TA’ARUDH, TARJIH,AL-AMRU WA AN-NAHYU
Shilvia Aninndhita Pristianingrum (15110053)
Fathir Akbar (15110106)
Silva Khoirul H. (15110117)
Mahasiswa PAI C Angkatan 2015
UniversitasIslam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
E-mail : shilvia.aninndhitapris@gmail.com
Abstrack
In this
article will be discussed about ushul fiqh study that is about contradictory
propositions and ways of ushuluyyin speak contradictory argument. In the crowd,
there is no contradictory or contradictory proof between the two legal
propositions, but there are mujtahids arguing or twice as high. in this era
(classical era), Mujtahids have done many ways to find solutions to the
problem. That is jam'u wa in taufiq, tarjih, nasakh and tatsaqut ad-dalilain. In
this article will also be discussed the basics of orders that do not want to
repeat the work, Basic not directly, Orders to do the job with the condition /
requirement, The command after the ban which is then used. lafadz prohibition
shows haram to do, lafadz ban that has dual nature, and gives instructions for
the entire time, which can be used to perform actions of the action, lafadz
nahyu give limits that indicate Job destruction.
Key Words : ta’arudh,
tarjih, al-amru wa an-nahyu
Abstrak
Dalam artikel
ini akan dibahas mengenai studi ushul fiqh yaitu tentang dalil yang
kontradiktif dan cara para ushuluyyin menyelesaikan dalil yang kontradiktif
tersebut. Dalam kenyataannya, tidak ada dalil yang bertentangan atau
kontradiktif antara dua dalil secara hukum, namun terkadang mujtahid yang
berargumen atau berpendapat melebihi dua argumen. dalam era sebelum ini (era
klasik), para mujtahid sudah banyak melakukan cara untuk menemukan solusi dari
masalah tersebut. Yaitu jam’u wa at taufiq, tarjih, nasakh dan tatsaqut
ad-dalilain. Pada artikel ini juga akan dibahas mengenai Dasar perintah
yang tidak menghendaki untuk pengulangan suatu pekerjaan, Dasar Perintah tidak
menuntut untuk dilaksanakan secara langsung, Perintah terhadap suatu pekerjaan berikatan dengan
wasilah/Syarat, Perintah setelah adanya pelarangan yang kemudian diperbolehkan. lafadz
pelarangan menunjukkan haram untuk dilakukan, lafadz larangan yang memiliki
sifat mutlak, dan memberi petunjuk untuk sepanjang zaman, larangan yang
menunjukkan untuk melakukan lawan dari tindakan tersebut, lafadz nahyu memberi
larangan yang menunjukkan rusaknya suatu pekerjaan.
Kata kunci : ta’arudh,
tarjih, al-amru wa an-nahyu
A.
Pendahuluan
Ushul
fiqh adalah salah satu ilmu yang merupakan komponen penting bagi siapapun yang
ingin melakukan ijtihad dan istinbath hukum dalam islam. Dalam
pembahasan mengenai kriteria seorang mujtahid, syarat muthlak yang dimasukkan
adalah penguasaan akan ilmu. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga supaya proses
ijtihad dan istinbath tetap berada dalam koridor yang semestinya.
Penguasaan
ushul fiqh tidak pasti menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para
mujtahid. Faktor eksternal dari ushul fiqh seperti penentuan keshahihan satu
hadis misalnya. Faktor internal ushul fiqh adalah pada bagian masalahnya yang
mengalami perdebatan pada kalangan ushuluyyin. Lalu muncul ilmu ta’arudh dan
tarjih.
Ilmu
ushul fiqh mempunyai peran penting dalam ranah keilmuan agama islam terkhusus
pada ilmu hukum islam atau hukum fiqh, karena peran ilmu ushul adalah sebagai
ilmu metodologi dalam penggalian hukum. Sumber hukum islam yaitu Qur’an dan
Hadis menggunakan bahasa arab yang di dalamnya mengandung banyak makna, maka
pembahasan tentang kajian lughawiyah itu sangat penting. Ilmu ushul fiqh juga
merupakan ilmu yang sangat penting bagi setiap
muslim yang ingin mengetahui dan mengistinbathkan hukum dari dalil
syar’i. Terutama untuk mengetahui hal baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah.
Karena zaman yang selalu berkembang, sedang Al-Qur’an Hadis sendiri tak akan
ada penambahan dan perubahan, karena semuanya sudah tercakup di dalam
Al-Qur’an.
Banyak
ulama’ dan tokoh-tokoh agama islam yang berijtihad bersama dalam memecahkan masalah
yang selalu muncul semakin hari semakin banyak yang permasalahan tersebut bisa
mempengaruhi kemantaban hati umat muslim dalam beribadah.
Lalu
hasil ijtihad para ulama ditetapkan sebagai hukum syara’ yang disesuaikan
dengan bermacam sebab dan keadaannya. Dengan hal ini akan membantu meringankan
mukallaf dalam beribadah secara mutlak kepada Allah. Dengan berkembangnya zaman
seperti sekarang ini, sejalan dengan dalil yang terkait dengan dalil antara
perintah dan larangan. Maka, dalam makalah ini akan dibahas tentang ta’arudh,
tarjih, amar (perintah) dan nahi (larangan).
B. Ta’arudh
1.
Pengertian
Menurut bahasa artinya pertentangan atau kontradiksi yang terjadi antara
dua dalil.[1]
Secara istilah menurut Wahbah Zuhaili ta’arudh adalah salah satu dari
dua dalil yang ada menghendaki adanya hukum yang berbeda dengan hukum yang
dikehendaki oleh dalil yang lain. Jadi antara satu dalil dengan dalil yang lain
tidak selalu meghendaki hukum yang sama, tapi ada kalanya menghendaki hukum
yang berbeda diantara satu dalil dengan dalil yang lain[2].
Wahbah Zuhaili menegaskan tidak ada pertentangan atau kontradiksi pada
kalamullah dan Rasulnya. Maka apabila ada anggapan ta’arudh antara dua dalil ataupun beberapa dalil itu
hanya dalam pandangan mujtahid, bukan pertentangan pada hakikatnya. Dalam
kerangka berfikir Wahbah Zuhaili ini maka ta’arudh itu bisa terjadi atau mungkin terjadi pada
dalil yang qath’i maupun dalil yang dzanni.[3]Jadi
yang perlu diketahui disini adalah tidak ada pertentangan yang sebenarnya
antara dua ayat, atau dua hadits yang shohih, maupun antara ayat dengan hadits
yang shahih. Apabila kelihatannya ada pertentangan antara dua nash tersebut,
itu hanya pertentangan pada segi lahiriyahnya saja, bukan pertent angan yang sebenarnya.[4]
Contoh ayat yang secara lahiriyah terlihat
bertentangan :
Q.S An-Nahl: 8 Allah Berfirman :
وَٱلْخَيْلَ وَٱلْبِغَالَ وَٱلْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً ۚ
وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “(Dia telah menciptakan) kuda (bagal), dan keledai,
agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan
apa yang kamu tidak mengetahuinya”. (Q.S An-Nahl: 8)
Pada ayat di atas menyatakan bahwa kuda bighal
dan keledai itu adalah tunggangan dan perhiasan.
Ayat di atas bertentangan dengan Q.S Al-Ghafir: 79
ٱللَّهُ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَنْعَٰمَ
لِتَرْكَبُوا۟ مِنْهَا وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ
Artinya : “Allah-lah yang menjadikan binatang ternak
untuk kamu, sebagiannya untuk kamu kendarai dan sebagiannya untuk kamu makan.
(Q.S Al-Ghafir: 79)
Pada surat Al-Ghafir: 79 menyatakan bahwa binatang
ternak itu untuk dimakan dan dikendarai.
Pada ayat pertama (QS. An-Nahl: 8) kuda dan
keledai dapat digunakan sebagai kendaraan dan perhiasan, sedangkan pada ayat
yang kedua (QS Ghafir: 79) kata al-an’am mempunyai arti binatang yang di
dalamnya itu mencakup kuda dan keledai. Kedua ayat tersebut bisa dikompromikan
bahwa binatang itu mempunyai dua fungsi, bisa berfungsi sebagai daging yang
bisa dimakan. Dan yang kedua bisa berfungsi sebagai kendaraan dan juga sebagai
perhiasan seperti kuda dan keledai.[5]
Apabila kedua nash tersebut secara lahiriyah memang bertentangan, maka
yang harus dilakukan adalah mengadakan ijtihad untuk mengkompromikan kedua nash
yang berkontradiksi itu.cara yang digunakan untuk menyelesaikan dua dalil yang
berkontradiksi di atas didasarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh Hanafiyah
dan Syafi’iyah.
1) Menurut Hanafiyah :
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa metode yang harus
digunakan untuk menyelesaikan dua dalil yang bertentangan adalah :
a. Nasakh
Pembatalan dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada dalil baru yang
mengandung hukum yang berbeda dengan hukum yang pertama.[6]
Diteliti dahulu mana yang diturunkan lebih dulu antara turunnya ayat atau
diucapkannya hadits. Jika sudah diketahui, maka dalil yang terdahulu dianggap
sudah dinasakh (dibatalkan) oleh dalil yang datang belakangan.[7] Maka
mujtahid harus mengetahui asbabun nuzul dan asbabul wurud dari
ayat maupun hadits tersebut. Lalu mengambil dalil yang baru.
Contoh : permasalahan tentang iddah wanita yang sedang hamil pada
QS.At-Thalaq: 4 yang di dalamnya menyatakan “iddah wanita hamil sampai
melahirkan”, dengan surat Al-Baqarah: 234 menyatakan bahwa “iddah
kematian suami 4 bulan sepuluh hari”. Menurut jumhur ulama, Ibnu Mas’ud
meriwayatkan, ayat yang datangnya lebih dulu adalah Q.S Al-Baqarah ayat 234,
sedangkan ayat yang datangnya kemudian itu adalah Q.S At-Thalaq: 4, sehingga
ditetapkanlah iddah perempuan hamil adalah sampai melahirkan.
b. Tarjih
Adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan
berdasarkan beberapa indikasi yang bisa mendukungnya.[8]
Jika ada dua dalil yang bertentangan sulit untuk dicari sejarahnya (dalam
artian mana yang lebih dulu), maka bisa menggunakan cara Tarjih ini
dengan cara mengemukakan alasan yang bisa mendukung dalil tersebut. Untuk
melakukan tarjih, dapat kita lihat dari tiga sisi :
1) Petunjuk kandungan lafadz suatu nash.
Misal, menguatkan nash yang hukumnya pasti (Muhkam) dan tak dapat
dihapus, daripada nash yang hukumnya pasti tapi masih bisa diubah (mufassar).
2) Segi hukum yang dikandungnya. Misal,
menguatkan dalil yang mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum
boleh (mubah)
3) Segi keadilan periwayatan suatu hadits
c. Al-Jam’u Wa At-Taufiq
Mengumpulkan dalil-dalil yang bertentangan kemudian mengkompromikannya
berdasarkan kaidah Ushul yang menyatakan “Mengamalkan kedua dalil lebih baik
daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”.[9]Contoh
:
Pada Q.S Al-Maidah: 3 Allah berfirman :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةُ وَٱلدَّمُ......
Artinya: “Diharamkan bagi kamu bangkai dan darah....”(Q.S
Al-Maidah: 3)
Ayat di atas menjelaskan tentang jenis
darah, namun tidak menjelaskan perbedaan antara darah yang mengalir dengan
darah yang sudah beku.
Lalu ada surat lain yang menjelaskan, yaitu
pada Q.S Al-An’am: 145, Allah berfirman :
...إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا...
Artinya : “...kecuali (yang diharamkan
itu) bangkai dan darah yang mengalir...”
Dari kedua ayat di atas, dikompromikan
bahwa darah yang dilarang itu adalah darah yang mengalir.
d. Tasaqut Ad-Dalilain
Yaitu menggugurkan kedua dalil yang kontradiksi dan mencari yang lebih
rendah. Apabila tidak ada peluang lagi untuk mengkompromikan kedua dalil yang
kontradiksi tersebut, maka jalan terakhir yang bisa ditempuh adalah seorang
mujtahid hendaklah merujuk pada dalil yang lebih rendah bobotnya. Misal, ada
dua ayat yang saling bertentangan, namun ketiga cara di atas tidak bisa
dipakai, maka yang harus dilakukan adalah mengambil keterangan yang lebih
rendah dari Al-Qur’an yaitu hadits. Tapi jika masih bertentangan, maka
diambillah metode qiyas (analogi), begitu seterusnya. Menurut ulama’
Hanafiyah, mujtahid hanya dibolehkan mengambil dalil yang lebih rendah jika
telah menggunakan ketiga cara di atas.
2) Menurut Ulama Syafi’iyah, Malikiyah,
Dzahiriyah :
Menurut ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan
Dzahiriyah cara menyelesaikan ta’arudh ini adalah sebagai berikut :
a. Jam’u Wa Al-Taufiq :
Menurut ke tiga ulama ini cara pertama yang digunakan untuk
menyelesaikan dua dalil yang kontradiksi ini adalah dengan mengkompromikan kedua
dalil tersebut. Alasan mereka menggunakan cara yang pertama ini adalah karena
adanya kaidah yang menyatakan “Mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada
meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”. Adapun cara yang digunakan
untuk mengkompromikan kedua dalil yang saling bertentangan itu adalah :
a) Membagi kedua hukum yang bertentangan,
yaitu jika kedua hukum yang kontradiksi itu bisa dibagi, maka bisa dilakukan
dengan cara pembagian yang sebaik-baiknya.
b) Jika hukum yang kontradiksi itu sesuatu
yang berbilang, maka disini mujtahid boleh memilihnya. Sebagai contohnya:
لَاصَلَاتَ
لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلَّا فِيْ الْمَسْجِدِ (رواه ابو داود و احمد بن حنبل)
Artinya : “Tidak (sempurna) sholat bagi
tetangga masjid kecuali di masjid” (H.R Abu Dawud dan Ahmad Ibn Hambal).
Kata la dalam hadits di atas, menurut ulama ushul
kata itu mempunyai banyak arti, bisa diartikan “tidak sah” bisa diartikan
“tidak sempurna” atau bisa juga diartikan “tidak utama”. Nah, maka seorang
mujtahid boleh memilih salah satu arti namun harus didukung dengan dalil lain
yang kuat.
c) Mengambil dalil yang lebih khusus, artinya
apabila hukum tersebut bersifat umum yang mengandung beberapa hukum, maka dalil
yang diambil itu adalah dalil yang lebih khusus. Misal tentang masa iddah wanita
yang hamil, pada surat Al-Baqarah: 234 masih bersifat umum bahwa setiap wanita
yang ditinggal mati suaminya baik hamil atau tidak, maka wajib ber-‘iddah
selama empat bulan sepuluh hari. pada ayat yang ke dua yaitu surat At-Thalaq
juga masih bermakna umum yaitu setiap perempuan yang ditinggal mati suaminya
atau bercerai hidup wajib ber-‘iddah sampai melahirkan kandungannya. jadi bila dua
ayat tersebut dikompromikan, kesimpulan yang bisa diambil adalah apabila
perempuan melahirkan sebelum sampai empat bulan sepuluh hari sejak suaminya
meninggal, maka iddahnya itu menunggu empat bulan sepuluh hari, dan jika sampai
empat bulan sepuluh hari perempuan itu belum melahirkan, maka iddahnya sampai
ia melahirkan kandungannya.[10]
b. Tarjih
Cara yang kedua adalah Tarjih, jika cara yang pertama tak bisa
digunakan, maka barulah menggunakan cara ke dua ini, yaitu Tarjih (menguatkan
salah satu dalil). Cara yang bisa digunakan yaitu bisa mentarjih yang perawinya
sedikit, bisa juga penarjihan sanad, bisa menggunakan penarjihan dari sisi
matan.
c. Nasakh
Cara yang ketiga adalah Nasakh, yaitu membatalkan salah satu hukum yang
dikandung dalam kedua dalil tersebut
dengan syarat harus mengetahui dulu, mana dalil yang pertama dan mana dalil
yang baru. Maka yang diamalkan adalah dalil yang baru (yang datang kemudian),
seperti sabda Nabi “Dahulu saya melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi
sekarang ziarahlah”.
d. Tatsaqut Al-Dalilain
Adalah meninggalkan kedua dalil yang berkontradiksi tersebut, lalu kemudian
berijtihad dengan dalil yang lebih rendah kualitasnya. Menurut ke tiga ulama
ini cara yang yang ditempuh haruslah berurutan.[11]
2. Macam-macam Ta’arudh
Dalam buku Madkhal Al-Wushul Ila
Ma’rifati Ilmi Al-Ushul karya Syed Muhsin bin Ali Al-Musawi, beliau membagi
ta’arudh menjadi empat macam :
a. Pertentangan Dalil ‘am dengan dalil ‘am
Sebagai contohnya, pada satu hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari
menyatakan bahwa“sejelek-jeleknya saksi adalah orang yang memberikan
kesaksiannya sebelum diminta”, namun pada hadits lain yang diriwayatkan
oleh Tabrani dan Ibnu Majah menyatakan bahwa “sebaik-baik saksi adalah
orang yang memberikan kesaksian sebelum diminta”.
Secara lahiriyah atau secara rasional kedua dalil di atas bertentangan,
tapi sebenarnya kedua dalil di atas bisa dijelaskan posisi dua hadits tersebut.
Hadits pertama menitik beratkan pada saksi yang belum mengetahui apa yang
disaksikannya. Namun pada hadits yang kedua itu menitikberatkan pada saksi yang
sudah mengetahui apa yang disaksikannya.
b. Pertentangan antara dalil khas
dengan dalil khas
Contohnya, pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim
menyatakan bahwa Rasulullah berwudhu membasuh kedua kaki, namun pada hadits
lain yang diriwayatkan oleh Nasa’i dikatakan bahwa pembasuhan kaki Nabi itu
dibungkus sepatu.
Jika dilihat secara rasional atau lahiriyah kedua hadits di atas
bertentangan (kontradiksi), namun pada hakikatnya itu tidak. Pada hadits yang
pertama itu ditujukan untuk wudhu yang berfungsi menghilangkan hadas kecil, nah
pada hadits yang kedua itu untuk sekedar memperbaharuinya.
c. Pertentangan dalil ‘am dengan dalil khas
Contoh, hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim menyatakan
bahwa kewajiban zakat 10 persen bagi hasil pertanian yang diairi oleh air
hujan. Lalu hadis kemudian dikhususkan dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh
hadis riwayat Bukhari Muslim yaitu yang berbunyi hasil pertanian yang kurang
lima wasaq maka tidak dikenakan zakat.
Maka kedua dalil itu dikompromikan bahwa hasil tanah yang diairi oleh
air hujan dan hasilnya belum mencapai lima wasaq maka belum diwajibkan
berzakat.
d. Pertentangan antara pemahaman ‘am dari
pemahaman khas dalam satu dalil
kontradiksi dalil yang modelnya seperti ini harus ditakhsis salah
satunya. Seperti hadis riwayat Abu Daud yang menyatakan bahwa air dua kullah
itu tidak bisa dinajiskan dengan benda najis. Namun pada hadis lain yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dinyatakan bahwa air itu bisa najis dikarenakan
dengan perubahan bau, rasa dan warnanya.
Solusinya adalah harus dilihat dari posisi dua hadits tersebut. Hadis
pertama bersifat khas (dalam ukuran air yaitu dua kullah) namun bersifat
‘am pada perubahan sifatnya. Pada hadis yang kedua sifatnya khas pada
perubahan sifatnya tapi bersifat ‘am pada ukuran standar air.
Jadi, keumuman hadis yang pertama bisa di-khas-kan dengan hadis
yang kedua, dan keumuman hadis yang kedua dapat di-khas-kan dengan hadis
yang pertama. Maka dari itu, kedua hadis tersebut bisa dikompromikan yang
hasilnya: pertama, air dua kullah bisa menjadi najis apabila berubah
sifatnya. Kedua, air kurang dari dua kullah menjadi najis bila terkena
najis, walaupun tidak berubah sifatnya (bau, warna, dan rasanya).[12]
C. Tarjih
Definisi tarjih
secara etimologi:
"جعل الشيء راجحا."
Adalah “menjadikan sesuatu lebih kuat.”[13]
Kata “at-tarjih” (الترجيح) merupakan
masdar dari kata dasar “rajaha” (رجح) yang artinya mengunggulkan sesuatu yang
lebih unggul padanya, menguatkan, dan memenangkannya. Sedangkan dalil yang
dikuatkan artinya ialah rajih, dan dalil yang dilemahkan disebut marjuh.[14]
Secara terminologi:
تقوية احد
الطر فين على الأخر تقوية احد الطرفين على الأخر
Adalah
menguatkan salah satu antara dua dalil dengan yang lainnya. Menurut Ulama,
dalil syara’ diantaranya ialah qath’y dan zhanny. Tarjih
tidak berlaku pada Al-Qur’an karena dia adalah dalil qath’y.[15]
Dalil zhanny lah yang akan diijtihadkan. Jika terdapat dalil zhanny
yang lebih dari satu dan belum pasti kejelasannya maka wajid ditarjihkan,
sehingga ditemukan dalil yang lebih kuat. Dan para ulama’ telah sepakat,
bahwasanya dalil yang lebih kuat yang wajib diamalkan.
Syarat-syarat Tarjih
1. Dalam dalil tersebut terdapat satu masalah
yang sama. Misalnya masalah shalat sunnah, haji, dan sebagainya.
2. Dalil yang ditarjih terdapat kesamaan dalah
segi tempat, waktu, syarat dal hal-hal yang dibicarakan.[16]
3. Ada petunjuk yang mewajibkan beramal dengan
salah satu diantara dua dalil tersebut.[17]
Cara Pen-tarjih-an
Menurut Ulama Ushul, metode pentarjihan dapat
dibagi dalam dua kelompok, yaitu At-Tarjih baina An-Nushush dan At-Tarjih
baina Al-Qiyas.[18]
1. At-Tarjih baina An-Nushush
At-Tarjih baina An-Nushush terbagi menjadi beberapa
bagian, antara lain :
a. Dari
Segi Sanad
1) Menguatkan salah satu nash dari segi
sanadnya.
-
Jumhur ulama berpendapat bahwa lebih menguatkan hadist yang sanadnya
banyak dari yang sedikit sanadnya karena kemungkinan lebih sedikit terjadi
kesalahan pada hadist yang benyak diriwayatkan.
-
Mayoritas Ulama’ Hanafiah berpendapat bahwa suatu dalil tidak bisa
ditarjih hanya karena banyak perawi dari salah satu dalil tersebut.[19]
2) Pentarjihan melalui cara menerima hadist
langsung dari Rosulullah SAW.
-
Menguatkan hadist yang didengar langsung oleh Rosulullah, dan menguatkan
hadist dalam bentuk ucapan nabi dari pada perbuatan nabi.[20]
3) Pentarjihan dengan melihat riwayat hadist.
-
Dalam mentarjih hadist, maka bisa dilihat persambungan sanadnya. Misal,
hadist yang sampai kepada Rosul, maka lebih kuat dari yang tidak sampai kepada
Rosul.
b. Dari
Segi Matan
1) Dalil yang mengandung larangan lebih
dikuatkan dari pada teks yang mengandung perintah, karena menolak kemadharatan
lebih mulia daripada mengambil kemanfaatan.
2) Dalil yang mengandung perintah lebih
didahulukan daripada dalil yang mengandung kebolehan.
3) Dalil yang bermakna hakikat lebih
didahulukan dari makna majaz.
4) Dalil yang berisi khusus lebih didahulukan
dari pada dalil yang berisi umum.
5) Dalil khusus yang telah ditakhsiskan lebih
didahulukan daripada dalil umum yang telah ditakhsiskan.
6) Dalil yang bersifat perkataan lebih
didahulukan daripada teks yang bersifat perbuatan.
7) Teks muhkam lebih didahulukan daripada teks
yang mufassar.
8) Teks yang bermakna hakikat lebih
diddahulukan daripada teks yang berupa sindiran.[21]
9) Teks yang shahih lebih didahulukan
dibandingkan dengan yang kinayah.
10) Dalil yang berbentuk berita, lebih
didahulukan daripada dalam bentuk larangan atau suruhan.[22]
c. Dari Segi Hukum dan Kandungan Hukum
1) Mendahulukan teks yang mengandung hukum
bahaya dibandingkan dengan teks yang membolehkan.
2) Teks yang mengadung hukuman lebih ringan
didahulukan dibandingkan dengan teks yang didalamnya mengandung hukum berat.
Sebagaimana Firman Allah SWT. Dalam QS AL-Baqarah-2:185:
رِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan
bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”[23]
3)
Teks yang
berbentuk wajib dan karanah lebih didahulukan atas teks yang berbetuk nadab.[24]
d. Dari Segi Faktor (dalil lain)
1) Mendahulukan salah satu dalil yang terdapat
dukungan dari dalil lain.
2) Mendahulukan salah satu dalil yang didukung
oleh amalan ahli Madinah, karena orang Madinah lebih faham mengenai tafsir dan
turunnya Al-Qur’an.
3) Mendahulukan dalil yang terdapat asbab
an-nuzul atau asbab al-wurud daripada dalil yang tidak mengandung hal tersebut.
4) Dalil yang mengandung sikap waspada lebih
didahulukan daripada dalil yang tidak ada hal demikian.
5) Mendahulukan nash yang terdapat perkataan
atau perbuatan perawi.[25]
2. At-Tarjih baina Al-Qiyas
Dalam menarjihkan dengan qiyas, Imam Asy-Syaukani
mengemukakan dalam empat kelompok:
a. Dari Segi Hukum Asal
1) Menguatkan qiyas yang hukum asalnya
bersifat qath’i dari yang semula bersifat zhanny.
2) Menguatkan qiyas yang landasan dalilnya
ijma’ dari qiyas yang landasan dalilnya nash, sebab nash bias di takhsiskan,
dita’wilkan dan dinasakhkan.[26]
3) Menguatkan qiyas yang didukung oleh dalil
khusus dari dalil didukung oleh dalil khusus.
4) Menguatkan qiyas yang sesuai dengan kaidah
qiyas dari yang tidak sesuai.
5) Menguatkan qiyas yang disepakati ulama
untuk tidak dinasakhkan.
6) Menguatkan qiyas yang hukum asalnya khusus
dibanding dengan qiyas yang hukum asalnya bersifat umum.[27]
b. Dari Segi Hukum furu’ (cabang)
1) Hukum furu’ yang datang kemudian
lebih dikuatkan dari hukum asalnya.
2) Hukum furu’ yang illat-nya diketahui
secara qath’i lebih dikuatkan dari yang hanya bersifat zhanny.
3) Hukum furu’ yang ditetapkan berdasar
logika nash lebih dikuatkan dari yang hanya didasarkan kepada logika nash secara
tafsili.[28]
c. Dari Segi Illat
1) Pentarjihan dari segi cara penetapan illat,
sebagai berikut:
-
Illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati
sebagai illat lebih dikuatkan dari illat yang tidak demikian.
-
Illat yang ditentukan dengan cara pengujian,
analisis dan pemilahan illat yang telah ditetapkan oleh mujtahid lebih
dikuatkan dari illat yang menggunakan metode munasabah (keserasian).
-
Illat yang terdapat nash didalamnya lebih
dikuatkan dari illat yang ditetapkan melalui munasabah
(keserasian).
2) Pentarjihan dari segi sifat illat, sebagai
berikut :
-
Illat yang dapat diukur lebih dikuatkan daripada
yang relative.
-
Illat yang dapat dikembangkan dalam hukum lebih
dikuatkan dari yang terbatas pada satu hukum saja.
-
Illat yang mengandung kemaslahatasn lebih
dikuatkan dariyang bersifat hajiyyat (penunjang).
-
Illat yang jelas menelatarbelakangi suatu hukum
lebih dikuatkan dari illat yang bersifat indikator saja.[29]
d. Pentarjihan Qiyas Melalui Faktor Luar
1) Qiyas yang didukung oleh sejumlah illat lebih
dikuatkan dari yang hanya satu illat.
2) Qiyas yang lebih didukung oleh fatwa
sahabat lebih dikuatkan dari yang tidak demikian.
3) Qiyas yang illat nya dapat berlaku untuk seluruh furu’ lebih kuat
dari yang berlaku pada sebagian furu’.
4) Qiyas yang illat nya didukung oleh
beberapa dalil lebih kuat dari yang didukung satu dalil.[30]
Contoh Tarjih
Sebagai
contoh, terdapat dua riwayat yang bertentangan dan wajib ditarjihkan, yaitu:
عن ابن عباس
انه قال رسول اللهميمونةوهو محرم .(رواه مسلم)
“Dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata : ‘Rosulullah telah
kawin dengan maimunah, ssaat Nabi dalam Ihram”. (HR. Muslim)
Dengan:
عن يزيد بن
الأصم : حدثنى ميمونة بنت الحرية أن رسول الله تزوجها وهو حلال.(رواه مسلم)
“Dari Yazid bin Al-Asam, berkata: “Maimunah binti
Al-Haris telah menceritakan kepadaku bahwa bahwa Rosulullah menikah dengannya
saat beliau ihlal.” (HR. Muslim)
Dalam mentarjih riwayat diatas, yang menjadi acuan
ialah:
1. Yang meriwayatkan dalam hadist pertama,
ialah Ibnu Abbas. Sedangkan dalam riwayat yang kedua, yang meriwayatkan ialah
Maimunah sendiri. Sehingga dalam hal ini,lebih dianggap kuat riwayat Maimunah.
2. Abu Rafi’ juga menguatkan riwayat yang
kedua, bahwasanya Nabi kawin dengan Maimunah saat Nabi Ihlal.
3. Nabi telah bersabda, bahwa:
لا ينكح
المحرم ولا ينكح. (رواه مسلم)
Ialah, orang dalam keadaan ihram tidak boleh kawin dan
tidak boleh mengawinkan. (HR. Muslim).[31]
Oleh
karena itu, riwayat yang kedualah yang lebih kuat,dengan demikian itulah yang
dinamakan tarjih.
D. Al amr
1.
Pengertian
Al Amru dalam pengertian menurut jumhur ulama’
adalah sebuah lafadz yang menunjukkan suatu kata perintah, tuntutan atau
permintaan dari atasan kepada bawahan untuk melaksanakan suatu pekerjaan atau
tindakan.
Didalam ilmu ushul fiqh yang
dimaksud dengan al – amru ialah :
طلب الفعل من الأعلى إلى الأدنى
“ permintaan atau tuntutan suatu tindakan
pelaksanaan dari petinggi terhadap bawahan”
Sedang yang disebut sebagai petinggi dalam istilah tersebut ialah
Allah dan RasulNya dan istilah bawahan ialah manusia yang diberikan taklif[32]. Didalam
ilmu bahasa arab pernyataan perintah atau pun tuntutan selalu ditujukan pada
shigat amr (perubahan bentuk kata) yang menunjukkan kata perintah.
2.
Shigat
lafadz amr atau bentuk – bentuk amr
a.
Fi’il Amr dan
macam-macamnya
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
.... -[33]٧٨
–
...اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ
وَالصَّلاَةِ .... -[34]١٥٣-
b.
Fi’il Mudhari’
yang didahului oleh lam amr
... فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أ... -[35]٦٣-
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ
... -[36]٧-
c.
Masdar sebagai
pengganti Fi’il[37]
...وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً -[38]٢٣-
فَإِذا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
فَضَرْبَ الرِّقَابِ ...-[39]٤-
d.
Kalimat khabariyah
yang ditujukan sebagai perintah
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ
أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ...-[40]٢٣٣-
3.
Hakikat
makna dari lafadz amr
Perbedaan
pendapat terjadi dalam kesepakatan penentuan makna hakikat lafadz amr atau
makna dari tuntutan tersebut sebagai suatu tuntutan yang harus dilaksanakan
sehingga memiliki makna wajib atau diperlukannya suatu qarinah, maka hal ini
para ulama’ ushul berbeda pendapat menjadi empat bagian, yaitu:
1.
Meyakini bahwa
makna hakikat dari lafadz amr adalah wajib dan harus dilakukan tanpa ada hal
lain, kecuali dengan adanya qarinah yang menjadikan tuntutan tersebut tidak
wajib, dan pendapat ini menurut jumhur ulama, As Syafi’i, Al-Amidi, Fuqaha
serta Al Husen Al Basari dan Al Juba’i.
2.
Meyakini bahwa
makna hakiki dari amr adalah Nadb menurut Madzhab Abu Hasyim, ulama
mutakallimin yang berasal dari kalangan mu’tazilah.
3.
Meyakini bahwa
makna hakiki dari amr yaitu Musytarak antara wajib ataupun nadb dan golongan
ini menurut Abu Mansur Al Maturidi
4.
Pendapat yang
keempat dibawa oleh Qadi Abu Bakar, Al Ghozali, yang menyatakan makna hakiki
dari amr bergantung dalil yang menunjukkan maksudnya[41].
4.
Kaidah
amr dan maknanya
Pada
setiap amr memberikan petunjuk tuntutan atau permintaan pada maksud tertentu,
adapun beberapa lafadz – lafadz amr di dalam Al Qur’an yang disetiap lafadznya
memberikan maksud tuntutan yang berbeda, adapun dalam kaidah – kaidah yaitu:
1. الأمر دلالة على الوجوب/perintah yang menunjukkan wajib
Jumhur
ulama’ berpendapat bahwasanya perintah menunjukkan suatu kewajiban terhadap
mukallaf, kecuali dengan adanya qarinah – qarinah yang memalingkannya[42].
Seperti firman pada Qs. An Nisa : 77 yaitu:
...وَأَقِيمُواْ
الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ...
“kerjakanlah Sholat dan tunaikanlah Zakat”
Ayat diatas memberikan pengertian bahwa dalil tersebut wajib untuk
dilaksanakan dikarenakan tidak adanya qarinah yang menjadikanya dalil tersebut
tidak wajib, dan jika perintah tersebut tidak dilakukan maka orang yang tidak melaksanakan akan
mendapat ancaman hukuman atas ketidak tundukannya terhadap perkara tersebut.
Selain daripada itu, banyaknya bentuk amr ada pada hal – hal yang
sangat bermacam – macam karena adanya qarinah yang menunjukkan, yaitu :
a.
Dihukumi nadb,
sehingga dalil bukan perintah yang wajib melainkan nadb/sunnah. Pada Qs. An Nur
: 33 yaitu :
فَكَاتِبُوهُمْإِنْعَلِمْتُمْفِيهِمْخَيْراً
“ Maka buatlah perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui
ada kebaikan pada mereka”
Maksud dari ayat tersebut ialah nadb/sunnah atau anjuran untuk
melakukan perjanjian dalam proses transaksi, sehingga jika hal ini tidak
dilakukan maka tidak ada ancaman apapun[43].
b.
Adapun yang
dihukumi ibahah atau memiliki arti boleh, terdapat pada Qs. Al Baqarah:
60, yaitu :
… وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا…
“dan
makan dan minumlah”
Ayat
tersebut menunjukkan qarinah bahwasannya makan dan minum bukanlah suatu
tuntutan yang jika tidak dilakukan tidak diberi ancaman dan ditinggalkan tidak
memberi janji pahala, namun hal itu hanyalah tabiat manusia[44].
c.
Adapun ayat
yang dihukumi sebagai Tahdid/menakut-nakuti, seperti yang difirmankan Allah
SWT, pada Qs. Ibrahim : 30, yang berbunyi :
تَمَتَّعُواْفَإِنَّمَصِيرَكُمْإِلَىالنَّارِ
“Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu
ke neraka.”
Amr
dalam ayat tersebut memberikan maksud untuk menakut – nakuti dan memberikan
sebuah janji yang tidak menyenangkan.
d.
Ayat yang
menunjukkan ikram/memuliakan, terdapat pada Qs. Al Hijr : 46 :
ادْخُلُوهَابِسَلاَمٍآمِنِينَ
“Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera dan aman.”
Ayat
tersebut juga tidak memberikan tuntutan apapun namun menunjukkan cara Allah
memuliakan hambanya.
e.
Lafadz amr yang
menunjukkan takwin/penciptaan, terdapat pada Qs. Yasin : 82, yang berbunyi :
إِنَّمَاأَمْرُهُإِذَاأَرَادَشَيْئاًأَنْيَقُولَلَهُكُنْفَيَكُونُ
“Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia Menghendaki sesuatu Dia
hanya Berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu.”
Lafadz
yang menunjukkan amr ini ditujukan dalam penciptaan alam, namun Allah tidak
memerintah alam untuk menjadi secara langsung, akan tetapi melewati beberapa
proses dan tahapan[45].
2.
الاَصْلُ فِى
الاَمْرِ لاَ يَقْتَضِى التِكْرَار/ Dasar perintah yang tidak menghendaki untuk pengulangan suatu
pekerjaan
Kaidah memberi maksud bahwa perintah tidak menunjukkan untuk
melakukan pekerjaan secara berulang ulang, namun cukup sekali dalam pengerjaan
berarti telah melakukan suatu perintah kecuali adanya suatu qarinah yang
menunjukkan perintah untuk berulang – ulang.
Seperti tuntutan dalam pelaksanaan haji, perintah pelaksanaan haji
adalah wajib untuk satu kali, karena tidak adanya qarinah yang menunjukkan
untuk pelaksanaan berkali – kali. Namun berbeda dengan perintah melaksanakan
sholat karena terdapat qarinah atau dalil lain yang menunjukkan pengulangan
pada perintah tersebut yaitu dalam hadist Bukhari :
صلوا كما
رأيتموني أصلى
Maka
ayat yang memerintahkan sholat diperkuat dengan dalil hadist, menjadikan sebab
perintah sholat tersebut diulang seperti yang dicontohkan Nabi, begitu pula
diperkuat dengan adanya peristiwa isra’ mi’raj tentang perintah pelaksanaan
sholat wajib 5 waktu[46].
3.
الاَصْلُ فِى
الاَمْرِ لاَ يَقْتَضِى الفَوْرَ/ Dasar Perintah tidak menuntut untuk dilaksanakan secara langsung
Maksud
dari kaidah ini adalah perintah yang tidak harus dilakukan secara langsung pada
waktu itu juga, karena perintah yang dimaksud adalah tuntutan untuk pelaksanaan
tanpa terikat waktu tertentu. Kecuali jika terdapat qarinah yang menyebabkan
perintah itu dilakukan secara langsung. Ayat yang berkenaan pada kaidah ini
terdapat pada Qs. Al Baqarah : 184
....فَمَنكَانَمِنكُممَّرِيضاًأَوْعَلَىسَفَرٍفَعِدَّةٌمِّنْأَيَّامٍأُخَرَ....
“Barang siapa diantara kamu ada yang
sakit atau sedang dalam bepergian jauh, hendaklah mengqadha puasa itu pada hari
yang lain.”
Perintah diatas menunjukkan bahwasanya tuntutan tidak
dilakukan secara langsung namun menunjukkan untuk mengqadha puasa yang
ditinggalkan sejumlah yang ditinggalkan sebelum sampai waktu meninggal.
Dan adapun perintah yang dituntut untuk pelaksanaan secara
langsung dan memiliki qarinah bahwa perintah tersebut dilakukan secara
langsung. Yang terdapat pada Qs. Al A’raf : 12 yaitu :
“(Allah)
Berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud (kepada
Adam) ketika Aku Menyuruhmu?”
Dan ayat
tersebut menyatakan tuntutan untuk segera langsung dilakukan dengan qarinah
yang menunjukkan tuntutan tersebut yaitu pada Qs. Al Hijr : 29 yang berbunyi :
فَإِذَاسَوَّيْتُهُوَنَفَخْتُفِيهِمِنرُّوحِيفَقَعُواْلَهُسَاجِدِينَ
“Maka apabila Aku telah Menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku
telah Meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya
dengan bersujud.”
Dalil
kedua menunjukkan bahwa perintah tersebut tuntutan untuk dilakukan segera, dan
apabila tidak maka tentunya iblis tidak berhak untuk mendapat celaan[47].
4.
الامر بالشّيئ
امر بوسائله/ Perintah terhadap suatu pekerjaan berikatan dengan
wasilah/Syarat
Perintah
yang dimaksud ialah perintah yang dituntut untuk dilaksanakan namun didalam
pekerjaan tersebut mengandung suatu wasilah syarat atau sifat yang menjadi
sebab diberikannya perintah tersebut, seperti pada Qs. Al Maidah : 6 dan Qs. Al
Maidah : 38[48]
yaitu :
...وَإِنكُنتُمْجُنُباًفَاطَّهَّرُواْ...
“Jika kamu dalam keadaan junub, maka bersucilah”
وَالسَّارِقُوَالسَّارِقَةُفَاقْطَعُواْأَيْدِيَهُمَا...
“Adapun
orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”
Perintah
pertama ialah tuntutan bersuci, dengan adanya syarat yang menjadikan sebab
tuntutan untuk bersuci yaitu adalah junub, maka sebab tuntutan untuk bersuci
adalah karena junub sekaligus menjadikan syarat untuk bersuci.
Dan dalil kedua ialah adanya sifat mencuri yang maka akan
diperintah untuk memotong kedua tangannya, maka sifat mencuri itulah menjadi
syarat sebagai perintah dilaksanakan hukum potong tangan.
5.
الاَمْرُ
بَعْدَ النَّهْيِ يُعفيْدُ الابَاحَةِ/ Perintah setelah adanya pelarangan yang kemudian diperbolehkan
Maksud
perintah ini ialah diperbolehkannya suatu pekerjaan setelah sebelumnya dilarang
untuk melakukan pekerjaan tersebut atau perintah suatu pekerjaan yang telah
dibolehkan untuk melakukan setelah didahului adanya larangan untuk melakukan.
Seperti pada Qs. At Taubah : 5, dan Al Maidah : 2 yaitu :
فَإِذَاانسَلَخَالأَشْهُرُالْحُرُمُفَاقْتُلُواْالْمُشْرِكِينَ...
“Apabila telah habis bulan-bulan haram,maka perangilah
orang-orang musyrik”
وَإِذَاحَلَلْتُمْفَاصْطَادُواْ...
“Tetapi apabila
kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu”
Pada
ayat yang pertama, perang diharamkan karena untuk menghormati bulan – bulan
haram, namun jika telah melewati bulan haram tersebut maka diperbolehkannya
untuk memerangi orang musyrik.
Dan
pada ayat yang kedua adalah larangan untuk berburu hewan, karena dalam keadaan pelaksanaan
haji, maka jika ibadah haji tersebut selesai diperbolehkannya untuk berburu
hewan.
E. An nahyu
1.
Pengertian
An Nahyu atau
Nahi secara bahasa memiliki arti larangan, dan menurut ulama’ ushul fiqh yang
dimaksudkan adalah tuntutan meninggalkan suatu pekerjaan dari pihak tertinggi
terhadap pihak bawah.
طلب
الترك من الاعلى الى الادنى
“
tuntutan untuk meninggalkan dari pihak tertinggi kepada pihak bawah”
Jadi, nahyu secara
dipahami adalah lafadz yang mengandung arti larangan atau tuntutan untuk
meninggalkan suatu perkara/pekerjaan, seperti larangan untuk mencuri, berzina
dll.
2.
Shigat
nahyu/nahi dan bentuk – bentuknya
a.
Fi’il mudhari’
didahului dengan lam nahyiyang terdapat dalam Qs. Al An’am : 152.
ولَا
تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
b.
Jumlah
khabariyah, kalimat yang melarang suatu perbuatan, dengan cara menyatakan
pengaharaman pada suatu perbuatan yang terdapat pada Qs. Baqarah : 230.
فَإِن
طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً
c.
Larangan dengan
menggunakan lafadz nahyu sendiri seperti yang terdapat pada Qs. An Nahl : 90.[49]
إنَّ اللَّهَ
يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ
الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
d.
Lafadz
perintah yang menunjukkan untuk pelarangan seperti pada Qs. Al Hajj : 30
فَاجْتَنِبُوا
الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ
3.
Hakikat
makna dari nahyu/nahi
Sama dengan amr, nahyu sendiri makna
yang berbeda – beda dalam tuntuntan pelarangan, dan adapun perbedaan ulama’
dalam memaknai lafadz nahyu yang ada didalam Al Qur’an apakah hakikat makna
tersebut untuk tahrim ataupun menjadi tidak jika ada dalil/qarinah yang
menunjukkannya. Maka perbedaan pendapat tersebut dibagi menjadi empat yaitu:
a.
Nahyu mempunyai
hakikat tahrim, dan bukan karahah, dan itu pasti kecuali terdapat qarinah yang
menunjukkan bahwa tuntutan itu bukan tahrim, hal ini menurut pendapat jumhur
ulama’.
b.
Adapun pendapat
yang kedua bahwa nahyi yang tidak disertai qarinah memiliki makna karahah.
c.
Dan pendapat
yang ketiga, nahyu memiliki makna mustarak diantara karahah dan tahrim, antara
isytarak lafdzhi ataupun isytarak maknawi.
d.
Dan hakikat
yang ketiga makna dari nahyu adalah tasawuf[50].
4.
Kaidah
– Kaidah dalam Nahyu
1.
النحي للتحريم
/
lafadz pelarangan menunjukkan haram untuk dilakukan
Maksud
dari kaidah ini adalah lafadz nahyu memberi tuntutan kepada mukallaf supaya
benar – benar tidak melakukan pekerjaan tersebut selama tidak ada qarinah atau
dalil yang memalingkan arti, contoh nahyu pada kaidah ini terdapat pada Qs.
Isra : 32.
وَلاَ
تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً
Maka
makna ayat tersebut menunjukkan bahwa larangan untuk mendekati zina. Namun
terkadang nahyu juga menunjukkan berbagai makna dengan qarinah, antara lain:
a.
Nahyu untuk doa
yang terdapat pada Qs. Al Baqarah : 286.
...رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ...
Lafadz nahyu
diatas menunjukkan kata untuk pelarangan namun memberikan makna doa.
b.
Nahyu untuk
memberikan petunjuk/membimbing atau irsyadyang terdapat pada Qs. Maidah : 101.
لاَ
تَسْأَلُواْ عَنْ أَشْيَاء إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
Dari
ayat diatas juga menunjukkan larangan namun memiliki makna untuk membimbing,
karena jika bertanya akan memberikan kesusahan atau memberatkan.
c.
Nahyu yang
memberikan makna sebuah harapan terdapat pada Qs. At Taubah : 41
لاَ
تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا
Nahyu
tersebut memiliki arti sebuah larangan namun menunjukkan makna harapan atau
iltimas, karena pada dasarnya manusia memiliki rasa sedih.
d.
Nahyu yang
memberikan arti keputusasaan yang terdapat pada Qs. At Tahrim : 7
لَا تَعْتَذِرُوا
الْيَوْمَ
Meskipun
lafadz nahyu ini memberikan arti larangan untuk tidak mengemukakan uzur atau
alasan, namun hakikatnya lafadz tersebut memberikan makna keputusasaan pada
hari kiamat terhadap orang kafir[51].
e.
Nahyu berikutnya
memiliki arti menjelaskan sebuah akibat yaitu yang terdapat dalam Qs. Ibrahim :
42
وَلاَ
تَحْسَبَنَّ اللّهَ غَافِلاً عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ
“Dan janganlah engkau mengira, bahwa Allah lengah dari apa yang diperbuat
oleh orang yang zalim”
Maka
lafadz nahyu ini memberikan arti larangan dan bermakna menjelaskan tentang
akibat dari sebuah perbuatan[52].
2.
الاَصْلُ فِى
النَهْيِ المُطْلَقْ يَقْتَضِى التِكْرَارَى فِى جَمِيْعِ الاَزْمِنَةِ/lafadz larangan yang memiliki sifat mutlak,
dan memberi petunjuk untuk sepanjang zaman.
Kaidah
ini memberikan larangan dalam suatu perkara yang menunjukkan waktu atas
larangan tersebut, yaitu waktu itu berlaku sepanjang waktu atau ada batasan
waktu terhadap larangan tersebut, adapun ayat yang menunjukkan bahwa
laranganNya berlaku selamanya yaitu pada Qs. Al Baqarah : 11
وَإِذَا
قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ
Ayat tersebut menunjukkan untuk tidak merusak dibumi selamanya, dan
adapun ayat yang menerangkan atas larangan dengan batasan waktu tertentu, yaitu
pada Qs. An Nisa : 43.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ
تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ
Ayat
tersebut menunjukkan larangan untuk mengerjakan sholat jika dalam keadaan mabuk
sampai tersadar atas dirinya dari mabuk tersebut[53].
3.
النَهْيُ عَنْ
شَيْئٍ اَمْرٌ بِضِدِهِ/larangan
yang menunjukkan untuk melakukan lawan dari tindakan tersebut
Maksud
dari kaidah ini ialah larangan untuk mengerjakan sesuatu dan memberi makna
perintah untuk melaksanakan sesuatu kebalikan dari tindakan yang dilarang,
misalnya : larangan untuk berpuasa dihari idul fitri, maka larangan tersebut
menunjukkan perintah untuk tidak berpuasa, dan larangan untuk kufur maka hal
tersebut menunjukkan perintah untuk beriman. Adapun ayat yang menunjukkan
kaidah ini yaitu pada Qs. Luqman : 18.
وَلَا
تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحاً
Ayat tersebut melarang mukallaf untuk berjalan diatas bumi dengan
sombong, maka secara tidak langsung ayat tersebut memerintahkan untuk berjalan
dengan sopan dan baik[54].
4.
النَهْيُ
يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ المُنْهِىِّ عَنْه/lafadz nahyu memberi larangan yang menunjukkan rusaknya suatu
pekerjaan
Maksud kaidah diatas ialah larangan untuk melakukan suatu pekerjaan
yang menunjukkan rusaknya pekerjaan itu sendiri, seperti halnya ketika waktu
haid dan mengerjakan sholat, maka sholat tersebut disebut rusak/fasad. Adapun
dalil yang menyatakan kaidah ini yaitu terdapat pada hadist Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh Muslim no. 1138
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه
– أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ
يَوْمِ الأَضْحَى وَيَوْمِ الْفِطْرِ
Maka hadist diatas menyatakan larangan berpuasa pada hari raya idul
fitri dan idul adha yang apabila dikerjakan akan menjadikan rusak pekerjaan
tersebut.
F.
Penutup
Ta’arudh
adalah pertentangan atau kontradiksi antara dua dalil. Namun pada hakikatnya
tidak ada pertentangan dalam syari’at. Melainkan pada pandangan mujtahid yang
terkadang terlihat ada pertentangan dua dalil dalam satu tempat. Ushuluyyin
dalam beberapa abad sudah berusaha mencari cara untuk menyelesaikan t’arudh
ini. Diantaranya yaitu dengan cara jam’u wa at taufiq, tarjih, nasakh dan
tatsaqut ad-dalilain. Jika dengan cara jam’u tidak mungkin
dilakukan, maka dilakukanlah cara tarjih, jika dengan tarjih juga tidak
memungkinkan, maka menggunakan cara
nasakh, apabila ketiga cara di atas sudah tidak bisa digunakan lagi maka cara
terkhir yang harus dilakukan adalah dengan cara tatsaqutad-dalilain.
Tarjih
menurut bahasa ialah menguatkan. Menurut istilah, tarjih adalah menguatkan
salah satu antara dua dalil dengan yang lainnya, dalam satu masalah yang sama.
Adapun mengenai hal-hal yang diijtihadkan ialah yang berhubungan dengan dalil zhanny.
Apabila terdapat dalil zhanny dua atau lebih yang bertentangan, maka
wajib ditarjihkan, untuk mengetahui dalil mana yang lebih kuat. Cara
pentarjihan dibagi menjadi dua, yakni at-Tarjih baina an Nushush dan at-Tarjih
baina al-qiyas.
Amr
memiliki arti yang dapat kita pahami ialah perintah atau tuntutan untuk
mengerjakan bagi mukallaf, maka kaidah – kaidah amr yang dapat kita pahami
ialah perintah yang menunjukkan wajib, Dasar perintah yang tidak menghendaki
untuk pengulangan suatu pekerjaan, Dasar Perintah tidak menuntut untuk
dilaksanakan secara langsung, Perintah
terhadap suatu pekerjaan berikatan dengan wasilah/Syarat, Perintah
setelah adanya pelarangan yang kemudian diperbolehkan.
Nahyu
memiliki arti tuntutan yang menunjukkan arti larangan dalam mengerjakan secara
garis besar namun dengan bentuk – bentuk lafadz menjadi memiliki arti yang
berbeda-beda, adapun kaidah nahyu ialah lafadz pelarangan menunjukkan haram
untuk dilakukan, lafadz larangan yang memiliki sifat mutlak, dan memberi
petunjuk untuk sepanjang zaman, larangan yang menunjukkan untuk melakukan lawan
dari tindakan tersebut, lafadz nahyu memberi larangan yang menunjukkan rusaknya
suatu pekerjaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Atabik,Ahmad.2015. Kontradiksi Antar Dalil DanCara Penyelesaiannya
PrespektifUshuliyyin, Vol. 6, No. 2, Desember.Yudisia.
Azzuhaili,
Wahbah. 2005. Ushul fiqh al
Islami, III. Damaskus:
Darul Fikri.
Bakry,Nazar.2003. Fiqh dan Ushul
Fiqh.Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Djalil, Basiq. 2010.Ilmu Ushul Fiqh
Satu dan Dua.Jakarta:
Kencana.
Efendi,Satria. 2005. Ushul Fiqh,I. Jakarta:
Prenada Media.
Shidiq, Safiudin.Ushul Fiqh. (Intimedia).
Software Al
Qur’an Ad – Dunya
Syafe’I,Rachmat.2010.Ilmu Ushul Fiqh,IV.Bandung: CV
Pustaka Setia.
_______________. 2015.Ilmu ushul
Fiqh, V. Bandung : CV
Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir.2012.Garis-Garis
Besar Ushul Fiqh.Jakarta: Kencana.
______________. 2008.Ushul Fiqh
Jilid 2, IV. Jakarta :
Kencana.
Rafi’i,
Abdullah danMulyono Jamal,
dkk. 2011. Ushul Fiqh KMI. Ponorogo:
Darussalam Press
Wafa, Muhammad. 2001.Metode Tarjih
Atas KontradiksiDalil
Dalil Syarah.Bangil
: Al Izzah.
Catatan:
Similarity
11%.
[1] Safiudin
Shidiq, Ushul Fiqh, (Intimedia), hlm.135
[2]Ahmad
Atabik, Kontradiksi Antar Dalil
DanCara Penyelesaiannya PrespektifUshuliyyin, Yudisia,
Vol. 6, No. 2, Desember 2015
[4] Safiudin
Shidiq, Op. Cit, hlm.135
[5] Safiudin
Shidiq, Op. Cit, hlm.136-138
[6]Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Cet. IV,CV Pustaka Setia, Bandung, 2010, Hlm.226-227
[7] Satria
Efendi, Op. Cit, hlm. 239
[8] Nazar
Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003,
hlm.254
[9] Rahmat
Syafe’i, Op. Cit, hlm.227-228
[10] Satria
Efendi, Op. Cit, hlm.240-241
[11] Rahmat
Syafe’i, Op. Cit, hlm. 229-230
[12]
Safiudin Shidiq, Op. Cit, hlm.138-139
[13] Basiq
Djalil, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua, Kencana, Jakarta, 2010, hlm.202
[14] Nazar
Bakry, Op. Cit.,
hlm.261
[15] Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta, 2012, hlm.87
[16] Basiq
Djalil, Op.Cit, hlm. 203
[17] Nazar
Bakry, Op. Cit, hlm.262
[18] Rahmat
Syafe’I, Op. Cit, hlm.
243
[20] Nazar
Bakry, Op. Cit, hlm.265
[21] Rahmat
Syafe’i, Op. Cit, hlm.244-245
[22] Nazar
Bakry, Op. Cit, hlm.265
[23] Rahmat
Syafe’i, Op. Cit, hlm. 247
[24] Nazar
Bakry, Op. Cit, hlm. 266
[25] Rahmat
Syafe’i, Op. Cit, hlm. 247
[26] Nazar
Bakry, Op. Cit, hlm. 266
[27] Rahmat
Syafe’i, Op. Cit, hlm. 248
[28] Nazar
Bakry, Op. Cit, hlm. 267
[29] Rahmat
Syafe’i, Op. Cit, hlm.
249
[30] Nazar
Bakry, Op. Cit, hlm. 268
[31] Basiq
Djalil, Op.Cit, hlm.206
[33]
Software Al Qur’an Ad – Dunya Qs. Al Isra’: 78
[34] Ibid
Qs. Al Baqarah:153
[35] Ibid
Qs. AN Nur : 63
[36] Ibid
Qs. At Thlm...aq : 7
[37]Abdullah Rafi’i, Mulyono Jamal, dkk, 2011, Ushul
Fiqh KMI,Darussalam Press, Ponorogo, hlm. 132 - 133
[38] Ibid
Qs. Al Baqarah : 23
[39] Ibid
Qs. Muhammad : 4
[40] Ibid
Qs. Al Baqarah : 233
[44]Wahbah
Azzuhaili, Op.cit, hlm.
216
[45] Amir
Syarifuddin, Op.cit., hlm.
169-170
[46]Ibid, hlm. 53-54
[47]Amir
Syarifuddin,Op.cit., hlm.
186
[48]Wahbah
Azzuhaili, Op.cit,. hlm.
224
[50]Rachmat
Syafe’i, Op.cit., hlm.
207
[52]Wahbah
Azzuhaili, Op.cit., hlm.
228
[53]Basiq
Djalil, Op.cit., hlm.
65 - 66
[54]Basiq
Djalil, Op.cit., hlm.
64- 65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar