Sumber Hukum
Islam yang Disepakati, Meliputi: Al quran dan Sunah
Oleh: Saqifa
Robi’ah Al Adawy, Citro Achmad Faisol
PAI – A,
Semester VI
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang
Abstract
In the
determination of Islamic law is divided into two, namely the source of law
agreed by scholars fuqoha and who are still in debate by scholars fuqoha. In
this discussion will be explained the source of Islamic law that includes the
Al quran and sunah. The quran is the first and foremost source of Islamic law.
It includes the content of the content of Al quran, hujjah,
and the laws contained in Al quran. Then As sunah is the second source of
Islamic law after the quran. Discussion of sunah includes the definition
according to experts, hujjah, function and position against Al quran.
Key words:
source of Islamic, Al quran, Sunah
Abstrak
Dalam
penentuan hukum Islam dibagi menjadi dua, yaitusumber hukum yang disepakati oleh ulama fuqoha dan yang masih di perdebatan oleh ulama fuqoha.
Dalam pembahasan ini akan dijelaskan sumber hukum Islam yang meliputi Al quran
dan sunah. Al quran merupakan
sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Didalamnya mencakup pokok isi kandungan Al quran, hujjah, serta
hukum-hukum yang tertera didalam Al quran. Kemudian As sunah merupakan sumber
hukum Islam yang kedua setelah Al quran. Pembahasan sunah meliputi definisi
menurut para ahli, hujjah, fungsi maupun kedudukan terhadap Al quran.
Kata kunci: sumber hukum Islam, Al quran, Sunah.
A.
Pendahuluan
Sumber hukum
Islam ialah dalil-dalil syariah yang digunakan dalam penentuan hukum Islam. Dari
dalil-dalil yang ada dapat digunakan untuk mensarikan atau
menetapkan hukum-hukum yang mengatur ‘amaliah dari setiap insan. Kata dalil
berasal dari bahasa arab merupakan bentuk tunggal dari kata al-adillah yang berarti petunjuk untuk sesuatu[1]. Jika ditinjau dari segi
istilah dapat diartikan sebagai suatu yang dapat menghasilkan pandangan tentang
suatu hal kebenaran dalam menentukan hukum.
Dalil dalam
penentuan hukum Islam dapat terbagi menjadi dua, pertama dalil yang disepakati
oleh ulama fuqoha (Al quran, hadits, ijma’, qiyas). Kedua dalil yang masih
terdapat perdebatan diantara ulama fuqoha dalam digunakannya sebagai dasar
penetapan hukum islam (Istihsan, istis-hab, al-maslahah al-mursalah,
al-’urf/al-’adah, sadd al-dhariah, shar’u man qablana).
Diantara dalil
yang disepakati oleh ulama fuqoha terdapat dua macam dalil yaitu dalil naqli
dan dalil aqli. Dalil naqli merupakan dalil yang berasal atau berupa wahyu dari
Allah yakni Al quran serta berasal dari segala sesuatu Rasalullah baik
perkataan, perbuatan dan ketetapannya yang disebut sebagai hadits atau sunnah.
Sedangkan dalil aqli ini merupakan dalil yang bukan wahyu atau hasil dari
penggunaan akal pikiran atau pendapat dari mujtahid ynag telah disepakati yakni
berupa ijma’ dan qiyas.
Landasan dari
ditetapkannya dalil-dalil tersebut terutama dalil naqli sebagai suatu pedoman
dalam menetapkan suatu hukum didasarkan pada suatu sabda Rasulullah SAW:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ
اَمْرَيْنِ مَا اِنْ تَمَسَكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا اَبَدَ كِتَابَ اللهِ
وَسُنَّتِى
“Aku tinggalkan dirimu dua perkara, sehingga dirimu tak akan tersesat
jika berpegang pada kedua-duanya yakni Al quran dan sunnahku.”
Dari hadits tersebut dapat diketahui bahwa Rasulullah menganjurkan
setiap umat nya untuk selalu berpegang teguh terhadap Al quran dan hadits
(sunnah) dalam menetapkan serta menjalani amaliah kehidupannya agar tidak
tersesat yang disebut sebagai dalil naqli pada proses penetapan hukum islam
(Syariah).
Maka dari itulah dalam pembahasan kali ini akan diulas tentang sumber
hukum Islam yang disetujui para ulama dan merupakan dalil naqli (wahyu) yakni
Al quran dan Hadits (sunnah) sebagai dasar utama penetapan hukum. Sehingga akan
ditemui alasan dijadikannya dalil naqli sebagai sumber utama yang disetujui
ulama.
B.
Sumber Hukum Islam Meliputi Al Quran
Al quran
merupakan kajian utama dalam ilmu ushul fiqh karena Al quran dijadikan sebagai
bahan utama dalam penetapan suatu hukum. Al quran sendiri secara bahasa berarti
bacaan atau tulisan. Hal ini seperti yang ada dalam surat Al Qiyamah ayat 17-18:
إِنَّ
عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (١٧) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
(١٨)
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
mengumpulkannya (Al quran) didadamu dan membuatmu pandai membacanya (17). Maka
jika kami telanh selesai membacanya ikutilah bacaan tersebut (18).”
Sedangkan
secara epistimologi dapat diartikan sebagai Kalam Allah yang diturunkan pertama
kali sebagai bukti kerasulan Nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril secara
berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun untuk pedoman hidup bagi umatnya
serta rahmatal lil ‘alamin.
Al quran pertama kali
turun berupa surat Al ‘Alaq ayat 1-5:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي
خَلَقَ (١)خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ(٢)اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (٣) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤) عَلَّمَ
الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)
Artinya :
“Bacalah dengan
menyebut nama (Tuhanmu) yang Maha Menciptakan (1) Dia yang telah menciptakan
manusia dari segumpal darah (2) Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3) Yang
mengajarkan manusia dengan pena (4) Dia mengajarkan manusia dari apa yang belum
diketahuinya (5)”.
Dari ayat pertama yang turun berupa surat Al Alaq ayat 1-5 sampai dengan
ayat terakhir diturunkan selalu ditulis oleh para sahabat pada pelepah kurma,
batu, kulit binatang. Kemudian dari teks-teks Al quran yang tercecer tadi
dikumpulkan dan dikodifikasi kedalam bentuk mushaf dan disusun dari surat Al
Fatihah sampai diakhiri surat An Nas. Bentuk kodifikasi berbentuk mushaf ini
yang diwariskan sampai sekarang.
Al quran yang merupakan wahyu dari Allah SWT ini mulai dari awal
diturunkan kepada Rasulullah SAW sampai berbentuk mushaf yang ada seperti
sekarang ini tidaklah berbeda. Tidak pernah ada dan bisa dipalsukan karena Al
quran itu sendiri telah dijaga dan dijamin keaslihannya oleh Allah SWT sendiri.
Seperti yang telah difirmankan-Nya sendiri dalam Al quran surat Al Hijr ayat 9 :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya kami
telah menurunkan Ad Dzikr ( Al quran) dan sesungguhnya kami selalu menjaganya(9)”
Al quran yang
merupakan wahyu dari Allah SWT memiliki beberapa pokok isi kandungan
didalamnya. Berikut merupakan pokok isi kandungan yang ada di dalam Al quran :
1. Tauhid
Merupakan fitrah berupa
kepercayaan dan keyakinan untuk selalu mengesakan Allah SWT. Hal ini tercermin dalam firman Allah
surat Al Ikhlas ayat 1-4:
قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ (١) ٱللَّهُ
ٱلصَّمَدُ (٢)لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (٣) وَلَمْ يَكُن لَّهُۥكُفُوًاأَحَدٌ (٤)
“Katakanlah:
Dialah Yang Maha Esa (1) Allah adalah tempat bergantung dari segala sesuatu (2)
Dia tidak beranak dan juga tidak diperanakan (3) Dan tiada sesuatu apapun yang
setara dengan-Nya (4).”
2. Ibadah
Merupakan amaliah atau
bentuk perbuatan sebagai bentuk kepercayaan ajaran tauhid. Ibadah juga sebagai
bentuk pengabdian seorang hamba kepada tuhannya. Ibadah sendiri terbagi atas
dua macam yaitu ibadah mahdah dan ibadah muamalah (ghairu mahdah). Salah satu
bentuk ibadah yang diatur dalam Al quran ialah sholat sebagaimana tertera pada
surat Al Baqarah ayat 43:
وَأَقِيمُوا ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا
ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ
“Dan
dirikanlah sholat, dan tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang
rukuk (43)”. QS. Al Baqarah: 43
3. Akhlak
Merupakan tabiat atau
sifat yang ada dalam diri manusia yang timbul dengan spontan dalam perilaku
sehari-hari. Akhlak juga sebagai bentuk ekspresi dari sifat kemanusiaan
sehingga dapat membedakan antara manusia dan makhluk lain. Sangat pentingnya
akhlak bagi manusia sampai Rasulullah pun diutus oleh Allah untuk
menyempurnakan akhlak manusia seperti yang ada dalam riwayat hadits beliau:
“Bahwasannya aku
diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik”. (HR: Ahmad.)
Akhlak terdapat dua macam
yakni akhlakul karimah
dan akhlakul madzmumah. Al quran sendiri juga menjelaskan tentang akhlak
seorang manusia dalam kehidupan
sehari-harinya. Sebagai seorang manusia sudah seharusnyalah melihat dan
mengikuti akhlak yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah SAW seperti yang
dijelasskan di dalam Al quran surat Al Ahzab ayat 21:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ
بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ , وَلَا تَكُنْ
لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad saw.) yang membawa
kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan
Allah SWT kepadamu. Dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat.”
4. Janji dan
Ancaman (Hukum)
Janji dan ancaman
merupakan salah satu isi pokok kandungan dalam Al quran yang berisi tentang
kaidah dasar dalam menjalankan kehidupan dengan disertai janji balasan dan
ancaman balasan. Janji balasan berupa nikmat yang akan diberikan Allah SWT
kepada manusia manakala manusia senantiasa menjalankan perintah Allah serta
melakukan amaliah kebaikan.
Sebaliknya Ancaman
balasan berupa siksa atau hukum bagi manusia manakala melakukan suatu hal yang
dilarang oleh Allah SWT. Karena dalam kehidupan apa yang ada sudah memiliki
ketetapan masing-masing.Tujuannya agar dalam kehidupan ini selalu terciptakan
keadaan yang adil, damai, tentram, terarur didalamnya. Oleh karenanya Al quran
yang memiliki isi tentang janji dan ancaman dari Allah SWT inilah dijadikannya
sebagai suatu sumber hukum. Janji dan ancaman Allah SWT yang dielaskan dalam Al
quran seperti pada surat Al Zalzalah ayat 7-8:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ
خَيْرًا يَرَهُ (٧) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ
شَرًّا يَرَهُ(٨)
“Barangsiapa
mengejarkan kebaikan sekecil apapun niscaya dia akan melihat (balasan) nya (7)
Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apa pun niscaya dia akan
melihat (balasan) nya pula (8).”
5. Kisah-kisah
umat terdahulu
Al quran yang menjadi
pedoman hidup manusia juga menceritakan banyak kisah-kisah umat terdahulu.
Hampir 2/3 dari isi kandungan Al quran berisi tentang cerita atau kisah-kisah
dari umat terdahulu. Cerita ataupun kisah-kisah kehidupan umat terdahulu
bukanlah sekedar dongeng ataupun cerita rakyat, namun kisah-kisah itu
ditampilkan dalam Al quran diperuntukan untuk diambil ibrah atau hikmah oleh
umat selanjutnya sebagai gambaran kehidupan masa selanjutnya.
Kejadian maupun kisah
umat terdahulu dijelaskan secara indah dalam Al quran baik tentang kehidupan
pergolakan keimanan, pencarian tuhan, perang, dan kehidupan sosial yang
memiliki banyak hikmah didalamnya. Karena dalam kehidupan ini akan dapat
ditemui kejadian yang sama namu berbeda masa sehingga Al quran yang
diperuntukan bagi manusia terutama yang selalu menggunakan akal dan nuraninya
akan dapat menjawab nya serta mengambil hikmah dibalik kisah yang ada.
Salah satu kisah umat
terdahulu yang di jelaskan dalam Al quran adalah terdapat dalam surat Al Furqon
ayat 37-39:
وَقَوْمَ نُوحٍ لَمَّا كَذَّبُوا
الرُّسُلَ أَغْرَقْنَاهُمْ وَجَعَلْنَاهُمْ لِلنَّاسِ آيَةً , وَأَعْتَدْنَا
لِلظَّالِمِينَ عَذَابًا أَلِيمًا(٣٧) وَعَادًا وَثَمُودَ وَأَصْحَابَ الرَّسِّ
وَقُرُونًا بَيْنَ ذَٰلِكَ كَثِيرًا(٣٨) وَكُلًّا ضَرَبْنَا لَهُ الْأَمْثَالَ ,
وَكُلًّا تَبَّرْنَا تَتْبِيرً (۳۹)
“Dan (telah kami binasakan) kaum Nuh
ketika mereka mendustakan para rasul. Kami tenggelamkam mereka dan kami jadikan
(cerita) mereka itu pelajaran bagi manusia. Dan kami telah sediakan bagi
orang-orang zalim azab yang pedih (37) Dan (telah kami binasakan) kaum ‘Ad dan
Samoed dan penduduk
Rass serta banyak (lagi) generasi di antara (kaum-kaum) itu (38) Dan
masing-masing telah kami jadikan perumpamaan
dan masing-masing telah kami hancurkan
sehancur-hancurnya (39).”
Al quran
merupakan hujjah bagi manusia seperti yang diutarakan oleh Abd Al-Wahhab
Khalaf:
“Bukti bahwa Al
quran menjadi hujjah bagi manusia dimana hukum-hukumnya merupakan aturan-aturan
yang wajib bagi manusia untuk diikuti, karena al quran itu datang dari Allah
dan disampaikan kepada manusia dengan jalan yang pasti, tidak diragukan
keabsahan dan kebenarannya. Sedangkan bukti bila Al
quran itu datang
dari Allah SWT, ialah Al quran itu
membuat orang (kafir) tidak mampu membuat atau mendatangkan karangan seperti
bacaan Al quran.”[2]
Sebagai sebuah
hujjah yang dimana hukum-hukum yang ada dalam Al quran menjadi
aturan-aturan wajib ditaati oleh manusia. Di dalam Al quran hukum-hukum yang
ada memiliki sifat global atau hanya sekedar garis besar tidak sampai
memperinci sehingga mayoritas penjelasan yang ada di dalam Al quran akan
diperinci oleh As sunah atau hadis Rasulullah SAW. Meskipun bersifat global,
hukum yang ada dalam Al quran sudah cukup lengkap secara garis besar.[3] Maka kesempurnaan Al quran
sebagai landasan hukum dan rujukan hukum Islam telah dijelaskan dalam surat Al
Maidah ayat 3:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا, ...
“Pada hari
ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu
nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu . . .(3)”
Berbagai
contoh hukum yang ada di dalam Al quran sangat banyak seperti hukum larangan
riba, munakahah, larangan zina, hukum waris dan sebagainya. Berikut adalah
contoh ayat Al quran yang mengatur tentang hukum-hukum:
1. Larangan Zina
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ
كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً (۳۲)
“Dan
janganlah kamu mendekati zina, Sesungguhnya zina itu perbuatan keji dan
merupakan jalan yang buruk” QS. Al Isra’: 32
2. Munakahah atau
pernikahan
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ
أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً
وَرَحْمَةً , إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ(۲۱)
“Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” QS. Ar Rum:
21
3. Larangan Riba
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا
يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ
الْمَسِّ , ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا , فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ
رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ , وَمَنْ عَادَ
فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ , هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” QS. Al Baqarah: 275
4. Hukum waris
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا ٱلْوَصِيَّةُ لِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ بِٱلْمَعْرُوفِ , حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibubapak dan kerabat karibnya secara makruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” QS. AlBaqarah
180
Al quran selain memiliki hukum atau mengatur kehidupan hubungan antara
manusia dengan sesama manusia, Al quran juga mengatur hubungan antara manusia
dengan Allah SWT. Karena Al quran memiliki dan menginginkan keseimbangan antara
kehidupan hubungan hablum min Allah dan hablum min An naas.[4]
Agar manusia senantiasa mengingat akan hari akhir dan balasan setiap
amaliahnya.
Maka dari itulah Al quran dengan sangat rinci memperhatikan kehidupan manusia dengan
Allah SWT serta kehidupan sosial manusia. Al quran juga mengkehendaki sebuah
inti bahwa sasarannya adalah manusia dan perbaikannya dengan disertai dokumen
lengkapnya[5].
C.
Sumber
Hukum Islam Meliputi As-Sunah
As-Sunah adalah sumber hukum Islam
kedua setelah Al quran. Menurut sebagian ulama hadis, kata “sunah” sama dengan
kata “hadis”, dalam artian sama dalam segi pengertian, makna dan isi. Dengan
adanya sunah atau hadis kita sebagai umat muslim mengenal isi kandungan Al
quran dan kisah para nabi. Tanpa sunah, isi kandungan Al quran sebagian besar
akan tak nampak atau tersembunyi dari pandangan manusia. Misal didalam Al quran
terdapatperintah untuk mendirikan salat, maka jika tanpa sunah umat muslim
tidak akan akan mengetahui tata cara untuk mengerjakannnya, karena salat
merupakan tiang utama dalam beribadah kepada Allah.[6]
As-Sunah menurut etimologi adalah[7]:
الطَّرِيقَةُ
مَحْمُوْدَةً كَانَتْ أَوْ مَذْمُوْمَةً.
“Jalan yang
dilalui, baik terpuji ataupun tercela.”
Seperti sabda Rasulullah SAW:
لَتَتَّبِعُنَّ سُنَنَ مَنْ
قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَى لَوْسَلَكُوْا
حُجْرَضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ
“Sungguh kamu akan mengikuti sunah-sunah (perjalanan-perjalanan)
orang yang sebelummu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga
sekiranya mereka memasuki sarang dhab (serupa biawak) sungguh kamu memasuki
juga.”[8]H.R. Bukhari dan Muslim.
Menurut terminology, para ulama
memiliki pendapat yang berbeda-beda.
Terdapat tiga golongan yang mendeskripsikanAs sunah menurut pandangan
mereka, disebabkan karena cara pandang yang berbeda serta latar belakang
keahlian yang dimiliki masing-masing, yakni ahli fiqh, ahli ushul fiqh serta
ahli hadis[9].
a.
Ahli
Fiqh
Ahli fiqh atau ulama fiqh
berpendapat bahwa sunah berarti suatu perbuatan yang apabila dikerjakan
mendapatkan pahala dan apabila dtinggalkan akan mendapat dosa.[10] Karena
mereka memandang sunah sebagai suatu perbuatan dalam Islam yang tingkatannya
tidak melampaui pada fardhu ‘ain.
Menurut ahli fiqh, sunah masih
berkaitan satu sama lain dengan taklifi, yakni wajib, sunah, makruh,
mubah, serta haram. Sunah tidak di anggap segala hal yang berkaitan dengan
Rasulullah dalam segi perbuatan, akan tetapi suatu pilihan hukum yang diberikan
kepada mukallaf, yakni perintah Allah dan Rasulullah yang tidak wajib untuk
dikerjakan, tetapi sangat dianjurkan, karena sunah merupakan kebiasaan
Rasulullah SAW. Oleh karena itu,tidak berdosa apabila ditinggalkan.[11]
Firman Allah yang berkaitan dengan
sunah tertera dalam surah Al Ahzab 21, sunah berarti uswatun hasanah dari
semua perbuatan Rasulullah:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ
اللهِ اُسوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوااللهَ وَالْيَوْمَ الاَخِرَوَ
ذَكَرَاللهَ كَثِيْرًا (٢١)
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah” QS. Al Ahzab: 21.
b.
Ahli
Ushul Fiqh
كُلُّ
مَاصَدَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلىْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ الْقُرْاَنِ
الْكَرِيمِ مِنْ قَولٍ أَوْفِعلٍ أَوتَقْرِيرٍ مِمَّا يَصْلُحُ أَنْ يَكُونَ
دَلِيلًا لِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ
“Hadis adalah
segala sesuatu yang disandsarkan kepada Nabi SAW, selain Al quran Al Karim,
baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut-paut
dengan hukum Syara’.”[12]
Ajjaj Al-Khathib berpendapat jika
didalam dalil hukum syara’ menyebutkan Al kitab dan As sunah, maka di maksudkan
kepada Al quran dan Al hadis, karena yang disebut dengan sunah adalah segala
sesuatu yang diperintahkan, yang dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW,
baik berupa perkataan maupun perbuatannya.[13]
c.
Ahli
Hadis
قَولٍ
اَوْفِعْلٍ اَوتَقْرِيرٍ اَوصِفَةٍ خَلْقِيَّةٍ اَوْخُلُقِيَّةٍ اَوْسِيَرَةٍ
سَوَاءٌ اَكَانَ ذَلِكَ قَبْلَ اْلبِعْثَةِ اَمْ بَعْدَهَا
“Segala yang bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum
diangkat menjadi rasul, seperti ketika bersemedi di gua Hira maupun
sesudahnya.”[14]
Dengan demikian ahli hadis
mengemukakan bahwa sunah adalah segala sesuatu yang dinukilkan dari Rasulullah
SAW, baik berupa perbuatan, perkataan, maupun taqrir, perjalanan hidup,
pengajaran, sifat, baik ketika Rasulullah telah menjadi rasul maupun
sebelumnya.[15]
Sunah juga merupakan hujjah yang
disepakati oleh para ulama. Namun, sebagian besar ulama hadis berpendapat dalam
menilai kesahihan suatu hadis maka dinilai dari segi sanadnya, mereka menyepakati
bahwasanya hadis terbagi menjadi dua, yakni mutawatir dan sanad, tetapi
menurut Hanafi, hadis terbagi menjadi tiga: mutawatir, masyhur, dan ahad.[16]
Secara bahasa, mutawatir
adalah isim fa’il musytaq dari At-tawatur yang artinya At-tatabu’(berturut-turut).[17]
Secara istilah, mutawatir adalah
sebagai berikut:
مَا رَوَاهُ
جَمْعٌ عَنْ جَمْعٍ تُحِيلُ الْعَادَةُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ
“Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut
adat mustahil mereka terlebih dahulu bersepakat untuk berdusta”.[18]
Sunah sebagai hujjah dapat
diringkas sebagai berikut[19]:
Pertama, terdapat nash-nash Al quran yang memerintahkan supaya patuh
dan tunduk terhadap Rasulullah SAW, Allah berfirman:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ اطَاعَ
اللهَ
“Barangsiapa
yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah”. QS. An-Nisa: 80.
Kedua, Allah memberi tugas kepada Rasulullah untuk menyampaikan risalah Allah
kepada umatnya, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ
رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
...
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu berarti) kamu
tidak menyampaikan amanatNya . . .”.QS.
Al Maidah: 67.
Ketiga, nash-nash Al quran yang menerangkan bahwa Rasulullah bersabda atas
nama Allah, Allah berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ
عَنِ الْهَوَى(٣) اِنْ هُوَ اِلاَّ وَحْيٌ
يُوحَى(٤)
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang di wahyukan (kepadanya)”. QS. An-Najm: 3-4.
Keempat, Al quran menerangkan secara jelas yakni berkewajiban beriman kepada
Rasul, berkaitan dengan ini Allah mendesain bahwasanya beriman kepada Rasul
sama halnya beriman kepadaNya. Allah befirman:
...فَآمِنُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الأمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ
وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Maka berimanlah kamu kepada Allah dan RasuNya, nabi yang ummi
yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimatNya (kitab-kitabNya), dan
ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”. QS.
Al A’raf: 158.
Hadis Rasulullah mulai di
kompilasikan pada akhir abad pertama Hijriyah pada zaman dinasti Umayyah masa
pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H). Khalifah Umar
memerintahkan para gubernurnya untuk mengumpulkan dan membukukan hadis
Rasulullah supaya tidak punah. Perintah tersebut dilaksanakan oleh Muhammad
Syihab Az Zuhri. Namun pengumpulan tersebut masih sangat sederhana, masih
bercampur dan belum jelas kalsifikasi dan sistematiknya. Baru pada zaman
dinasti Abbasiyah tepatnya pada masa Al Mansyur,kompilasi hadis Rasulullah
telah dilakukan secara teratur dan rapi.[20]
Posisi sunah sebagai sumber hukum
Islam kedua memiliki beberapa kedudukan dan fungsi. Dalam Islam kedudukan sunah
adalah sebagai sumber hukum. Dilihat dari segi tingkatan, sunah memiliki
kedudukan setelah Al quran sebagai sumber hukum Islam, karena sunah berfungsi
sebagai penjelas atau pelengkap Al quran yang merupakan pokok asal. Sebagai
penjelas, sunah berada di peringkat kedua setelah objek yang dijelaskan.[21]
Sunah juga berfungsi sebagai
penopang Al quran dalam menjelaskan hukum-hukum Islam. Yang dimaksud penopang
adalah sebagai berikut[22]:
Pertama, fungsi adalah menjelaskan ayat Al quran yang masih mubham, menguraikan
ayat yang mujmal, serta mentakhsis ayat yang masih bersifat global.
Kedua, menambah kewajiban-kewajiban syara’ yang ketentuan pokoknya telah
ditentukan dengan nash Al quran. Misal, sunah atau hadis yang memerintahkan
untuk mendirikan salat, menunaikan ibadah zakat, puasa dan haji.
Ketiga, membawa hukum yang tidak terdapat ketentuan di dalam Al quran, dan tidak
pula tambahan terhadap nash Al quran. Seperti diharamkan nya seorang laki-laki
melakukan poligami terhadap dua wanita yang masih terikat persaudaraannya yaitu
antara adik ibu (tante) dengan keponakannya.
Selain itu fungsi sunah adalah
mempertegas dan memperkuat berbagai ketetapan hukum yang telah dikemukakan oleh
Al quran, dan orang mukallaf dituntut untuk menegakkan
ketetapan-ketetapan tersebut secara konsisten. Serta menetapkan hukum bagi
permasalahan yang belum dapat dijangkau oleh Al quran, seperti bolehnya khiyar
syarat, adanya hak syuf’ah, serta ketentuan-ketentuan berupa gugurnya qishas
bagi seorang muslim yang membunuh orang kafir.[23]
D.
Kesimpulan
Al quran
merupakan kajian utama dalam ilmu ushul fiqh karena Al quran dijadikan sebagai
bahan utama dalam penetapan suatu hukum. Al quran sendiri secara bahasa berarti
bacaan atau tulisan. Sedangkan secara epistimologi dapat diartikan sebagai
Kalam Allah yang diturunkan pertama kali sebagai bukti kerasulan Nabi Muhammad
SAW melalui malaikat jibril secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23
tahun untuk pedoman hidup bagi umatnya serta rahmatal lil ‘alamin.
As
sunah menurut ulama fiqh berarti suatu perbuatan yang apabila dikerjakan
mendapatkan pahala dan apabila dtinggalkan akan mendapat dosa. Kemudian menurut
ahli ushul fiqh sunah atau hadis adalah segala sesuatu yang disandsarkan kepada
Nabi SAW, selain Al quran Al Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
taqrir Nabi yang bersangkut-paut dengan hukum Syara’. Dan Ahli hadis
mengemukakan bahwa sunah adalah segala sesuatu yang dinukilkan dari Rasulullah
SAW, baik berupa perbuatan, perkataan, maupun taqrir, perjalanan hidup,
pengajaran, sifat, baik ketika Rasulullah telah menjadi rasul maupun
sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud. 1999. Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Edi, Relit Nur. Juli 2014. As-Sunnah (Hadits) (Suatu Kajian Aliran
Ingkar Sunnah). Volume 6, No. 2, ejournal.radenintan.ac.id, 24
Februari 2018.
Hasan, Mustofa. 2012. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Rosyada, Dede. 1996. Hukum Islam Dan Pranata Sosial (Dirasah
Islamiyah III). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Solahudin, Agus dan Suyadi, Agus. 2008. Ulumul Hadis. Bandung:
Pustaka Setia.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh Untuk UIN, STAIN, PTAIS.
Bandung: Pustaka Setia.
Usman, Suparman. 2015. Filsafat Hukum Islam. Serang: Laksita
Indonesia.
Yasin, Achmad. 2013. Ilmu Usul Fiqh. Surabaya: UIN Sunan Ampel.
Zahrah, Muhammad Abu. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Catatan:
1.
Similarity hanya 3%. Selamat!!!!!
2.
Penulisan yang baku adalah: Alquran, hadis,
sunah.
3.
Pada pembahasan awal-awal, footnote kok
masih jarang?
[5] Ibid, 28
[6]Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: PT
RajaGrafindo, 1999), 91
[7]Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia,
2008), 17
[8]Ibid, 18
[9]Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka
Setia, 2012), 19
[10]Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN,
PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 60
[11]Mustofa Hasan, Op. Cit., 22
[12]Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia,
2008), 16
[13]Mustofa Hasan, Op. Cit., 20
[14]Ibid., 20
[15]Ibid., 21
[16]Rachmat Syafe’I, Op. Cit., 60
[17]Agus Solahudin, Agus Suyadi, Op. Cit., 129
[18]Mustofa Hasan, Op. Cit., 192
[19]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2005), 151-153
[20]Muhammad Daud Ali, Op. Cit., 96
[21]Relit Nur
Edi, As-Sunnah (Hadits) (Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah). ASAS, Vol.
6, No. 2, Juli 2014, 133.
[22]Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit., 161
[23]Dede Rosyada, Hukum Islam Dan Pranata Sosial (Dirasah
Islamiyah III), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), 39-40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar