ALQURAN
DAN AS-SUNAH
Muhammad
Hilal Maulidi dan Achmad Syaifudin Fahmi
Mahasiswa
Pendidikan Agama Islam Kelas C Angkatan 2015
Universitas
Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail:
maulidihilal97@gmail.com
Abstract:
In
Islam there are many legal sources, whether agreed or unanimous. Among the
agreed law are the Qur'an, as-sunna, ijma 'and qiyas. As Muslims we must hold
on to the agreed source of law. Because if not guided to him then will be in
error, therefore we must hold on to the source of law that has been agreed. But
in this article we discuss only two sources namely the Qur'an and as-Sunna. The
Qur'an is the kalam of Allah revealed by the Prophet Muhammad through the
intermediary of the angel Gabriel, written on the sheets beginning with the
letter of al-Fatihah and ending with an an-nas letter. While as-Sunna or hadith
is anything that rests on the Prophet Muhammad SAW whether it be speech,
determination, behavior, the character that becomes Shari'a for Muslims.
Keywords:
Alquran, As-sunnah
Abstrak:
Dalam
agama Islam banyak sekali sumber-sumber hukum, baik itu yang disepakati ataupun
yang tidak disepakati. Diantara hukum yang disepakati tersebutadalah alquran,
as-sunah, ijma’ dan qiyas. Sebagai umat islam kita harus berpegang teguh kepada
sumber hukum yang telah disepakati tersebut. Karena apabila tidak berpedoman
kepadanya maka akan berada pada kesesatan, oleh sebab itu kita harus berpegang
teguh kepada sumber hukum yang telah disepakati tersebut. Namun dalam artikel
ini kami hanya membahas dua sumber saja yakni alquran dan as-sunah. Alquran
adalah kalam allah yang diturunkan oleh Nabi Muhammad melalui perantara
malaikat jibril, ditulis diatas lembaran-lembaran yang diawali dengan surat
alfatihah dan diakhiri dengan surat an-nas. Sedangkan as-sunah atau hadits
adalah segala sesuatu yang bersandar pada Nabi Muhammad SAW baik itu berupa
tutur, penetuan, tingkah laku, karakter yang menjadi syariat bagi umat islam.
Kata Kunci: Alquran,
As-sunah
A. PENDAHULUAN
Agama
Islam adalah agama yang Rahmatallil alamin, karena di dalamnya Allah menurunksn
Nabi Muhammad SAW sebagai makhluk yang akan memperbaiki akhlak manusia di bumi.
Sehingga untuk menuntun mereka ke jalan yang benar yaitu addinul islam.
Maka
dari itu dalam kehidup ummat islam membutuhkan sumber hukum yang telah
disepakati sebagai pedoman hidup di dunia dan akhirat. Karena jika hidup kita
tanpa sumber hukum yang telah disepakati, maka bisa-bisa kita terjerumus
kedalam jalan yang sesat.
Alquran
adalah salah satu kitab kalam Allah yang diturunkan kepada penutup para nabi
melalui perantara malaikat Jibril, dengan bahasa Arab, dan disampaikan kepada
kita secara berangsur-angsur. Di dalamnya juga terdiri dari berbagai hukum tentang
islam, disamping itu juga memberi petunjuk kepada seluruh umat manusia mengenai
hal-hal mana yang patut dicontoh dan mana yang tidak patut dicontoh.
Sedangkan
as-sunah adalah suatu perkataan, perbuatan dan sikap yang disandarkan pada Nabi
akhiruz zaman sebagai suri tauladan yang baik bagi seluruh ummat manusia.
Maka
dari itu kita sebagai ummat manusia harus berpegang teguh kepada kedua sumber
hukum tersebut. Karena keduanya saling berkaitan. Apabila kita tidak berpegang
teguh kepadanya jangan berharap kehidupan kita selalu berada di jalan yang
lurus.
B. ALQURAN
1.
Pengertian
Dalam
pengertian etimologi, kata “Alquran” adalah jenis mashdar dari قَرَأَ – يَقْرَأُ – قِرَاءَةً berwazan dari kata فَعَلَ – يَفْعَلُ –
فُعْلاً yang bermakna bacaan. Dalam arti kebahasaan Alquranadalah
yang dicermati, dipandang, dan dipelajari.
Sedangkan
secara terminologi, terdapat beberapa pengertian Alquran yang diungkapkan oleh
para ulama.[1]
Salah satunya diungkapkan oleh As-syekh Muhammad Ali ash-shobuni dalam kitabnya
at-Tibyan fi ‘ulumil qur’an:[2]
اْلقُرْآنُ هُوَ كَلاَمُ اللَّهِ اْلمُعْجِزُ اْلمُنَزَّلُ عَلَى
خَاتَمِ اْلاَنْبِيَاءِ وَاْلمُرْسَلِيْنَ بِوَاسِطَةِ اْلأَمِيْنِ جِبْرِيْلِ
عَلَيْهِ السَّلاَمُ اْلمَكْتُوْبَ فِي اْلمَصَاحِفِ اْلمَنْقُوْلُ إِلَيْنَا
بِالتَّوَاتِرِ اْلمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ اْلمَبْدُوْءُ بِسُوْرَةِ
اْلفَاتِحَةِ اْلمُخْتَتَمُ بِسُوْرَةِ النَّاسِ
“alquran adalah firman Allah yang menakjubkan, yang
diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul, dengan perantara malaikat Jibril
a.s, yang ditulis diatas lembaran-lembaran, yang dipindah kepada kami secara
berangsur-angsur, dihitung beribadah bagi pembacanya, yang diawali dengan surat
al-fatihah dan diakhiri dengan surat an-naas”.
Adapun pengertian alquran menurut ulama ushul fiqh adalah:[3]
اْلقُرْآنُ هُوَ كَلاَمُ اللَّهِ تَعَالَى اْلمُنَزَّلُ عَلَى
مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِللَّفْظِ اْلعَرَبِيِّ
اْلمَنْقُوْلُ إِلَيْنَا بِالتَّوَاتُرِ اْلمَكْتُوْبُ فِي اْلمَصَاحِفِ
اْلمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ اْلمَبْدُوْءُ بِسُوْرَةِ اْلفَاتِحَةِ
اْلمُخْتَتَمُ بِسُوْرَةِ النَّاسِ
“alquran ialah firman Allah SWT yang diturunkan kepada
Muhammad SAW, berbahasa Arab, diriwayatkan kepada kita secara mutawatir,
termaktub di dalam mushhaf, membacanya merupakan ibadah, dimulai dari surat
al-fatihah dan diakhiri dengan surat an-naas ”
Dapat
kita mengerti bahwa inti dari dua pengertian alquran di atas itu adalah sebagai
berikut:[4]
a.
Alquran adalah
kalam Allah SWT baik makna ataupun lafalnya. Jika maknanya saja yang
disampaikan, kemudian lafalnya diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW maka hal ini
tidak bisa kita sebut sebagai alquran akan tetapi hal itu dinamakan dengan
hadits qudsi ataupun hadits-hadits lainnya.
b.
Diwahyukan
kepada penutup para nabi. Maksudnya, wahyu seperti: Taurat, Zabur dan Injil
yang dahulu diwahyukan sebelum Nabi Muhammad SAW bukanlah alquran. Karena wahyu
yang diberikan kepada Nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW banyak
diceritakan kembali oleh alquran.
c.
Berbahasa Arab.
Dalam hal ini, tafsiran atau terjemahan alquran ke bahasa apa saja tidak bisa
dikatakan alquran, karena didalam tafsiran dan terjemahannya biasanya terdapat
suatu kekeliruan atau ketidak samaan antara satu dengan yang lainnya. Maka dari
itu tidak bisa digunakan sebagai dasar atau dalil dalam penetapan suatu hukum,
jika alquran itu diterjemahkan atau
ditafsiri ke bahasa lainnya selain bahasa Arab.
d.
Alquran
disampaikan kepada kita semua melalui riwayat mutawattir. Maksud dari
mutawattir ialah dipelajari oleh banyak orang dan semua orang sepakat bahwa
yang dipelajari semuanya adalah kebenaran dan tidak ada satu pun yang
mendustakan.
Maka dari itu, hingga kapan saja dan selama keadaan apapun itu,
ilmu ini tak pernah bersebrangan pada kunci pokoknya, yakni alquran. Seperti
halnya didalam firman Allah SWT yang berbunyi:[5]
وَنُنَزِّلُ
مِنَ اْلقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَيَزِيْدُ
اْلظَّلِمِيْنَ إِلاَّخَسَارًا﴿۸٢﴾
“Dan, Kami turunkan dari alquran, suatu yang
menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan alquran itu
tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian.”(QS.
Al-Isra [17]: 82).
Demikian itulah tingkatan alquran menjadi pokok pegangan ushul
fiqh. Maka dari itu, seluruh ulama muslim sepakat untuk menjadikan pengetahuan
ushul fiqh sebagai petunjuk didalam memberlakukan ajaran syara’ yang sesuai
pada nasihat-nasihat alquran.[6]
2.
Alquran
dalam Hal Menjelaskan Hukum
Selain
fungsi alquran sebagai sumber hukum Islam, didalamnya juga termuat kebutuhan
umat manusia yang menyangkut pokok-pokok permasalahnnya. Tidak sedikitpun
hal-hal yang menjadi kebutuhan manusia terlupakan dalam alquran. Seperti halnya
yang telah Allah jelaskan didalam firman-Nya yang berbunyi:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِى اْلأَرْضِ وَلاَطَائِرٍ يَطِيْرُبِجَنَا
حَيْهِ إِلاَّ أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِى اْلكِتَابِ مِنْ شَئٍ
ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ ﴿٣۸﴾
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di
bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat
(juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian
kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”. (QS. Al-An’am
[6]: 38).
Alquran juga memaparkan aturan-aturan norma secara rinci pada
bidang budi pekerti, tetapi pada bidang ibadah dan muamalah sekedar disampaikan
dengan keterangan-keterangan yang penting saja.
Kebanyakan alquran ketika memaparkan norma-norma yang ada
didalamnya sangat memerlukan keterangan, adapun yang menerangkan didalamnya
adalah sabda nabi. Maka dari itu, semua ulama sudah memutuskan bahwasanya kata
alquran adakalanya erat ada juga yang sempurna dan erat. Misalnya kata qur-un,
bisa bermakna suci ataupun haid dan beberapa para ulama lebih menegaskan
pada arti suci. Hal ini salah satu penyebab yang menjadikan timbulnya perbedaan
menentukan suatu hukum dikalangan para ulama.
Ketika memaparkan tentang norma-norma, alquran memakai bentuk yang
tidak sama. Terkadang memakai bentuk kata perintah, misalkan pada kalimat اقم الصلوة,
terkadang juga memakai bentuk kata larangan, misalkan pada kalimat لاتقربوا الزنا,
dan sebagainya.
Pada intinya pendefinisian alquran tentang permasalahan norma bisa
dijabarkan kedalam tiga kelompok:
1.
Pengertian yang
menyeluruh dan hadis yang menegaskan, misal pada firman Allah di surat
Al-Baqoroh [2]: 185 yang berbunyi:
فمن شهد منكم الشهر فليصم
“Barangsiapa
di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah
ia berpuasa ”
2.
Alquran memaparkan
aturanya secara global dan hadis memaparkannya, misal pada anjuran sholat. Nabi
memaparkan bersama hadis beliau:
صلوا كما رايتمونى اصاى
“Sholatlah
kalian sebagaimana aku sholat”
3.
Dengan petunjuk
berdasarkan firman Allah di surat An-Nisa [4]: 25 yang berbunyi:
فإن أتين بفا حشة فعليهن نصف ماعلى المحصناة
“Kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka
atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami”.
Ayat
diatas memberikan tanda bahwasanya balasan bagi budak jika ia melakukan
perbuatan zina, balasanya adalah setengah dari balasan wanita yang merdeka.
Dapat
diketahui dari beberapa kesimpulan diatas bahwasanya pendefinisian alquran yang
membahas norma-norma ada yang tidak membutuhkan pendefinisian seperti ayat-ayat
had qazaf, ayat li’an, ayat waris dan sebagainya. Ada juga yang
memerlukan pendefinisian karena sifatnya mujmal, membutuhkan penafsiran
atau membutuhkan taqyid.[7]
3.
Hukum-hukum
yang Terkandung didalam alquran
Secara
global alquran adalah sebagai pedoman hidup yang berisi tentang tiga ajaran
pokok, diantaranya:[8]
1)
Fatwa-fatwa
yang berkaitan dengan iman yang membahas perkara yang wajib dipercayai,
misalkan pada masalah tauhid, kenabian, kitab-kitab Allah, Malaikat, hari kiamat
dan lain sebagainya yang berkaitan dengan ajaran akidah. Seperti halnya yang
telah Allah jelaskan didalam Firman-Nya:[9]
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّنُوْحِي
إِلَيْهِ أَنَّهُ لآإِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ ﴿٢٥﴾
“Dan kami
tidak mengutus sorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya:
Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu
sekalian akan Aku”(QS.
Al-Anbiya’ [17]: 25).
2)
Fatwa-fatwa
yang berkaitan dengan budi pekerti, yakni peristiwa yang wajib membuat
keindahan jiwa bagi setiap mukalaf yang bersifat unggul dan menjauhkan jiwa
dari peristiwa yang mendorong pada hal keburukan.
Seperti halnya
yang telah Allah jelaskan didalam Firman-Nya:[10]
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوآ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَلِدَيْنِ
إِحْسَنًا إمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ اْلكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْكِلاَهُمَا فَلاَ
تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلاَتَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاًكَرِيْمَا ﴿٢٣﴾
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya Perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulai”. (QS.
Al-Isro’ [15]: 23).
3)
Ketetapan-ketetapan
amaliyah, adalah keputusan-keputusan yang berkaitan amal pekerjaan mukalaf
(ajaran fikih). Dari peraturan-peraturan amaliyah tersebut muncul
dan tumbuhlah ilmu fikih. Peraturan-peraturan dalam alquran terbagi menjadi dua
bagian, yakni peraturan-peraturan ibadah yang memerintah ikatan manusia dengan
tuhan, dan peraturan-peraturan mu’amalat yang memerintah ikatan manusia
dengan manusia. Seperti halnya yang telah Allah jelaskan didalam Firman-Nya:[11]
يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لاَتَأْكُلُوآأَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْتَكُوْنَ تَجَارَةً عَنْتَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلاَتَقْتُلُوآ
أَنْفُسَكُمْ إِنَّ للَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا ﴿٢۹﴾
“Hai
Orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali denagn jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka di antara kamu. Dan janganlah kemu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa’
[5]: 29).
C. AS-SUNNAH
1.
Pengertian
Kata سنة
“sunnah” dalam Bahasa arab berasal dari kata سن. Dilihat secara etimologis makna
sunnah adalah cara yang bias dilakukan, baik cara itu merupakan sesuatu yang
baik atau sesuatu yang buruk.[12]
Pengertian
sunnah secara terminologis dapat dilihat dari beberapa disiplin ilmu, berikut
tiga pengertian
sunnah:
1.
Menurut ahli
Hadist. Sunnah adalah suatu yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW baik
berupa perkataan, perbuatan serta sikap Nabi dalam sebuah peristiwa.
2.
Menurut ahli
Usul Fiqh. Sunnah adalah semua yang berkaitan dengan masalah hukum yang
dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan serta
sikap Nabi dalam sebuah peristiwa.
3.
Menurut ahli
Fiqih. Sunnah memiliki dua pengertian, pengertian yang pertama serupa dengan
pengertian ahli Usul Fiqh. Sedangkan pengertian yang kedua adalah segala
sesuatu yang apabila dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditingalkan tidak
mendapat dosa.[13]
Dari beberapa pengertian sunnah yang telah disebutkan diatas, kita
dapat mengetahui bahwa sunnah terdiri dari tiga macam. Berikut macam-macam
sunnah:
1.
Sunnah Qauliyah
adalah ucapan Nabi Muhammad SAW yang di dengar oleh sahabat Nabi lalu perkataan
itu disampaikan kepada orang lain. Sebagai contoh adalah ucapan Nabi Muhammad
SAW:
لَا ضَرَرَ وَلَا
ضِرَارَ
“Tidak boleh melakukan
kemudharatan, dan tidak boleh pula membalas kemudharatan dengan kemudharatan”
(HR. Ibn. Majah)
2.
Sunnah Fi’liyah adalah
perbuatan Nabi Muhammad SAW yang dilakukan dan diketahui oleh sahabat kemudian
sahabat menyampaikannya kepada orang lain. Sebagai contoh hadis Nabi Muhammad
SAW:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah sebagaimana
kalian melihat aku shalat” (HR.Bukhari)[14]
3. Sunnah Taqririyah adalah
perkataan yang diucapkan atau perbuatan yang dilakukan oleh sahabat dan
diketahui oleh Nabi Muhammad SAW tetapi nabi diam atau tidak melarang, kemudian
diamnya Nabi disampaikan oleh sahabat kepada orang lain. Sebagai contoh ketida
ada sahabat yang memakan daging dhab dan nabi mengetahui akan hal itu,
tetapi nabi tidak melarang sahabat tersebut. Peristiwa ini kemudia disampaikan
oleh sahabat kepada orang lain dengan riwayat “saya melihat seorang sahabat
memakan daging dhab di dekat nabi. Nabi mengetahui, tapi nabi tidak melarang
perbuatan itu.[15]
2. Periwayatan Sunnah
Macam-macam sunnah yang
telah disebutkan berupa Sunnah Qouliyah, Fi’liyah dan Taqririyah, disebarkan
oleh sahabat dengan menyampaikan kabar apa yang telah dilihat, didengar dan
dialami secara beranting. Sehingga sampailah
kepada orang yang mengumpulkan dan menulis sunnah, maka terbentuklah
kumpulan-kumpilan sunnah yang dapat kita temukan saat ini. Dalam prosesnya
kebenaran sunnah yang disampaikan seseorang tersebut berbeda-beda. Ada beberapa
faktor yang dapat menentukan kekuatan suatu sunnah, yaitu jumlah pembawa kabar,
kesinambungan kabar, dan kualitas pembawa kabar tersebut.
Dari segi jumlah
pembawa kabar, ulama membagi kepada tiga tingkatan:[16]
1. Mutawatir. adalah kabar yang
disampaikan dari banyak orang kepada banyak orang dengan berkesinambungan yang
jumlahnya untuk setiap golongan tidak memungkinkan bagi mereka untuk besepakat
melakukan kebohongan.
2. Masyhur, adalah kabar yang
disambaikan oleh beberapa sehabat yang jumlahnya hanya sedikit kepada banyak
orang dan di sampaikan kembali kepada banyak orang hingga sampai derajat
mutawatir.
3. Ahad, adalah kabar yang
didapat dari nabi oleh perseorangan dan disampaikan kepada perseorangan hingga
sampai akhir perawi.
Sedangkan sunnah
dilihat dari kualitas pembawa kabar dapat dibagi menjadi empat, yaitu:[17]
1. Shahih, adalah sunnah yang
riwayatnya berkesinambungan dari satu perawi kepada perawi yang lain, dan
perawi tersebut besifat adil, kuat ingatannya serta sunnah yang diriwaayatkan
tidak bertentangan dengan sunnah yang lainnya dan tidak cacat.
2. Hasan, adalah sunnah yang
riwayatnya berkesinambungan dari satu kepada perawi yang lain, dan perawi
tersebut bersifat adil tetapi kurang kuat ingatannya serta, serta sunah yang
diriwayatkan tidak bertentangan dengan sunnah yang lainnya dan tidak cacat.
Hadis hasan bias meningkat menjadi hadis shahih lighairiha apabila ada seorang
yang meriwayatkan dari jalur yang lain yang nantinya dapat menguatkan
kedudukannya.
3. Dha’if, adalah sunnah yang
berada dibawah shahih dan hasan dikarnakan tidak memenuhi kriteria hadis shahih
dan hasan. Baik kurang dalam kesinambunggannya, adilnya, kekuatan hafalannya,
ataupun bertentangan dengan sunnah lainnya dan kecacatannya.
4. Maudhu, adalah sunnah palsu
yang seakan-akan berasal dari nabi padahal hanya direkayasa.
3. Fungsi Sunnah
Alquran sebagai sumber
hukum islam mengandung ayat-ayat yang berisikan hukum islam. Sebagaian besar
ayat-ayat tersebut menjelaskan secara garis besar sehingga butuh suatu penjelas
untuk dapat dipahami dan penjelas tersebut adalah sunnah. Dapat dipahami bahwa
tugas utama dari sunnah adalah menjelaskan tentang apa yang terdapat didalam alquran,
sebagai mana yang tertera dalam alquran surat An Nahl ayat 64:
وَمَآاَنْزَلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَبَ اِلاَّ لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِى اخْتَلَفُوْا فِيْهِ
وَهُدًى وَّرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ ﴿٦٤﴾
“Dan kami tidak menurunkan Kitab (Alquran) ini kepadamu
(Muhammad), melainkan agar engkau dapat menjelaskan kepada mereka apa yang
mereka perselisihkan itu, serta menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang
yang beriman”. (QS.
An-Nahl [16]: 64).
Maka dapat dipahami jika
alquran bertugas sebagai sumber bagi hukum fiqh maka sunnah menjadi bayannya.
Adapun secara rinci tugas dari sunnah adalah:
1. Fungsi
Ta’qid menguatkan dan Taqrir menegaskan. Sunnah menggulanggi apa yang sudah
dijelaskan di dalam alquran. Sebagai contoh firman Allah surat Al Baqarah ayat
110:
وَأَقِيْمُوْاالْصَلاَةَ
وَآتُوْاالزَّكَاتَ
“Dan dirikanlah
sholat dan tunaikanlah zakat”
Ayat
alquran diatas dikiatkan oleh perkataan nabi sebagai berikut:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ
الزَّكَاةِ
“Islam
dibangun diatas lima perkara; Bersaksi bahwa tiada AIlah yang berhak disembah
selain Allah dan bahwa nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat,
menunaikan zakat”
2. Fungsi
penjelas. Yakni sunnah menjelaskan tentang suatu maksud yang ada dalam alquran,
dalam hal ini adalah:
1. Penjelas
bagi kata-kata atau arti yang masi bersifat samar dalam Alquran.
2. Perinci
tentang segala hal yang disebutkan secara garis besar dalam Alquran.
3. Pembatas
tentang segala hal yang disebutkan secara umum dalam Alquran.
4. Memperluas
suatu maksud yang disebutkan dalam Alquran.
5. Fungsi
itsbat atau menetapkan suatu hukum. Dalam hal ini sunnah menentapkan suatu
hukum yang secara jelas tidak ditemukan didalam Alquran, atau dalam hal ini
dapat dipahami sebagai memperluas Hukum yang terdapat dalam Alquran dengan
terbatas. Sebagai contoh adalah surah Al Maidah ayat 3:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ
“Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi”
Setelah ayat
diharamkannya bangkai darah dan daging babi. Rasulullah menetapkan hukum
tentang haramnya binatang buas dan burung buas dalam hadis dari
Abu Hurairah r.a, ia berkata dari Nabi SAW, beliau bersabda:
كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ
حَرَامٌ
“Setiap binatang buas yang bertaring, maka
memakanya adalah haram”. (HR. Muslim)
Jika dilihat dari
sunnah diatas dapat dipahai bahwa rasulullah menetapkan sutau hukum, tapi jika
dilihat lebih seksama bahwa nabi menjelaskan tentang larangan memakan suatu
yang kotor. Hal tersebut dijelaskan dalam surat Al Araf ayat 33:[18]
قَالَ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ مِنْهَا
وَمَابَطَنَ
“Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang nampak ataupun yang tersembunyi ”.
4. Kedudukan Sunnah
Telah disepakati oleh
para ulama islam bahwa sunnah dapat menjadi hujjah. Sebagaimana firman Allah
dalam surat Al Hasyr ayat 7:
وَمَا آتَكُمْ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُوَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوْا
“Hendaklah kamu ambil (ikuti) suatu yang
dibawa oleh rasul kepadamu dan hendaklah kamu jauhi suatu yang dilarang”.
Kemudian firman Allah SWT surat An Nisa
ayat 80:
مَنْ يُطِعِ
الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia
telah mentaati Allah”.
Dari ayat-ayat diatas dapat dipahami bahwa, sunnah menjadi
hujjah yang kedua atau sumber yang kedua dalam menetapkan hukum syara’. Dari
beberapa jenis sunnah yang telah dijelaskan yang dapat dijadikan sebagi hujjah
adalah yang berkedudukan Mutawatir, Shohih dan Hasan atau sunnah yang lain tapi
kemudian dikuatkan oleh sunnah lain yang berkedudukan Mutawatir, Shahih atau
Hasan. Sedangkan hadis Dhaif terjadi pertentangan diperbolehkan atau tidak
diperbolehkan digunakan untuk pengambilan hukum syara, tetapi Imam Nawawi
berkata “telah sepakat ulama atas boleh beramal dengan hadits Dhaif pada
kelebihan-kelebihan amal (untuk memperbanyak amal)”[19]
5. Hukum-hukum Syara
dalam Sunnah Nabi
1.
Aqidah. Dalah hal
aqidah adalah suatau yang pasti yang artinya aqidah itu sebuah kepercayaan dan
kepercayaan itu pasti dalam hal ini aqidah berhubungan dengan Allah SWT dan
sifat-sifatnya, rasu, wahyu dan hari kiamat. Karna aqidah merupaan suatu yang
pasti maka membutuhkan sunnah yang pasi pula yaitu sunnah mutawatir yang
jumlahnya hanya terbatas.
2.
Akhlak. Sunnah banyak
membahas tentang akhlak yang berupa adab, sopan santun, hikmah, pujian terhadap
kebaikan, celaan terhadap keburukan dan nasihat-nasihat.
3.
Hukum-hukum amaliyah. Pembahasan
tentang amaliyah amatlah banyak baik berupa ibadah, muamalah, hak dan kewajiban
manusia dan lain-lain. Sunnah-sunnah yang didapat dari hukum-hukum amaliyah ini
yang dijadiakan sebagai sumber hukum setelah alquran oleh ulama fiqih. Dari sunnah-sunnahbinilah para ahli fiqih
mengistimbathkan hukum tentang dalil-dalil
alquran yang mengandung hukum.[20]
6. Sunnah Sebagai Hukum Syara
Sunnah memiliki
kekuatan sebagai sumber dalil syara, tetapi tidak semua sunnah dapat digunakan
sebagai sumber hukum syara. Adapun tingkatan-tingkatan sunnah yang dapat
dijadikan sumber adalah:
1.
Mutawatir. sunnah
mutawatir memiliki kedudukan tertinggi dilihat dari jumlah pembawa kabar, maka
sunnah dalam tingkatan ini tidak diragukan lagi.
2.
Shahih. Sunnah shahih
dapat digunakan sebagai dalil syara atau hujjah apa bila sunnah tersebut tidak
bertentangan dengan dengan dalil aluran atau dengan suatu sunnah yang lain yang
tinggkatanya lebih kuat, dan juga sunnah shahih ini belum dimansukh oleh
alquran atau dengan sunnah shahih yang lain.
3.
Hasan. Sunnah hasan
bias digunakan layaknya sunnah shahih tetapi masi berada dibawah tungkatan
shahih.
4.
Dhaif. Sunnah dhaif
tidak dapat digunakan sebagi dalil syara seperti menentukan halal atau haram
tetapi bias digunnakan sebagi fadilah amal atau keutamaan amal.[21]
D. KESIMPULAN
Alquran kiatab
suci umat islam sekaligus mujizat terbesar yang diturunkan kepada nabi Muhammad
SAW. alquran berisikan berbagai dalil termasuk didalamnya hukum-hukum yang
berkaitan sengan syara. alquran menjadi sumber hukum yang utama, maka para
ulama ushul fiqh mengunakan alquran sebagai hujjah dalam pengambilan istimbath
hukum. Para ulama akan merujuk kepada alquran dalam hukum syara kemudian
menambahkan sunnah sebagai penjelas karna alquran sebagaian besar menjelaskan
secara garis besar.
Sunnah merupakan
segala perkataan perbuatan dan ketetepan nabi Muhammad SAW dari suatu
peristiwa. sunnah memiliki kedudukan sebagi sumber hukum yang kedua atau
menjadi hujjah yang kedua. Sunnah berisikan aqidah, akhlaq dan berbagai
amaliyah yang kemudia semua ini dijadikan pedoman oleh ulama ushul fiqh dalam beristimbath.
Sunnah memiliki fungsi pendukung bagi alquran, yaitu fungsi penjelas, penetapan
hukum yang tidak adala dalam alquran serta sebagi penguat alquran sebagi sumber
hukum yang utama. Maka kita harus benar-benar memahami alquran dan sunnah dalam
pembelajaran ushul fiqh karna keudanya memiliki peran yang amat penting dalam
pembentukan hukumhukum syara.
E. DAFTAR PUSTAKA
Ali Ashobuni,
Muhammad. 2003. At-Tibyan Fii Ulumil Quran. Jakarta: Darul Kutub
Al-Islamiyah.
Rahman Dahlan,
Abd. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Effendi,
Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenadamedia Group.
Koto, Alaiddin.
2004. Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih. Jakarta: Pt Rajagrafindo Persada.
Syarifuddin,
Amir. 2008. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup
Waid, Abdul.
2014. Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh. Jogjakarta: Ircisod.
Hadi, Saeful.
2009. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Sabda Media.
Djalil, Basiq. 2010. Ushul Fiqh Satu
Dan Dua. Jakarta: Prenada Media Grup
Dahlan, Abd. Rahman. 2016. Ushul Fiqh.
Jakarta: AMZAH
Firdaus. 2004. Ushul Fiqh.
Jakarta: Zikrul Hakim
Bakry, Nazar. 2003. Fiqih Dan Ushul
Fiqih. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
syafe’I, Rachmad. 2015. Ilmu Ushul
Fiqh. Bandung: Pustaka Setia
Catatan:
1.
Similarity
hanya 2%. Selamat!!!!
2.
Dalam tulisan
ilmiah, penggunaan kata “kita” hendaknya dihindari.
3.
Makalah ini
perlu diperbanyak footnotenya, sebab banyak keterangan yang perlu diberikan
footnote tapi tidak ada footnotenya.
[1] Abd.
Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 115
[2] Muhammad
Ali ash-Shobuni, at-Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an, (Jakarta: Darul Kutub
Islamiyah, 2003), hlm. 8
[3]Abd.
Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 115
[4]Ibid, hlm.
116
[5]Abdul
Waid, Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2014), hlm.
19-20
[6]Ibid,
hlm. 22-23
[7] Alaiddin
Koto, Ilmu Fidih dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2006),
hlm. 66-68
[8]Satria
Efendi, USHUL FIQH, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2005), hlm. 92
[9]Ibid, hlm.
81
[10]Saeful
Hadi, USHUL FIQH, (Yogyakarta: Sabda Media, 2009), hlm. 120
[11] Satria
Efendi, USHUL FIQH, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2005), hlm. 97
[12]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 1,
(Kencana Prenadamedia Grup, Jakarta, 2008), hlm. 226
[13]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh,
(AMZAH, Jakarta, 2016), hlm. 131
[14]Firdaus, Ushul Fiqh, (Zikrul
Hakim, Jakarta, 2004), hlm. 34
[15]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 1.,
Op, Cit., hlm. 229-230
[18]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 1.,
Op, Cit., hlm. 242-246
[19]Nazar Bakry, Fiqih Dan Ushul
Fiqih, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003), hlm. 46-47
[20]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh.,
Op, Cit., 254-255
[21]Basiq Djalil, Ushul Fiqh Satu Dan
Dua, (Prenada Media Grup, Jakarta, 2010), hlm. 151
Tidak ada komentar:
Posting Komentar