PAI-D Angkatan 2016
Universitas Islam Maulana Malik Ibrahim Malang
Amalia Ainun F. N
(16110148)
Rizqi Fatkhu Rokman (16110165)
e-mail: rizqirokman316@gmail.com
Abstract
This article will explain a little about the understading and some
examples of hadith mutawatir and hadith ahad and the quantity of the rawi,
which if we look to the hadith ink we will discuss how the hadith proceeded or
even become a benchmark in real life, hadited mutawatir have terms and the
provision if his narration, which in which this hadith will speak of quantity
or quantity of each level between the mutawatir hadith and the ahadith in the
narration of the fabric.In the artikel will also explain a little about the
benefits as well as the distincion between hadith mutawatir and hadits ahad.
Keywords :Hadith
Mutawatir, Hadits Ahad, Benefits, Different
Abstrak
Artikel ini akan sedikit menjelaskan tentang pengertian dan
beberapa contoh dari Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad serta kuantitas dari para
rawi, yang dimana jika kita lihat untuk hadits ini kita akan membahas bagaimana
hadits tersebut berproses atau bahkan menjadi sebuah patokan dalam kehidupan
nyata, hadits mutawatir memiliki syarat dan ketentuan dalam periwayatannya,
yang dimana hadits ini akan berbicara tentang kuantitas atau kuantiti (jumlah)
dari masing-masing tingkatan antara hadits mutawatir dan hadits ahad dalam
periwayatan rawinya. Didalam artikel ini juga akan menjelaskan sedikit tentang manfaat
serta distingsi antara hadits mutawatir dan hadits ahad.
Kata kunci : Hadits
Mutawatir, Hadits Ahad, Manfaat, Perbedaan
A.
Pendahuluan
Dalam hal ini, kami akan membahas sedikit tentang hal-hal yang
mengenai sebuah hadits Mutawatir dan Hadits Ahad, Hadits mutawatir sendiri
adalah hadits yang tingkatannya setelah hadits Shahih dan hadits Hasan, dalam
hal ini hadits mutawatir sendiri juga memiliki syarat-syarat dan ketentuan
dalam hal periwayatannya, dan sedangkan hadits Ahad lebih cenderung pada
periwayatannya yang bersifat sendiri atau tidak banyak orang yang terlibat
didalamnya, untuk lebih jelasnya kami akan menjelaskan tentang pengertian dan
beberapa contoh dari hadits mutawatir dan hadits ahad, dalam lingkup kuantitas
atau kuantiti dari masing-masing hadits tersebut.
B.
Pengertian Hadits Mutawatir
Menurut bahasa berarti berturut-turut dan beriringan satu dengan
lainnya dalam meriwayatkan suatu hadits.[1]
Mutawatir juga menurut bahasa adalah sesuatu yang berdatangan dengan cara
beriringan antara rowi satu dengan rowi yang lainnya.[2]ataupun
suatu hadits yang dimana hadits ini adalah hasil tanggapan dari pancaindera.[3]dan
menurut istilahnya ialah:
مَا
رَوَاهُ عَدَدٌ كَثِيْرٌ تَحِيْلُ العَادَةٌ تَوَاطُؤُهُمْ عَلى الكَذب
Artinya : “Hadits yang diriwayatkan dari banyak periwayat yang
menurut adat kebiasaan”[4]
Sedangkan
Definisi yang lengkap menurut Imam Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, adalah : Sebuah
Hadits yang diriwayatkan oleh beberapa periwayat yang dimana menurut adat dan
kebiasaannya mustahil mereka sepakat untuk berdusta (dalam hal hadits yang
telah diriwayatkan) oleh sejumlah periwayat dengan jumlah periwayat yang sama
antara sanal awal sampai dengan sanad yang terakhir dalam jumlah syarat itu
tidak kurang pada setiap tingkatan yang ada dalam sanadnya.[5]
C.
Syarat-Syarat
Hadits Mutawatir
1.
Berdasarkan
dari tanggapan pancaindera yang telah disampaikan dari periwayat dan telah
benar-benar diterima oleh perawi berdasarkan pancaindera (penglihatan maupun
pendengaran).[6]
2.
Jumlah
periwayat harus mencapai kuantitas tertentu dan mereka sepakat untuk tidak
berdusta. Menurut Ashhab Asy-Syafi’I lima orang, menurut Arh-Thayib empat
orang, ada juga ulama lain menyatakan dua puluh orang. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani tidak diisyaratkan
dalam jumlah bilangan tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
diantara ulama terdapat perbedaan dalam menetapkan jumlah periwayat, ada yang
menggunakan bilangan dan ada yang tidak menetapkannya dalam jumlah bilangan.
Menurut ulama yang tidak menetapkan dalam jumlah bilangan, terpenting dalam
jumlah itu dapat diterima melaui akal sehat dan dapat memberikan keyakinan,
sedangkan bagi ulama yang menetapkan dalam jumlah bilangan tertentu antara
empat sampai tiga ratusan orang.[7]
3.
Harus
ada keseimbangan antara jumlah rawi
pertama dengan jumlah rawi selanjutnya.[8]
Bila suatu hadis itu dikatakan Mutawatir, maka wajib diyakini kebenarannya, mengamalkan apa yang
ada dalam kandungan maknanya dan tidak boleh ada keraguan di dalamnya.[9]
D.
Macam-macam Hadits Mutawatir
1.
Hadits
Mutawatir Lafzhi
Hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang
susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dengan yang
lainnya, yaitu :
مَنْ كَذَبَ
عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأُ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّا رِ
Artinya : Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah
ia bersiap-siap menduduki tempat duduknya di neraka. (H.R Bukhari)[10]
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diriwayatkan oleh 40
orang sahabat. Sebagian ulama menyatakan bahwa hadits tersebut telah
diriwayatkan dari 62 orang sahabat dengan lafazh dan arti yang sama. Hadits ini
juga terdapat dalam kitab-kitab, yaitu : Al-Bukhari, Muslim, Ad-Darmini, Abu
Dawud, Ibn Majah, At-Tarmidzi, At- Tirmidzi, At-Thayasili, Abu Hanifah,
Ath-Thabrani, dan Al-Hakim.[11]
2.
Hadits
Mutawatir Ma’nawi
Hadits ini adalah sebuah hadits yang lafazh dan artinya berlainan
antara satu riwayat dan riwayat lainnya, tapi terdapat penyesuaian makna secara
umum. Dalam makna lain dapat diartikan sebagai hadits yang berbeda bunyi
lafalnya oleh masing-masing jalur periwayatannya, tetapi memiliki sebuah
kesamaan dalam maknanya, daam isinya juga mengandung satu hal, satu sifat, dan
satu perbuatan. [12]
Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam sebuah kaidah ilmu hadits, yaitu :
مَااخْتَلَفُوْا فِ لَفْظِهِ
وَمَعْنَاهُ مَعَ رُجُوْ عِهِلَمِعْنًى كُلٍّي
Artinya : Hadits yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat
diambil makna umunya.[13]
Contoh dari hadis Ma’nawi sendiri ialah, “Nabi Muhammad SAW, tidak
mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau, kecuali dalam sholat istisqa,
dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya.” (H.R
Bukhari)[14]
Hadits-hadits yang semakna dengan hadits tersebut banyak sekali,
atau bahkan lebih dari 100 hadits.[15]
E.
Faedah Hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir sendiri memberi sebuah faedah ilmu dharuri, yaitu
sebuah keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan apa yang
diberitakan dari hadits mutawatir tersebut, sehingga membawa pada sebuah
keyakinan yang pasti (qath’i).[16]
F.
Pengertian Hadits Ahad
Kata ahad atau wahid menurut bahasa ialah satu, maka dapat
disimpulkan ahad atau khabar wahid itu berarti hanya satu orang yang
menyampaikan.[17]
Hadits ahad adalah hadits yang riwayatnya secara bahasa berarti
satu, maka ahad khabar ahad ataupun khabar wahid berarti sebuah berita yang
disampaikan oleh satu orang saja.[18]Ada
juga yang mengatakan bahwa hadits Ahad adalah suatu hal yang disandarkan kepada
Rosulullah, yaitu berupa sebuah perkataan, sifat fizikal, pengakuan, perbuatan,
akhlak ataupun perilaku Nabi setelah diangkat menjadi Rosul atau sebelumnya.[19]Adapapun
sebagian ulama yang berpendapat bahwa Hadits Ahad adalah sebuah hadits yang
dimana para periwayatnya tidak mencapai pada jumlah periwayat hadits mutawatir,
juga tidak memenuhi persyaratan
Mutawatir dan tidak juga sampai pada derajat Mutawatir, dan telah
dinyatakan dalam ilmu hadits:[20]
هُوَ مَا لاَ
يَنتَهِي اِ لَي التَّوَا تِر
Artinya : “Hadits yang tidak mencapai pada derajat Mutawatir”
Dan dalam pengertian yang lain disebutkan bahwa:
مَا رَوَاهُ
الْوَاحِدُ أَو الإثْنَانِ فَأَ كْثَر مِمَّا لَمْ تَتَوَا فَرْ فِيْهِ شُرُوْطُ
الْمَشْهُور اومتواتر
“Merupakan Hadits yang diriwayatkan oleh satu orang, dua orang atau
lebih, yang jumlah perawinya tidak memenuhi syarat-syarat hadits masyhur dan
hadits mutawatir”[21]
G.
Macam-Macam Hadis Ahad
Mahmud al-Thahhan berpendapat, hadits ahad yang dilihat dari segi
jumlah sanadnya, dubagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut:[22]
1.
Hadits
Masyhur
Hadits masyhur secara bahasa ialah isim maf’ul dari kata syahara شَهَرْتُ الاَمْرَ (aku memasyurjan sesuatu) yang mempunyai arti
bawa aku menjelaskan dan mengumumkan sesuatu hal. Menurut ulama hadits adalah:[23]
مَا رَ وَا هُ ثَلاَ ثَةُ فَاَ
كْثَرَ فِى كُلِّ طَبَقَةٍ مَا لَمْ يَبْلُغْ حَدَ التَّوَا تُرِ
“hadits ini yang diriwayatkan oleh tiga periwayat atau bahkan lebih
pada setiap thabaqahnya (lapisan), tetapi tidak sampai pada tingkatan
mutawatirnya.”
Contoh hadits masyhur:[24]
قَا لَ رَ سُوْ لُ االلهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسِلّمْ :
اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَا نِهِ وَيَدِهِ .
“Rasulullah SAW. bersabda, “Seorang Muslim adalah kaum muslimin
yang tidak terganggu oleh lidah dan tangannya.” (HR. Bukhari, Muslim, dan
Tirmizi).
Sebuah hadis bisa dikatakan masyhur ketika sudah tersebar dengan luas
dikalangan masyarakat.[25]
Hadis masyhur yang ditetapkan statusnya kadang bukan dikarenakankriteria hadis,
akan tetapi diterapkan pula untuk untuk memberikan sifat suatu hadis yang
dianggap populer menurut ahli ilmu tertentu atau dikalangan masyarakat
tertentu.[26]
1.
Hadits Aziz
Menurut bahasa berarti adalah
Asy-Syafief (yang mulia), Ash-Shab’bulladzi yakadu la yuqwa ‘alaih (yang
sukar diperoleh), Al-Qowiyyu (yang kuat). Sedangkan menurut istilah adalah
“Hadis yang diriwayatkan dua orang, dan berada pada satu thobaqoh, kemudian
orang-orang meriwayatkannya” . [27]
Disebut sukar di peroleh karena hadits ini sedikit kategorinya dan jarang
adanya, atau disebut kuat juga karena adanya sanad yang datang dari jalur lain.[28]
Contoh Hadits Aziz :
نَحْنُ
الأخَروْنَ السَّا بِقُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ .
Artinya : “Kami adalah orang-orang terakhir di dunia yang terdahulu
pada hari kiamat“ ( H.R . Ahmad dan An-Nasa’i )[29]
Hadits ini diriwayatkan dua orang sahabat, Hudzaifah dan Abu
Hurairah di Thabaqah pertama. Sedangkan pada thabaqah kedua menjadi masyhur
karena melalui periwayatan Abu Hurairah, hadist diriwayatkan tujuh orang, yakni
Abu Salamah, Abu Hazim, Thawus, Al’Araj, Abu Shalih, Humam, serta ‘Abd
Ar-Rahman.[30]
2.
Hadits Gharib
Gharib menurut bahasa adalah, badi’un ‘anil wathani (yang
jauh dari tanah).[31]
Sedangkan Hadist gharib menurut istilah adalah ma tafarrada birwayatihi
syakhsun fi ayyi mawdhuin waqa’a al-tafarrud bihi fi as-sanad, yang berarti
Hadits yang diriwayatkan oleh satu rawi saja.[32]
Contoh Hadits Gharib yang hanya diriwayatkan oleh satu rawi saja,
عَنْ أَ بِي هُرَ يْرَ ةَ رَ ضِيَ االلهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّ اللهٌ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَا ل : أَ لأِ يمَا نُ بِضْعٌ وَسِتُّو نَ شٌعْبَةً
وَلحَيَا ءٌ شُعْبَةٌ مِنَ الْاِ يْماَ نِ
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW terlah bersabda, “Iman itu
bercabang-cabang menjadi 60 cabang dan malu itu salah satu cabang dari iman”
(H.R. Bukhari)[33]
2.
Distingsi Pengetahuan (ilmu) dalam Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad
Perbedaan antara hadits mutawatir dengan hadits ahad adalah jika
hadits mutawatir memiliki banyak periwayat yang dimana periwayat tersebut lebih
dari satu, dua, tiga bahkan lebih maka hadits tersebut dinamakan hadits
mutawatir, syarat-syarat hadits mutawatir ada 3, yaitu :
1.
Diriwayatkan
oleh beberapa rowi besar yang sekurang-kurangnya ada lima rowi dan sudah
diyakini bahwa para rowi tersebut tidak mungkin berdusta.[34]
2.
Adanya
sebuah kesinambungan antara perawi terhadap thabaqat yang pertama dengan
thabaqat selanjutnya.[35]
3.
Berdasarkan
dari tanggapan pancaindera, yang dimana berita yang telah di sampaikan oleh
periwayat harus di terima berdasarkan pancaindera, maksudnya adalah, harus
dengan bukti yang sungguh dari hasil pendengaran ataupun dari hasil penglihatan
sendiri.[36]
Jika salah satu dari syarat ini tidak terpenuhi maka hadits
tersebut terbilang hadits ahad, letak perbedaannya hanyalah dalam
syarat-syaratnya saja.
Penutup
Dari penjelasan artikel diatas dapat disimpulkan bahwa hadits
mutawatir dan hadits Ahad adalah sebuah hadits yang kuat atau tangguh jika
perowi dalam hadits tersebut memiliki sanad-sanad yang jelas dan tidak
menyeleweng dari periwayat sebelumnya, hadits ini adalah kriteria dari hadits
mutawatir, berbeda dengan hadits ahad, hadits ahad adalah sebuah hadits yang
dimana hadits tersebut tidak memenuhi syarat-syarat dari hadits mutawatir.
Daftar Pustaka
Suparta
Munzier. 1993.Ilmu Hadis.Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Suliaman
Noor. 2008.Antologi Ilmu Hadits.Jakarta : Gaung persada Press.
Suyadi
Agus. 2008.Ulumul Hadis.Bandung : CV Pustaka Setia.
Suryadilaga
Alfatih. 2010.Ulumul Hadis.Yogyakarta : Teras.
Sahrani
Sohari. 2010.Ulumul Hadits.Bogor : Ghalia Indonesia.
Ahmad
Muhammad.2004.Ulumul Hadis.Bandung : Pustaka Setia.
Idri.
2010.Studi Hadis.Jakarta : Kencana
Mudasir.
1999.Ilmu Hadis.Bandung : CV Pustaka Setia.
Muhammad
Rashidi bin Haji Wahab. “Kedudukan Hadis Ahad Dalam Akidah”. Jurnal
Ilmiah Berimpah. Tahun Kedua. Bil: 4. Safar 1434 H. (Desember 2012)
Saifudin
Zuhri.Predikat Hadis Dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama Terhadap
Hadis Ahad.SUHUF. Vol. 20. No. 1. Mei 2008: 53-65
Catatan:
1. Similarity 29%
2. Makalah ini masih sedikit sekali halamannya.
[1] Alfatih
Suryadilaga, Ulumul Hadits, (Yogyakarta : Teras, 2010), hlm. 228
[2] Mudasir, Ilmu
Hadis, (Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 1999), hlm. 113
[3] Saifudin
Zuhri, Predikat Hadis Dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama Terhadap
Hadis Ahad, SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008: 53-65
[4] Idri, Studi
Hadis, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm. 130
[5] Ibid, hlm. 131
[6]Mudasir, Ilmu
Hadis, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 118
[7]Idri, Studi
Hadis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 133
[8]Agus Suyadi,Ulumul
Hadis, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2008), hlm 130
[9]Sohari Sahrani,
Ulumul Hadits, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010), hlm 85
[10]Mudasir, Ilmu
Hadis, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 120
[11]Ibid.,
[12]Alfatih
Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta, Teras, 2010), hlm 229
[13] Ibid. hlm. 131
[14]Mudasir, Ilmu
Hadis, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 122
[15]Alfatih
Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta, Teras, 2010), hlm 229
[16]Mudasir, Ilmu
Hadis, (Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 1999), hlm. 123
[17] Sohari
Sahrini, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 91
[18] Mudasir, Ilmu
Hadis, (Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 1999), hlm.124
[19] Muhammad
Rashidi bin Haji Wahab, “Kedudukan Hadis Ahad Dalam Akidah”. Jurnal
Ilmiah Berimpah. Tahun Kedua, Bil: 4, Safar 1434 H, (Desember 2012)
[20]M Solahudin,
Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 133
[21]Munzier
Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 108
[22] Idri, Studi
Hadis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 141-142
[23] Ibid., hlm.
142
[24] Muhammad
Ahmad, Ulumul Hadis, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004), hlm. 94
[25] Noor Sulaiman,
Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta, Gaung Persada Press, 2008), 91
[26] Ibid, hlm. 92
[27] Agus Suyadi,Ulumul
Hadis, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2008), hlm 136
[28] Idri, Studi
Hadis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 147
[29]M Solahudin,
Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 136
[30]Ibid.,
[31]Agus Suyadi,Ulumul
Hadis, Bandung, CV Pustaka Setia,
2008, hlm 137
[32] Alfatih
Suryadilaga, Ulumul Hadits, (Yogyakarta : Teras, 2010), hlm. 231
[33] Agus Suyadi, Ulumul
Hadits, (Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 2013), hlm. 138
[34] Munzier
Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 97
[35] Noor Sulaiman,
Antologi Hadits, (Jakarta, Gaung Persada Press, 2008), hlm. 87
[36] Ibid. hlm. 88
artikelnya lengkap sekali
BalasHapus