haditsnya.[31] Contohnya seperti riwayat Ibnu Majah, beliau berkata:
حدثنا عثمان أبى شيبة حدثنا معاوية بن هشام حدثنا سفيان عن أسامة بن زيد عن عثمان بن عروة عن عائشة قالت قال رسول الله صلى الله عليه و سلم :إن الله وملائكته يصلون على ميامن الصفوف
Sedangkan hadits muannan, secara bahasa muannan adalah isim maf’ul dari “annana” yang berarti berkata “أن” yang artinya bahwa. Menurut istilah, hadits muannan adalah hadits yang diriwayatkan dengan perkataan “أن فلان قال حدثنا فلان[32]

B. Hadits yang tertolak karena cacatnya perawi
a. Hadits maudlu’
b. Hadits matruk
c. Hadits munkar
d. Hadits ma’ruf
e. Hadits mu’allal
f. Hadits mukhalafatu li al-tsiqah
g. Hadits mudraj
h. Hadits maqlub
i. Hadits al-mazid fi al-muttashil asanid
j. Hadits mudhtharib
k. Hadits mushahhaf
l. Hadits syadz dan hadits mahfudz
m. Hadits al-jahalah bi al-rawi

C. Penutup
Dari pembahasan diatas. Dapat kita ketahui bahwa pengklasifikasian hadis dibedakan menjadi tiga. Yakni hadis sahih, hadis hasan, dan juga dha'if. Yang mana hadis dikatakan sahih apabila telah memenuhi syarat syarat yang telah di paparkan di atas. Begitupun dengan hadis hasan yang perlu adanya komponen untuk memperkuat hadis tersebut hingga hadis bisa dikatakan hadis hasan. Hadis sahih maupun hasan dibagi menjadi 2, yakni li dzatih dan juga li ghairih. Sedangkam hadis dha'if atau hadis yang lemah, memiliki pembagian dan juga pengklasifikasian lebih dalam lagi, sesuai dengan penjelasan diatas. Yakni dengan pengklasifikasian hadis yang ditolak karena terputus sanadnya, dan hadis yang ditolak karena cacatnya perawi

DAFTAR PUSTAKA
الطحان, الدكتور محمود. 1996م. تيسير المصطلح الحديث. الرياض: مكتبة المعارف للنشر المتوزع
Mudasir, H. 2008. Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Setia
Khaerumn, Dr. Badri. 2010. Ulum Al-Hadis. Bandung: Pustaka Setia
Solahudin, Agus, Suyadi, Agus. 2009. Ulum Hadis. Bandung: Pustaka Setia
Ahmad, Muhammad, Mudzakir, M. 2000. Ulumul Hadis. Bandung : Pustaka Setia
Ridwan, A. Muhtadi. 2007. Intisari Ilmu Hadits. Malang: UIN-Malang Press
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Abdurrahman, Maman. 2015. Teori Hadis: Sebuah Pergeseran Pemikiran. Bandung: PT   Remaja Rosdakarya
Zunin, Muhammad., Soir, Moh., Ngatiman. 2015. Hadis-Ilmu Hadis. Jakarta: Kementerian           Agama.
Muzayyin, Ahmad. 2017. Kualitas Hadis Ditentukan Oleh Kualitas Terendah Rawi Dalam           Sanad. Jurnal Al-Muta’aliyah STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang. Volume I.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 1995. Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’ Jilid I.     Jakarta: Gema Insani Press.

Catatan:
1. Similarity 13%, bagus.
2. Dalam karya tulis ilmiah, penulisan gelar (Prof., Dr., Ustadz dll) dihilangkan dalam tulisan inti, footnote, dan daftar pustaka.
3. Jika merujuk pada referensi berbahasa Arab, harus ditulis dengan transliterasinya dan bukan dengan versi Arabnya.
4. Buku terjemahan harus dicantumkan siapa penerjemahnya.
5. Cara penulisan footnote dan daftar pustaka berbeda.
6. Pembagian hadis hasan perlu dijelaskan seperti pembagian hadis shahih, termasuk diberikan contoh.


[1] Baderi Khaeruman. 2009. Ulum Al Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 116
[2] Mudasir. 2008. Ilmu Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 141
[3] Baderi Khaeruman. 2009. Ulum Al Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 116
[4] Agus Sholahudin, Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 141
[5] Muhammad Ahmad, M. Mudzakir. 2000. Ulumul Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 101
[6] Mudasir. 2008. Ilmu Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 143
[7] Agus Sholahudin, Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 142
[8] Mudasir. 2008. Ilmu Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 146
[9] Muhammad Ahmad, M. Mudzakir. 2000. Ulumul Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 103
[10] Agus Sholahudin, Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 143
[11] Mudasir. 2008. Ilmu Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 148
[12] Muhammad Ahmad, M. Mudzakir. 2000. Ulumul Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 104
[13] Mudasir. 2008. Ilmu Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 148
[14] Mudasir. 2008. Ilmu Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 148
[15] Muhammad Ahmad, M. Mudzakir. 2000. Ulumul Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 106
[16] Muhammad Ahmad, M. Mudzakir. 2000. Ulumul Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 106
[17] Mudasir. 2008. Ilmu Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 150
[18] Mudasir. 2008. Ilmu Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 151
[19] Baderi Khaeruman. 2009. Ulum Al Hadis. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 123
[20] Munzier Suparta. 2003. Ilmu Hadis. Jakarta.PT RajaGrafindo Persada. Hal. 149
[21]محمود الطحان. 1996م. تيسير المصطلح الحديث. الرياض. مكتبة المعارف للنشر والمتوزع. ص. 63
[22]محمود الطحان. 1996م. تيسير المصطلح الحديث. الرياض. مكتبة المعارف للنشر والمتوزع. ص. 69
[23]محمود الطحان. 1996م. تيسير المصطلح الحديث. الرياض. مكتبة المعارف للنشر والمتوزع. ص71  
[24]محمود الطحان. 1996م. تيسير المصطلح الحديث. الرياض. مكتبة المعارف للنشر والمتوزع. ص77.
[25]محمود الطحان. 1996م. تيسير المصطلح الحديث. الرياض. مكتبة المعارف للنشر والمتوزع. ص75.
[26]محمود الطحان. 1996م. تيسير المصطلح الحديث. الرياض. مكتبة المعارف للنشر والمتوزع. ص79
[27]محمود الطحان. 1996م. تيسير المصطلح الحديث. الرياض. مكتبة المعارف للنشر والمتوزع. ص79
[28]محمود الطحان. 1996م. تيسير المصطلح الحديث. الرياض. مكتبة المعارف للنشر والمتوزع. ص. 81 
[29]محمود الطحان. 1996م. تيسير المصطلح الحديث. الرياض. مكتبة المعارف للنشر والمتوزع. ص. 82
[30]محمود الطحان. 1996م. تيسير المصطلح الحديث. الرياض. مكتبة المعارف للنشر والمتوزع. ص. 85
[31]محمود الطحان. 1996م. تيسير المصطلح الحديث. الرياض. مكتبة المعارف للنشر والمتوزع. ص. 86
[32]محمود الطحان. 1996م. تيسير المصطلح الحديث. الرياض. مكتبة المعارف للنشر والمتوزع. ص. 86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar