SUMBER HUKUM
ISLAM YANG DISEPAKATI MELIPUTI AL-IJMA’, AL-QIYAS
(BURHAN RIFA’I,
ADINDA, KHORIBETUL)
MAHASISWA PAI_B ANGKATAN 15 UIN MALIKI MALANG
EMAIL : qqoribah@gmail.com
Abstract
In this article described the source of Islamic
law after the Qur'an and as-Sunnah ie ijma and qiyas. Which is the source of
this law in use when there is a problem that occurs but not found in the Qur'an
and as-Sunnah. The Ijma is the consensus of the Mujtahids (the Prophet Muhammad
SAW) about a law or problem in a period after his death. The jihad qiyas is a
law stipulation of an event or event that there is no legal basis in the
alaquran by comparing with another event which has been set its source of law
based on the Koran and hadith by looking for illat equation. As Muslims we
should understand and understand about the source of law in Islam so we know
about the law we will do or others do not fall into sin. Because of the
incidents occurring in our day most of them have no legal source in the Qur'an.
Like the ijma of the scholars of Indonesia (mui) about the determination of
immunization, which in the time of the prophet Muhammad has not been immunized.
And the scholars of Indonesia berijma 'about the law of immunization. And the allowance
of immunization because many benefits and can be considered as
"ikhtiyar" in health.
Keywords: ijma’, qiyas
ABSTRAK
Dalam artikel ini dijelaskan tentang sumber hukum
islam setelah alqur'an dan as-sunnah yakni ijma dan qiyas. Yang mana sumber hukum ini di gunakan ketika
ada suatu permasalahan yang terjadi namun tidak di temukan di dalam alqur'an
dan as-sunnah. Ijma merupakan kespakatan para mujtahid (ummat nabi muhammad SAW
) tentang suatu hukum atau permasalahan di dalam suatu masa setelah beliau
wafat. Sesangkan qiyas merupakan penetapan hukum tentang suatu peristiwa atau
kejadian yang tidak ada dasar hukum di dalam alaquran dengan cara membandingkan
dengan suatu peristiwa yang lain yang telah di tetapkan sumber hukumnya
berdasarkan alquran dan hadist dengan cara mencari persamaan illat. Sebagai umat islam yang bai kita harus faham
dan mengerti tentang sumber hukum di dalam islam agar kita tahu tentang hukum
suatu yang akan kita lakukan atau orang lain kerjakan agar tidak terjerumus ke
dalam dosa. Karena kejadian kejadian yang terjadi di zaman kita kebanyakan
tidak ada sumber hukum nya di dalam alquran. Seperti ijma para ulama indonesia
(mui) tentang penetapan imunisas, yang mana di zaman nabi muhammad belum ada
imunisasi. Dan para ulama indonesia ber
ijma' tentang hukum imunisasi. Dan di
perbolehkannya imunisasi karena banyak manfaatnya dan bisa di anggap sebagai
"ikhtiyar" dalam kesehatan.
Kata kunci: ijma,
qiyas
IJMA’
A.
Pengertian
Ijma’
Ijma’ ialah “sepakat
para mujtahid muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasulullah saw,
terhadap hukum syar’i pada suatu peristiwa”. (Dr. M. Fahim Tharaba dalam
bukunya yang dikutip dari Abdul Wahab Khalaf, 1994: 49)[1].
Sebuah kesepakatan tidak akan disebut ijma’, jikalau tidak ada mufakad
yang bulat dari para mujtahid yang memutuskan suatu hukum tersebut. Dan tidak
ada ijma’ di masa Rasulullah saw, karena pengambilan hukum pada masa itu
di pusatkan pada beliau, sehingga tidak
perlu mengambil kesepakatan para mujtahid atau ijma’.
Secara
bahasa, ijma’ memiliki 2 arti yaitu[2]:
1.
Ijma’ berarti “pengambilan keputusan
untuk melakukan sesuatu”. Hal tersebut bisa dilihat dalam Al-Qur’an surat Yunus
(10): 71.
2.
Ijma’ berarti “sepakat”. Hal ini bisa
dilihat dalam Al-Qur’an surat Yusuf (12): 15.
Sedangkan menurut istilah dan dilihat dari segi siapa yang
melaksanakan kesepakatan tersebut, definisi ijma’ terbagi menjadi
beberapa poin, yaitu[3]:
a.
Al-Ghazali
Al-Ghazali
berpendapat bahwa “ kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan
agama”. Kata khusus di atas mempunyai arti yang luas, yaitu seluruh umat islam
/ umat Nabi Muhammad. Pendapat Al-Ghazali ini mengikuti pendapat Imam Syafi’i
yang mana beliau berpendapat bahwa ijma’ adalah “kesepakatan umat”.
b.
Al-Amidi
Al-Amidi
merupakan ulama syafi’iyah mendefinisikan ijma’ sebagai “kesepekatan sejumlah Ahlul
Halli Wal Aqd (para ahli yang berkompeten mengurusi umat) dari umat
Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus”. Sepertinya Imam Al-Amidi
berpendapat bahwa ijma’ merupakan keputusan/kesepakatan umat tertentu.
Yaitu umat yang memiliki peran untuk membimbing hal spiritual umat islam.
Menurut beliau, kesepakatan orang awam tidak perlu diperhitungkan lagi. Namun,
Al-Amidi menyatakan bahwa ijma’ adalah “kesepakatan para mukallaf dari
umat Muhammad pada suatu masa atas suatu hukum”. Definisi ini sebagai
alternatif, karena adanya kemungkinan orang awam bisa menjadi bagian dari ijma’
dengan syarat sudah mampu membuat suatu hukum.
c.
Ulama
syi’ah
Mereka
berpendapat bahwa ijma’ adalah “ kesepakatan suatu komunitas yang
kesepakatan mereka memiliki kekuatan dalam menetapkan hukum syara”. Mereka
membatasi kesepakatan tersebut hanya pada kelompok/komunitas tertentu, karena
mereka berfikir bahwa ijma’ ini hanya untuk memperoleh sunnah, yakni
perkataan perbuatan orang yang disangka ma’shum, seperti Nabi Muhammad
dan keturunan(ahlul bait) Sayyidah Fathimah, hasan husain.
d.
Ibnu
Hazmin
Ibnu
Hazmin merupakan salah satu kelompok ulama Zhahiri menyatakan pendapatnya
sebagai berikut: “kesepakatan ulama islam tentang nash, baik dari Al-Qur’an
maupun Sunnah”.
e.
Al-Nazham
Al-Nazham
adalah pemimpin golongan Nazhamiyah, salah satu potongan mu’tazilah menyatakan
pendapat lain tentang ijma’, yaitu: ”setiap perkataan yang hujjahnya
tidak dapat dibantah”. Maknanya ialah
setiap ucapan seseorang yang bisa dijadikan hujjah syari’yah. Pendapat ini
memang bertentangan dengan arti ijma’ secara lughowi, yang mengartikan
ijma’ adalah kesepakatan. Namun hal ini adalah sebagai kompromi atas persetujuannya
atas pendapat ulama yang tidak menerima ijma’.
Ijma’ merupakan
sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadits. Dan itu artinya ijma’
wajib diikuti/dipatuhi selama dalam Al-Qur’an dan Hadis tidak ada ketetapan
hukum tersebut. Jumhur ulama menguatkan pendapat ini dengan bersandar pada
dalil dari ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi.
B.
Dasar
hukum ijma’
Al-Qur’an,
Hadis, dan akal merupakan dasar hukum ijma’.[4]
1.
Al-Qur’an
Ijma’ banyak dijelaskan dalam Al-Qur’an, diantaranya adalah:
"يأيهاالذين ءامنوا أطيعوا الرسول وأولى
الأمرمنكم (59)"
“hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan Ulil amri
diantara kamu...” (Q.S. An-Nisa’: 59)
Ulil
amri yang disebut diatas dapat diartikan sebagai penguasa negara, seperti
presiden, raja, dsb. Sedangkan yang mengurusi hal agama adalah mujtahid. Dan
ketika para mujtahid sepakat untuk suatu hukum, maka hal itu wajib diikuti oleh
seluruh kaum muslim.
2.
Hadis
Selain
dari Al-Quran. Ijma’ juga diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Ahmad, yang artinya: “apa yang dipandang
baik oleh orang-orang muslim, disisi Allahpun dipandang baik”. (HR. Ahmad)
Hadis
tersebut diatas, diambil dari buku Hikmatut Tasyri wa Hikmatus Syar’i karangan
Dr. M. Fahim Tharaba yang beliau ambil dari buku karangan Mukhtar Yahya, 1993:
62). Dari hadits tersebut, cara untuk
menghukumi suatu masalah ialah dengan mufakad bersama.
3.
Akal
Dalam melaksanakan ijtihad, para mujtahid harus berpegang pada
ajaran agama islam, harus mengerti hukum-hukum yang sudah ditentukan, serta
tidak boleh melampaui apa-apa yang sudah ada dalam nash. Mujtahid juga
tidak boleh melampaui qawaidul ahkam, karena dalam menentukan suatu hukum
mujtahid bisa menggunakan cara lain. Seperti contoh menggunakan istihsan,
qiyas, istishab, urf, dsb. Bisa disebut qath’i apabila mujtahid
berpegang pada dalil syara’ dalam menentukan suatu hukum, akan tetapi tak akan
mencapai suatu kesepakatan jika masih bersifat dzanny.
C.
Rukun
ijma’
Rukun
ijma’ ini ditentukan oleh ahlul ushul sebagai berikut:[5]
a)
Adanya
beberapa mujtahid. Jika hanya ada satu mujtahid, maka tidak akan ada ijma’
karena tidak ada kesepakatan para mujtahid.
b)
Mujtahid
melakukan kesepakatan dengan tidak memandang ras, suku, dan golongan. Jika
pengambilan hukum dilakukan oleh mujtahid dalam satu negara, maka ijma’
tidak sah. Dan ijma’ tidak didasarkan pada ras, suku, dan golongan.
c)
Setiap
mujtahid harus mengutarakan pendapatnya dengan tegas dan jelas. Hal tersebut
bisa berupa perkataan, perbuatan atau dengan tulisan yang menggambarkan penerimaan
atas pendapat mujtahid lain dalam menentukan suatu hukum pada sebuah peristiwa.
d)
Kesepakatan
harus mufakad tanpa menyandang cacat. Sebuah kesepakatan yang hanya disepakati
oleh setengah dari jumlah mujtahid yang ada, tidak bisa mencapai tingkatan ijma’ dan
tidak bisa dijadikan dasar syar’iyah.
D.
Macam-macam
ijma’ [6]
1)
Ijma
dari segi pembentukannya, dibagi menjadi dua yaitu:
a)
Ijma’
sharih, adalah kesepakatan yang disepakati
oleh para mujtahid. Dengan mengutarakan pendapat masing-masing dengan tegas dan
jelas sebagai tanda persetujuan akan pendapat salah seorang mujtahid.
b)
Ijma’
sukuti, adalah kesepakatan yang diambil
secara diam-diam. Maksudnya, para mujtahid berkumpul untuk menetapkan suatu
hukum dengan cara sebagian mujtahid mengemukakan pendapatnya, dan sebagian
mujtahid lagi hanya diam sebagai tanda persetujuan akan hukum tersebut.
2)
Ijma’ dari segi macamnya, terbagi menjadi enam, yaitu:
ü Ijma’ ahl al-madinah (kesepakatan penduduk madinah)
Imam Malik
berpendapat bahwa ijma’ ahl al-madinah(kesepakatan di golongan sahabat
dan tabi’in) ini bisa dijadikan hujjah. Namun, kesepakatan yang dilakukan
setelah dua masa tersebut tidak lagi disebut hujjah. Sedangkan pemuka mdzhab
maliki berpendapat lain tentang kehujjahan ijma’ ini, mereka
berpendapat:
·
Informasi
apapun yang datang dari penduduk madinah lebih utama daripada pendapat dari
kota lain, karena penduduk madinah lebih dekat dengan Rasulullah SAW. dan
merekalah yang sangat mengetahui apa-apa yang Rasulullah ajarkan.
·
Kesepakatan
mengenai urf dan adat istiadat yang sudah menyebar yang terkait pada
suatu hukum tertentu, yang mana urf dan adat ini sudah sangat populer
dimata penduduk kota madinah.
Jadi, ijma’ ahl al-madinah adalah suatu kesepakatan di
lingkup hukum yang dapat ditetepkan dengan dua cara yaitu:
§ Periwayatan
§ ijtihad
ü Ijma’ Al-Haramain (kesepakatan penduduk mekah dan madinah)
Beberapa pemuka
ushul berpendapat bahwa kesepakatan penduduk dari dua kota ini termasuk hujjah.
Pendapat ini berawal dari kepercayaan bahwa ijma’ bermula di masa
sahabat, dan kebanyakan dari sahabat tinggal di Mekkah dan Madinah. Jadi,
kesepakatan dari penduduk nya merupakan hujjah.
ü Ijma’ ahl Al-misyhrain (kesepakatan dua kota –Basrah dan Kufah-)
Sama hal nya
dengan ijma’ al-Haramain, ijma’ ini juga merupakan hujjah, yang
mana kedua kota ini juga termasuk dominan pednduduk nya adalah sahabat. Namun,
pendapat ini bisa dibantah dengan alasan bahwa sahabat tidak hanya tinggal di
kota Mekkah, Madinah, Basrah, dan Kuffah saja, akan tetapi juga di Irak, Yaman,
dan Syam (Syiria). Begitupun dengan alasan bahwa ijma’ secara khusus ada pada
masa sahabat saja, bisa ditolak dengan pendapat bahwa ijma’ bisa
dilakukan kapan saja disetiap masa, asalkan terpenuhi syarat-syaratnya.
ü Ijma’ asy-syaikhan (kesepakatan 2 kholifah –abu bakar dan usman-)
Pendapat ini
didasarkan pada hadits Nabi SAW. yang artinya: ” dari Huzaifah, bahwa Nabi SAW
bersabda: “turutilah dua orang setelah (wafat)-ku: Abu Bakr dan Umar.”
ü ijma’ khulafaur rasyidin.
Al-Qadhi Abi
Hazim mengemukakan pendapat ini berdasarkan pada hadits nabi yang menyatakan
bahwa khulafaur rasyidin ialah sahabat yang cakap dan ahli dalam
kepemimpinannya. Oleh sebab itu mereka wajib diikuti, yang secara tidak
langsung perkataan mereka menjadi hujjah.
ü Ijma’ al-‘itrah (kesepakatan keluarga nabi)
Syi’ah
al-alamiyah dan az-zaidiyyah berpendapat bahwa kesepakatan ahl al-bayt (Ali,
Fatimah, Hasan, dan Husain) termasuk hujjah. Mereka mendasar pada Quran surah
al-Ahzab (33): 33, asy-Syuara (42): 23.
QIYAS
Terdapat beberapa cara dalam
pengambilan hukum islam, yang pertama yaitu : Al quran, hadis, ijma’ dan qiyas.
Al-Quran adalah sutau sumber utama dalam menetapkan hukum – hukum islam, dan al
quran merupakan hal yang utama dalam kehidupan umat muslim, karena al-Quran
adalah pedoman bagi setiap muslim. Sedangkan hadis merupakan hal yang kedua
dalam menetapkan sebuah hukum. Hadis atau sunah merupakan suatu hal yang sama
seperti Al-quran dalam hal menghalalkan yang halal dan juga mengharamkan yang
haram, tetapi sunah atau hadis ini merupakan hokum yang pengambilannya dari
perkataan ataupun perbuatan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan ketetapan hukum Ijma’
adalah.Sedangkan qiyas menurut global yaitu menyamakan cabang karena ‘illat
kapeada sebuah pokok, dan mengumpulkannya kedalam satu hukum.
a.
Pengertian
Qiyas
“Qiyas adalah menetapkan suatu kejadian atau peristiwa yang tidak
ada dasar Nashnya dengan cara membandingkan kepada suatu kejadian atau
peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada
persamaan ‘illat antara kedua kejadian
atau peristiwa itu”
Pada dasarnya, qiyas adalah dasar hukum yang mana para mujtahid
telah mengambil sebuah mufakat untuk ijtihad mereka, untuk menemukan suatu
hukum dari peristiwa yang mana tidak ada hukum nash nya secara jelas. Dengan
kata lain, qiyas dapat dikatakan sebagai babak pertama dalam dunia keijtihadan
para mujtahid, yang mana enetapan sebuah hukumnya itu dalam bentuk akal ataupun
ra’yu.
“Qiyasmenurut istilah ulama Ushul Fiqh ialah menyamakan suatu
kejadian yang tidak ada nash tentang hukumnya dengan kejadian yang ada nash
tentang hukumnya, dalam hukum yang disebut dalam nash, karena sama dua kejadian
itu dalam illathukum ini”
Jika suatu hukum kejadian ditunjukkan oleh suatu nash, dan
penentuan illat hukum yang mana sudah ditentukan melalui cara – cara yang telah
ditentukan oleh para mujtahid, lalu disuatu permasalahan yang lain yang hampir
mirip hukum illatnya dengan kejadian yang lain, maka hukum kejadian yang hampir
mirip tersebut disamakan dengan nash berdasarkan illatnya yang sama, maka suatu
hokum itu diperoleh dari keadaan illat yang sama tersebut.
Pengertian qiyas menurut Qadhi Abu Bakar yang mana pengertian
tersebut kebanyakan di setujui oleh para ulama, yaitu :
“حَمَلَ معْلُمٍ عَلَى معْلُمٍ فِي اِثِبَاتِ
حُكْمٍ لَهٌماَ اَوْ نَفْيِهِ عَنْهُمَا بِأَمْرٍ جَامِعٍ يَبْنَهُمَا
yang mempunyai arti : menanggukan sesuatu yang diketahui kepada
sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan
hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya.”
Dapat disimpulkan bahwa pengertian qiyas menurut Qadhi Abu Bakar
adalah ketika menetapkan suatu hukum kepada sesuatu yang diketahui maupun yang
tidak diketahui diantara keduanya ketika menetapkan sutau hukum dilihat adakah
hal yang sama diantara kedua sesuatu tersebut,akankah menetapkan suatu hukum
tersebut ataukan meniadakan suatu hukum tersebut. Pengambilan hukum nya dari
kedua sesuatu yang telah diketahui.
b.
Kedudukan
qiyas sebagai sumber hukum
Jumhur Ulama berpendapat bahwa qiyas dijadikan dalil atau dijadikan
sebaai hujjah untuk hukum yang bersifat amaliyah.Tempat keempat dalam penetapan
sebuah hukum dalam urutas sumber hukum diduduki oleh qiyas.Jumhur ulama
berpendapat berdasarkan Al-Quran, sunah, dan beberapa perbuatan sahabat yang
dipadukan dengan akal.
1. Kedudukan qiyas
berdasarkan dalil Al-Quran, yang artinya :
“59. Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu.kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”
Orang – orang mukmin mendapat perintah dari Allah SWT ketika orang
– orang mukmin tersebut berselisih tentang suatu hukum yang tidak terdapat
hukum yang berasal dari Allah SWT ataupun hukum yang berasal dari Rasul,
ataupun yang berasal dari ulil amri, maka orang – orang mukmin mengembalikan
sutau hukum tersebut kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Maksud dari mengembalikan
suatu hukum kepada Allah SWT dan Rasul-Nya yaitu hukum tersebut dikembalikan
kepada Al-Quran dan sunah, yaitu dengan cara membandingkan kejadian yang tidak
terdapat hukum nash nya, kepada kejadian yang terdapat hukum nash-nya, yang
berdasarkan Al-Quran, sunah dan ijma’.
2. Kedudukan qiyas
berdasarkan sunah
Hadis ini merupakan hadis dari Mu’adz bin Jabal, ketika Rasulullah
menyuruhnya ke Yaman, dan Rasulullah bersabda :
كيف تقضي إذا عرض لك قضاء قال أقضي بكتاب الله قال
فإن لم تجد في كتاب الله قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فإن لم تجد في
سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله قال أجتهد رأيي ولآالو فضرب رسول
الله على صدره فقال : الحمدلله الذى وفّق رسول رسول الله لما يرضى رسول الله
yang mempunyai arti : bagaimana engkau memutuskan apabila datamg
kepadamu suatu perkara ? Mu’adz menjawab : “ aku putuskan berdasarkan
kitabullah, jika aku tidak memperoleh (hukumnya dalam Kitabullah) maka
berdasarkan sunah Rasulullah, jika aku tidak menemukan (hukumnya dalam sunah
Rasulullah) maka aku berijtihad pendapatku dan aku tidak akan mengabaikan
(perkata itu). Lalu Rasulullah mengusap – usap dada Mu’adz seraya bersabda :
segala puji bagi Allah yang memberi taufik kepada sesuatu yang diridhai oleh
Rasulullah (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Sudah jelas dalam hadis tersebut ketika Mu’adz bin Jabal berijtihad
dalam menetapkan sebuah hukum, maka Rasulullah telah membenarkan pemikiran
Mu’adz bin Jabal tersebut. Menemukan suatu hukum dan menggunakan segala
kesungguhan untuk menetapkan sebuah hukum, dan itu semua mencakup qiyas, itu
adalah pengertian dari ijtihad, dikarenakan ijtihad dan istidlal merupakan
semacam qiyas.
3. Qiyas dijadikan
Hujjah dalam hukum agama dimana suatu hukum tersebut didapatkan dari perbuatan
– perbuatan dan perkataan – perkataan para sahabat. “mereka berijtihad dalam
menetapkan sebuah hukum kejadian – kejadian yang tidak ada nashnya dengan
mengiaskan kejadian yang ada nashnya. Para sahabat mengqiaskan jabatan khalifah
serta menjelaskan dasar – dasar qiyas yang mereka gunakan dengan ucapan :
Rasulullah meridhai Abu Bakar dalam urusan agama kita, adakah beliau tidak
meridhainya dalam urusan dunia kita ?”
Dari contoh tersebut para sahabat mendapatkan hukum tersebut dengan
mengaitkan dengan nash yang ada, maka dari itu perbuatan dan perkataan para
sahabat dapat menjadi hujjah dalam penetapan sebuah hukum.
4. Allah membuat suatu
hukum ditujukan untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Sedangkan kemaslahatan
manusia akan terus berkembang seiring berjalannya waktu. Maka apabila terdapat
suatu hukum yang tidak ada hukum nashnya, illat yang sama dengan kejadian yang
hampir sama, maka kejadian ataupun kebijaksanaan menempati hukum yang sama.
c.
Tingkatan
– tingkatan Qiyas
Tingktan qiyas yang ditinjau dari kejelasan illatnya, terdpat dua
tingkatan yaitu :
a. “Qiyas al-Jali (qiyas yang
nyata). Terdapat dua macam qiyas al-jali yaitu :
1) Suatu hukum qiyas yang
sudah nyata terdapat dalam nash.
Contohnya, Allah SWT telah berfiman di dalam al-quran, supaya kamu
berbuat baik kepada kedua orang tua, dan janganlah kamu mengatakan ah kepada
kedua orang tua tersebut. Larangan tersebut terdapat suatu illat yang sama
dengan larangan memukul kedua orang tua, yaitu sama – sama akan menyakiti mereka.
2) suatu qiyas yang ‘illahnya
tidak disebutkan dalam nash, tetapi tidak ada kesamaranuntuk mengetahui
permasaan ‘illah itu di dalam al-ashl¬dan al-far’u ”
b. Qiyasal-khafi (qiyas yang
tersembunyi)
Qiyas ini memerlukan ijtihad dalam menetapkan suatu hukum,
dikarenakan qiyas ini mempunyai illat
yang tidak disebutkan di dalam nash secara nyata.
”selanjutnya, ditinjau dari segi kekuatan atau lemahnya ‘illah yang
terdapat pada al-far’u di bandingkan dengan ‘illah yang terdapat pada tingkatan
al-ashl, terdapat tiga tingkatan yaitu : qiyas al-awla, qiyas al-musawi, dan
qiyas al-adna.”
a. Qiyas al-awla
Qiyas al-awla merupakan qiyas yang tingkatan illah nya pada far’u
lebih kuat disbanding tingkatan illah pada al – ashl, maka dari itu, penetapan
hukumnya al-ashl mendapat peran yang utama dari pada al-fa’u.
b. Qiyas musawi
“qiyas musawi merupakan qiyas yang ‘illat nya bersamaan antara
keduanya dalam kepatuhan dalam hal menerima hukum tersebut.”
c. Qiyas Dilalah
“Apa – apa yang ‘ilat padanya menunjukkan kepada hukum, tetapi
tidak mewajibkannya. Contohnya harta anak kecil diqiyaskan kepada orang yang
baligh, dikarenakan sama – sama tumbuh dan berkembang”
d. Qiyas Syabah
QIyas yang dipergunakan pada hukum far’u dapat juga digunakan dalam
hukum ashl dalam porsi yang lebih banyak, akan tetapi, hukum ashl yang diambil
lebih banyak persamaan dengan hukum far’u.
d.
Unsur
unsur qiyas
Secara umum unsur unsur qiyas itu meliputi: dasar, pokok(al-ashl),
cabang(al-far'u), hukum ashl, dan illat.
1.
Dasar,
Pokok(al-ashl)
Yang di maksud dengan al- ashl yaitu sesuatu ketetapan hukum yang
di tetapkan berdasarkan nash, meski
berupa al qur'an atau sunnah. Adapun istilah lain dari al-ashl ini di sebut
dengan maqis alaih(yang di jadikan tempat meng qiyas kan) atau musyabbah
bih(yang di serupakan dengannya).
Beberapa ulama menetapkan persyaratan mengenai al-ashl yaitu:
ü Al-ashl tidak mansukh.
Maksudnya hukum syara' yang menjadi sumber peng qiyasan masih berlaku
dalam masa hidup rasulullah.
ü Hukum syara'. Persyaratan
ini mutlak harus di penuhi, karena hukum
syara' lah yang menjadi sumber penentuan qiyas.
ü bukan hukum yang di kecualikan. Jika dasar hukum penetapan qiyas
merupakan hukum yang di kecualikan makka tidak boleh. Misalnya hukum
tentang puasa tidak akan batal karena
lupa.
2.
Cabang
(Al-far’u)
Yang di maksud dengan al-far’u yaitu suatu peristiwa ke dua yang
tidak di ketahui sumber hukum nash nya
secara pasti. Maksudnya sesuatu perkara
yang akan di qiyas kan tidak ada hukum di dalam al-quran atau hadistnya
secara jelas.
o
Beberapa
ulama menetapkan persyaratan mengenai al-far’u yaitu :
o
Tidak
ada nash lain yang menetukan hukumnya.
o
Adanya
persamaan antara illat kejadian pertama dan ke dua.
o
Tidak
ada dalil qath’I yang kandungannya berlawanan dengan peristiwa yang akan di
qiyas kan
o
Hukum
yang ada dalam kejadian pertama sama dengan kejadian ke dua.
3.
Hukum
Ashl
Yang di maksud dengan hukum ashl yaitu hukum yang terdapat masalah
ke dua yang penetapan hukumnya di tetapkan oleh nash.
Beberapa ulama menetapkan persyaratan mengenai hukum ashl :
ü Hukum ashl merupakan hukum syara’
ü Hukum ashl di tetapkan berdasarkan nash, bukan dengan qiyas.
ü Hukum asl merupakan hukum yang masih tetap berlaku.
4.
Illat
Yang di maksud dengan illat yaitu suatu sifat yang terdapat pada hukum ashl yang di jadikan sebagai sumber hokum, dan
dengan itu maka dapat di ketahui suatu hukum di dalam far’u. misalnya sifat
memabukkan yang terdapat di dalam khamr yang di jadikan dasar atas haramnya
miras .
Beberapa ulama’ menetapkan beberapa persyaratan mengenai syah nya
illat yaitu :
ü Illat itu haruslah berupa sifat yang nyata(zhahir) , maksudnya ilat
itu harus dapat di jangkau oleh panca indra.
ü Illat itu haruslah berupa sesuatau yang dapat di ukur dan ada
batasan batasnnya(mundhabitah) .
ü Illat itu harus ada kelayakan dan keseuaian antara hukum dengan
sifat yang akan menjadi illat(mulaimah wa munasibah) .
ü Maksudnya adanya kesesuaian antar sifat dengan hukum itu
sendirisehingga menjadikannya rasional, dapat di terima semua pihak, dan
mendorong keyakinan seseorang dalam melakukan sesuatu.
ü Illat itu harus mempunyai daya rentang(mutaadiyah) . maksunya illat
itu harus memiliki sifat yang tidak hanya di temukan di hukum ashalnya. Tetapi
juga terdapat dalam peristiwa peristiwa yang akan di tetapkan hukumnya. Seperti illat menyakiti(berkata kasar) kepada
orang tua yang hulumnya haram. Dapat di
temukan pula dalam perbuatan, ucapan lain yang menyakiti orang tua.
a.
Perbedaan
antara illat, sebab, dan hikmah
Adapun yang menjadi perbedaan antara 'illat, sabab dan hikmah
ialah: illat adalah suatu sifat yang nyata, sesuai dengan tujuan hukum, dan
terukur, di mana hukum syara'
menjadikannya sebagai landasan untuk penentuan adanya suatu hukum.
Misalnya: tindakan perusakan harta benda menjadi illahadanya
ketentuan kewajiban mengganti barang yang dirusakkan. Demikian juga, akad
(transaksi) merupakan illat adanya kewajiban memenuhi apa yang diakad kan.
Sementara itu, yang disebut dengan sabab (sebab) ialah, suatu sifat yang nyata
dan terukur, di mana hukum syara' menjadikannya sebagai kaitan adanya hukum, baik
sifat tersebut memiliki unsur munasib (hubungan yang serasi) dengan hukum itu
sendiri (seperti contoh illah di atas). Ataupun tidak terlihat adanya
keserasian hubungan antara sifat tersebut dengan hukumnya, seperti: hubungan
antara tergelincirnya matahari di tengah hari (zawil asys-syamas) dengan
masuknya waktu shalat zhuhur, atau hubungan antara menyaksikan hila Ramadhan
dengan kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan. Dengan demikian dapat ditegaskan,
bahwa sabab lebih bersifat umum daripada ilah, di mana sifat hukum yang menjadi
illat, mesti memiliki kesesuaian yang serasi (munasib) dengan hukumnya,
sedangkan sabab tidak mesti memiliki unsur munasib.
Dan yang dimaksud dengan hikmah ialah, dampak yang timbul dalam
bentuk lahirnya manfaat atau terhindarnya kemudaratan, dari adanya hubungan
antara hukum dengan illah atau sababnya. Maksudnya hikm merupakan dampak
positif dan hasil dari adanya peristiwaItu sendiri, serta sifat hikmah itu
sendiri samar dan tidak bisa di saksikan oleh panca indra. Misalnya di perbolehkannya
tukar menukar dalam bidang muamalah yang mempunyai hikmah dapat menolak
kesempitan manusia, sehingga dapat memenuhi hajat manusia. Hajat manusia adalah samar dan tidak dapat di
ketahui bahwa tukar menukar merupakan hajat yang pokok. Atau bukan merupakan
hajat manusia.
b.
Bentuk-bentuk
illat
Illat adalah sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum Ada
beberapa bentuk sifat yang mungkin menjadi 'illat bagi hukum bila telah
memenuhi syarat-syarat tertentu. Di antara bentuk sifat itu adalah :
1. Sifat hakiki
yaitu yang dapat dicapai
oleh akal dengan sendirinya, tanpa tergantung kepada 'urf (kebiasaan) atau
lain- nya. Contohnya: sifat memabukkan pada minuman keras.
2. Sifat hissi
yaitu sifat atau scsuatu
yang dapat diama ti dengan alat indra. Contohnya: pembunuhan yang menjadi
penyebab terhindarnya seseorang dari hak warisan: pencurian yang menyebabkan
liukuill pulung lallgalu alau sustualu yang daprt dirasnknn, seperti senang ata
benci.
3. Sifat "uri
(Jur),
yaitu sifat yang tidak dapat diukur, namun dapat dirasakan bersama.
Contohnya: buruk dan baik, mulia dan hina
4. Sifat lughawi
yaitu sifat yang dapat
diketahui dari pena maannya dalam artian bahasa. Contohnya: diharamkannya nabiz
karena ia bernama khamar
5. Sifat syar'i
yaitu sifat yang keadaannya
sebagai hu um syar'i dijadikan alasan untuk menetapkan sesuatu huku Contohnya:
menetapkan bolehnya mengagunkan barang milik bersama dengan alasan bolehnya
barang itu dijual.
6. Sifat murakkab
Yaitu bergabungnya beberapasifat yang menjadi alasan adanya suatu hukum. Contohnya:
sifat pembunuhan, secara sengaja, dan dalam bentuk permusuhan: semuanya
dijadikan alasan berlakunya hukum qishah.
c.
Cara
mementukan illat.
1.
Nash
pada hakikatnya qiyas
merupakan mengkaitkan hukum suatu masalah yang tidak ada nash-nya kepada hukum
yang ada nash nya, maka dapat dipahami, cara yang paling utama menentukan
illat suatu hukum adalah melalui nash .
Akan tetapi, nash itu sendiri, baik dalam bentuk Alquran maupun
sunnah, biasanya tidak secara langsung menyebutkan illah suatu hukum yang
terdapat di dalamnya, melainkan melalui bentuk-bentuk lafal yang terdapat di
dalamnya. Dalam hal ini, ada lafal yang secara jelas (sharih) menunjuk pada suatu
ilah, tetapi sebaliknya, ada yang dari segi lahirnya (zhahir) menunjuk adanya
illah namun dapat juga dipahami bahwa ia tidak menunjuk pada illah. Bentuk
lafal sharif tersebut antara lain, lafal yang menunjuk pengertian sebab
penetapan suatu hukum, misalnya: firman Allah pada surah al-Ma'idah (5): 32:
مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ
أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا
قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
"Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani srail
bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(menbunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dibumi maka
seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruh nya".
2.
Berdasarkan
ketentuan ijma
Ijma merupakan salah satu
metode menemukan 'illat. Akan tetapi, sebagai mana telah disebutkan, ijma'tidak
berdiri sendiri dalam menetapkan suatu ketentuan, melainkan memiliki mustanad
(sandaran) nash. Dalam kasus ini para ulama sepakat, vonis hakim tidak sah, jika
vonis tersebut dijatuhkan ketika hakim dalam keadaan marah. Mustanad ijma
'tersebut adalah adalah sunnah, yaitu
sabda rasulullah.
"Janganlah seseorang mengadili dua orang yang berperkara,
sedang ia dalam keadaan marah"
Dengan kata lain illat tidak
sahnya vonis seorang hakim adalah keadaan nya yang sedang marah. Sedangkan illat marah menyebabkan tidak
sahnya vonis halim terseebut.
3.
Berdasarkan
ima' (isyarat)
Melalui al-ima wa at-tanbih, yaitu penyertaan sifat dengan hukum
yang disebutkan di dalam lafal.
4.
Melalui
as-sibr wa at-taqsim.
Sibr adalah penelitian yang di lakukan dalam ashl(dasar hukum) dan
meneliti tersebut layak atau tidaknya suatu sifat hukum untuk dijadikan illat
hukum atau tidak. Kemudian peneliti (mujtahid/ ulama) mengambil salah satu sifat
yang menurutnya paling tepat dijadikan illat dan meninggalkan sifat-sifat
lainnya. Sedangkan taqsim adalah upaya mujtahid dalam membatasi illat pada
suatu sifat dari beberapa sifat yang dikandung oleh nash .
5.
Melalui
takhrijul manath
yaitu suatu usaha untuk mencari illat dengan cara mengemukakan
keserasian antara sifat dan hukum yang di lakukan beriringan dan terhindar dari
sesuatu yang dapat mencacatkannya
6.
Mencari
illat melalui tanqibul manath
yaitu upaya untuk menentukan illat menentukan satu sifat di antara
beberapa sifat yang terdapat di ashl untuk di jadikan illat, setelah proses
penelitian kepantasannya. Kemudian sifat khusus itu di beri illat yang lebih
umum.
7.
At-Thard
yaitu penyertaan suatu hokum yang tidak ada keserasian yang berarti
antara keduanya.misalnya ucapan “hukumlah penjahat yang buruk rupa itu” dalam contoh memang di jelaskan keharusan
menghukum penjahat itu dan di sertai dengan sifatnya. Namun tidak ada kaitan
antara sifat denganhukumnya .
8.
Asy-Syabah
yaitu sifat yang mempunyai
kemiripan.
9.
Dauran
yaitu suatu keadaan dimana ditemukan adanya suatu hukum apabila
bertemu dengan sifat dan tidak terdapat adanya suatu hukum ketika sifat tidak
ditemukan. Hal ini memberi petunjuk bahwa illat itu suatu sifat yang selalu
mengikuti hukum
10.
Ilgha
Al-Fariq
adalah adanya suatu titik perbedaan antara sifat dan hukum, tetapi
titik perbedaan itu dapat di hilangkan, sehingga yang ada hanyalah kesamaannya.
KESIMPULAN
Sumber
hukum islam setelah alqur'an dan as-sunnah yakni ijma dan qiyas.Yang mana
sumber hukum ini di gunakan ketika ada suatu permasalahan yang terjadi namun
tidak di temukan di dalam alqur'an dan as-sunnah. Ijma merupakan kesepakatan para mujtahid (ummat nabi muhammad SAW ) tentang suatu hukum
atau permasalahan di dalam suatu masa setelah beliau wafat. Sedangkan qiyas merupakan penetapan hukum tentang suatu peristiwa atau
kejadian yang tidak ada dasar hukum di dalam alaquran dengan cara membandingkan
dengan suatu peristiwa yang lain yang telah di tetapkan sumber hukumnya
berdasarkan alquran dan hadist dengan cara mencari persamaan illat.
DAFTAR
PUSTAKA
Tharaba Fahim, M.Pd, hikmatut tasyri’ wa
hikmatus syar’i, malang: cv.dream litera buana,2015
Dahlan
Abd. Rahman, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2016
Syarifuddin
Amir, Ushul Fiqh jilid 1, Kencana, (Jakarta : 2008)
Zainal
Abidin Ahmad, Ushul Fiqh unutk madrasah Aliyah Agama Islam dan Sederajat,
Bulan Bintang, (1975)
Alaidin
oto, filsafat hukum islam, Raja Graffindo Persada, (Jakarta : 2014)
Muslehuddin
muhammad, filsafat hukum islam dan pemikiran orientasi, yogyakarta:
tiara wacana, 1991
Hadi
saiful, ushul fiqh, yogyakarta: sabda media, 2009
Catatan:
1.
Similarity
11 %.
2.
Mengapa
referensi hanya tujuh?
3.
Dalam
tulisan ilmiah, penulisan gelar (Prof. Dr. Ustadz, dll) dihilangkan. Begitu pula
dalam footnote.
4.
Pelajari
cara menulis huruf kapital, kapan diperlukan menulis huruf dengan kapital.
5.
Kata
“kita” dalam tulisan ilmiah hendaknya dihindari.
6.
Makalah
ini menggunakan footnote atau innote?
7.
Anda
pakai referensi dalam menulis pembahasan qiyas?
8.
Tidak
mungkin ada referensi yang tidak ditemukan dalam footnote, tapi ternyata muncul
dalam daftar pustaka.
9.
Perujukan
sangat minim.
Makalah
ini perlu banyak pembenahan.........
[1]
Dr. M. Fahim Tharaba, M.Pd, hikmatut tasyri’ wa hikmatus syar’i, malang:
cv.dream litera buana,
hlm: 110.
[2] Dr.H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,
jakarta: kencana, 2008, hlm: 276.
[3] Dr.H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,
hlm: 276-279
[4] Dr. M. Fahim Tharaba, M.Pd, hikmatut
tasyri’ wa hikmatus syar’i, malang: cv.dream litera buana,
hlm: 111-112.
[5] Dr. M. Fahim Tharaba, M.Pd, hikmatut
tasyri’ wa hikmatus syar’i, malang: cv.dream litera buana,
hlm: 113.
[6] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh,
Jakarta: Amzah, 2016, hlm: 151-156
Tidak ada komentar:
Posting Komentar